Elvira akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jendela dan berjalan perlahan menuju kamar tidur, di mana bayangan Arjun yang tidak pulang sejak semalam terus menghantui pikirannya. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena perasaan yang terus menggerogoti ketenangannya. Dia terbaring di ranjang yang dingin, menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau. Meski sudah berkali-kali mencoba untuk tidak berpikir negatif, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan terburuk. Apakah Arjun telah mengkhianatinya? Apakah gosip ini adalah hasil dari sesuatu yang lebih dari sekadar fitnah tak berdasar? Dia menghela napas panjang, tangan gemetar saat meraih ponselnya lagi. Dering telepon tadi pagi masih terngiang, dan bagaimana Arjun memutus sambungan begitu cepat membuatnya semakin cemas. Meski hatinya masih dipenuhi cinta untuk suaminya, ada keraguan yang perlahan menyelinap, sesuatu yang selama ini dia abaikan namun sekarang mulai tu
Di sisi lain kota, Olivia duduk di balkon suite mewahnya, memandang pemandangan kota yang bersinar dengan lampu-lampu malam. Angin malam yang lembut berhembus, memainkan ujung rambutnya yang tergerai. Gelas anggur di tangannya terasa dingin, menambah sensasi kenyamanan yang ia nikmati malam itu. Hidupnya, yang dulu penuh perjuangan sebagai sekretaris biasa, kini berubah drastis. Segalanya terasa lebih mudah setelah Arjun mulai memberikan perhatian khusus padanya, dan lebih dari itu, kekayaan serta pengaruh yang datang bersamaan dengan status kekasih rahasia seorang CEO ternama. Olivia tersenyum sinis, mengingat bagaimana dia dulu bekerja keras untuk mendapatkan semua yang dia miliki sekarang. Tapi kini, hanya dengan memanfaatkan hubungan terlarangnya dengan Arjun, segala hal yang dulunya sulit dijangkau menjadi mudah didapatkan. Apartemen mewah ini, barang-barang bermerek, perjalanan mewah, semuanya diberikan Arjun tanpa banyak tanya. Dia tahu bagaimana memainkannya, bagaimana membu
Olivia masih terduduk di sofa, senyumnya belum pudar ketika bayangan kemenangan mulai memenuhi pikirannya. Elvira, wanita yang selalu dianggap sempurna di mata semua orang, termasuk Arjun, sebentar lagi akan kehilangan segalanya. Dia membayangkan wajah Arjun ketika mengetahui rahasia kelam istrinya yang selama ini tersembunyi. Takkan ada tempat bagi Elvira setelah kebenaran terungkap. Beberapa saat kemudian, teleponnya berdering lagi, namun kali ini dari Arjun. Olivia menatap layar sejenak, lalu mengangkatnya dengan tenang. "Arjun?" Olivia memulai dengan nada lembut, berpura-pura tidak tahu apapun tentang pertarungan batin yang sedang direncanakannya. "Olivia, kau di mana?" Suara Arjun terdengar sedikit lelah, tapi penuh otoritas seperti biasa. "Aku akan datang sebentar lagi. Kita harus bicara." "Aku di apartemen. Apa yang terjadi?" Olivia berpura-pura cemas, meskipun hatinya sedang penuh dengan rencana jahat yang sudah diatur. "Ada masalah di rumah. Aku tak bisa bicara lama
Olivia melangkah masuk ke dalam kafe kecil yang terletak di sudut kota, tempat yang telah ditentukan untuk pertemuan rahasia itu. Udara pagi masih dingin, namun rasa antisipasi di dalam dirinya membuat jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Tatapannya mencari-cari orang yang sudah membuatnya penasaran selama beberapa hari terakhir—penelepon yang berjanji akan memberikannya bukti paling berharga untuk menghancurkan Elvira. Di sudut ruangan, seorang pria dengan topi hitam dan kacamata gelap duduk sendirian, memainkan cangkir kopi di tangannya. Olivia segera mengenalinya dari deskripsi yang ia terima sebelumnya. Dia berjalan mendekat dengan langkah percaya diri, tak ada keraguan di setiap gerakannya. Setelah sampai di meja, tanpa basa-basi, Olivia duduk di hadapan pria itu. “Kau yang meneleponku,” Olivia membuka percakapan, suaranya penuh ketegasan. “Mana buktinya?” Pria itu menatapnya dari balik kacamata gelap, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil, seakan menikmati ke
Di kediaman mewah keluarga Arjun, suasana makan malam berlangsung dengan suasana tenang. Elvira duduk di antara mertua dan suaminya, Arjun, sambil sesekali menyendokkan sup ke mulutnya. Raut wajahnya terlihat tenang seperti biasa, namun dalam hatinya dia merasa sedikit tegang setiap kali menghabiskan waktu bersama orang tua Arjun. Ada perasaan tak nyaman yang selalu menghantuinya. Tiba-tiba, ibu Arjun, Ny. Sharma, meletakkan sendoknya dan menatap langsung ke arah Elvira dengan senyum ramah namun penuh maksud. “Elvira sayang, aku dan ayah Arjun sudah lama ingin menanyakan ini pada kalian berdua,” katanya sambil menghela napas kecil. “Kapan kita akan mendapatkan cucu? Rasanya sudah cukup lama kalian menikah, bukan?” Elvira yang baru saja hendak meminum air, tiba-tiba tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia cepat-cepat menutupi mulutnya dengan serbet, sementara matanya melebar panik. Arjun, yang duduk di sampingnya, menatap heran ke arahnya, tet
Beberapa hari yang lalu, Elvira harus pergi ke luar kota untuk menghadiri pemotretan. Kesibukan itu memberikan Arjun kebebasan yang tak pernah ia dapatkan saat Elvira ada di rumah. Dengan licik, dia merencanakan pertemuan dengan Olivia, yang selama ini menjadi rahasia tergelapnya. Ketika malam tiba, Arjun sudah berada di apartemen Olivia, tempat pertemuan mereka selalu berlangsung jauh dari pandangan siapa pun. Olivia membuka pintu dengan senyum menggoda yang sudah Arjun kenali dengan baik. Tubuhnya yang hanya dibalut gaun tidur tipis, dengan rambut yang tergerai, seolah mengundang Arjun masuk ke dalam perangkap penuh gairah itu. “Jadi, istrimu sedang sibuk di luar kota?” tanya Olivia sambil menutup pintu dengan pelan, mendekati Arjun dengan langkah lambat namun pasti. "Sepertinya kita punya waktu yang lebih dari cukup malam ini." Arjun menghela napas berat, melepaskan jaketnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. “Dia tidak akan kembali dalam dua hari. Cukup waktu untuk kita meni
Setelah menikmati pagi yang penuh dengan keintiman, Olivia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaian tipis yang tergantung di kursi dekat jendela. Langkahnya lambat, penuh keyakinan, seolah dia sedang mengendalikan segalanya di sekitar dirinya. Dia tahu betul bahwa dalam permainan ini, Arjun adalah pion yang sudah sepenuhnya berada dalam kendalinya. Arjun masih berbaring di atas kasur, memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman dan rasa bersalah yang samar, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Olivia bisa merasakan kekacauan batin pria itu, namun dia tidak peduli. Baginya, ini adalah tentang tujuan yang lebih besar. Setelah mengenakan pakaian, Olivia berjalan ke meja riasnya, mengambil lipstik dan memulas bibirnya dengan warna merah terang. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, dan tersenyum puas. Pikirannya sudah melangkah jauh ke depan—rencana untuk menghancurkan Elvira semakin matang. Tadi malam, dia telah m
Satu bulan berlalu sejak Olivia memulai rencananya untuk menghancurkan Elvira, dan saat ini, suasana di mansion keluarga Arjun sangat meriah. Pesta yang diadakan untuk merayakan ulang tahun ayah Arjun menarik banyak anggota keluarga dan teman-teman dekat. Arjun berdiri di tengah ruang tamu yang didekorasi megah, dikelilingi oleh kerabat dan teman-teman yang saling berbincang dengan hangat. Senyumnya yang tampak lelah menyembunyikan ketegangan yang ia rasakan, mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Di sisi lain ruangan, Olivia melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan gaun malam berwarna merah yang pas di tubuhnya, menonjolkan keanggunan dan kecantikannya. Ia terlihat seperti bintang film, dan semua mata langsung tertuju padanya saat dia melangkah ke arah Arjun. “Hai, sayang,” sapa Olivia dengan suara lembut saat mendekati Arjun, memberi kesan seolah mereka sudah saling mengenal lama. “Keluargamu sangat ramah. Aku
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na