Axel mengerjap. Dia memutar tubuh Lily mengikuti alunan musik dan mendekapnya lagi dalam pelukannya. “Tapi kamu menolakku.”“Dulu aku bodoh,” aku Lily.“Sekarang?”“Jauh lebih bodoh,” sungutnya lagi.Axel tertawa kecil. Tangannya menyusuri setiap lekuk tubuh Lily dan gadis itu membiarkannya. Lily terus menatap Axel dalam perasaan yang menggebu-gebu. Sekarang Lily sadar betapa atraktifnya Axel. Segala sesuatu tentang pria itu begitu menyita perhatiannya dan dia mulai berpikir kalau Axel sangat cocok dengannya.Lily memejamkan matanya. Dia mendekat, membenamkan wajahnya dalam pelukan Axel. Waktu terasa berhenti dan seakan tak ada orang lain bersama mereka di sana. Musik tersengar sangat lembut dan suasana itu begitu ajaib.Dia melemaskan dirinya dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam dekapan Axel yang terasa sangat pas baginya. Saat jemari Axel membelai pipinya, Lily menengadah menatap pria itu.“Ayo kembali,” kata Axel dengan suara parau.Lily tersenyum, lalu mengangguk. “Aku sudah menu
“Apa ini semua?”Axel membanting pintu kamar Keenan, menemukan sepupunya sedang duduk santai di atas kursi roda sembari membaca buku.“Kamu tahu kalau keluarga melakukan pertemuan membahas pernikahanmu dan Isa, bukan? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Kenapa menyetujuinya?”Keenan menutup bukunya. Tidak, tapi dia sama sekali tidak tahu. Jadi ibunya memutuskan melakukan pertemuan keluarga? Cepat sekali respon Cecilia ternyata.“Bukankah sekarang kamu tahu?” Keenan memutar kursi rodanya menghadap Axel. “Kenapa? Kamu keberatan?”“Apa kamu mendadak bodoh?” Axel mengernyit. “Kamu setuju dengan pernikahan ini?”“Memangnya aku punya pilihan lain?”“Jelas saja punya,” pekik Axel. “Kamu manusia yang bebas, punya pemikiran sendiri. Sejak kapan kamu mendadak lemah seolah kamu tidak memiliki power?”“Lihat aku.” Keenan menyeringai padanya. “Dengan keadaanku yang seperti ini, apakah aku masih memiliki power itu?”“Ini hanya sementara dan dokter sudah menegaskannya!”“Sudah berapa bulan sejak kecela
Begitu mendengar kabar kalau Keenan akan melangsungkan pernikahan dengan Isa, Emmy menutup diri. Dia diam dan tak mau bicara, bahkan hanya keluar kamar kalau dia perlu saja. Dia tidak meladeni siapa pun yang mengajaknya bicara dan Emmy meleburkan dirinya dalam kesedihan yang amat dalam.Hatinya patah, perasaannya hancur berkeping-keping. Ternyata, pada akhirnya Keenan pun setuju atas perceraian ini dan memilih menikah dengan Isa. Emmy tidak menyangka kalau semua ini akan terjadi dalam waktu yang sangat cepat.Mendadak Emmy tak sanggup tinggal di sana, di tempat dimana dia menginjak tanah yang sama dengan Keenan. Emmy menangis sejadi-jadinya, merasakan kepedihan yang luar biasa dalam hatinya.“Mereka punya cukup banyak rencana,” gumam Josiah.Mereka berkumpul di ruang tengah rumah Liz. Axel mengangguk, sedikit terpukul oleh tangisan Emmy. Dialah yang membawa kabar itu pada mereka, namun Axel belum selesai bicara saat Emmy memilih kembali ke kamar.“Ini rekapan transaksi yang masuk ke r
Dokter Richard baru saja menyudahi pekerjaannya yang melelahkan di rumah sakit. Dia berjalan masuk ke dalam sedannya. Sesaat sebelum menyalakan mesin, dia membuka ponselnya lalu buru-buru membuka galeri.Ada puluhan foto telanjang Isa yang sengaja dikirim wanita itu padanya sebagai konpensasi atas tidak hadirnya Isa untuk melayani dokter Richard seperti kesepakatan mereka sebelumnya. Karena Isa sedang dalam masa pura-pura buta, dia tidak bisa kemana-mana dan dokter Richard memakluminya.Sisi seksual pria itu mulai merespons ketika satu per satu foto telanjang Isa terpampang di layar ponselnya. Dia memejamkan matanya, seperti biasa dia perlahan melakukan perjalanan fantasi seksualnya dalam mobil.Dia menggosok lebih cepat, dan begitu dia akan mengambil tissue, dokter Richard terperanjat saat menyadari jika dia tidak sendirian dalam sedannya. Di bangku belakang, duduk seorang pria dalam kegelapan dan itu membuatnya ketakutan setengah mati.Namun begitu dia akan membuka pintu, Josiah men
“Orang terakhir!”Ted melempar asisten rumah tangga Isa ke dalam sebuah ruangan setelah mengikat kedua tangannya dan menutup mulutnya. Setidaknya dalam ruangan itu ada tujuh orang asisten rumah tangga yang menerima perlakuan sama, yaitu tangan diikat dan mulut disumpal.“Well, bagaimana dengan Diane?” tanya Leo.“Dia ada di luar. Malam ini perusahaan mereka sedang rapat mendadak untuk penentuan pemilihan direktur baru karena para pemegang saham sudah mengancam Diane. Aku rasa dia tidak akan pulang dalam waktu dekat.”“Bagus sekali.” Leo mengangguk, lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar. “Sekarang, waktunya pertunjukan!”Kedua pria itu masuk ke dalam rumah Isa dengan mudah. Begitu Leo bertemu kamera pengawas, dia sengaja berhenti hanya untuk menyeringai dan menunjukkan jari tengah, lalu menaiki anak tangga menyusul Ted.Keduanya saling bertatapan saat sudah berada di ambang pintu kamar Isa. “Aku dulu atau kamu?” tanya Ted, diikuti senyuman tipis yang menyeramkan dari Leo.“Kamu
“Pria bodoh!” desis Isa. “Harusnya aku membunuh wanita itu juga bersama ibunya, jadi kamu tahu arti rasa sakit yang sesungguhnya!”“Benarkah?” Leo menelengkan kepala. “Well, sayang sekali kamu terlambat. Sekarang dia sangat aman bersamaku.”Isa mendengus. Rupanya dia salah karena sudah membiarkan Ivy hidup. Dia tidak tahu kalau Leo ternyata sangat mencintainya. Isa pikir, Leo hanya sekedar menjaga wanita itu tanpa terlibat perasaan yang dalam. Seharusnya aku membunuhnya malam itu, sesal Isa.“Aku punya ide.” Ted tiba-tiba bicara.“Apa?”“Bukankah dia sangat mudah terangsang? Maksudku, kehidupannya hanya berputar antara seks dan judi. Bagaimana kalau sekarang kita puaskan hasratnya?”Leo menoleh lalu berdiri. “Maksudmu?”“Dia punya beberapa pria asisten rumah tangga. Kita bisa menggunakannya.”Isa membelalak, bibirnya mengatup marah. “Jangan coba-coba!” katanya lantang.Leo tertawa, mengangguk setuju. “Well, ide bagus.”Dan hanya butuh beberapa menit, dua orang pria yang bekerja sebaga
“Kalian melakukannya di rumahnya sendiri?” Josiah menatap Ted dan Leo bergantian dengan ekspresi tak percaya, diikuti anggukan penuh percaya diri dari Leo dan Ted.“Kalian gila,” sungut Josiah lagi. “Dan kamu, sejak kapan gaya permainanmu berubah menjadi seperti ini?” todong pria itu pada Leo.“Itu ideku.” Ted menyela. “Leo bahkan tidak menyaksikannya.”“Dan menyekapnya di rumahnya sendiri, itu ide siapa?”“Aku.” Akhirnya Leo buka mulut. “Baginya, rumah adalah satu-satunya tempat yang paling aman saat ini. Tapi percayalah, setelah ini, dia bahkan tidak akan merasa aman di sana dan dia akan mulai dipenuhi sensasi panik dan tidak percaya pada siapa pun.”Josiah menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menghela nafas, memutar cincin di tangannya dengan tatapan kosong. Leo mendekatinya, menepuk pundaknya seraya bertanya, “Bagaimana dokter Richard?”“Aku melakukannya dengan gayaku,” sahut Josiah. “Dia akan baik-baik saja selama beberapa hari ini.”“Kamu tidak membunuhnya, bukan?”“Tidak saat ini
“...aku masih sangat mencintai cucumu,” ujar Emmy, kali ini dia memaksa diri tersenyum. “Walau dia menyebalkan dan tidak memiliki prinsip, harus ku akui aku tetap jatuh hati padanya hari demi hari. Tapi aku tidak menyesal dengan keputusan ini, Granny. Bercerai dengannya dan melanjutkan hidupku sendiri sudah menjadi pilihan mutlak bagiku. Selama Isa masih ada di sisinya, aku rasa aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi wanita yang dia cintai. Jadi, jangan marah dan kecewa, oke? Aku hanya melakukan yang terbaik bagi kami berdua.”Angin semilir menerbangkan dedaunan, satu jatuh ke tangan Emmy dan dia meremas daun itu dengan erat. Dia menghembuskan nafasnya, menikmati suasana pagi yang sepi dan lengang tanpa sadar jika si pria itu masih di sana.Setelah merasa cukup, Emmy berdiri. Dia memegang tongkatnya dan berbalik, namun seketika dia sadar kalau dia melupakan satu hal. Emmy memutar tubuh lagi menghadap makam Dorothy. Dia melepas kalung dengan cincin pernikahan sebagai liontinn
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany