Sialan pria ini, pikir Isa ketika menyadari si pria oriental meletakkan tubuhnya begitu saja di atas tanah yang lengket. Sial sial sial, pekik Isa dalam hati. Kalau saja bukan karena kartu hitam itu, aku tidak akan sudi kotor-kotoran seperti ini.Angin bertiup dan udara malam menjadi jauh lebih dingin dan lembab. Karena kasino itu belum memiliki penginapan, beberapa pasangan terlihat keluar entah dari mana dan dalam keadaan yang berantakan.Itu pemadangan yang lazim. Di pusat kota seperti ini, kasino, bar, atau tempat malam lainnya akan selalu disuguhi pemandangan semacam ini. Para pengunjung yang bergairah sedang menikmati semua kesenangan dari sisi lain dunia malam dan tak soal dimana pun mereka melakukannya.Seperti yang saat ini dilakukan oleh Isa dan pria oriental itu.Dia dibaringkan begitu saja, tanpa alas, tanpa atap. Tubuhnya disambut oleh dinginnya tanah dan ditutupi pemandangan indah dari langit yang cerah dan dipenuhi bintang. Untung saja pria yang bersamanya malam ini kay
“Ponselmu berbunyi.” Liz mengingatkan Emmy, dengan suara yang parau karena menahan ngantuk.Emmy tahu. Dia belum tidur sama sekali walau dia tau seharusnya malam sudah sangat larut. Emmy menunggu Josiah, dia ingin tahu bagaimana perkembangan rencananya. Tapi getar ponsel di atas nakas memang mengganggunya sejak tadi dan dugaan Emmy itu bukan berasal dari orang-orang terdekatnya.Mereka yang tahu Emmy buta tak pernah melakukan panggilan lagi selain pada ponsel Liz. Tapi sejak tadi, entah sudah berapa panggilan masuk ke ponselnya. Emmy bahkan tidak bisa menghitungnya.Liz menggosok matanya. Dia duduk, melihat layar ponsel Emmy dan melihat nama pemanggil. Dia mengernyit saat membaca nama Keenan tertera di sana lalu melihat jam dinding yang menunjukkan angka dua pagi.“Keenan,” bisik Liz, sepenuhnya sudah sadar.Dugaan Emmy benar. Ternyata yang meneleponnya berulang kali adalah Keenan.“Mau aku angkat?” tanya Liz lagi.Emmy menggenggam erat selimutnya. Di satu sisi, dia tidak ingin berhub
Liz jelas merasa bersalah. Sejak tadi dia berdiri di ambang pintu karena Josiah sudah datang, namun mendengar seharusnya pembicaraan itu sedikit serius, Liz mengurungkan niatnya untuk merusak suasana itu. Dan pada akhirnya, dia dan Josiah sama-sama berdiri di sana dan mencuri dengar semua pembicaraan itu.Rahang Josiah mengetat. Dia terlihat melonggarkan dasinya lalu membuka jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya. Dia tidak suka mendengar tangisan Emmy, namun tangisan itu juga memberinya penjelasan kalau perasaan Emmy tak pernah berubah dalam hal mencintai Keenan.Josiah memilih keluar lewat pintu belakang, membuat Liz tergoda untuk mengikutinya. Josiah duduk diantara hamparan rumput dengan wajah penuh tanda tanya yang tak diketahui oleh Liz. Dengan memberanikan diri, Liz duduk di samping Josiah.“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukannya,” kata Liz, memecah keheningan diantara mereka berdua. “Aku hanya berpikir Emmy mungkin ingin mendengar suara Keenan, itu sebabnya aku mengan
Isa membuka matanya. Sengatan dingin di kulitnya membuat tubuhnya menggigil dan mulutnya terkatup. Gigi Isa terdengar gemeratak saat dia mencoba melawan suhu yang menurun drastis seiring dengan semakin bertambahnya malam.Tubuhnya lebam akibat benturan saat dia jatuh. Dia mencoba tenang, menelentangkan tubuhnya yang kotor di atas tumpukan tanah yang lengket dan lembab. Mata Isa menatap jauh ke langit dan dia mulai berpikir. Siapa pria itu? Apa yang dia inginkan darinya? Dia bukan Josiah, juga bukan Leo apalagi Axel.Lalu siapa?Apakah dia salah satu orang suruhan Josiah?Jadi mereka mulau melancarkan rencana mereka padanya?Isa menggerakkan tubuhnya lagi, mencoba untuk duduk. Dan angannya memutar ingatan tentang pria yang dibunuh Diane. Kenapa bisa dia muncul sebanyak dua kali dalam imajinasinya? Apakah setan itu juga sedang menuntut pembalasan darinya?“Sialan!” desis Isa sambil menahan rasa sakit.Dia mengalihkan pandangannya lagi. Tanah bekas galian itu sangat terjal dan licin. Tapi
Isa berendam selama berjam-jam dalam bath up nya. Walau kulitnya mulai mengeriput, dia tak mau bangkit dari sana. Wajah Isa menunjukkan binar kemarahan yang luar biasa. Sorot matanya tajam, dia bahkan dia tidak berkedip sama sekali dan hanya diam menatap dinding kamar mandi.Dia harus melakukan sesuatu. Secepatnya, dia harus menikah dengan Keenan agar posisinya aman. Keenan tak boleh tahu soal kebohongannya sebelum mereka menikah. Tapi bagaimana cara menjebak pria itu? Sampai sekarang, dia bahkan tidak mendengar apa pun soal pernikahan dan itu membuat darahnya mendidih.“Argh!” Isa berteriak sembari memercikkan air dalam bath up. “Berpikir Isa. Berpikirlah. Apa yang bisa kamu lakukan agar Keenan tergerak untuk menikahimu?”Wanita itu memaksa otaknya bekerja. Tapi buntu! Untuk pertama kalinya dalam hidup Isa tak tahu apa yang harus dia lakukan. Wanita itu meringkuk dalam bath up dengan nafas yang tersengal karena kemarahan yang menggebu-gebu.Tiba-tiba, Diane masuk dan duduk santai di
Hati Cecilia begitu teriris mendengar kenyataan pahit itu. Tangannya bergetar memegang pundak Keenan. Cecilia harus mengakui, dibalik kekejaman Isa terhadap Emmy, dia memang sudah melakukan banyak hal terhadap Keenan. Sekarang Cecilia mengerti kenapa Isa begitu tidak menyukai Emmy.Perasaan cinta dalam diri Isa-lah yang memaksanya melakukan semua tindakan itu. Isa hanya mau menjadi satu-satunya pusat perhatian Keenan, sama seperti kebanyakan wanita yang sedang jatuh cinta. Walau dia tidak pernah membenarkan sikap Isa, tapi detik ini dia tahu kalau Isa tidak seburuk yang dia gambarkan selama ini.Dan dia sungguh menyesal.“Maafkan aku, Mom.” Isa menangis, diam-diam mengintip ke arah pintu. “Tapi aku tidak pernah menyesal melakukan semua ini.”“Hentikan omong kosong ini!” Diane berteriak lagi.“Tenanglah, Nyonya.” Sang Dokter berdiri untuk menengahi. “Saat ini kondisi psikologis Nona Isa perlu dijaga. Aku tahu Anda khawatir, tapi berdebat tak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, kita
Axel mengerjap. Dia memutar tubuh Lily mengikuti alunan musik dan mendekapnya lagi dalam pelukannya. “Tapi kamu menolakku.”“Dulu aku bodoh,” aku Lily.“Sekarang?”“Jauh lebih bodoh,” sungutnya lagi.Axel tertawa kecil. Tangannya menyusuri setiap lekuk tubuh Lily dan gadis itu membiarkannya. Lily terus menatap Axel dalam perasaan yang menggebu-gebu. Sekarang Lily sadar betapa atraktifnya Axel. Segala sesuatu tentang pria itu begitu menyita perhatiannya dan dia mulai berpikir kalau Axel sangat cocok dengannya.Lily memejamkan matanya. Dia mendekat, membenamkan wajahnya dalam pelukan Axel. Waktu terasa berhenti dan seakan tak ada orang lain bersama mereka di sana. Musik tersengar sangat lembut dan suasana itu begitu ajaib.Dia melemaskan dirinya dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam dekapan Axel yang terasa sangat pas baginya. Saat jemari Axel membelai pipinya, Lily menengadah menatap pria itu.“Ayo kembali,” kata Axel dengan suara parau.Lily tersenyum, lalu mengangguk. “Aku sudah menu
“Emmy, mau minum?”Salah satu teman sejurusannya yang baru dari luar mendadak menghampiri Emmy sembari menyodorkan segelas wine.Gadis 22 tahun itu sontak menggeleng. “Maaf, aku tidak minum alkohol.”Jika saja bukan untuk perayaan kelulusan S2, Emmy jelas tak mau hadir di tempat karoke mewah itu.Lebih baik, ia bersantai di rumah.Sayangnya, Emmy tak punya pilihan. Teman-teman yang usianya berada di atasnya terus memaksa.Oleh sebab itu, sejak datang, Emmy memilih duduk di pojok dan diam saja.Tapi, siapa sangka ia akan ditawari begini?“Kenapa menolak? Ini perayaan kelulusan kita. Tidak baik jika hanya kamu yang tidak minum. Bukan begitu?”Pria itu tiba-tiba berseru, sehingga seisi ruangan bersorak memaksa Emmy."Ambil saja, Emmy!""Benar! Wine di sini terbaik.""Tenang saja! Kami akan mengantar adik kecil sepertimu ke rumah jika mabuk."Gadis itu terdiam.Seluruh mata tertuju padanya.Dengan terpaksa, Emmy menerima gelas berisi wine tersebut.'Minum satu gelas saja seharusnya tidak