Setelah menikmati pagi yang penuh dengan keintiman, Olivia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaian tipis yang tergantung di kursi dekat jendela. Langkahnya lambat, penuh keyakinan, seolah dia sedang mengendalikan segalanya di sekitar dirinya. Dia tahu betul bahwa dalam permainan ini, Arjun adalah pion yang sudah sepenuhnya berada dalam kendalinya. Arjun masih berbaring di atas kasur, memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman dan rasa bersalah yang samar, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Olivia bisa merasakan kekacauan batin pria itu, namun dia tidak peduli. Baginya, ini adalah tentang tujuan yang lebih besar. Setelah mengenakan pakaian, Olivia berjalan ke meja riasnya, mengambil lipstik dan memulas bibirnya dengan warna merah terang. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, dan tersenyum puas. Pikirannya sudah melangkah jauh ke depan—rencana untuk menghancurkan Elvira semakin matang. Tadi malam, dia telah m
Satu bulan berlalu sejak Olivia memulai rencananya untuk menghancurkan Elvira, dan saat ini, suasana di mansion keluarga Arjun sangat meriah. Pesta yang diadakan untuk merayakan ulang tahun ayah Arjun menarik banyak anggota keluarga dan teman-teman dekat. Arjun berdiri di tengah ruang tamu yang didekorasi megah, dikelilingi oleh kerabat dan teman-teman yang saling berbincang dengan hangat. Senyumnya yang tampak lelah menyembunyikan ketegangan yang ia rasakan, mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Di sisi lain ruangan, Olivia melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan gaun malam berwarna merah yang pas di tubuhnya, menonjolkan keanggunan dan kecantikannya. Ia terlihat seperti bintang film, dan semua mata langsung tertuju padanya saat dia melangkah ke arah Arjun. “Hai, sayang,” sapa Olivia dengan suara lembut saat mendekati Arjun, memberi kesan seolah mereka sudah saling mengenal lama. “Keluargamu sangat ramah. Aku
Olivia dan Galang melangkah keluar menuju taman yang diterangi lampu-lampu kecil di sepanjang jalur setapak. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, dan suara pesta yang masih ramai terdengar samar dari dalam mansion. Galang berjalan di sebelah Olivia, memberikan panduan sembari bercerita tentang masa kecilnya di rumah besar ini. “Kau tahu,” kata Galang sambil tersenyum, “waktu kecil, kami sering bermain di taman ini, bersembunyi di antara pohon-pohon besar dan menunggu sampai malam tiba. Kami akan memanjat pohon itu—” Galang menunjuk ke arah pohon besar di sudut taman, “dan membuat persembunyian rahasia.” Olivia tersenyum, berusaha seolah-olah benar-benar terpesona dengan cerita Galang, meskipun pikirannya sesungguhnya sedang melayang pada hal lain—terutama pada Arjun yang pasti sedang cemburu melihat kedekatannya dengan sepupu tampannya ini. “Kedengarannya sangat menyenangkan,” ucap Olivia sambil melirik Galang dengan pandangan ramah. “Aku tak pernah punya tempat bermain sepert
Olivia melangkah anggun menuju sekelompok sepupu Arjun dan Elvira yang sedang berbincang di dekat balkon, senyum manis tak pernah lepas dari bibirnya. Rambutnya yang ditata rapi bergoyang lembut saat ia berjalan, memancarkan aura tenang dan supel. Mereka menyambutnya dengan hangat, seolah Olivia adalah bagian dari keluarga besar ini, tak ada sedikit pun tanda-tanda kecurigaan dalam benak mereka. "Olivia! Kau kelihatan cantik malam ini!" ucap salah satu sepupu Elvira, Rani, sambil tersenyum lebar. "Gaunmu benar-benar indah, cocok sekali denganmu!" Olivia tersenyum lebar dan sedikit merunduk dengan sopan. “Terima kasih, Rani. Kau juga terlihat sangat mempesona.” Dia memainkan sedikit pujian, tahu betul bagaimana cara menyenangkan hati orang-orang di sekitar. “Kalian benar-benar keluarga yang luar biasa. Aku senang sekali bisa diundang ke acara seperti ini.” "Oh, kau sudah menjadi bagian dari kami sekarang," kata sepupu lai
Elvira mencoba menenangkan perasaannya yang semakin berkecamuk, tetapi tatapan Olivia yang tersenyum ke arahnya semakin membuat amarahnya memuncak. Dia tahu ada sesuatu yang salah, meski belum memiliki bukti nyata. Semua gestur Olivia, keakraban yang tampak begitu cepat dengan keluarga besar Arjun, dan bagaimana suaminya terus-menerus mencuri pandang ke arah wanita itu—semuanya terasa seperti sinyal bahaya. Saat percakapan di sekelilingnya semakin ramai, Elvira akhirnya memutuskan untuk mendekati Arjun. Dia menarik napas dalam, berusaha menormalkan wajahnya yang sedikit tegang. Tanpa menunggu lama, dia berjalan mendekati suaminya yang sedang berbicara dengan beberapa anggota keluarga lainnya. "Arjun," Elvira memanggil dengan suara lembut tapi tegas, "bisakah kita bicara sebentar? Aku butuh kamu." Arjun menoleh dan melihat ekspresi istrinya. Ada sesuatu di wajah Elvira yang tak bisa diabaikannya, meski dia berusaha tetap tenang. "Sebentar, ya. Aku lagi ngobrol," katanya pelan, tapi
Elvira menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan yang bergemuruh di dalam dadanya. Wajahnya yang semula pucat kini berusaha menampilkan ketenangan, meski di dalam, pikirannya masih kalut. Ia menatap Arjun yang berdiri di hadapannya, tatapan pria itu semakin tajam dan penuh tuntutan. Elvira tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, keadaan akan semakin buruk. Dengan gerakan halus, Elvira berdiri dan mendekati Arjun. Tangannya yang dingin menyentuh lengan suaminya, memberikan sentuhan lembut yang penuh godaan. “Arjun, sayang…” suaranya mendesah, mencoba meredakan ketegangan dengan kelembutan. “Mungkin kita bisa membicarakan ini nanti. Ayo ke kamar, biar aku yang menenangkanmu.” Ia menarik sedikit tangan Arjun, mengajaknya melangkah. Arjun mengernyit, tidak tergerak oleh sentuhan istrinya. Tatapannya tetap dingin, seperti dinding baja yang sulit ditembus. “Elvira,” ucapnya tegas, mengangkat tangannya, melepaskan pegangan Elvira dengan perlahan tapi pasti. “Aku tidak sed
Keesokan harinya, Arjun duduk di sebuah kafe, matanya menerawang jauh. Di depannya, Raka, sahabat yang sudah lama dikenalnya, menatap Arjun dengan ekspresi prihatin. Mereka sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa kata-kata, hingga akhirnya Raka membuka percakapan. "Lo kenapa, Jun? Ada masalah, ya?" tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Arjun menghela napas panjang. "Gue gak tahu harus mulai dari mana, Rak. Gue cuma ngerasa... hubungan gue sama Elvira makin renggang." Raka mengerutkan kening, penasaran. "Maksud lo gimana? Bukannya selama ini baik-baik aja?" "Di luar kelihatannya emang begitu," Arjun mengangguk pelan. "Tapi di dalam, gue sama dia sering banget ada jarak. Apalagi soal anak. Gue udah lama pengen punya anak, Rak. Tapi tiap kali gue bahas soal itu, dia selalu ngelak, selalu kasih alasan." Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap serius. "Elvira bilang apa soal itu?" "Dia bilang belum siap. Selalu gitu," jawab Arjun sambil memainkan cangkir kopinya
Elvira dan Arjun masih duduk di sofa ruang tamu, tapi suasana sudah mulai lebih tenang. Arjun menggenggam tangan Elvira erat, seolah berusaha menegaskan bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya, apapun yang terjadi. Sementara itu, Elvira tetap menunduk, menyembunyikan ekspresi aslinya, menjaga agar kebohongannya tidak terkuak sedikitpun. Dia tahu Arjun percaya sepenuhnya pada cerita keguguran itu, dan kini dia punya kendali penuh atas suaminya. Elvira memandang Arjun dengan tatapan lembut yang ia bangun dari rasa puas. "Makasih, Arjun, kamu selalu bikin aku merasa aman," ucapnya pelan, seolah-olah kata-kata itu benar-benar datang dari lubuk hatinya. Arjun mengangguk, tersenyum. "Kamu nggak perlu takut lagi, sayang. Kita akan hadapi semua ini bersama," katanya sambil menatap dalam-dalam ke mata Elvira, tidak menyadari bahwa wanita di depannya menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Besok ada acara makan malam keluarga di rumah, kamu bisa datang, kan?" tanya Elvira, menco
Beberapa hari kemudian, suasana di mansion Arjun perlahan kembali tenang setelah Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Arjun sangat protektif terhadap istrinya yang masih dalam masa pemulihan. Ia bahkan langsung memanggil seorang pengasuh berpengalaman untuk membantu Olivia merawat bayi mereka, Regan. "Bu Nia, saya percaya pada Anda untuk membantu Olivia," ucap Arjun tegas saat berbicara dengan pengasuh yang baru tiba di ruang keluarga. "Tugas Anda bukan hanya mengurus Regan, tetapi juga memastikan Olivia tidak terlalu lelah." Bu Nia mengangguk hormat. "Baik, Pak Arjun. Saya akan lakukan yang terbaik." Olivia yang duduk di sofa dengan Regan dalam pelukannya menghela napas panjang. "Aku masih bisa mengurusnya sendiri, Arjun. Aku hanya butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Arjun mendekat, menatapnya lembut sambil berlutut di hadapan istrinya. "Kamu baru saja melalui banyak hal, sayang. Biarkan aku meringankan bebanmu. Regan butuh ibunya sehat, dan aku butuh istriku kembal
Keesokan harinya, Olivia sudah diperbolehkan duduk di sofa kamar rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi senyum kecil di wajahnya mulai kembali. Di meja kecil di hadapannya, ada sepiring buah segar yang sudah dikupas rapi oleh Mama Arjun. Arjun masuk ke kamar dengan membawa Regan yang terlihat ceria. Si kecil tampak menggeliat di gendongan ayahnya, matanya yang bulat menatap ke arah Olivia. “Lihat siapa yang kangen sama mamanya,” kata Arjun dengan senyum lebar, mendekatkan Regan ke Olivia. Olivia langsung mengulurkan tangan, meski perlahan. “Sini, Mama mau peluk.” Arjun duduk di samping Olivia dan menyerahkan Regan ke pangkuannya. Si kecil langsung menggeliat nyaman di dekapan Olivia. Tatapan Olivia melembut, dan air matanya hampir jatuh lagi. “Mama kangen sekali, Nak,” bisiknya sambil mencium kening Regan. “Pelan-pelan, Liv,” ujar Arjun, tangannya menahan punggung Olivia agar tidak terlalu condong. “Kamu masih perlu istirahat.” “Aku baik-baik saja, Jun. Melihat Regan su
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira