“Josiah, aku tak bisa menemanimu malam ini untuk melancarkan rencana kita.”Josiah membuka pintu menuju kebun belakang rumah Liz. Sambil bicara dengan Leo lewat sambungan telepon, Josiah mencari-cari keberadaan Liz yang sejak tadi tidak terlihat olehnya.“Apa maksudmu?” tanya Josiah.“Ibu Ivy meninggal. Malam ini aku akan menemaninya.”“Astaga.” Josiah mengurut keningnya. “Kenapa ada banyak sekali kejadian buruk pada kita akhir-akhir ini?”“Itu bisa dibilang bukan kebetulan,” sahut Leo. “Ibunya memang sudah sakit dan cukup parah. Ini mungkin sudah waktu yang tepat bagi ibunya.”“Baiklah.” Josiah menghela nafas. “Aku sekarang bersama Ted. Aku akan lakukan rencana ini bersamanya.”“Trims, Bro.”Dan panggilan mereka terputus. Josiah mengedarkan pandangannya, mencari kemana Liz pergi. Sejak tadi dia tidak melihat Liz dan Emmy hanya bilang dia ada di belakang. Tapi Josiah tidak melihat apa pun.Josiah berjalan masuk ke dalam kebun Sophia. Dia mengintip ke dalam lumbung, tapi Liz tak ada di
Leo masuk ke dalam sebuah rumah yang sederhana. Dinding-dinding kayu terlihat sangat rapuh dimakan usia dan penuh bekas paku yang menancap. Catnya yang berwarna biru sudah nyaris hilang, terkelupas dimakan usia.Dia tidak menemukan siapa-siapa kecuali Ivy yang duduk sendirian di ruang tengah. Saat Leo mengintip, Ivy sedang duduk di sofa, menengadah menatap dinding tepat ke sebuah pigura fotonya dan seorang wanita yang sepertinya ibu Ivy.Ivy mengenakan pakaian serba hitam. Dan walau sudah berusaha bergerak cepat, sepertinya dia terlambat dan ibu Ivy pasti sudah dikubur. Leo berjalan pelan, berdiri tepat di hadapan Ivy. Dia menatap gadis yang bahkan tak mengedipkan matanya itu lalu bersimpuh di hadapannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Leo lembut.Ivy tidak menyahut. Dia terus menengadah menatap pigura foto dirinya dan ibunya yang tertempel di dinding.“Maafkan aku,” desis Leo penuh penyesalan. “Maaf karena aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu. Maaf sudah membuatmu terluka, Ivy.”Akhirny
Isa tidak terlalu yakin dengan apa yang dilihatnya, karena begitu dia melebarkan pupil matanya, bayangan pria itu menghilang segera. Bak asap yang dibawa pergi oleh angin, pria itu menghilang begitu saja. Isa mengucek matanya, memikirkan kemungkinan buruk itu terjadi.Tapi tidak!Diane yang mengatakan secara langsung kalau dia sudah melenyapkan Ted. Pria sialan itu tak akan mungkin bangkit dari kuburnya hanya untuk menunjukkan diri pada Isa. Isa menarik nafasnya, suasana di kasino semakin ramai dan dia memutuskan kalau dia hanya salah lihat.Gadis itu menyibukkan diri diantara para pria sambil menunggu gilirannya untuk bermain. Matanya dengan jeli memilah-milah pria mana yang benar-benar kaya atau hanya pura-pura kaya untuk bisa merasakan bagaimana atmosfir kasino yang sesungguhnya.Tak masalah bagi Isa saat Diane mengingatkannya soal berhemat. Ayahnya, Simone, kini hanya diam di atas tempat tidur. Tubuhnya telentang tak berdaya, sehingga ke mana-mana harus mengandalkan perawat yang g
Sialan pria ini, pikir Isa ketika menyadari si pria oriental meletakkan tubuhnya begitu saja di atas tanah yang lengket. Sial sial sial, pekik Isa dalam hati. Kalau saja bukan karena kartu hitam itu, aku tidak akan sudi kotor-kotoran seperti ini.Angin bertiup dan udara malam menjadi jauh lebih dingin dan lembab. Karena kasino itu belum memiliki penginapan, beberapa pasangan terlihat keluar entah dari mana dan dalam keadaan yang berantakan.Itu pemadangan yang lazim. Di pusat kota seperti ini, kasino, bar, atau tempat malam lainnya akan selalu disuguhi pemandangan semacam ini. Para pengunjung yang bergairah sedang menikmati semua kesenangan dari sisi lain dunia malam dan tak soal dimana pun mereka melakukannya.Seperti yang saat ini dilakukan oleh Isa dan pria oriental itu.Dia dibaringkan begitu saja, tanpa alas, tanpa atap. Tubuhnya disambut oleh dinginnya tanah dan ditutupi pemandangan indah dari langit yang cerah dan dipenuhi bintang. Untung saja pria yang bersamanya malam ini kay
“Ponselmu berbunyi.” Liz mengingatkan Emmy, dengan suara yang parau karena menahan ngantuk.Emmy tahu. Dia belum tidur sama sekali walau dia tau seharusnya malam sudah sangat larut. Emmy menunggu Josiah, dia ingin tahu bagaimana perkembangan rencananya. Tapi getar ponsel di atas nakas memang mengganggunya sejak tadi dan dugaan Emmy itu bukan berasal dari orang-orang terdekatnya.Mereka yang tahu Emmy buta tak pernah melakukan panggilan lagi selain pada ponsel Liz. Tapi sejak tadi, entah sudah berapa panggilan masuk ke ponselnya. Emmy bahkan tidak bisa menghitungnya.Liz menggosok matanya. Dia duduk, melihat layar ponsel Emmy dan melihat nama pemanggil. Dia mengernyit saat membaca nama Keenan tertera di sana lalu melihat jam dinding yang menunjukkan angka dua pagi.“Keenan,” bisik Liz, sepenuhnya sudah sadar.Dugaan Emmy benar. Ternyata yang meneleponnya berulang kali adalah Keenan.“Mau aku angkat?” tanya Liz lagi.Emmy menggenggam erat selimutnya. Di satu sisi, dia tidak ingin berhub
Liz jelas merasa bersalah. Sejak tadi dia berdiri di ambang pintu karena Josiah sudah datang, namun mendengar seharusnya pembicaraan itu sedikit serius, Liz mengurungkan niatnya untuk merusak suasana itu. Dan pada akhirnya, dia dan Josiah sama-sama berdiri di sana dan mencuri dengar semua pembicaraan itu.Rahang Josiah mengetat. Dia terlihat melonggarkan dasinya lalu membuka jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya. Dia tidak suka mendengar tangisan Emmy, namun tangisan itu juga memberinya penjelasan kalau perasaan Emmy tak pernah berubah dalam hal mencintai Keenan.Josiah memilih keluar lewat pintu belakang, membuat Liz tergoda untuk mengikutinya. Josiah duduk diantara hamparan rumput dengan wajah penuh tanda tanya yang tak diketahui oleh Liz. Dengan memberanikan diri, Liz duduk di samping Josiah.“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukannya,” kata Liz, memecah keheningan diantara mereka berdua. “Aku hanya berpikir Emmy mungkin ingin mendengar suara Keenan, itu sebabnya aku mengan
Isa membuka matanya. Sengatan dingin di kulitnya membuat tubuhnya menggigil dan mulutnya terkatup. Gigi Isa terdengar gemeratak saat dia mencoba melawan suhu yang menurun drastis seiring dengan semakin bertambahnya malam.Tubuhnya lebam akibat benturan saat dia jatuh. Dia mencoba tenang, menelentangkan tubuhnya yang kotor di atas tumpukan tanah yang lengket dan lembab. Mata Isa menatap jauh ke langit dan dia mulai berpikir. Siapa pria itu? Apa yang dia inginkan darinya? Dia bukan Josiah, juga bukan Leo apalagi Axel.Lalu siapa?Apakah dia salah satu orang suruhan Josiah?Jadi mereka mulau melancarkan rencana mereka padanya?Isa menggerakkan tubuhnya lagi, mencoba untuk duduk. Dan angannya memutar ingatan tentang pria yang dibunuh Diane. Kenapa bisa dia muncul sebanyak dua kali dalam imajinasinya? Apakah setan itu juga sedang menuntut pembalasan darinya?“Sialan!” desis Isa sambil menahan rasa sakit.Dia mengalihkan pandangannya lagi. Tanah bekas galian itu sangat terjal dan licin. Tapi
Isa berendam selama berjam-jam dalam bath up nya. Walau kulitnya mulai mengeriput, dia tak mau bangkit dari sana. Wajah Isa menunjukkan binar kemarahan yang luar biasa. Sorot matanya tajam, dia bahkan dia tidak berkedip sama sekali dan hanya diam menatap dinding kamar mandi.Dia harus melakukan sesuatu. Secepatnya, dia harus menikah dengan Keenan agar posisinya aman. Keenan tak boleh tahu soal kebohongannya sebelum mereka menikah. Tapi bagaimana cara menjebak pria itu? Sampai sekarang, dia bahkan tidak mendengar apa pun soal pernikahan dan itu membuat darahnya mendidih.“Argh!” Isa berteriak sembari memercikkan air dalam bath up. “Berpikir Isa. Berpikirlah. Apa yang bisa kamu lakukan agar Keenan tergerak untuk menikahimu?”Wanita itu memaksa otaknya bekerja. Tapi buntu! Untuk pertama kalinya dalam hidup Isa tak tahu apa yang harus dia lakukan. Wanita itu meringkuk dalam bath up dengan nafas yang tersengal karena kemarahan yang menggebu-gebu.Tiba-tiba, Diane masuk dan duduk santai di
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany