Keesokan harinya, Arjun duduk di sebuah kafe, matanya menerawang jauh. Di depannya, Raka, sahabat yang sudah lama dikenalnya, menatap Arjun dengan ekspresi prihatin. Mereka sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa kata-kata, hingga akhirnya Raka membuka percakapan. "Lo kenapa, Jun? Ada masalah, ya?" tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Arjun menghela napas panjang. "Gue gak tahu harus mulai dari mana, Rak. Gue cuma ngerasa... hubungan gue sama Elvira makin renggang." Raka mengerutkan kening, penasaran. "Maksud lo gimana? Bukannya selama ini baik-baik aja?" "Di luar kelihatannya emang begitu," Arjun mengangguk pelan. "Tapi di dalam, gue sama dia sering banget ada jarak. Apalagi soal anak. Gue udah lama pengen punya anak, Rak. Tapi tiap kali gue bahas soal itu, dia selalu ngelak, selalu kasih alasan." Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap serius. "Elvira bilang apa soal itu?" "Dia bilang belum siap. Selalu gitu," jawab Arjun sambil memainkan cangkir kopinya
Elvira dan Arjun masih duduk di sofa ruang tamu, tapi suasana sudah mulai lebih tenang. Arjun menggenggam tangan Elvira erat, seolah berusaha menegaskan bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya, apapun yang terjadi. Sementara itu, Elvira tetap menunduk, menyembunyikan ekspresi aslinya, menjaga agar kebohongannya tidak terkuak sedikitpun. Dia tahu Arjun percaya sepenuhnya pada cerita keguguran itu, dan kini dia punya kendali penuh atas suaminya. Elvira memandang Arjun dengan tatapan lembut yang ia bangun dari rasa puas. "Makasih, Arjun, kamu selalu bikin aku merasa aman," ucapnya pelan, seolah-olah kata-kata itu benar-benar datang dari lubuk hatinya. Arjun mengangguk, tersenyum. "Kamu nggak perlu takut lagi, sayang. Kita akan hadapi semua ini bersama," katanya sambil menatap dalam-dalam ke mata Elvira, tidak menyadari bahwa wanita di depannya menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Besok ada acara makan malam keluarga di rumah, kamu bisa datang, kan?" tanya Elvira, menco
Olivia menatap pesan dari Arjun sejenak, lalu menghela napas panjang. Biasanya, pesan singkat seperti itu akan membuatnya kesal—membuat cemburu dan amarahnya memuncak. Namun, kali ini, dia memilih untuk tidak ambil pusing. Menghabiskan energi memikirkan Arjun dan segala urusan “penting”-nya bukanlah cara yang efektif untuk menjalani hari ini. "Dia pasti balik lagi nanti. Selalu begitu," gumamnya, meletakkan ponsel dengan sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Sambil mengaduk sisa kopi yang mulai dingin, Olivia menatap keluar jendela apartemennya. Langit cerah, tapi pikirannya penuh dengan intrik dan rencana yang jauh lebih kompleks daripada hubungan panasnya dengan Arjun. Dia sudah memutuskan sejak lama bahwa tidak ada gunanya bertindak gegabah. Dia punya rencana jangka panjang, dan salah satu bagian dari rencana itu adalah membiarkan Arjun datang kepadanya ketika dia sudah benar-benar merasa terpojok. "Toh, dia nggak mungkin meninggalkan aku begitu aja," pikir Olivia, menyun
