Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya.
Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat kembali momen-momen intim yang mereka habiskan bersama, bagaimana semuanya terasa begitu sempurna saat itu. Namun, kini semua itu terasa seperti ilusi—sesuatu yang tidak bisa ia miliki sepenuhnya. Setelah beberapa menit, Olivia menghela napas dan berusaha merelaksasi tubuhnya. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar mandi, dan berusaha mencari jawaban dalam ketenangan itu. “Mungkin ini sudah saatnya untuk berpikir jernih,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah berendam cukup lama, Olivia meraih handuk dan membungkusnya di tubuhnya. Ia segera berdiri, mengeringkan diri dan berpindah ke area rias. Dengan cepat, ia memilih pakaian yang sederhana tetapi terlihat menawan, mengenakan blus putih dan celana jeans yang pas di tubuhnya. Ia ingin terlihat baik-baik saja—setidaknya di luar. Setelah mengenakan pakaian, Olivia menatap bayangannya di cermin. Meskipun ia berusaha menunjukkan senyum, matanya menyimpan ketidakpastian yang dalam. “Kamu bisa melakukannya,” ucapnya pada refleksinya, berusaha memberi dorongan pada dirinya sendiri. Ia meraih tasnya, memastikan semua barangnya sudah ada, lalu melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Saat membuka pintu kamar, Olivia melangkah keluar dan berjalan menuju lobi, mencoba menyingkirkan semua pikiran tentang Arjun dan Elvira dari benaknya. Di lobi, suasana hotel terlihat lebih hidup. Para tamu sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, dan Olivia berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat ke sekeliling. Namun, saat matanya menyapu ruangan, ia melihat sosok Arjun di dekat pintu keluar. Arjun mengenakan setelan jas yang membuatnya terlihat sangat menawan. Ia sedang berbicara dengan seseorang, tampak serius dan berwibawa. Olivia merasakan dadanya berdegup kencang saat melihat pria itu. Rasanya seperti ada magnet yang menariknya kembali ke dalam pelukan Arjun. Namun, Olivia tahu ia harus pergi. Ia tidak bisa terjebak dalam perasaan itu lebih lama lagi. Dengan berusaha mengabaikan perasaannya, ia mengambil langkah tegas menuju pintu keluar hotel, berharap bisa meninggalkan semua kerumitan ini di belakangnya. Saat melangkah keluar, udara segar Udaipur menyambutnya, dan ia menghirup dalam-dalam, berusaha menyeimbangkan perasaannya. Ia sadar bahwa ini adalah langkah pertama untuk meraih kembali kendali atas hidupnya, meskipun bayangan Arjun masih mengikutinya. Olivia bertekad untuk menemukan jalan keluar dari kekacauan ini. “Hari ini adalah awal yang baru,” bisiknya pada diri sendiri saat ia melangkah ke arah mobil sewa yang menunggu di luar, siap untuk melanjutkan hidupnya. Mobil sewa yang menunggu di luar hotel berkilau di bawah sinar matahari pagi. Olivia melangkah cepat menuju mobil, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang berdebar. Supir yang menunggu segera membukakan pintu dan memberinya senyum ramah. “Selamat pagi, Nona. Ke mana kita akan pergi hari ini?” tanyanya. “Bawa saya ke pasar lokal, tolong,” jawab Olivia sambil menyusup ke dalam mobil, berusaha menyimpan semua emosi yang mengganggu dalam hati. Ia butuh sesuatu yang sederhana, sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian dari kerumitan hidupnya. Setelah mobil meluncur meninggalkan hotel, Olivia mengamati pemandangan di sekelilingnya. Udaipur terlihat indah dengan segala warna dan kehidupan yang berdenyut. Meskipun suasana cerah, hatinya terasa berat. Setiap kali ia mengingat senyuman Arjun, rasa sakit itu kembali muncul. “Jadi, Nona, Anda seorang turis di sini?” tanya supir, berusaha menciptakan suasana obrolan. “Ya, saya hanya ingin menikmati waktu saya di sini,” jawab Olivia sambil memandangi jalanan yang ramai. Ia berusaha bersikap santai, tetapi di dalam hatinya, ia merindukan kebebasan yang seharusnya ia miliki. Sesampainya di pasar, Olivia melangkah keluar dari mobil dan merasakan getaran kehidupan di sekelilingnya. Aroma rempah-rempah, suara tawar-menawar, dan keramaian orang-orang menciptakan suasana yang menenangkan. Ia mulai menjelajahi deretan kios yang penuh dengan barang-barang unik—perhiasan, tekstil, dan kerajinan tangan lokal. Saat berjalan dari satu kios ke kios lainnya, Olivia berusaha mengalihkan pikirannya dari Arjun. Namun, setiap barang yang ia lihat hanya mengingatkannya pada momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus melepaskan semua kenangan itu untuk bisa melanjutkan hidup. Tiba-tiba, saat ia sedang mengamati selembar scarf berwarna cerah, ia mendengar suara yang sangat familiar. “Olivia?” Ia berbalik dan melihat seorang teman lama, Maya, yang juga sedang berlibur di Udaipur. Maya terlihat terkejut, tetapi senyum lebar muncul di wajahnya. “Wow, lama tidak bertemu! Kamu baik-baik saja?” Olivia berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Ya, saya baik-baik saja. Sedang menikmati liburan.” Maya mengamati wajah Olivia dengan seksama. “Kamu tampak berbeda. Apa ada yang salah?” Olivia menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan pertanyaan itu. “Nggak, hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri.” Maya mengangguk, tampak memahami. “Baiklah, kalau begitu. Kamu mau ikut saya? Saya baru saja membeli beberapa kerajinan tangan yang indah.” “Kenapa tidak?” jawab Olivia dengan senyum yang lebih tulus, berusaha menenangkan pikirannya. Ia mulai berjalan bersama Maya, menikmati obrolan yang ringan dan penuh tawa. Saat mereka berkeliling pasar, Olivia merasa seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Maya membawa keceriaan yang sangat dibutuhkannya, dan dalam sekejap, ia lupa tentang kerumitan yang mengikutinya. “Olivia, kita harus berfoto bersama di depan kerajinan itu!” seru Maya dengan semangat. Olivia mengangguk setuju. Mereka berdiri di depan sebuah kios yang penuh warna-warni, dan Maya mengeluarkan ponselnya. “Senyum, ya!” Ketika mereka berpose dan berfoto, Olivia merasa sedikit lebih hidup. Ia menyadari bahwa meskipun situasi dalam hidupnya terasa rumit, ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati. Dalam sekejap, rasa bahagia itu membuatnya merasa bebas, meskipun hanya sementara. Setelah beberapa waktu berkeliling dan berbincang-bincang, Olivia merasakan semangatnya kembali. Meskipun Arjun masih menghantuinya, ia tahu bahwa hidupnya tidak bisa hanya berputar di seputar hubungan terlarang itu. Ia bertekad untuk menemukan jalan hidupnya sendiri. Maya mengajak Olivia untuk duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir pasar. Mereka memesan teh dan beberapa makanan ringan. Saat mereka menikmati waktu bersama, Olivia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya—tanpa Arjun. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Maya sambil menikmati teh. Olivia mengangguk pelan, merencanakan masa depannya. “Aku pikir aku butuh waktu untuk diri sendiri. Mungkin menjelajahi tempat-tempat baru, melakukan hal-hal yang selalu aku inginkan.” Maya tersenyum lebar. “Itu ide yang bagus! Kita harus melakukan lebih banyak petualangan.” Dengan semangat baru dan keputusan untuk melanjutkan hidup, Olivia menyadari bahwa meskipun perjalanan ini sulit, ia tidak sendirian. Ia memiliki teman-teman yang mendukungnya dan dunia yang penuh kemungkinan menanti untuk dijelajahi.Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc