“Sebaiknya pulang saja, Smith. Tidak perlu menemaniku di sini,” ucap Laura dengan suara yang terdengar lemah, namun tetap tegas.Matanya menatap ke arah jendela, menembus gelapnya malam yang diselimuti cahaya rembulan yang pucat.“Lalu, kau ingin ditemani oleh Louis jika aku pulang?” balas Smith, nada suaranya mengandung jejak cemburu yang tidak ia sembunyikan.Laura menghela napas panjang, seolah ingin mengusir rasa lelah yang menyelimutinya. “Entah kenapa kau selalu membawa nama Louis dalam obrolan kita. Bahkan aku tidak kepikiran ingin ditemani olehnya. Aku hanya ingin sendiri,” ucapnya pelan, nadanya seperti embusan angin dingin yang menerpa daun-daun kering.Smith menatap Laura dengan pandangan datar, namun sorot matanya menyimpan gelombang emosi yang bergejolak.“Aku akan menemanimu sampai kau sembuh. Tidak ada penolakan, karena aku membencinya,” ucapnya tegas, seperti gunung yang tak tergoyahkan oleh badai.“Untuk apa? Orang-orang akan curiga jika kau ada di sini, Smith,” Laura
“Kondisi Anda sudah membaik dan hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Laura menghela napas lega mendengar penuturan dokter yang selama dua hari terakhir ini menjadi pelindung sekaligus pengawas ketat atas kesehatannya.Mata cokelatnya yang sempat meredup kini mulai berkilau kembali, memantulkan harapan yang perlahan tumbuh dari rasa lega.“Terima kasih, Dokter,” ucapnya dengan nada lembut, menyertai senyum kecil yang mengukir kehangatan di wajahnya.Suaranya terdengar seperti bisikan angin pagi yang menyejukkan, namun masih menyisakan sedikit jejak kepenatan.Laura merapikan barang-barangnya, memandang ruangan yang telah menjadi saksi bisu atas kegundahan dan doanya selama ini.Sudah cukup, pikirnya. Rumah sakit, dengan dinginnya tembok putih dan aroma khas antiseptik, bukanlah tempat yang ingin ia tinggali lebih lama.Langkahnya terhenti sejenak ketika suara bariton yang familiar menyapa dari ambang pintu. “Sudah diperbolehkan pulang, hm?”Laura tersentak kecil, menoleh dengan sediki
“Apa yang kau lakukan, Smith?” Mata Stella menatap tajam ke arah Smith, tatapannya seperti mata elang yang menemukan mangsanya, tajam dan menusuk, saat ia melihat Laura duduk di samping pria itu.Smith melirik sebentar ke arah Laura, yang tampak canggung namun berusaha tetap tenang. Tatapannya kembali beralih kepada Stella, wajahnya tetap datar namun ada guratan kelelahan di sana.Mereka bertemu di sebuah café, tempat Stella meminta bertemu setelah mengetahui keberadaannya.“Aku baru saja menjemput Laura dari rumah sakit. Dia sedang sakit, Stella,” ucap Smith, suaranya datar namun cukup jelas untuk menunjukkan kejujuran.Stella tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya, sembari melipat tangan di dadanya. Gerakannya penuh ironi, seperti aktris yang memainkan peran dalam drama yang terlalu sering ia lakoni.“Sudah mulai perhatian padanya, huh?” ucapnya, nada suaranya penuh sindiran yang mengiris udara.Smith memijat keningnya, gerakan kecil yang menunjukkan keletihan yang tak ia co
“Ya. Memang itu yang kuinginkan. Pernikahan kalian harus segera berakhir sebelum kesabaranku habis,” ucap Stella, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit. Matanya tajam, menelusuri wajah Laura seolah menelanjangi setiap sudut pikirannya.Laura mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang lebih menyerupai bayangan bulan sabit di tengah kabut kelam. “Jangan khawatir, Stella. Smith akan tetap menjadi milikmu.”Tangan Smith terkepal erat, urat-urat di lengannya menegang seolah mencoba menahan badai yang menggulung dalam dadanya. Kata-kata Laura menusuknya seperti sembilu berkarat yang menghunjam tanpa ampun.Dalam hening yang penuh gemuruh, pikirannya berteriak: Apakah wanita itu benar-benar tidak berniat mencintaiku? Namun, ia segera mengusir pikirannya sendiri dengan geram. Ck! Untuk apa juga mengharapkan cinta dari Laura?“Aku akan menunggunya, Laura. Jangan mengingkari janjimu, atau kau akan tahu akibatnya!” Stella mendesis seperti ular yang siap melompat, n
