Olivia menatap pesan dari Arjun sejenak, lalu menghela napas panjang. Biasanya, pesan singkat seperti itu akan membuatnya kesal—membuat cemburu dan amarahnya memuncak. Namun, kali ini, dia memilih untuk tidak ambil pusing. Menghabiskan energi memikirkan Arjun dan segala urusan “penting”-nya bukanlah cara yang efektif untuk menjalani hari ini. "Dia pasti balik lagi nanti. Selalu begitu," gumamnya, meletakkan ponsel dengan sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Sambil mengaduk sisa kopi yang mulai dingin, Olivia menatap keluar jendela apartemennya. Langit cerah, tapi pikirannya penuh dengan intrik dan rencana yang jauh lebih kompleks daripada hubungan panasnya dengan Arjun. Dia sudah memutuskan sejak lama bahwa tidak ada gunanya bertindak gegabah. Dia punya rencana jangka panjang, dan salah satu bagian dari rencana itu adalah membiarkan Arjun datang kepadanya ketika dia sudah benar-benar merasa terpojok. "Toh, dia nggak mungkin meninggalkan aku begitu aja," pikir Olivia, menyun
Keesokan harinya, Olivia duduk di sebuah kafe di pusat perbelanjaan yang ramai, menikmati secangkir cappuccino ketika salah satu sepupu Arjun, Maya, mendekatinya dengan senyuman lebar. "Hey, Olivia! Sini, duduk di sini!" serunya ceria, menarik kursi di depan Olivia dan duduk tanpa ragu. "Aku baru aja dari butik dan lihat banyak barang lucu! Kamu harus lihat!" Olivia mengangkat alisnya, merasa senang dengan ajakan itu. "Oh, ya? Apa ada yang menarik?" "Banyak! Baju-baju musim panas yang cantik, tas-tas baru, dan sepatu! Kita harus belanja bersama. Ayo, ikut aku!" Maya tidak memberi Olivia kesempatan untuk menolak. Dengan senyum lebar, Olivia mengangguk. "Baiklah, aku ikut. Lagipula, aku butuh beberapa pakaian baru." Setelah menyelesaikan minuman mereka, Maya menggandeng tangan Olivia dan mengarahkannya ke butik yang sedang hits di sana. Begitu masuk, Olivia langsung disambut oleh deretan pakaian berwarna cerah yang menggantung rapi di etalase. "Wow, semuanya terlihat menawan
Setelah mereka bersulang, Maya tampak lebih rileks. Percakapan berlanjut ke topik-topik ringan, tetapi Olivia tetap fokus pada tujuannya. Dia menunggu momen yang tepat untuk menggali lebih dalam tentang hubungan Maya dengan Elvira. "Kamu tahu," Olivia memulai dengan senyum yang tampak manis, "kadang aku merasa Elvira itu terlalu... perfeksionis. Selalu ingin segalanya sesuai dengan keinginannya. Bukankah begitu?" Maya mendesah, tatapannya kosong sejenak. "Iya, dia memang begitu. Terkadang aku bertanya-tanya, apa Arjun tidak lelah menghadapi sikapnya itu? Apalagi soal anak. Seharusnya mereka sudah punya keturunan sejak dulu." Olivia tersenyum tipis, ini yang dia butuhkan. "Ya, aku juga berpikir begitu. Arjun sepertinya tipe pria yang ingin segera membangun keluarga besar. Mungkin dia merasa ada yang kurang selama ini." "Tentu saja," Maya menjawab cepat. "Dia sudah bicara soal anak sejak mereka menikah. Tapi Elvira selalu punya alasan. Aku heran, apa sebenarnya yang Elvira tungg
Keesokan paginya, Olivia bangun dengan perasaan segar setelah tidur panjang di apartemennya yang mewah. Setelah bersiap, dia mengenakan setelan kerja yang sempurna—blazer hitam elegan dan rok pensil yang memperlihatkan siluet profesional namun tetap memikat. Dengan cepat, dia menuju mobilnya dan melaju menuju kantor. Jalanan cukup ramai pagi itu, tapi Olivia tetap tenang. Dia sudah terbiasa dengan ritme hidupnya yang kini lebih mewah dan penuh strategi. Sesampainya di kantor, Olivia melangkah masuk dengan anggun. Semua orang di sekitarnya menyambutnya seperti biasa—sopan, hormat, namun tetap menjaga jarak. Dia tahu, di balik senyum mereka, ada rasa kagum sekaligus was-was karena posisinya sebagai sekretaris CEO, Arjun, memberinya kekuasaan yang tidak main-main. "Pagi, Olivia! Udah siap untuk meeting hari ini?" Tanya Nina, salah satu rekan kerjanya, saat mereka berpapasan di lobi. "Pagi, Nina. Siap dong, kamu gimana? Meeting hari ini pasti bakal panjang," jawab Olivia sambil ters
Setelah beberapa saat, mereka berbaring di ranjang, napas masih memburu. Arjun menatap langit-langit kamar, sementara Olivia berguling ke sampingnya, menatap wajah pria itu dengan senyum kecil di bibirnya. "Kamu nggak akan pergi sekarang, kan?" Olivia bertanya sambil menyentuh dada Arjun dengan jari-jari halusnya. "Aku suka kalau kamu di sini. Setidaknya sebentar lagi." Arjun menarik napas dalam, mengusap rambut Olivia. "Aku nggak bisa terlalu lama. Elvira akan curiga." "Oh, Elvira lagi. Apa kamu nggak capek terus-terusan mikirin dia?" Olivia mendesah, matanya sedikit mengerut. "Aku yang ada di sini sekarang, bukan dia." Arjun terdiam, tidak menjawab dengan cepat, tapi kemudian berbalik dan menatap Olivia dalam-dalam. "Kamu tahu aku nggak bisa ninggalin dia begitu aja. Elvira adalah istri gue, Olivia." Olivia memutar mata, sedikit kesal. "Istri? Istri yang bahkan nggak bisa bikin kamu bahagia. Kamu lebih sering sama aku daripada dia, kan? Kamu tahu kamu butuh aku, Arjun. Kit
Setelah berpakaian rapi, Arjun dan Olivia keluar dari kantor dengan wajah datar, berusaha menjaga sikap profesional di depan staf yang sesekali melirik mereka. Namun, di balik wajah dingin Arjun, ada bara yang terus menyala sejak percakapan panas di ruangannya tadi. Tanpa banyak bicara, Arjun segera mengantar Olivia ke mobilnya, menginjak pedal gas dan melaju menuju mansion tempat mereka biasa bertemu secara rahasia. Di sepanjang perjalanan, Olivia masih tampak tenang, sesekali melirik ke arah Arjun yang rahangnya mengeras, menahan amarah dan hasrat yang bercampur aduk. Olivia tahu, malam ini akan panjang, dan Arjun tidak akan melepaskannya dengan mudah. Begitu tiba di mansion, Arjun menarik Olivia keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Tangannya mencengkeram lengan Olivia erat, mengarahkannya ke dalam rumah mewah itu. Pintu depan terbuka dengan suara keras, dan tanpa basa-basi, Arjun langsung menyeretnya ke kamar utama yang menjadi tempat rahasia mereka selama ini. Begitu pintu
Siang itu, Olivia duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota, menunggu Elvira. Dia sudah menduga bahwa Elvira akan mulai curiga. Setelah berminggu-minggu bermain api dengan Arjun dan mengatur setiap gerakan agar tampak tidak mencolok, Olivia yakin, pada akhirnya, istri sah itu pasti akan menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Dan kali ini, Olivia siap. Elvira muncul dengan langkah cepat, wajahnya tegang. Mata tajamnya langsung menatap Olivia yang duduk santai di sudut kafe, mengenakan gaun elegan yang tampak mencolok, bahkan untuk pertemuan yang seharusnya ‘kasual’. Olivia tersenyum tipis begitu melihat Elvira mendekat, dan tanpa menunggu sapaan, Elvira langsung duduk di hadapannya dengan tatapan menusuk. "Jadi, kamu pikir aku nggak akan tahu?" suara Elvira bergetar, amarah jelas mengalir di setiap katanya. Tangannya terkepal di atas meja, seolah siap meledak kapan saja. Olivia menatap Elvira dengan tatapan yang tenang, bahkan sedikit mengejek. "Tahu apa?" jawab Olivia dengan nad
Di ruang tamu megah mansion keluarga Arjun, Elvira duduk bersama kedua mertuanya, mencoba menjaga ekspresi tenang meskipun dalam hati dia merasa gelisah. Orang tua Arjun tampak santai, menikmati teh sore sambil berbincang ringan. Namun, Elvira tahu waktunya untuk berbicara sudah tiba. "Mama, Papa," Elvira memulai dengan nada lembut namun tegas, matanya sedikit menunduk seolah-olah sedang berpikir. "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan... tentang Olivia." Mama Arjun, seorang wanita anggun berusia senja dengan rambut disanggul rapi, menoleh dengan alis terangkat sedikit. "Olivia? Sekretaris Arjun?" tanyanya sambil meletakkan cangkir tehnya. "Kenapa dengan dia, sayang?" Elvira menelan ludah, mencoba menahan keresahan yang semakin besar di dalam dirinya. "Aku nggak tahu, Ma, tapi... aku merasa ada sesuatu yang nggak beres dengan Olivia. Dia terlalu dekat dengan Arjun akhir-akhir ini, dan aku khawatir..." Papa Arjun, yang duduk di samping istrinya, memandang Elvira dengan tatapan p
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na