Leo masuk ke dalam sebuah rumah yang sederhana. Dinding-dinding kayu terlihat sangat rapuh dimakan usia dan penuh bekas paku yang menancap. Catnya yang berwarna biru sudah nyaris hilang, terkelupas dimakan usia.Dia tidak menemukan siapa-siapa kecuali Ivy yang duduk sendirian di ruang tengah. Saat Leo mengintip, Ivy sedang duduk di sofa, menengadah menatap dinding tepat ke sebuah pigura fotonya dan seorang wanita yang sepertinya ibu Ivy.Ivy mengenakan pakaian serba hitam. Dan walau sudah berusaha bergerak cepat, sepertinya dia terlambat dan ibu Ivy pasti sudah dikubur. Leo berjalan pelan, berdiri tepat di hadapan Ivy. Dia menatap gadis yang bahkan tak mengedipkan matanya itu lalu bersimpuh di hadapannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Leo lembut.Ivy tidak menyahut. Dia terus menengadah menatap pigura foto dirinya dan ibunya yang tertempel di dinding.“Maafkan aku,” desis Leo penuh penyesalan. “Maaf karena aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu. Maaf sudah membuatmu terluka, Ivy.”Akhirny
Isa tidak terlalu yakin dengan apa yang dilihatnya, karena begitu dia melebarkan pupil matanya, bayangan pria itu menghilang segera. Bak asap yang dibawa pergi oleh angin, pria itu menghilang begitu saja. Isa mengucek matanya, memikirkan kemungkinan buruk itu terjadi.Tapi tidak!Diane yang mengatakan secara langsung kalau dia sudah melenyapkan Ted. Pria sialan itu tak akan mungkin bangkit dari kuburnya hanya untuk menunjukkan diri pada Isa. Isa menarik nafasnya, suasana di kasino semakin ramai dan dia memutuskan kalau dia hanya salah lihat.Gadis itu menyibukkan diri diantara para pria sambil menunggu gilirannya untuk bermain. Matanya dengan jeli memilah-milah pria mana yang benar-benar kaya atau hanya pura-pura kaya untuk bisa merasakan bagaimana atmosfir kasino yang sesungguhnya.Tak masalah bagi Isa saat Diane mengingatkannya soal berhemat. Ayahnya, Simone, kini hanya diam di atas tempat tidur. Tubuhnya telentang tak berdaya, sehingga ke mana-mana harus mengandalkan perawat yang g
Sialan pria ini, pikir Isa ketika menyadari si pria oriental meletakkan tubuhnya begitu saja di atas tanah yang lengket. Sial sial sial, pekik Isa dalam hati. Kalau saja bukan karena kartu hitam itu, aku tidak akan sudi kotor-kotoran seperti ini.Angin bertiup dan udara malam menjadi jauh lebih dingin dan lembab. Karena kasino itu belum memiliki penginapan, beberapa pasangan terlihat keluar entah dari mana dan dalam keadaan yang berantakan.Itu pemadangan yang lazim. Di pusat kota seperti ini, kasino, bar, atau tempat malam lainnya akan selalu disuguhi pemandangan semacam ini. Para pengunjung yang bergairah sedang menikmati semua kesenangan dari sisi lain dunia malam dan tak soal dimana pun mereka melakukannya.Seperti yang saat ini dilakukan oleh Isa dan pria oriental itu.Dia dibaringkan begitu saja, tanpa alas, tanpa atap. Tubuhnya disambut oleh dinginnya tanah dan ditutupi pemandangan indah dari langit yang cerah dan dipenuhi bintang. Untung saja pria yang bersamanya malam ini kay
“Ponselmu berbunyi.” Liz mengingatkan Emmy, dengan suara yang parau karena menahan ngantuk.Emmy tahu. Dia belum tidur sama sekali walau dia tau seharusnya malam sudah sangat larut. Emmy menunggu Josiah, dia ingin tahu bagaimana perkembangan rencananya. Tapi getar ponsel di atas nakas memang mengganggunya sejak tadi dan dugaan Emmy itu bukan berasal dari orang-orang terdekatnya.Mereka yang tahu Emmy buta tak pernah melakukan panggilan lagi selain pada ponsel Liz. Tapi sejak tadi, entah sudah berapa panggilan masuk ke ponselnya. Emmy bahkan tidak bisa menghitungnya.Liz menggosok matanya. Dia duduk, melihat layar ponsel Emmy dan melihat nama pemanggil. Dia mengernyit saat membaca nama Keenan tertera di sana lalu melihat jam dinding yang menunjukkan angka dua pagi.“Keenan,” bisik Liz, sepenuhnya sudah sadar.Dugaan Emmy benar. Ternyata yang meneleponnya berulang kali adalah Keenan.“Mau aku angkat?” tanya Liz lagi.Emmy menggenggam erat selimutnya. Di satu sisi, dia tidak ingin berhub