Dua minggu telah berlalu sejak Laura diculik, namun bayang-bayang kejadian itu masih membekas dalam ingatannya seperti noda yang enggan terhapus.Marissa dan Andy, dua nama yang kini menjadi bisik-bisik di tengah kegelapan, terus bersembunyi.Tak ada yang tahu di mana mereka berada, tapi bayangan mereka tetap menjulang, mengintai dari balik kabut ketidakpastian.Status mereka sebagai buronan adalah pengingat tajam bahwa kebenaran belum menemukan jalannya.“Jangan melamun.”Suara itu, rendah namun tegas, menghantam kesunyian seperti tetes air di permukaan kaca. Laura tersentak, tubuhnya kaku sejenak sebelum ia menoleh. Di sana, berdiri Louis dengan senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia dunia.“Louis. Kau mengagetkanku saja,” ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desahan napasnya.Louis hanya tersenyum, senyuman yang penuh makna, bagai seseorang yang baru saja menyaksikan sebuah lelucon yang hanya ia pahami. “Apa yang sedang kau lihat? Sepertinya serius sekali.”Laura
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Langit di luar jendela berkilauan bagai hamparan beludru hitam bertabur berlian, seolah turut menjadi saksi sebuah babak baru yang akan segera dimulai.Smith menghampiri Laura, yang sedang menggoreskan warna merah menggoda di bibirnya dengan gerakan lambat, nyaris seperti ritual. Laura melirik pria itu di balik cermin, bola matanya berkilat seperti obsidian yang memantulkan nyala lilin.“Aku akan pergi makan malam. Jangan bertanya lagi,” ucap Laura dengan suara datar, tetapi ada keangkuhan tersembunyi di sana, seperti rintik hujan yang nyaris tak terdengar namun cukup membasahi.Smith melipat tangan di dadanya, sorot matanya menelusuri Laura dengan intensitas yang nyaris membakar. “Ya. Makan malam denganku.”Laura menoleh cepat ke arah suaminya, rambut hitamnya yang bergelombang bergerak bagaikan air terjun gelap yang jatuh dalam keheningan. “Huh? Apa kau sedang bergurau?” Laura terkekeh, sebuah tawa kecil yang lebih mirip cemoohan. “Jangan meng
“Kau pasti bercanda.” Laura menggelengkan kepalanya, tak percaya pada kata-kata Smith tentang Louis barusan.Matanya yang bening seperti danau musim semi kini dipenuhi keraguan, menggigil di bawah tatapan intens Smith yang membara seperti bara api di malam gelap.Smith menggeram, nada suaranya tajam seperti belati yang mengiris udara. “Tanyakan saja pada Louis jika memang kau tak percaya padaku, Laura.”“Baiklah. Aku akan bertanya padanya,” ucap Laura, suaranya datar seperti gemerisik angin di padang ilalang, tanpa sedikit pun menoleh pada Smith.Namun, hatinya telah memutuskan. Melihat sorot mata yang penuh kesungguhan itu, Laura tahu Smith tak sedang bermain-main. Kata-katanya adalah kebenaran yang keras, seperti batu karang di tengah hempasan ombak.‘Aku pikir Louis jauh lebih baik dari Smith. Rupanya aku salah,’ batin Laura, pikirannya melayang seperti daun gugur yang terombang-ambing di arus sungai. ‘Mereka berdua sama saja—dua pria yang saling berebut, menjebak aku dalam jaring-
“Pembohong!” desis Laura, suaranya bagai angin dingin yang menyusup ke dalam tulang. Matanya yang tajam seperti panah berapi menghujam wajah Smith tanpa ampun.Dia merasa ditipu—dibohongi mentah-mentah oleh pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Smith bilang, makan malam ini hanya untuk mereka berdua.Namun kini, Stella duduk di sana dengan anggun, di sisi Smith, seolah tempat itu memang selalu miliknya.“Stella? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Smith dengan ekspresi yang bergeser antara bingung dan terkejut, meskipun di mata Laura, itu tampak seperti sandiwara yang buruk.“What? Kau yang mengundangku kemari, Smith. Lagi pula, ini adalah hari Valentine. Sudah menjadi rutinitas kita merayakan dan makan malam bersama.”Stella menjawab dengan santai, suaranya seperti madu yang dibubuhkan pada luka terbuka—manis tetapi menyakitkan.Wanita itu melirik Laura, seolah sengaja menambahkan garam pada luka yang sudah perih. “Meskipun kali ini berbeda. Ada seseorang yang harus kau ikuti d
