Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas
Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu ia cintai, bahkan keputusan Olivia sekalipun. Saat Olivia mulai berjalan menjauh dari tepi danau, tiba-tiba terdengar langkah cepat mendekat. Ia menoleh dan melihat Arjun datang kembali dengan ekspresi yang berbeda—ekspresi yang menunjukkan keteguhan, bukan menyerah. Olivia berhenti, merasa ada yang tidak beres. “Arjun? Apa yang kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar waspada. Arjun berhenti di hadapannya, napasnya terdengar berat. “Aku nggak bisa melepaskan kamu, Olivia. Aku nggak akan menyerah semudah itu. Kita nggak bisa mengakhiri semuanya begitu saja.” Olivia tertegun. Ia mengira Arjun sudah menerima keputusannya, tapi ternyata ia salah. “Arjun, kita sudah membicarakan ini. Aku nggak bisa terus menjalani hidup dalam kebohongan.” “Aku nggak peduli!” Arjun menyela, nadanya penuh dengan emosi. “Aku nggak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, bahkan dengan apa yang kamu pikirkan saat ini. Aku mencintaimu, Olivia. Itu yang paling penting.” Olivia menatap Arjun dengan perasaan campur aduk—antara marah dan bingung. “Arjun, ini bukan hanya tentang kita. Kamu punya istri. Kamu nggak bisa terus melakukan ini!” “Aku tahu, aku tahu,” kata Arjun, suaranya sedikit melunak, tetapi tekadnya tetap kuat. “Tapi aku nggak bisa melepaskanmu. Apa kamu nggak mengerti? Hubungan kita ini lebih dari sekadar skandal, lebih dari sekadar cinta terlarang. Aku nggak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Dengan siapapun, termasuk istriku.” Olivia menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tahu betapa dalam perasaan Arjun padanya, tapi itu tidak cukup untuk mengubah kenyataan. “Arjun, kamu nggak bisa memaksakan ini. Kita nggak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini. Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi apa kamu pernah berpikir bagaimana perasaan istrimu? Kamu akan terus menyakitinya tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Arjun terdiam, seolah mencoba mencerna kata-kata Olivia, tapi kemudian ia menggeleng dengan keras. “Aku akan menemukan cara. Aku nggak peduli bagaimana, tapi aku akan tetap bersamamu. Kamu yang membuatku merasa hidup, Olivia. Kamu yang membuat semuanya berbeda.” Olivia merasa keputusannya semakin diuji. Ia mencintai Arjun, tetapi cinta ini penuh dengan luka, kebohongan, dan kepalsuan. Setiap detik yang mereka habiskan bersama selalu dibayangi oleh ketakutan akan ketahuan dan rasa bersalah yang terus-menerus menghantui. “Arjun…” Olivia memulai dengan lembut, berusaha menenangkan situasi. “Aku tahu perasaanmu, dan aku juga tahu kita sudah melewati banyak hal bersama. Tapi hidup kita nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus kembali pada keluargamu, dan aku juga harus memikirkan hidupku sendiri.” Namun, Arjun menggeleng keras. “Aku nggak bisa, Olivia. Aku nggak bisa kembali pada kehidupanku yang dulu seolah nggak terjadi apa-apa. Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, dan aku nggak akan membiarkan kamu pergi begitu saja.” Olivia menatap Arjun dengan mata penuh kesedihan, hatinya semakin berat dengan tiap kata yang diucapkan Arjun. Ia tahu tekadnya tidak akan mudah goyah, tapi ia juga tahu bahwa melanjutkan hubungan ini hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit—untuk mereka berdua, dan terutama untuk orang-orang di sekitar mereka. “Arjun,” Olivia akhirnya berkata, suaranya lembut tapi tegas. “Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu harus merelakanku. Kita nggak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Mungkin ini sulit sekarang, tapi ini yang terbaik untuk kita berdua. Untuk semua orang.” Arjun menatap Olivia dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di wajahnya—sebuah celah, sebuah tanda bahwa Olivia sebenarnya masih ingin bersamanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketegasan, dan itu membuatnya semakin frustrasi. “Olivia…” suaranya parau, hampir putus asa. “Tolong, jangan lakukan ini.” Olivia menggeleng, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku harus, Arjun. Demi kita. Demi masa depan kita masing-masing.” Arjun terdiam, akhirnya menyadari bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah keputusan Olivia. Tetapi, di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu. Bahkan jika Olivia memintanya untuk berhenti, hatinya menolak untuk membiarkan wanita yang ia cintai pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata lagi, Arjun berbalik dan berjalan pergi, tapi kali ini Olivia bisa merasakan bahwa ini belum benar-benar berakhir. Ada sesuatu di mata Arjun yang menunjukkan bahwa ini belum merupakan perpisahan terakhir. Olivia menarik napas panjang, berusaha menenangkan perasaannya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, tapi ia juga tahu bahwa Arjun tidak akan begitu saja menerima kenyataan ini. Dan itu membuatnya semakin waspada terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Adegan: Pertemuan Arjun dengan Elvira di Mansion Arjun pulang ke mansion dengan langkah berat. Seluruh pikirannya dipenuhi oleh Olivia, dan keinginan untuk mempertahankannya terus menghantui meski hatinya kacau. Dia menatap rumah megah di depannya, rumah yang seharusnya menjadi tempat tenang dan bahagia bersama istrinya, Elvira. Namun kini, mansion itu terasa hampa baginya. Ketika Arjun membuka pintu, suara langkah sepatu Elvira terdengar mendekat. Wanita itu muncul dari ruang tamu dengan senyum cerah yang selalu ia tunjukkan setiap kali menyambut suaminya pulang. Elvira tampak cantik dalam gaun malam yang elegan, rambutnya ditata rapi seperti biasa. “Sayang, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Elvira dengan nada riang. “Kamu lama sekali di luar, aku hampir khawatir.” Arjun memaksa senyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk. “Maaf, aku sedikit sibuk,” jawabnya singkat, suaranya terdengar datar. Dia melangkah masuk lebih dalam, menghindari tatapan mata istrinya. Elvira berjalan mendekat dan menyentuh bahu suaminya dengan lembut. “Kamu kelihatan lelah sekali. Ada sesuatu yang terjadi di kantor?” tanyanya dengan perhatian. Arjun hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Setiap kali Elvira bertanya dengan nada penuh perhatian seperti ini, rasa bersalah menghantamnya lebih keras. Tapi dia tidak bisa mengakui kebenarannya, tidak di hadapan wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya selama bertahun-tahun. “Aku cuma butuh istirahat, Elvira,” katanya pelan, tanpa menatap mata istrinya. “Hari ini sangat panjang.” Elvira memandang Arjun dengan sedikit rasa khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan? Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membantu—” “Tidak, aku baik-baik saja,” potong Arjun cepat, berusaha menghentikan pembicaraan. “Aku cuma butuh waktu sendiri.” Elvira terdiam, mencoba membaca ekspresi suaminya, tetapi Arjun tetap menghindari kontak mata. Seolah-olah ada jarak yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka, dan Elvira mulai menyadarinya. Namun, ia tidak ingin memaksa Arjun berbicara jika suaminya belum siap. “Oke,” katanya akhirnya, suaranya melembut. “Kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam sebentar lagi. Kalau kamu merasa lebih baik nanti, kita bisa makan bersama.” Arjun hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Ia melangkah pergi ke arah tangga, menuju kamar mereka, meninggalkan Elvira yang berdiri diam dengan tatapan yang semakin cemas. Di dalam kamar, Arjun menatap bayangan dirinya di cermin. Ia melihat seorang pria yang terjebak dalam dua kehidupan—satu sebagai suami yang setia di rumah besar ini, dan yang lain sebagai pria yang terperangkap dalam cinta terlarang dengan Olivia. Sambil menatap bayangan dirinya, Arjun mengepalkan tangannya. Dia tahu seharusnya berkata jujur kepada Elvira, tapi mulutnya seakan terkunci. Menghancurkan pernikahannya sendiri bukanlah sesuatu yang ia bisa lakukan dengan mudah. Namun, dalam hatinya, Arjun menyadari bahwa kebohongan ini hanya akan semakin menumpuk, dan pada akhirnya, dia akan harus memilih—meskipun ia masih tak siap untuk melakukannya sekarang. Di luar kamar, Elvira masih sibuk di dapur, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin suaminya. Baginya, Arjun adalah cinta sejatinya, pria yang selalu ia percayai sepenuhnya. Tapi kepercayaan itu mungkin tidak akan bertahan lama jika kebenaran suatu hari terbongkar.Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun berdiri diam di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia tahu apa yang harus dilakukan—dia harus menyelamatkan dirinya, reputasinya, pernikahannya. Tapi di sisi lain, Olivia telah membangun jaring yang kuat di sekitarnya, mengancamnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan. Ada dendam yang membara dalam wanita itu, dan itu membuat Arjun takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tidak menuruti tuntutannya. Olivia, yang berdiri beberapa langkah darinya, menatap Arjun dengan ekspresi yang tenang tapi penuh perhitungan. Dia tahu dia sudah memenangkan permainan ini. Kini, hanya masalah waktu sebelum Arjun menyerah sepenuhnya. “Aku tahu ini sulit bagimu,” ucap Olivia, suaranya lebih lembut, mencoba mendekati Arjun. “Tapi percayalah, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku hanya ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau, Arjun. Kita. Bersama-sama.” Arjun tetap diam, tapi Olivia bisa melihat ta
Elvira menatap layar ponselnya dengan perasaan kacau. Judul berita yang menyebar begitu cepat di media sosial membuatnya merasakan gelombang panik dan kemarahan. Dengan tangan gemetar, dia membaca komentar-komentar yang muncul, penuh spekulasi dan fitnah tentang dirinya. Gosip itu berkembang liar, seolah-olah semua orang tiba-tiba menjadi hakim yang siap menghakiminya tanpa ampun. Dia segera menghubungi Arjun, berharap bisa mendapatkan penjelasan atau setidaknya dukungan dari suaminya. Namun, deringan teleponnya berulang kali tak terjawab. Arjun tidak mengangkat, dan perasaan cemas Elvira semakin memburuk. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya, merasa terjebak dalam kekacauan yang tidak dia mengerti. Sementara itu, di hotel Udaipur, Olivia kembali menatap layar ponselnya dengan senyum puas. Berita yang dia sebarkan telah menjadi bola salju yang tak terbendung. Dia sudah bisa membayangkan betapa paniknya Elvira saat ini. Dan yang lebih penting, betapa hancurnya pernikahan Elvira da
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika Nayla keluar dari rumah ibunya. Ia merasa lebih baik hari ini, meski perasaan canggung masih ada setelah kembali ke kehidupan lamanya. Sesampainya di sebuah toko bunga kecil di sudut kota, Nayla disambut hangat oleh sahabatnya, Rania. Wanita itu langsung menarik tangan Nayla dengan penuh semangat. "Akhirnya kamu datang juga! Aku sudah menunggu." Nayla tersenyum kecil. "Maaf, aku agak lama di jalan. Sudah lama nggak ke sini." Rania menepuk bahu Nayla ringan. "Nggak masalah. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Aku butuh bantuanmu di toko ini, dan kamu butuh kesibukan biar nggak terlalu banyak berpikir." Nayla mengangguk. "Iya, aku juga ingin mulai sesuatu yang baru." Mereka berdua pun mulai bekerja. Nayla membantu merapikan bunga-bunga yang baru datang, sementara Rania melayani pelanggan. Perlahan, Nayla mulai merasa nyaman berada di lingkungan ini. Saat tengah merangkai buket bunga, Rania meliriknya dengan senyum menggoda. "Jad
Tak lama setelah panggilan itu berakhir, suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Nayla menarik napas dalam, mencoba mengusir kegugupan yang mulai menguasai hatinya. "Regan sudah datang," gumamnya pelan. Sang ibu mengelus pundaknya dengan lembut. "Hati-hati, Nak. Apa pun yang terjadi, ingat bahwa kamu tidak sendirian." Nayla mengangguk, lalu melangkah keluar. Regan berdiri di samping mobilnya, mengenakan kemeja hitam yang sedikit tergulung di bagian lengannya. Wajahnya serius, matanya menatap Nayla dengan intens. "Masuk," katanya singkat, membuka pintu mobil untuk Nayla. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, hingga akhirnya Nayla tak tahan lagi. "Regan, sebenarnya ada apa?" tanyanya, suaranya mengandung kecemasan. Regan menghela napas panjang, lalu menoleh sekilas ke arah Nayla sebelum kembali fokus pada jalan. "Darren mulai bergerak lagi." Nayla merasakan jantungnya mencelos. "Apa maksudmu? Bukankah perceraianku sudah selesai?"
Nayla menundukkan kepala, mendengarkan ibunya bicara dengan suara lembut namun penuh ketegasan. "Nayla, Ibu tahu kamu sudah melalui banyak hal. Perceraian itu bukan hal mudah, apalagi dengan segala yang Darren lakukan padamu," ujar ibunya sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi Ibu nggak mau kamu terjebak dalam kebingungan. Kamu harus benar-benar berpikir sebelum mengambil keputusan lagi." Nayla menggigit bibir, menatap jemari mereka yang saling menggenggam. "Ibu, aku juga nggak mau gegabah. Aku cuma..." Ibunya menatapnya lekat. "Kamu takut, kan?" Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu itu benar. "Regan memang baik, Ibu nggak menyangkal itu. Tapi apakah kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu? Apakah dia benar-benar yang kamu inginkan, atau hanya karena kamu merasa kesepian?" Nayla menelan ludah, mencoba mencari jawaban di hatinya. Ibunya melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Ibu cuma nggak mau kamu terluka lagi, Nak. Kamu berhak bahagia, tapi pastikan
Beberapa bulan setelah resmi bercerai, Nayla mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang janda. Meski awalnya berat, ia mulai menikmati kebebasan yang kini dimilikinya. Tak ada lagi tekanan, tak ada lagi tuduhan menyakitkan dari Darren, dan yang terpenting, ia tak lagi merasa sendirian. Pagi ini, seperti biasa, Nayla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca novel. Matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, dan angin sepoi-sepoi mengelus rambutnya yang tergerai. "Akhirnya, hidupku terasa damai," gumamnya pelan. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Regan muncul di layar. Nayla tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Pagi, Regan." "Pagi, Nayla. Apa rencanamu hari ini?" suara pria itu terdengar santai, seperti biasa. Nayla menghela napas kecil. "Belum ada rencana. Mungkin ke butik, mencari beberapa baju baru. Aku butuh suasana baru." Regan terkekeh. "Bagus, kamu mulai menikmati waktumu sendiri. Tapi… bagaimana kalau aku menemanimu?
Setelah berbincang dengan Olivia, Nayla merasa lebih tenang. Namun, begitu ia berbalik untuk pergi ke kamarnya, langkahnya terhenti saat melihat sosok Regan berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Tatapan pria itu begitu lembut, penuh ketulusan yang membuat Nayla hampir kehilangan kata-kata. Regan melangkah mendekat, lalu menyentuh pipi Nayla dengan jemarinya. "Aku mendengar semuanya," ucapnya pelan. "Apa yang kamu katakan pada Mom tadi… itu benar-benar berarti untukku, Nayla." Nayla menundukkan kepala, wajahnya memanas. "Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Regan tersenyum, lalu meraih kedua tangan Nayla dan menggenggamnya erat. "Kalau begitu, aku ingin kamu juga mendengar sesuatu dariku." Nayla mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu dengan rasa penasaran. "Aku mencintaimu, Nayla. Dari dulu, sejak pertama kali aku melihatmu dalam kesedihanmu, aku tahu aku ingin melindungi dan membahagiakanmu. Aku tidak peduli dengan masa lalu atau siapa pun yang mencoba menghalangi
Regan menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Nama sang ibu, Olivia, tertera di sana. Ia tahu, cepat atau lambat, pembicaraan ini akan terjadi. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat panggilan itu. "Regan, Nak. Bisakah kamu datang ke mansion sekarang?" Suara Olivia terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Regan melirik sekilas ke arah Nayla, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil. Wanita itu masih tampak lelah setelah sidang, tetapi tetap tenang. "Ada apa, Mom?" tanya Regan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Kamu tahu ini tentang apa," jawab Olivia. "Ayahmu juga ingin bicara denganmu. Dan bawalah Nayla bersamamu." Regan menghela napas dalam. "Baiklah. Kami akan segera ke sana." Setelah menutup panggilan, ia menoleh pada Nayla. "Mom dan Dad ingin kita datang ke mansion." Nayla menegang sejenak. "Aku sudah bisa menebak," katanya lirih. "Mereka pasti ingin membahas semuanya, terutama soal kita." Regan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kita ha
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Nayla melangkah memasuki ruang sidang dengan kepala tegak, meskipun dadanya berdebar kencang. Regan berdiri di belakangnya, memberikan dukungan tanpa suara. Ia tahu betapa pentingnya hari ini bagi Nayla. Darren sudah duduk di kursi penggugat, wajahnya dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka. Ia menatap Nayla dengan sorot mata tajam, seolah menantang wanita itu untuk mundur. Namun, Nayla tidak goyah. Ia sudah siap. Hakim mengetuk palunya, membuka sidang perceraian mereka. "Saudari Nayla, Anda mengajukan gugatan cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan perselingkuhan dari pihak suami. Apakah benar demikian?" Nayla mengangguk mantap. "Benar, Yang Mulia." Darren mendengus sinis. "Itu semua kebohongan. Dia hanya ingin meninggalkanku demi pria lain!" Hakim menatap Darren tajam. "Saudara Darren, harap jaga sikap Anda di persidangan." Nayla menghela napas panjang sebelum berbicara, suaranya jernih dan mantap. "Selama bertahun-tahun saya
Darren Bersiap Menyerang, Regan Tidak Tinggal Diam Di vila rahasia, Regan duduk di depan layar komputer besar dengan ekspresi tegang. Seorang pengawalnya baru saja memberi laporan tentang Darren yang mulai bergerak. Melalui kamera pengintai dan beberapa informan, ia bisa melihat Darren sedang mengumpulkan anak buahnya. "Dia sudah menemukan lokasi kita," kata Regan dengan suara dingin, matanya tajam menatap layar. Nayla yang duduk di sofa menegang mendengar itu. "Apa? Bagaimana bisa?" Regan menutup laptopnya dengan tenang, lalu bangkit dan menghampiri Nayla. "Darren memang licik, tapi aku sudah mengantisipasi ini. Aku sengaja membiarkan sedikit petunjuk agar dia berpikir dia lebih unggul. Tapi sebenarnya, ini jebakan." Nayla menatap Regan dengan bingung. "Jebakan?" Regan tersenyum tipis. "Ya. Aku ingin memastikan dia membuat kesalahan fatal kali ini. Jika dia datang dengan niat buruk, aku akan memastikan dia tidak bisa lolos dari hukum lagi." Tiba-tiba, salah satu pengawa
Regan Tak Tinggal Diam Regan menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Berita tentang dirinya menyebar seperti api, dan media terus menggiring opini bahwa ia telah menculik Nayla. Tak ingin tinggal diam, Regan segera menghubungi kepala tim PR-nya. "Aku ingin konferensi pers. Segera." Suara di ujung telepon terdengar ragu. "Tuan Regan, situasinya cukup sensitif. Jika Anda bicara sekarang tanpa bukti kuat, justru bisa memperburuk keadaan." Regan mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli. Siapkan semuanya. Aku akan membalikkan keadaan." Sementara itu, Nayla duduk di sofa dengan tatapan kosong. Ia merasa bersalah karena Regan harus menghadapi semua ini gara-gara dirinya. Regan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. "Jangan khawatir. Aku akan membuat dunia tahu siapa yang sebenarnya bersalah." Nayla menghela napas dalam. "Tapi Regan… jika Darren semakin marah, dia bisa melakukan hal yang lebih buruk." Regan menatapnya tajam. "Dia boleh mencoba, tapi aku tidak akan memb