Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas
Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu ia cintai, bahkan keputusan Olivia sekalipun. Saat Olivia mulai berjalan menjauh dari tepi danau, tiba-tiba terdengar langkah cepat mendekat. Ia menoleh dan melihat Arjun datang kembali dengan ekspresi yang berbeda—ekspresi yang menunjukkan keteguhan, bukan menyerah. Olivia berhenti, merasa ada yang tidak beres. “Arjun? Apa yang kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar waspada. Arjun berhenti di hadapannya, napasnya terdengar berat. “Aku nggak bisa melepaskan kamu, Olivia. Aku nggak akan menyerah semudah itu. Kita nggak bisa mengakhiri semuanya begitu saja.” Olivia tertegun. Ia mengira Arjun sudah menerima keputusannya, tapi ternyata ia salah. “Arjun, kita sudah membicarakan ini. Aku nggak bisa terus menjalani hidup dalam kebohongan.” “Aku nggak peduli!” Arjun menyela, nadanya penuh dengan emosi. “Aku nggak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, bahkan dengan apa yang kamu pikirkan saat ini. Aku mencintaimu, Olivia. Itu yang paling penting.” Olivia menatap Arjun dengan perasaan campur aduk—antara marah dan bingung. “Arjun, ini bukan hanya tentang kita. Kamu punya istri. Kamu nggak bisa terus melakukan ini!” “Aku tahu, aku tahu,” kata Arjun, suaranya sedikit melunak, tetapi tekadnya tetap kuat. “Tapi aku nggak bisa melepaskanmu. Apa kamu nggak mengerti? Hubungan kita ini lebih dari sekadar skandal, lebih dari sekadar cinta terlarang. Aku nggak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dengan siapapun, termasuk istriku.” Olivia menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu betapa dalam perasaan Arjun padanya, tapi itu tidak cukup untuk mengubah kenyataan. “Arjun, kamu nggak bisa memaksakan ini. Kita nggak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini. Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan istrimu? Kamu akan terus menyakitinya tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Arjun terdiam, seolah mencoba mencerna kata-kata Olivia, tapi kemudian ia menggeleng dengan keras. “Aku akan menemukan cara. Aku nggak peduli bagaimana, tapi aku akan tetap bersamamu. Kamu yang membuatku merasa hidup, Olivia. Kamu yang membuat semuanya berbeda.” Olivia merasa keputusannya semakin diuji. Ia mencintai Arjun, tetapi cinta ini penuh dengan luka, kebohongan, dan kepalsuan. Setiap detik yang mereka habiskan bersama selalu dibayangi oleh ketakutan akan ketahuan dan rasa bersalah yang terus-menerus menghantui. “Arjun…” Olivia memulai dengan lembut, berusaha menenangkan situasi. “Aku tahu perasaanmu, dan aku juga tahu kita sudah melewati banyak hal bersama. Tapi hidup kita nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus kembali pada keluargamu, dan aku juga harus memikirkan hidupku sendiri.” Namun, Arjun menggeleng keras. “Aku nggak bisa, Olivia. Aku nggak bisa kembali pada kehidupanku yang dulu seolah nggak terjadi apa-apa. Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, dan aku nggak akan membiarkan kamu pergi begitu saja.” Olivia menatap Arjun dengan mata penuh kesedihan, hatinya semakin berat dengan tiap kata yang diucapkan Arjun. Ia tahu tekadnya tidak akan mudah goyah, tapi ia juga tahu bahwa melanjutkan hubungan ini hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit—untuk mereka berdua, dan terutama untuk orang-orang di sekitar mereka. “Arjun,” Olivia akhirnya berkata, suaranya lembut tapi tegas. “Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu harus merelakanku. Kita nggak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Mungkin ini sulit sekarang, tapi ini yang terbaik untuk kita berdua. Untuk semua orang.” Arjun menatap Olivia dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di wajahnya—sebuah celah, sebuah tanda bahwa Olivia sebenarnya masih ingin bersamanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketegasan, dan itu membuatnya semakin frustrasi. “Olivia…” suaranya parau, hampir putus asa. “Tolong, jangan lakukan ini.” Olivia menggeleng, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku harus, Arjun. Demi kita. Demi masa depan kita masing-masing.” Arjun terdiam, akhirnya menyadari bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah keputusan Olivia. Tetapi, di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu. Bahkan jika Olivia memintanya untuk berhenti, hatinya menolak untuk membiarkan wanita yang ia cintai pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata lagi, Arjun berbalik dan berjalan pergi, tapi kali ini Olivia bisa merasakan bahwa ini belum benar-benar berakhir. Ada sesuatu di mata Arjun yang menunjukkan bahwa ini belum merupakan perpisahan terakhir. Olivia menarik napas panjang, berusaha menenangkan perasaannya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, tapi ia juga tahu bahwa Arjun tidak akan begitu saja menerima kenyataan ini. Dan itu membuatnya semakin waspada terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Adegan: Pertemuan Arjun dengan Elvira di Mansion Arjun pulang ke mansion dengan langkah berat. Seluruh pikirannya dipenuhi oleh Olivia, dan keinginan untuk mempertahankannya terus menghantui meski hatinya kacau. Dia menatap rumah megah di depannya, rumah yang seharusnya menjadi tempat tenang dan bahagia bersama istrinya, Elvira. Namun kini, mansion itu terasa hampa baginya. Ketika Arjun membuka pintu, suara langkah sepatu Elvira terdengar mendekat. Wanita itu muncul dari ruang tamu dengan senyum cerah yang selalu ia tunjukkan setiap kali menyambut suaminya pulang. Elvira tampak cantik dalam gaun malam yang elegan, rambutnya ditata rapi seperti biasa. “Sayang, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Elvira dengan nada riang. “Kamu lama sekali di luar, aku hampir khawatir.” Arjun memaksa senyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk. “Maaf, aku sedikit sibuk,” jawabnya singkat, suaranya terdengar datar. Dia melangkah masuk lebih dalam, menghindari tatapan mata istrinya. Elvira berjalan mendekat dan menyentuh bahu suaminya dengan lembut. “Kamu kelihatan lelah sekali. Ada sesuatu yang terjadi di kantor?” tanyanya dengan perhatian. Arjun hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Setiap kali Elvira bertanya dengan nada penuh perhatian seperti ini, rasa bersalah menghantamnya lebih keras. Tapi dia tidak bisa mengakui kebenarannya, tidak di hadapan wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya selama bertahun-tahun. “Aku cuma butuh istirahat, Elvira,” katanya pelan, tanpa menatap mata istrinya. “Hari ini sangat panjang.” Elvira memandang Arjun dengan sedikit rasa khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan? Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membantu—” “Tidak, aku baik-baik saja,” potong Arjun cepat, berusaha menghentikan pembicaraan. “Aku cuma butuh waktu sendiri.” Elvira terdiam, mencoba membaca ekspresi suaminya, tetapi Arjun tetap menghindari kontak mata. Seolah-olah ada jarak yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka, dan Elvira mulai menyadarinya. Namun, ia tidak ingin memaksa Arjun berbicara jika suaminya belum siap. “Oke,” katanya akhirnya, suaranya melembut. “Kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam sebentar lagi. Kalau kamu merasa lebih baik nanti, kita bisa makan bersama.” Arjun hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Ia melangkah pergi ke arah tangga, menuju kamar mereka, meninggalkan Elvira yang berdiri diam dengan tatapan yang semakin cemas. Di dalam kamar, Arjun menatap bayangan dirinya di cermin. Ia melihat seorang pria yang terjebak dalam dua kehidupan—satu sebagai suami yang setia di rumah besar ini, dan yang lain sebagai pria yang terperangkap dalam cinta terlarang dengan Olivia. Sambil menatap bayangan dirinya, Arjun mengepalkan tangannya. Dia tahu seharusnya berkata jujur kepada Elvira, tapi mulutnya seakan terkunci. Menghancurkan pernikahannya sendiri bukanlah sesuatu yang ia bisa lakukan dengan mudah. Namun, dalam hatinya, Arjun menyadari bahwa kebohongan ini hanya akan semakin menumpuk, dan pada akhirnya, dia akan harus memilih—meskipun ia masih tak siap untuk melakukannya sekarang. Di luar kamar, Elvira masih sibuk di dapur, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin suaminya. Baginya, Arjun adalah cinta sejatinya, pria yang selalu ia percayai sepenuhnya. Tapi kepercayaan itu mungkin tidak akan bertahan lama jika kebenaran suatu hari terbongkar.Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun berdiri diam di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia tahu apa yang harus dilakukan—dia harus menyelamatkan dirinya, reputasinya, pernikahannya. Tapi di sisi lain, Olivia telah membangun jaring yang kuat di sekitarnya, mengancamnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan. Ada dendam yang membara dalam wanita itu, dan itu membuat Arjun takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tidak menuruti tuntutannya. Olivia, yang berdiri beberapa langkah darinya, menatap Arjun dengan ekspresi yang tenang tapi penuh perhitungan. Dia tahu dia sudah memenangkan permainan ini. Kini, hanya masalah waktu sebelum Arjun menyerah sepenuhnya. “Aku tahu ini sulit bagimu,” ucap Olivia, suaranya lebih lembut, mencoba mendekati Arjun. “Tapi percayalah, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku hanya ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau, Arjun. Kita. Bersama-sama.” Arjun tetap diam, tapi Olivia bisa melihat ta
Elvira menatap layar ponselnya dengan perasaan kacau. Judul berita yang menyebar begitu cepat di media sosial membuatnya merasakan gelombang panik dan kemarahan. Dengan tangan gemetar, dia membaca komentar-komentar yang muncul, penuh spekulasi dan fitnah tentang dirinya. Gosip itu berkembang liar, seolah-olah semua orang tiba-tiba menjadi hakim yang siap menghakiminya tanpa ampun. Dia segera menghubungi Arjun, berharap bisa mendapatkan penjelasan atau setidaknya dukungan dari suaminya. Namun, deringan teleponnya berulang kali tak terjawab. Arjun tidak mengangkat, dan perasaan cemas Elvira semakin memburuk. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya, merasa terjebak dalam kekacauan yang tidak dia mengerti. Sementara itu, di hotel Udaipur, Olivia kembali menatap layar ponselnya dengan senyum puas. Berita yang dia sebarkan telah menjadi bola salju yang tak terbendung. Dia sudah bisa membayangkan betapa paniknya Elvira saat ini. Dan yang lebih penting, betapa hancurnya pernikahan Elvira da
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc