Ivy sudah hampir seminggu tidak bertemu Leo. Setiap hari gadis itu menunggu di apartemen Leo, namun dia tidak pernah pulang. Bahkan tiga hari terakhir Ivy memilih tinggal di sana karena berpikir Leo mungkin pulang di jam subuh. Tapi nihil! Leo tidak pulang sama sekali.Sejak Ivy menolak pengakuan cinta dari Leo, pria itu terus mengabaikannya. Ivy kini dipenuhi rasa menyesal dan sedih. Dia tidak menyangka kalau Leo tak akan memberinya kesempatan kedua. Namun sungguh, Ivy tidak sepenuhnya berniat menolak Leo. Ivy hanya merasa dirinya telalu rendah untuk sosok pria hebat seperti Leo.Sambil mengumpukan belanjaannya, Ivy merutuk pada dirinya sendiri. Hari ini, dia berniat untuk memasak makan malam untuk Leo dan berharap pria itu datang ke apartemen. Ivy sudah menyelesaikan tugas akhirnya, jadi dia memiliki waktu yang luang selain untuk mengurus sang ibu.Ivy memilih-milih daging dari dalam freezer di sebuah pusat perbelanjaan. Tak sengaja dia menabrak seseorang, dan begitu melihatnya untu
Leo berlari cepat menyusuri koridor rumah sakit setelah seseorang yang mengaku sebagai pengelola salah satu pusat perbelanjaan melakukan panggilan padanya. Dia mengabari kalau ada seorang wanita yang terluka parah tergeletak begitu saja di belakang bangunan, dan nomor yang terdaftar dalam panggilan cepat di ponsel wanita itu adalah nomor Leo.Bertemu dengan beberapa orang berseragam serupa, Leo menyerbu masuk. Kakinya gemetar melihat Ivy terbaring di sana, diam tak bergerak. Pundak Leo naik turun, golakan amarah memenuhi dadanya. Sewaktu dia menggenggam tangan Ivy, tiga orang dari beberapa orang yang berdiri di luar memilih masuk ke ruang rawat Ivy.“Kalian yang meneleponku?” tanya Leo, masih dengan nafas yang belum sepenuhnya teratur.Salah satu mengangguk dan berkata, “Ya, Tuan. Saya manager pengelola pusat perbelanjaan tempat dimana Nona Ivy ditemukan terluka parah.”“Apa yang terjadi dengannya?”“Kami masih menyelidikinya, Tuan,” sahutnya. “Kamera pengawas tidak menjangkau area ke
Axel mabuk berat. Di tengah-tengah hingar bingar suara musik yang berdentum memekakkan telinga, Axel menenggak setidaknya tiga botol alkohol. Matanya mulai berkunang-kunang, namun dia masih menyempatkan diri untuk membuka media sosialnya walau tadi Keenan lewat telepon sempat berkata agar dia tidak membuka internet selama beberapa hari ke depan.Tapi Axel penasaran. Dia tahu dirinya akan sakit hati, tapi Axel tetap ngotot untuk membacanya. Dan semua komentar negatif itu masih terus bertebaran dalam setiap postingan mengenai dirinya. “Memangnya apa yang salah dengan lahir dari rahim seorang pelacur?” gumam Axel, tertawa pahit dengan lucunya kenyataan hidup miliknya. “Memangnya aku bisa memilih harus dilahirkan dari rahim siapa? Memangnya aku punya kekuatan itu?”Dia kembali meminum alkohol pekat itu seraya memicingkan mata. Walau kepala Axel sudah berdenyut dan pandangan matanya benar-benar berbayang, entah kenapa Axel merasa enggan meninggalkan tempat itu atau sekedar mengurangi porsi
Leo segera mengetahui dalang di balik terlukanya Ivy begitu melihat kamera pengawas dalam gedung menangkap aktivitas Isa dan Ivy ketika Ivy tengah berbelanja. Walau ditangkap oleh kamera yang cukup jauh dan gambar itu tampak samar, Leo segera tahu kalau pelakunya adalah Isa.Dengan amarah yang menggebu-gebu, Leo meninggalkan ruangan Ivy namun dihalangi oleh Josiah tepat di lobi masuk. Josiah menghadangnya saat Leo benar-benar berniat menghabisi Isa saat ini juga.“Minggir!” ujar Leo dingin.“Aku tahu kamu marah, tapi melenyapkannya sekarang tidak akan membuat permainan kita menarik.”“Aku tak peduli!” Leo menatapnya. “Aku hanya ingin dia menerima rasa sakit yang sama, atau bahkan lebih seperti yang dia lakukan pada Ivy.”“Dia akan mendapatkannya. Tapi tidak sekarang.”“Kenapa?”“Kita sudah merencanakan semua ini sejak awal, Leo. Bukan seperti ini cara kerjanya.”“Tapi Ivy...” “Aku tahu. Ivy, Emmy, Axel, dan aku yakin masih akan ada korban berikutnya lagi. Jika kita melenyapkannya, it