Liz jelas merasa bersalah. Sejak tadi dia berdiri di ambang pintu karena Josiah sudah datang, namun mendengar seharusnya pembicaraan itu sedikit serius, Liz mengurungkan niatnya untuk merusak suasana itu. Dan pada akhirnya, dia dan Josiah sama-sama berdiri di sana dan mencuri dengar semua pembicaraan itu.Rahang Josiah mengetat. Dia terlihat melonggarkan dasinya lalu membuka jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya. Dia tidak suka mendengar tangisan Emmy, namun tangisan itu juga memberinya penjelasan kalau perasaan Emmy tak pernah berubah dalam hal mencintai Keenan.Josiah memilih keluar lewat pintu belakang, membuat Liz tergoda untuk mengikutinya. Josiah duduk diantara hamparan rumput dengan wajah penuh tanda tanya yang tak diketahui oleh Liz. Dengan memberanikan diri, Liz duduk di samping Josiah.“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukannya,” kata Liz, memecah keheningan diantara mereka berdua. “Aku hanya berpikir Emmy mungkin ingin mendengar suara Keenan, itu sebabnya aku mengan
Isa membuka matanya. Sengatan dingin di kulitnya membuat tubuhnya menggigil dan mulutnya terkatup. Gigi Isa terdengar gemeratak saat dia mencoba melawan suhu yang menurun drastis seiring dengan semakin bertambahnya malam.Tubuhnya lebam akibat benturan saat dia jatuh. Dia mencoba tenang, menelentangkan tubuhnya yang kotor di atas tumpukan tanah yang lengket dan lembab. Mata Isa menatap jauh ke langit dan dia mulai berpikir. Siapa pria itu? Apa yang dia inginkan darinya? Dia bukan Josiah, juga bukan Leo apalagi Axel.Lalu siapa?Apakah dia salah satu orang suruhan Josiah?Jadi mereka mulau melancarkan rencana mereka padanya?Isa menggerakkan tubuhnya lagi, mencoba untuk duduk. Dan angannya memutar ingatan tentang pria yang dibunuh Diane. Kenapa bisa dia muncul sebanyak dua kali dalam imajinasinya? Apakah setan itu juga sedang menuntut pembalasan darinya?“Sialan!” desis Isa sambil menahan rasa sakit.Dia mengalihkan pandangannya lagi. Tanah bekas galian itu sangat terjal dan licin. Tapi
Isa berendam selama berjam-jam dalam bath up nya. Walau kulitnya mulai mengeriput, dia tak mau bangkit dari sana. Wajah Isa menunjukkan binar kemarahan yang luar biasa. Sorot matanya tajam, dia bahkan dia tidak berkedip sama sekali dan hanya diam menatap dinding kamar mandi.Dia harus melakukan sesuatu. Secepatnya, dia harus menikah dengan Keenan agar posisinya aman. Keenan tak boleh tahu soal kebohongannya sebelum mereka menikah. Tapi bagaimana cara menjebak pria itu? Sampai sekarang, dia bahkan tidak mendengar apa pun soal pernikahan dan itu membuat darahnya mendidih.“Argh!” Isa berteriak sembari memercikkan air dalam bath up. “Berpikir Isa. Berpikirlah. Apa yang bisa kamu lakukan agar Keenan tergerak untuk menikahimu?”Wanita itu memaksa otaknya bekerja. Tapi buntu! Untuk pertama kalinya dalam hidup Isa tak tahu apa yang harus dia lakukan. Wanita itu meringkuk dalam bath up dengan nafas yang tersengal karena kemarahan yang menggebu-gebu.Tiba-tiba, Diane masuk dan duduk santai di
Hati Cecilia begitu teriris mendengar kenyataan pahit itu. Tangannya bergetar memegang pundak Keenan. Cecilia harus mengakui, dibalik kekejaman Isa terhadap Emmy, dia memang sudah melakukan banyak hal terhadap Keenan. Sekarang Cecilia mengerti kenapa Isa begitu tidak menyukai Emmy.Perasaan cinta dalam diri Isa-lah yang memaksanya melakukan semua tindakan itu. Isa hanya mau menjadi satu-satunya pusat perhatian Keenan, sama seperti kebanyakan wanita yang sedang jatuh cinta. Walau dia tidak pernah membenarkan sikap Isa, tapi detik ini dia tahu kalau Isa tidak seburuk yang dia gambarkan selama ini.Dan dia sungguh menyesal.“Maafkan aku, Mom.” Isa menangis, diam-diam mengintip ke arah pintu. “Tapi aku tidak pernah menyesal melakukan semua ini.”“Hentikan omong kosong ini!” Diane berteriak lagi.“Tenanglah, Nyonya.” Sang Dokter berdiri untuk menengahi. “Saat ini kondisi psikologis Nona Isa perlu dijaga. Aku tahu Anda khawatir, tapi berdebat tak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, kita