Keesokan harinya, Olivia duduk di sebuah kafe di pusat perbelanjaan yang ramai, menikmati secangkir cappuccino ketika salah satu sepupu Arjun, Maya, mendekatinya dengan senyuman lebar. "Hey, Olivia! Sini, duduk di sini!" serunya ceria, menarik kursi di depan Olivia dan duduk tanpa ragu. "Aku baru aja dari butik dan lihat banyak barang lucu! Kamu harus lihat!" Olivia mengangkat alisnya, merasa senang dengan ajakan itu. "Oh, ya? Apa ada yang menarik?" "Banyak! Baju-baju musim panas yang cantik, tas-tas baru, dan sepatu! Kita harus belanja bersama. Ayo, ikut aku!" Maya tidak memberi Olivia kesempatan untuk menolak. Dengan senyum lebar, Olivia mengangguk. "Baiklah, aku ikut. Lagipula, aku butuh beberapa pakaian baru." Setelah menyelesaikan minuman mereka, Maya menggandeng tangan Olivia dan mengarahkannya ke butik yang sedang hits di sana. Begitu masuk, Olivia langsung disambut oleh deretan pakaian berwarna cerah yang menggantung rapi di etalase. "Wow, semuanya terlihat menawan
Setelah mereka bersulang, Maya tampak lebih rileks. Percakapan berlanjut ke topik-topik ringan, tetapi Olivia tetap fokus pada tujuannya. Dia menunggu momen yang tepat untuk menggali lebih dalam tentang hubungan Maya dengan Elvira. "Kamu tahu," Olivia memulai dengan senyum yang tampak manis, "kadang aku merasa Elvira itu terlalu... perfeksionis. Selalu ingin segalanya sesuai dengan keinginannya. Bukankah begitu?" Maya mendesah, tatapannya kosong sejenak. "Iya, dia memang begitu. Terkadang aku bertanya-tanya, apa Arjun tidak lelah menghadapi sikapnya itu? Apalagi soal anak. Seharusnya mereka sudah punya keturunan sejak dulu." Olivia tersenyum tipis, ini yang dia butuhkan. "Ya, aku juga berpikir begitu. Arjun sepertinya tipe pria yang ingin segera membangun keluarga besar. Mungkin dia merasa ada yang kurang selama ini." "Tentu saja," Maya menjawab cepat. "Dia sudah bicara soal anak sejak mereka menikah. Tapi Elvira selalu punya alasan. Aku heran, apa sebenarnya yang Elvira tungg
Keesokan paginya, Olivia bangun dengan perasaan segar setelah tidur panjang di apartemennya yang mewah. Setelah bersiap, dia mengenakan setelan kerja yang sempurna—blazer hitam elegan dan rok pensil yang memperlihatkan siluet profesional namun tetap memikat. Dengan cepat, dia menuju mobilnya dan melaju menuju kantor. Jalanan cukup ramai pagi itu, tapi Olivia tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan ritme hidupnya yang kini lebih mewah dan penuh strategi. Sesampainya di kantor, Olivia melangkah masuk dengan anggun. Semua orang di sekitarnya menyambutnya seperti biasa—sopan, hormat, namun tetap menjaga jarak. Dia tahu, di balik senyum mereka, ada rasa kagum sekaligus was-was karena posisinya sebagai sekretaris CEO, Arjun, memberinya kekuasaan yang tidak main-main. "Pagi, Olivia! Udah siap untuk meeting hari ini?" Tanya Nina, salah satu rekan kerjanya, saat mereka berpapasan di lobi. "Pagi, Nina. Siap dong, kamu gimana? Meeting hari ini pasti bakal panjang," jawab Olivia sambil ters
Setelah beberapa saat, mereka berbaring di ranjang, napas masih memburu. Arjun menatap langit-langit kamar, sementara Olivia berguling ke sampingnya, menatap wajah pria itu dengan senyum kecil di bibirnya. "Kamu nggak akan pergi sekarang, kan?" Olivia bertanya sambil menyentuh dada Arjun dengan jari-jari halusnya. "Aku suka kalau kamu di sini. Setidaknya sebentar lagi." Arjun menarik napas dalam, mengusap rambut Olivia. "Aku nggak bisa terlalu lama. Elvira akan curiga." "Oh, Elvira lagi. Apa kamu nggak capek terus-terusan mikirin dia?" Olivia mendesah, matanya sedikit mengerut. "Aku yang ada di sini sekarang, bukan dia." Arjun terdiam, tidak menjawab dengan cepat, tapi kemudian berbalik dan menatap Olivia dalam-dalam. "Kamu tahu aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja. Elvira adalah istri gue, Olivia." Olivia memutar mata, sedikit kesal. "Istri? Istri yang bahkan nggak bisa bikin kamu bahagia. Kamu lebih sering sama aku daripada dia, kan? Kamu tahu kamu butuh aku, Arjun. Kit