Pagi-pagi sekali Lily membuka pintu menuju balkon apartemen Axel. Dia menemani Axel semalaman, mendengar celotehan pria itu dalam tidurnya dan mengantarnya ke toilet sebanyak tiga kali saat Axel mendadak ingin muntah.Angin pagi membelai kulit Lily. Ini masih pukul empat pagi dan cuaca sedang mendung, terbukti dari beberapa kilatan cahaya yang terlihat di langit. Axel sudah tidur dengan nyenyak setelah banyak drama semalaman. Namun berbanding terbalik dengan Axel, Lily malah tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.Dia memikirkan ciuman Axel semalaman. Ciuman yang Lily pikir akan mengubah segalanya malah berhenti begitu saja. Axel enggan melakukannya karena dia pikir Lily tidak menginginkan ciuman itu. Wajar saja, karena Lily tak pernah berniat mengungkapkan isi hatinya sebab dia sendiri masih sedikit bingung.Tapi dia menginginkan Axel. ~Ivy tak bisa bicara pada ibunya untuk yang terakhir kali ketika dia para petugas rumah sakit mengatakan ibunya ada di ruang mayat. Mereka sudah
“Josiah, aku tak bisa menemanimu malam ini untuk melancarkan rencana kita.”Josiah membuka pintu menuju kebun belakang rumah Liz. Sambil bicara dengan Leo lewat sambungan telepon, Josiah mencari-cari keberadaan Liz yang sejak tadi tidak terlihat olehnya.“Apa maksudmu?” tanya Josiah.“Ibu Ivy meninggal. Malam ini aku akan menemaninya.”“Astaga.” Josiah mengurut keningnya. “Kenapa ada banyak sekali kejadian buruk pada kita akhir-akhir ini?”“Itu bisa dibilang bukan kebetulan,” sahut Leo. “Ibunya memang sudah sakit dan cukup parah. Ini mungkin sudah waktu yang tepat bagi ibunya.”“Baiklah.” Josiah menghela nafas. “Aku sekarang bersama Ted. Aku akan lakukan rencana ini bersamanya.”“Trims, Bro.”Dan panggilan mereka terputus. Josiah mengedarkan pandangannya, mencari kemana Liz pergi. Sejak tadi dia tidak melihat Liz dan Emmy hanya bilang dia ada di belakang. Tapi Josiah tidak melihat apa pun.Josiah berjalan masuk ke dalam kebun Sophia. Dia mengintip ke dalam lumbung, tapi Liz tak ada di
Leo masuk ke dalam sebuah rumah yang sederhana. Dinding-dinding kayu terlihat sangat rapuh dimakan usia dan penuh bekas paku yang menancap. Catnya yang berwarna biru sudah nyaris hilang, terkelupas dimakan usia.Dia tidak menemukan siapa-siapa kecuali Ivy yang duduk sendirian di ruang tengah. Saat Leo mengintip, Ivy sedang duduk di sofa, menengadah menatap dinding tepat ke sebuah pigura fotonya dan seorang wanita yang sepertinya ibu Ivy.Ivy mengenakan pakaian serba hitam. Dan walau sudah berusaha bergerak cepat, sepertinya dia terlambat dan ibu Ivy pasti sudah dikubur. Leo berjalan pelan, berdiri tepat di hadapan Ivy. Dia menatap gadis yang bahkan tak mengedipkan matanya itu lalu bersimpuh di hadapannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Leo lembut.Ivy tidak menyahut. Dia terus menengadah menatap pigura foto dirinya dan ibunya yang tertempel di dinding.“Maafkan aku,” desis Leo penuh penyesalan. “Maaf karena aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu. Maaf sudah membuatmu terluka, Ivy.”Akhirny
Isa tidak terlalu yakin dengan apa yang dilihatnya, karena begitu dia melebarkan pupil matanya, bayangan pria itu menghilang segera. Bak asap yang dibawa pergi oleh angin, pria itu menghilang begitu saja. Isa mengucek matanya, memikirkan kemungkinan buruk itu terjadi.Tapi tidak!Diane yang mengatakan secara langsung kalau dia sudah melenyapkan Ted. Pria sialan itu tak akan mungkin bangkit dari kuburnya hanya untuk menunjukkan diri pada Isa. Isa menarik nafasnya, suasana di kasino semakin ramai dan dia memutuskan kalau dia hanya salah lihat.Gadis itu menyibukkan diri diantara para pria sambil menunggu gilirannya untuk bermain. Matanya dengan jeli memilah-milah pria mana yang benar-benar kaya atau hanya pura-pura kaya untuk bisa merasakan bagaimana atmosfir kasino yang sesungguhnya.Tak masalah bagi Isa saat Diane mengingatkannya soal berhemat. Ayahnya, Simone, kini hanya diam di atas tempat tidur. Tubuhnya telentang tak berdaya, sehingga ke mana-mana harus mengandalkan perawat yang g