“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah.
Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh ombak keluhan. "Itu bukan urusanku, Laura." Di titik ini, Laura merasa benar-benar terkepung. Tanpa jalan keluar. Kali ini ia menyerah, menundukkan kepala sejenak sebelum mengangkat wajah dengan tatapan yang penuh kelelahan. "Tuan Smith. Aku tak bisa membayar kerugian ini. Apa yang Anda inginkan dariku selain uang?" Laura bertanya dengan nada yang tercekik oleh rasa pasrah, seakan segala keberaniannya tersedot oleh udara di ruangan itu. Smith hanya menyunggingkan senyum samar, sebuah senyum yang lebih mirip tusukan dingin daripada bentuk simpati. "Kau menyerah, huh? Wanita gigih dan angkuh sepertimu akhirnya menyerah, huh?” ejeknya, suaranya menyusup tajam ke setiap celah ketidakberdayaan Laura. Menahan segala panas di dada yang mulai mendidih, Laura balas menatap Smith dengan tatapan datar dan teguh. “Jika soal uang, aku memang kalah. Tapi, aku selalu bertanggung jawab atas kesalahan yang aku lakukan, Tuan Smith.” Smith mengangkat dagunya, seolah mendapati kemenangan yang begitu manis untuknya. "Intinya, kau menyerah. Kalau begitu, patuh padaku. Lakukan apa pun yang aku inginkan. Jangan pernah membantah semua yang aku perintahkan!" Laura mengerutkan kening, wajahnya berubah kaku dengan tatapan curiga, setiap kata dari pria di depannya itu semakin memperkuat prasangkanya. “Ini semua hanya jebakan yang kau buat, kan? Kau sengaja menjebakku agar aku bisa melakukan apa pun yang kau mau, kan?” Tuduhannya meluncur dengan marah, suaranya terpantul dengan ketegangan yang terbendung. “Licik sekali kau, Smith!” Untuk sesaat, Laura telah melupakan keinginannya untuk menjaga kesopanan di depan pria itu. Sudah terlalu lama dia menahan amarah yang kini menggelayut di balik setiap kata. Smith menatapnya, sorot matanya dingin dan tajam, seolah tak terpengaruh oleh tuduhan itu. "Untuk apa aku harus menggunakan alasan klasik seperti ini untuk menjebakmu? Itu sangat tidak sebanding dengan energiku, Laura." Nada suaranya sinis, hampir berbisik namun menusuk dengan intensitas yang membuat Laura terdiam sesaat, lidahnya kelu. Laura terpaku, pikirannya terjebak di antara kebingungan dan amarah yang mulai membuncah. Jika bukan Smith yang melakukannya, lalu siapa? Siapa yang tega memalsukan tanda tangannya, memerangkapnya dalam skenario rumit ini? Tanpa kata lebih lanjut, Laura memilih untuk mundur. Perasaan tidak nyaman yang semakin menguasainya, tekanan yang memukul-mukul batinnya, mendorongnya untuk segera pergi. Langkahnya berat, tapi tetap ia ayunkan, meninggalkan ruangan itu dengan setiap langkah yang terdengar penuh keraguan dan beban. Smith mengamatinya dalam diam, tak bergeming, matanya tetap terjaga, memperhatikan Laura yang menghilang di balik pintu. Dalam kesunyian yang hanya menyisakan bayangan samar, Smith mengernyit. Tiba-tiba, kegigihan Laura yang bersikeras bukan dia pelakunya seakan menyusup ke dalam benaknya, menimbulkan keraguan samar yang tumbuh seperti racun. Jika bukan Laura yang melakukan ini, dan jelas bukan dia, lalu siapa? Siapa yang berani merancang skenario yang begitu rapi, yang seakan dibuat untuk menghancurkan, bukan hanya Laura, tetapi mungkin dirinya juga? “Apakah Laura memiliki musuh di kantor ini?” gumamnya sembari menatap lekat-lekat dokumen tersebut.Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da
“Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de
“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan. Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu.“Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya.“Aku tidak
“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
“Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de
Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu