Memangnya kamu siapa? pikir Isa. Kamu hanya pelayan. Kamu hanya suruhan Keenan dan tanpa Keenan kamu bukanlah siapa-siapa. Jangan terlalu meninggikan hati, bodoh. Kamu akan menerima akibat dari kecerobohanmu ini.“Kenapa? Takut?” ejek Leo.Tiba-tiba pintu ruangan Keenan terbuka. Axel berdiri bersisian dengan Keenan yang duduk di kursi roda. Karena tak mau rencananya terganggu dan Keenan curiga, terpaksa Leo mengotori tangannya dengan membantu Isa berdiri.“Maafkan aku, Tuan Keenan. Aku tidak sengaja menabrak Nona Isa. Aku berjalan sambil memeriksa dokumen di tanganku dan aku berpikir Nona Isa akan menghindar. Tapi entah kenapa dia malah menabrakku,” sahut Leo dengan tenang.“Leo.” Keenan menatapnya. “Mulai sekarang, tolong lebih peka terhadap Isa. Dia sekarang buta dan tidak bisa melihat.”“Sungguh?” Leo pura-pura terkejut, membuat Axel mengernyit oleh lakonnya. “Maaf Tuan, maaf Nona Isa. Aku tidak tahu kalau Anda buta. Maafkan aku.”Leo menundukkan badannya pada Isa, namun di balik s
Sepulang dari perusahaan Keenan, Isa berjalan hilir mudik di kamarnya. Semua rasa marah dan kesal yang membubung di kepalanya nyaris tak tertahan. Axel secara terang-terangan mulai mencurigainya, bahkan tadi dia dengan sengaja menggantikan Keenan untuk merawat lukanya.Leo juga! Pria sialan itu pun dengan sengaja membuatnya tersandung hanya untuk menguji apakah dia memang buta atau tidak. Sialan! Para pria itu membuat darah Isa mendidih.Tak lama, ponselnya bergetar. Isa buru-buru mengambilnya dari atas tempat tidur lalu berkata, “Bagaimana, sudah kamu lakukan?”“Aku sudah mengirimnya ke ponselmu. Percayalah, berita ini sangat luar biasa!”Isa menengok layar ponselnya segera setelah panggilan terputus. Begitu membaca ‘kabar’ yang diberikan pria itu, mata Isa membelalak. Dia bahkan harus membaca judulnya sebanyak dua kali agar dia yakin jika dia tidak salah.“Axel bukan anak kandung David Michell dan juga Amy Achilles?"Isa menganga, tersenyum, lalu tertawa keras-keras. Sungguh, ini ad
“Aku tidak melakukannya.”Lily mencegat Axel saat dia malah memilih meninggalkan Lily sewaktu panggilannya dengan ayahnya selesai. Leo melintas di hadapan mereka, menatap keduanya bergantian. “Aku akan masuk duluan,” katanya.Lily masih memegang tangan Axel ketika Leo sudah masuk ke dalam rumah. Dia mengamati wajah Axel yang memerah dan pundaknya yang naik turun. Lily tahu seharusnya Axel sangat marah dan malu sekarang. Tapi sungguh, bukan dia yang melakukan ini semua.“Percayalah padaku, Axel. Aku tidak melakukannya. Bukan aku yang menyebarkan berita ini.”Axel juga tahu itu. Tapi saat ini, dia sedang tidak ingin bicara. Dia dan Leo berjanji untuk berkumpul di rumah Liz untuk membahas kelanjutan rencana mereka, tapi sepertinya dia tidak bisa melakukannya sekarang. Masalah yang menimpanya terlalu rumit dan membuat mentalnya terganggu.Rasa percaya diri Axel menguap seketika. Komentar-komentar yang dibacanya terus bergerak di otaknya, membangkitkan kembali sensasi sakit oleh berita itu
Ivy sudah hampir seminggu tidak bertemu Leo. Setiap hari gadis itu menunggu di apartemen Leo, namun dia tidak pernah pulang. Bahkan tiga hari terakhir Ivy memilih tinggal di sana karena berpikir Leo mungkin pulang di jam subuh. Tapi nihil! Leo tidak pulang sama sekali.Sejak Ivy menolak pengakuan cinta dari Leo, pria itu terus mengabaikannya. Ivy kini dipenuhi rasa menyesal dan sedih. Dia tidak menyangka kalau Leo tak akan memberinya kesempatan kedua. Namun sungguh, Ivy tidak sepenuhnya berniat menolak Leo. Ivy hanya merasa dirinya telalu rendah untuk sosok pria hebat seperti Leo.Sambil mengumpukan belanjaannya, Ivy merutuk pada dirinya sendiri. Hari ini, dia berniat untuk memasak makan malam untuk Leo dan berharap pria itu datang ke apartemen. Ivy sudah menyelesaikan tugas akhirnya, jadi dia memiliki waktu yang luang selain untuk mengurus sang ibu.Ivy memilih-milih daging dari dalam freezer di sebuah pusat perbelanjaan. Tak sengaja dia menabrak seseorang, dan begitu melihatnya untu
Leo berlari cepat menyusuri koridor rumah sakit setelah seseorang yang mengaku sebagai pengelola salah satu pusat perbelanjaan melakukan panggilan padanya. Dia mengabari kalau ada seorang wanita yang terluka parah tergeletak begitu saja di belakang bangunan, dan nomor yang terdaftar dalam panggilan cepat di ponsel wanita itu adalah nomor Leo.Bertemu dengan beberapa orang berseragam serupa, Leo menyerbu masuk. Kakinya gemetar melihat Ivy terbaring di sana, diam tak bergerak. Pundak Leo naik turun, golakan amarah memenuhi dadanya. Sewaktu dia menggenggam tangan Ivy, tiga orang dari beberapa orang yang berdiri di luar memilih masuk ke ruang rawat Ivy.“Kalian yang meneleponku?” tanya Leo, masih dengan nafas yang belum sepenuhnya teratur.Salah satu mengangguk dan berkata, “Ya, Tuan. Saya manager pengelola pusat perbelanjaan tempat dimana Nona Ivy ditemukan terluka parah.”“Apa yang terjadi dengannya?”“Kami masih menyelidikinya, Tuan,” sahutnya. “Kamera pengawas tidak menjangkau area ke
Axel mabuk berat. Di tengah-tengah hingar bingar suara musik yang berdentum memekakkan telinga, Axel menenggak setidaknya tiga botol alkohol. Matanya mulai berkunang-kunang, namun dia masih menyempatkan diri untuk membuka media sosialnya walau tadi Keenan lewat telepon sempat berkata agar dia tidak membuka internet selama beberapa hari ke depan.Tapi Axel penasaran. Dia tahu dirinya akan sakit hati, tapi Axel tetap ngotot untuk membacanya. Dan semua komentar negatif itu masih terus bertebaran dalam setiap postingan mengenai dirinya. “Memangnya apa yang salah dengan lahir dari rahim seorang pelacur?” gumam Axel, tertawa pahit dengan lucunya kenyataan hidup miliknya. “Memangnya aku bisa memilih harus dilahirkan dari rahim siapa? Memangnya aku punya kekuatan itu?”Dia kembali meminum alkohol pekat itu seraya memicingkan mata. Walau kepala Axel sudah berdenyut dan pandangan matanya benar-benar berbayang, entah kenapa Axel merasa enggan meninggalkan tempat itu atau sekedar mengurangi porsi
Leo segera mengetahui dalang di balik terlukanya Ivy begitu melihat kamera pengawas dalam gedung menangkap aktivitas Isa dan Ivy ketika Ivy tengah berbelanja. Walau ditangkap oleh kamera yang cukup jauh dan gambar itu tampak samar, Leo segera tahu kalau pelakunya adalah Isa.Dengan amarah yang menggebu-gebu, Leo meninggalkan ruangan Ivy namun dihalangi oleh Josiah tepat di lobi masuk. Josiah menghadangnya saat Leo benar-benar berniat menghabisi Isa saat ini juga.“Minggir!” ujar Leo dingin.“Aku tahu kamu marah, tapi melenyapkannya sekarang tidak akan membuat permainan kita menarik.”“Aku tak peduli!” Leo menatapnya. “Aku hanya ingin dia menerima rasa sakit yang sama, atau bahkan lebih seperti yang dia lakukan pada Ivy.”“Dia akan mendapatkannya. Tapi tidak sekarang.”“Kenapa?”“Kita sudah merencanakan semua ini sejak awal, Leo. Bukan seperti ini cara kerjanya.”“Tapi Ivy...” “Aku tahu. Ivy, Emmy, Axel, dan aku yakin masih akan ada korban berikutnya lagi. Jika kita melenyapkannya, it
Pagi-pagi sekali Lily membuka pintu menuju balkon apartemen Axel. Dia menemani Axel semalaman, mendengar celotehan pria itu dalam tidurnya dan mengantarnya ke toilet sebanyak tiga kali saat Axel mendadak ingin muntah.Angin pagi membelai kulit Lily. Ini masih pukul empat pagi dan cuaca sedang mendung, terbukti dari beberapa kilatan cahaya yang terlihat di langit. Axel sudah tidur dengan nyenyak setelah banyak drama semalaman. Namun berbanding terbalik dengan Axel, Lily malah tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.Dia memikirkan ciuman Axel semalaman. Ciuman yang Lily pikir akan mengubah segalanya malah berhenti begitu saja. Axel enggan melakukannya karena dia pikir Lily tidak menginginkan ciuman itu. Wajar saja, karena Lily tak pernah berniat mengungkapkan isi hatinya sebab dia sendiri masih sedikit bingung.Tapi dia menginginkan Axel. ~Ivy tak bisa bicara pada ibunya untuk yang terakhir kali ketika dia para petugas rumah sakit mengatakan ibunya ada di ruang mayat. Mereka sudah