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Laura duduk seorang diri di bangku rooftop Moza Hotel’s, menikmati udara segar sembari menyantap makan siangnya yang sederhana. Pandangannya melayang ke arah cakrawala, berharap ketenangan yang ia cari bisa sedikit ia dapatkan di sela kesibukannya.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Miranda—ibunya—terpampang di layar. Laura menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu.“Ada apa, Ibu?” tanyanya, suaranya datar namun sopan.“Kau di mana, Laura?” suara Miranda terdengar tegas di seberang sana, penuh dengan kekhawatiran yang tertahan.Laura menggigit bibir bawahnya sejenak. “Aku sedang bekerja, Ibu. Tapi, bukan di Allera Hotel’s lagi. Aku sudah mengundurkan diri di sana,” jawabnya tanpa banyak penjelasan.Ada keheningan singkat di seberang sebelum suara Miranda meninggi. “Apa? Kenapa, Laura? Apa yang membuatmu mengundurkan diri di sana?”Laura kembali menghela napas, kali ini lebih dalam. “Ini pilihanku, Ibu. Yang menjalankan hidup ini j
Satu minggu kemudian…Di sebuah kota kecil dekat pantai, Laura duduk di kursi tua di dalam kamar kost-annya yang sederhana.Kost-an itu hanya cukup untuk dirinya sendiri, dengan sebuah kasur kecil di sudut ruangan dan lemari pakaian mungil.Hari-harinya di tempat ini terasa sunyi, tetapi juga memberikan ketenangan yang tidak ia dapatkan selama tinggal bersama Smith.Dering ponsel mengagetkan Laura dari lamunannya. Ia dengan cepat meraih ponsel itu yang tergeletak di atas meja kecil.Ia melihat nomor tak dikenal tertera di layar. Dengan hati-hati, ia menggeser layar untuk menjawab.“Selamat pagi, dengan Nona Laura?” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana, suaranya ramah namun formal.“Ya, benar. Saya Laura,” jawab Laura sambil mengerutkan kening, merasa sedikit penasaran.“Baik. Selamat, Nona Laura. Anda diterima sebagai salah satu resepsionis di hotel kami. Apakah Anda bersedia untuk datang hari ini?”Mata Laura langsung berbinar mendengar kabar itu. Ia hampir tidak percaya
Smith membuka pintu ruang kerja Louis dengan keras hingga suara deritnya memecah keheningan.Buku-buku di rak bergetar tipis, dan Louis yang tengah sibuk di balik meja kerjanya hanya melirik sekilas, seakan kedatangan Smith sudah ia duga."Sebenarnya kau tahu di mana Laura berada, kan?" suara Smith penuh emosi, nyaris seperti tuduhan yang sulit terbantahkan. Wajahnya tampak lelah, garis-garis ketegangan jelas terukir di dahi dan di sekitar matanya.Louis mendongak perlahan. Ia tak langsung menjawab, melainkan menarik napas panjang dan menyungginkan senyum tipis di bibirnya. Ekspresinya datar, nyaris santai, namun ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak."Untuk apa aku menyembunyikan Laura, huh?" ujar Louis sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk di ruangan itu."Toh, kau akan mengetahuinya jika aku benar-benar menyembunyikan dia darimu," lanjutnya, suaranya terdengar ringan tetapi sarkastik.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia masih berdiri di tengah ruangan se
Smith menghentikan mobilnya dengan kasar di area parkir basement apartemen yang diberikan Miranda.Ia keluar dengan cepat, langkahnya penuh kemarahan dan kegelisahan. Napasnya berat, tapi matanya penuh determinasi. Ia tak akan berhenti sampai menemukan Laura.Setelah memasuki lift, Smith berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap angka-angka di panel lift yang perlahan naik. Ia bergumam pelan, suaranya rendah namun penuh emosi."Aku yakin kau belum jauh, Laura. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku. Kau belum mendengar penjelasanku, tapi sudah pergi begitu saja. Hanya karena kau gagal mengandung anakku!"Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelampiasan. Jiwanya terasa terguncang sejak Laura pergi.Baru sehari tanpa istrinya, pikirannya sudah kacau balau. Hatinya seperti tertahan di jurang yang gelap.Sesampainya di lantai apartemen, Smith melangkah cepat menuju pintu dengan alamat yang diberikan Miranda.Ia mengeluarkan kertas kecil dari sakunya dan mengetikkan kata
“Tuan, ada surat untuk Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada hormat sambil menyerahkan amplop tersebut.Smith baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak lelah dan penuh emosi yang belum reda.Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang pelayan menghampirinya dengan cepat, membawa sebuah amplop cokelat di tangan.Smith mengambil amplop itu tanpa banyak bicara, tetapi matanya menyipit penuh curiga. “Di mana Laura? Apa dia sudah kembali?” tanyanya sembari menatap pelayan itu dengan tajam.Pelayan tersebut menundukkan kepalanya sedikit, terlihat ragu sebelum menjawab. “Tidak ada, Tuan. Sejak pagi tadi, Nona Laura tidak kembali.”Smith memijat batang hidungnya, menghela napas berat. Ada perasaan gelisah yang mulai menjalar dalam hatinya.“Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Apakah dia membawa semuanya?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan namun tetap terdengar tegas.Pelayan itu menggeleng. “Masih ada, Tuan. Sepertinya Nona Laura tidak membawa barang-barang
“Di mana Laura?” tanya Smith langsung, nadanya tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.Smith menghampiri Diana, wajahnya tampak gelisah.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan ketika ia teringat bahwa Laura datang lebih dulu ke kantor pagi ini, dengan alasan ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Namun, hingga kini, Laura belum juga menampakkan dirinya.Diana menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri tegak dan menatap Smith.“Laura memang datang lebih awal, setengah jam yang lalu. Tapi, sampai saat ini dia belum juga kembali, Tuan,” jawabnya singkat.Smith mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sebelum berbalik dan melangkah dengan tergesa menuju ruang kerjanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bertanya-tanya, mencoba mencari alasan di balik ketidakhadiran Laura.Sementara itu, Diana menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga. Rupanya Laura d
Laura mengetuk pintu ruang kerja Vincent dengan pelan. Suara ketukan itu memecah keheningan yang dipenuhi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Di balik pintu, Vincent sedang duduk di balik meja kerjanya, memeriksa sejumlah dokumen dengan kaca mata bacanya.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangannya.Laura membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan hati-hati.Ia berdiri beberapa saat di depan meja kerja Vincent, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Vincent mengangkat kepalanya, memandang menantunya itu dengan tatapan tajam, penuh perhatian.Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja dengan rapi. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada yang menyiratkan ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Laura menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Ia memainkan jari-jarinya dengan gelisah, matanya melirik Vincent yang tetap me
Smith mengangkat cangkir kopinya dan melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Ia menghela napas, lalu meletakkan cangkir itu di meja."Aku harus bertemu dengan klienku pukul sepuluh nanti," ucapnya sembari berdiri dari kursinya.Laura mengangkat wajahnya dari piring sarapannya. “Hati-hati di jalan,” balasnya singkat.Smith hanya mengangguk sebelum meraih tasnya dan pergi meninggalkan Laura sendirian di meja makan.Laura memandang piring di depannya, tapi perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia memegangi perutnya yang mulai terasa bergejolak.“Ada apa denganku? Kenapa rasanya tidak enak seperti ini,” gumamnya pelan.Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Tak kuasa, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju wastafel di dapur.Tubuhnya terguncang saat ia memuntahkan isi perutnya. Rasa pahit di tenggorokannya membuatnya semakin tak karuan.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku mual?” tanyanya pada dirinya
“Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge