Pagi-pagi sekali Lily membuka pintu menuju balkon apartemen Axel. Dia menemani Axel semalaman, mendengar celotehan pria itu dalam tidurnya dan mengantarnya ke toilet sebanyak tiga kali saat Axel mendadak ingin muntah.Angin pagi membelai kulit Lily. Ini masih pukul empat pagi dan cuaca sedang mendung, terbukti dari beberapa kilatan cahaya yang terlihat di langit. Axel sudah tidur dengan nyenyak setelah banyak drama semalaman. Namun berbanding terbalik dengan Axel, Lily malah tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.Dia memikirkan ciuman Axel semalaman. Ciuman yang Lily pikir akan mengubah segalanya malah berhenti begitu saja. Axel enggan melakukannya karena dia pikir Lily tidak menginginkan ciuman itu. Wajar saja, karena Lily tak pernah berniat mengungkapkan isi hatinya sebab dia sendiri masih sedikit bingung.Tapi dia menginginkan Axel. ~Ivy tak bisa bicara pada ibunya untuk yang terakhir kali ketika dia para petugas rumah sakit mengatakan ibunya ada di ruang mayat. Mereka sudah
“Josiah, aku tak bisa menemanimu malam ini untuk melancarkan rencana kita.”Josiah membuka pintu menuju kebun belakang rumah Liz. Sambil bicara dengan Leo lewat sambungan telepon, Josiah mencari-cari keberadaan Liz yang sejak tadi tidak terlihat olehnya.“Apa maksudmu?” tanya Josiah.“Ibu Ivy meninggal. Malam ini aku akan menemaninya.”“Astaga.” Josiah mengurut keningnya. “Kenapa ada banyak sekali kejadian buruk pada kita akhir-akhir ini?”“Itu bisa dibilang bukan kebetulan,” sahut Leo. “Ibunya memang sudah sakit dan cukup parah. Ini mungkin sudah waktu yang tepat bagi ibunya.”“Baiklah.” Josiah menghela nafas. “Aku sekarang bersama Ted. Aku akan lakukan rencana ini bersamanya.”“Trims, Bro.”Dan panggilan mereka terputus. Josiah mengedarkan pandangannya, mencari kemana Liz pergi. Sejak tadi dia tidak melihat Liz dan Emmy hanya bilang dia ada di belakang. Tapi Josiah tidak melihat apa pun.Josiah berjalan masuk ke dalam kebun Sophia. Dia mengintip ke dalam lumbung, tapi Liz tak ada di
Leo masuk ke dalam sebuah rumah yang sederhana. Dinding-dinding kayu terlihat sangat rapuh dimakan usia dan penuh bekas paku yang menancap. Catnya yang berwarna biru sudah nyaris hilang, terkelupas dimakan usia.Dia tidak menemukan siapa-siapa kecuali Ivy yang duduk sendirian di ruang tengah. Saat Leo mengintip, Ivy sedang duduk di sofa, menengadah menatap dinding tepat ke sebuah pigura fotonya dan seorang wanita yang sepertinya ibu Ivy.Ivy mengenakan pakaian serba hitam. Dan walau sudah berusaha bergerak cepat, sepertinya dia terlambat dan ibu Ivy pasti sudah dikubur. Leo berjalan pelan, berdiri tepat di hadapan Ivy. Dia menatap gadis yang bahkan tak mengedipkan matanya itu lalu bersimpuh di hadapannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Leo lembut.Ivy tidak menyahut. Dia terus menengadah menatap pigura foto dirinya dan ibunya yang tertempel di dinding.“Maafkan aku,” desis Leo penuh penyesalan. “Maaf karena aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu. Maaf sudah membuatmu terluka, Ivy.”Akhirny
Isa tidak terlalu yakin dengan apa yang dilihatnya, karena begitu dia melebarkan pupil matanya, bayangan pria itu menghilang segera. Bak asap yang dibawa pergi oleh angin, pria itu menghilang begitu saja. Isa mengucek matanya, memikirkan kemungkinan buruk itu terjadi.Tapi tidak!Diane yang mengatakan secara langsung kalau dia sudah melenyapkan Ted. Pria sialan itu tak akan mungkin bangkit dari kuburnya hanya untuk menunjukkan diri pada Isa. Isa menarik nafasnya, suasana di kasino semakin ramai dan dia memutuskan kalau dia hanya salah lihat.Gadis itu menyibukkan diri diantara para pria sambil menunggu gilirannya untuk bermain. Matanya dengan jeli memilah-milah pria mana yang benar-benar kaya atau hanya pura-pura kaya untuk bisa merasakan bagaimana atmosfir kasino yang sesungguhnya.Tak masalah bagi Isa saat Diane mengingatkannya soal berhemat. Ayahnya, Simone, kini hanya diam di atas tempat tidur. Tubuhnya telentang tak berdaya, sehingga ke mana-mana harus mengandalkan perawat yang g
Sialan pria ini, pikir Isa ketika menyadari si pria oriental meletakkan tubuhnya begitu saja di atas tanah yang lengket. Sial sial sial, pekik Isa dalam hati. Kalau saja bukan karena kartu hitam itu, aku tidak akan sudi kotor-kotoran seperti ini.Angin bertiup dan udara malam menjadi jauh lebih dingin dan lembab. Karena kasino itu belum memiliki penginapan, beberapa pasangan terlihat keluar entah dari mana dan dalam keadaan yang berantakan.Itu pemadangan yang lazim. Di pusat kota seperti ini, kasino, bar, atau tempat malam lainnya akan selalu disuguhi pemandangan semacam ini. Para pengunjung yang bergairah sedang menikmati semua kesenangan dari sisi lain dunia malam dan tak soal dimana pun mereka melakukannya.Seperti yang saat ini dilakukan oleh Isa dan pria oriental itu.Dia dibaringkan begitu saja, tanpa alas, tanpa atap. Tubuhnya disambut oleh dinginnya tanah dan ditutupi pemandangan indah dari langit yang cerah dan dipenuhi bintang. Untung saja pria yang bersamanya malam ini kay
“Ponselmu berbunyi.” Liz mengingatkan Emmy, dengan suara yang parau karena menahan ngantuk.Emmy tahu. Dia belum tidur sama sekali walau dia tau seharusnya malam sudah sangat larut. Emmy menunggu Josiah, dia ingin tahu bagaimana perkembangan rencananya. Tapi getar ponsel di atas nakas memang mengganggunya sejak tadi dan dugaan Emmy itu bukan berasal dari orang-orang terdekatnya.Mereka yang tahu Emmy buta tak pernah melakukan panggilan lagi selain pada ponsel Liz. Tapi sejak tadi, entah sudah berapa panggilan masuk ke ponselnya. Emmy bahkan tidak bisa menghitungnya.Liz menggosok matanya. Dia duduk, melihat layar ponsel Emmy dan melihat nama pemanggil. Dia mengernyit saat membaca nama Keenan tertera di sana lalu melihat jam dinding yang menunjukkan angka dua pagi.“Keenan,” bisik Liz, sepenuhnya sudah sadar.Dugaan Emmy benar. Ternyata yang meneleponnya berulang kali adalah Keenan.“Mau aku angkat?” tanya Liz lagi.Emmy menggenggam erat selimutnya. Di satu sisi, dia tidak ingin berhub
Liz jelas merasa bersalah. Sejak tadi dia berdiri di ambang pintu karena Josiah sudah datang, namun mendengar seharusnya pembicaraan itu sedikit serius, Liz mengurungkan niatnya untuk merusak suasana itu. Dan pada akhirnya, dia dan Josiah sama-sama berdiri di sana dan mencuri dengar semua pembicaraan itu.Rahang Josiah mengetat. Dia terlihat melonggarkan dasinya lalu membuka jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya. Dia tidak suka mendengar tangisan Emmy, namun tangisan itu juga memberinya penjelasan kalau perasaan Emmy tak pernah berubah dalam hal mencintai Keenan.Josiah memilih keluar lewat pintu belakang, membuat Liz tergoda untuk mengikutinya. Josiah duduk diantara hamparan rumput dengan wajah penuh tanda tanya yang tak diketahui oleh Liz. Dengan memberanikan diri, Liz duduk di samping Josiah.“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukannya,” kata Liz, memecah keheningan diantara mereka berdua. “Aku hanya berpikir Emmy mungkin ingin mendengar suara Keenan, itu sebabnya aku mengan
Isa membuka matanya. Sengatan dingin di kulitnya membuat tubuhnya menggigil dan mulutnya terkatup. Gigi Isa terdengar gemeratak saat dia mencoba melawan suhu yang menurun drastis seiring dengan semakin bertambahnya malam.Tubuhnya lebam akibat benturan saat dia jatuh. Dia mencoba tenang, menelentangkan tubuhnya yang kotor di atas tumpukan tanah yang lengket dan lembab. Mata Isa menatap jauh ke langit dan dia mulai berpikir. Siapa pria itu? Apa yang dia inginkan darinya? Dia bukan Josiah, juga bukan Leo apalagi Axel.Lalu siapa?Apakah dia salah satu orang suruhan Josiah?Jadi mereka mulau melancarkan rencana mereka padanya?Isa menggerakkan tubuhnya lagi, mencoba untuk duduk. Dan angannya memutar ingatan tentang pria yang dibunuh Diane. Kenapa bisa dia muncul sebanyak dua kali dalam imajinasinya? Apakah setan itu juga sedang menuntut pembalasan darinya?“Sialan!” desis Isa sambil menahan rasa sakit.Dia mengalihkan pandangannya lagi. Tanah bekas galian itu sangat terjal dan licin. Tapi