Setelah berpakaian rapi, Arjun dan Olivia keluar dari kantor dengan wajah datar, berusaha menjaga sikap profesional di depan staf yang sesekali melirik mereka. Namun, di balik wajah dingin Arjun, ada bara yang terus menyala sejak percakapan panas di ruangannya tadi. Tanpa banyak bicara, Arjun segera mengantar Olivia ke mobilnya, menginjak pedal gas dan melaju menuju mansion tempat mereka biasa bertemu secara rahasia. Di sepanjang perjalanan, Olivia masih tampak tenang, sesekali melirik ke arah Arjun yang rahangnya mengeras, menahan amarah dan hasrat yang bercampur aduk. Olivia tahu, malam ini akan panjang, dan Arjun tidak akan melepaskannya dengan mudah. Begitu tiba di mansion, Arjun menarik Olivia keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Tangannya mencengkeram lengan Olivia erat, mengarahkannya ke dalam rumah mewah itu. Pintu depan terbuka dengan suara keras, dan tanpa basa-basi, Arjun langsung menyeretnya ke kamar utama yang menjadi tempat rahasia mereka selama ini. Begitu pintu
Beberapa hari kemudian, suasana di mansion Arjun perlahan kembali tenang setelah Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Arjun sangat protektif terhadap istrinya yang masih dalam masa pemulihan. Ia bahkan langsung memanggil seorang pengasuh berpengalaman untuk membantu Olivia merawat bayi mereka, Regan. "Bu Nia, saya percaya pada Anda untuk membantu Olivia," ucap Arjun tegas saat berbicara dengan pengasuh yang baru tiba di ruang keluarga. "Tugas Anda bukan hanya mengurus Regan, tetapi juga memastikan Olivia tidak terlalu lelah." Bu Nia mengangguk hormat. "Baik, Pak Arjun. Saya akan lakukan yang terbaik." Olivia yang duduk di sofa dengan Regan dalam pelukannya menghela napas panjang. "Aku masih bisa mengurusnya sendiri, Arjun. Aku hanya butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Arjun mendekat, menatapnya lembut sambil berlutut di hadapan istrinya. "Kamu baru saja melalui banyak hal, sayang. Biarkan aku meringankan bebanmu. Regan butuh ibunya sehat, dan aku butuh istriku kembal
Keesokan harinya, Olivia sudah diperbolehkan duduk di sofa kamar rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi senyum kecil di wajahnya mulai kembali. Di meja kecil di hadapannya, ada sepiring buah segar yang sudah dikupas rapi oleh Mama Arjun. Arjun masuk ke kamar dengan membawa Regan yang terlihat ceria. Si kecil tampak menggeliat di gendongan ayahnya, matanya yang bulat menatap ke arah Olivia. “Lihat siapa yang kangen sama mamanya,” kata Arjun dengan senyum lebar, mendekatkan Regan ke Olivia. Olivia langsung mengulurkan tangan, meski perlahan. “Sini, Mama mau peluk.” Arjun duduk di samping Olivia dan menyerahkan Regan ke pangkuannya. Si kecil langsung menggeliat nyaman di dekapan Olivia. Tatapan Olivia melembut, dan air matanya hampir jatuh lagi. “Mama kangen sekali, Nak,” bisiknya sambil mencium kening Regan. “Pelan-pelan, Liv,” ujar Arjun, tangannya menahan punggung Olivia agar tidak terlalu condong. “Kamu masih perlu istirahat.” “Aku baik-baik saja, Jun. Melihat Regan su
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira