“Kalian jawab aku.” Axel memohon. “Apa yang terjadi pada Emmy? Kenapa dia?”“Kenapa?” Josiah menyeringai. “Kenapa tidak kamu tanyakan saja masalah ini pada sahabatmu itu? Wanita licik itu pasti tahu alasannya!”“Wanita licik? Maksudmu Isa?” “Tepat sekali. Pulang dan tanyakan padanya apa yang terjadi pada Emmy. Kami memiliki hal penting lain di sini, jadi aku berharap kamu bisa meninggalkan rumah ini segera.”Axel menggeleng, tidak yakin untuk bertanya pada Isa. Sementara tatapannya terus terarah pada Emmy, dua buah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Orang tua Liz, serta beberapa keluarga lainnya datang untuk mengurus pemakaman Sophia setelah kematiannya dikabarkan oleh Liz.“Axel, apa yang kamu lakukan di sini?”Malory Leonora, seorang pria berusia akhir lima puluhan menatap Axel dengan heran. Dia adalah ayah Liz, dan cukup mengejutkan ketika Axel menyadari dia adalah salah satu kenalan bisnis ayahnya.“Paman Malo, ini rumah Paman?”“Tidak.” Malory menggeleng. “Rumah ibuku. Sebag
“Bagaimana, ada ide?”Leo berada di bawah bayang-bayang rembulan ketika dia berbicara berdua saja dengan Josiah. Keduanya meninggalkan kediaman Liz karena orang tuanya menginap di sana. Emmy masih tinggal karena Liz bersikukuh untuk memiliki teman, dan Lily pulang ditemani Axel.Josiah hanya diam. Di tangannya, dia memainkan pemantik dengan tatapan kosong, tapi Leo tahu Josiah sedang berpikir. Rencana mereka adalah memberikan pelajaran pada Isa. Emmy memang meminta untuk mengakhiri semuanya, namun siapa yang dia ajak bernegosiasi? Mana pernah Josiah melepas mangsanya begitu saja?Jangan harap Josiah meloloskan Isa begitu saja. Wanita sepertinya, kalau tidak diberi pelajaran maka dia akan menganggap semua hal bisa dia dapatkan sesuka hati. Juga, dia tidak akan tahu apa yang dia lakukan selama ini adalah salah.Josiah memang setuju untuk mengeluarkan Emmy dari kota ini. Tapi melepaskan Isa? Tidak, nanti dulu.“Kita harus melakukannya tanpa sepengetahuan Keenan.” Josiah memadamkan api pe
Axel terkejut. Dia melepas pelukannya dari Lily sambil menggeleng. Dia juga memberikan senyuman tak percaya pada Lily sambil terus mengerakkan kepalanya.“Tidak percaya?” Lily mengangkat alis. “Sudah ku bilang, kalian berdua akan selalu menjadi objek tipu dayanya,” sungut Lily, melempar jaket Axel kembali padanya.“Hei, bukan begitu.” Axel menangkap tangan Lily saat gadis itu hendak berjalan kaki lagi. Dia membalut tubuh Lily dengan jaketnya, memperbaiki rambut Lily yang berantakan karena angin dan tersenyum. “Aku bukan tidak percaya. Hanya sedikit shock.”“Cih!” Lily mencibir. “Akui saja kamu tidak percaya padaku,” sungutnya.Wajah Lily sangat menggemaskan menurut Axel. Tingkahnya saat merengut seperti ini membuat Axel ingin menggigit pipi merah Lily. Dia terlalu cantik dan manis, pikir Axel. Dan dia sangat lucu.“Aku percaya padamu,” gumam Axel, mengelus rambut Lily lalu tangannya turun untuk mengusap pipi gadis itu yang membeku dingin. Menyadari kalau kulit Lily terasa sangat dingi
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian tadi,” gumam Liz.Dia melihat Emmy yang tidur memunggunginya, sementara dia masih duduk menyandarkan tubuh di tempat tidur. Emmy berguling, kelopak matanya mengerjap pada langit-langit kamar.“Pembicaraan yang mana?”“Tentang keputusanmu ingin pergi dari kota ini.”Emmy mengangguk. “Ya. Sudah ku putuskan.”“Karena nenekku?”“Tidak juga.” Emmy bangkit, memilih duduk seperti Liz. “Aku merasa semua hal yang terjadi di kota ini sangat buruk dan aku tidak bisa menerimanya. Aku berpikir untuk mencari kehidupan baru, bersama ibuku dan nenekku.”“Kamu mau menyerah begitu saja?”Emmy menelengkan kepala menghadap arah sumber suara Liz. “Menyerah?”“Ya. Kamu memilih menyerah dan pergi sementara saudara tirimu akan menikmati semua rasa sakitmu dengan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Kamu ikhlas?”“Memangnya aku berhak tidak ikhlas?” Emmy memaksa diri tersenyum. “Sudah ku bilang Keenan akan selalu percaya pada Isa. Di matanya, Isa adalah sosok yang
Leo dengan cepat mengumpulkan data daftar klinik di seluruh kota yang jumlahnya ada ribuan. Dia menyeleksi klinik-klinik tersebut dan hanya menyisakan klinik khusus dokter bedah. Leo juga memeriksa apakah ada kemungkinan klinik umum bekerja sama dengan salah satu dokter bedah di kota ini.Data yang tersisa menunjukkan setidaknya ada ratusan klinik yang dikepalai oleh dokter bedah. Leo menyeleksi lagi, mencoret klinik yang berada jauh dari kotanya berada. Kejadian ketika Emmy kehilangan kornea hanya semalam, jadi kemungkinan besar Emmy dibawa ke klinik yang dekat dengan lokasi mereka.Dan kini tersisa setidaknya lima buah klinik.Leo mengetuk jarinya ke meja. Dia meneguk alkoholnya, matanya terarah pada layar laptopnya. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga pagi namun Leo masih tidak merasa mengantuk sama sekali. Sebaliknya, dia terlalu bersemangat untuk segera menyelesaikan kasus ini.“Bagaimana?”Leo melirik Josiah yang juga tidak tidur seperti dirinya. Leo menyandarkan tubuhnya di
Keenan mabuk lagi, untuk kesekian kalinya. Dokter secara terang-terangan mengatakan padanya untuk menghindari alkohol sementara waktu demi mempercepat penyembuhan luka di kakinya. Tapi entah kenapa, tanpa alkohol, hidup Keenan akan terasa hampa.Keputusan Emmy untuk pergi membuat seluruh harapan Keenan hancur. Dia tahu betapa dirinya sudah jatuh ke dalam genggaman Emmy sekarang. Dia mencintai Emmy jauh lebih besar dari yang dia bayangkan selama ini, lebih dalam dan tak mampu tanpanya.Keenan pikir kemarahannya akan membuat semuanya membaik. Dia akan membenci Emmy dan bertahan hidup dengan semua rasa sakit yang diberikan Emmy. Namun Keenan bahkan tidak bisa melakukannya. Dia selalu menggadang-gadang kalau dia akan melupakan gadis itu, tapi kenyataannya adalah, selalu ada Emmy dalam setiap detik kehidupannya.“Hentikan, Keenan!”Cecilia merampas paksa gelas berisi vodca yang masih terisa setengah. Dia berdecak, menatap Keenan sungguh-sungguh. “Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak menya
“Selidiki semua tentang dokter Richard dan apa yang dia lakukan malam ketika Emmy menghilang,” kata Josiah lewat sambungan telepon pada Leo. “Emmy bilang dialah sosok yang mengoperasinya.”“Sungguh? Dia ingat?”“Ya. Aku memperdengarkan suara dokter Ae Ri dan juga dokter Richard dan Emmy memilih dokter Richard sebagai pelaku. Sebisa mungkin, kumpulkan data dan bukti sebanyak-banyaknya tentang pria itu.”“Well, aku akan melakukannya,” kata Leo.“Bagaimana dengan Keenan?” tanya Josiah lagi.“Dia cukup baik. Kondisinya bagus, kesehatannya makin membaik. Dia sempat marah besar padaku setelah beberapa malam lalu aku memutus sambungan telepon kami secara sepihak.”“Kenapa?” Josiah mengernyit.“Dia berusaha bertanya-tanya soal dirimu dan aku. Dia mempertanyakan hubungan kita dan Emmy, bahkan sempat bertanya apakah aku menyukai Emmy atau tidak.”“Dia benar-benar sakit,” sungut Josiah jengkel. “Tapi pastikan dia baik-baik saja, oke?”“Kamu sangat perhatian padanya, ya?” ejek Leo. “Kenapa tidak
Memangnya kamu siapa? pikir Isa. Kamu hanya pelayan. Kamu hanya suruhan Keenan dan tanpa Keenan kamu bukanlah siapa-siapa. Jangan terlalu meninggikan hati, bodoh. Kamu akan menerima akibat dari kecerobohanmu ini.“Kenapa? Takut?” ejek Leo.Tiba-tiba pintu ruangan Keenan terbuka. Axel berdiri bersisian dengan Keenan yang duduk di kursi roda. Karena tak mau rencananya terganggu dan Keenan curiga, terpaksa Leo mengotori tangannya dengan membantu Isa berdiri.“Maafkan aku, Tuan Keenan. Aku tidak sengaja menabrak Nona Isa. Aku berjalan sambil memeriksa dokumen di tanganku dan aku berpikir Nona Isa akan menghindar. Tapi entah kenapa dia malah menabrakku,” sahut Leo dengan tenang.“Leo.” Keenan menatapnya. “Mulai sekarang, tolong lebih peka terhadap Isa. Dia sekarang buta dan tidak bisa melihat.”“Sungguh?” Leo pura-pura terkejut, membuat Axel mengernyit oleh lakonnya. “Maaf Tuan, maaf Nona Isa. Aku tidak tahu kalau Anda buta. Maafkan aku.”Leo menundukkan badannya pada Isa, namun di balik s