Di kediaman mewah keluarga Arjun, suasana makan malam berlangsung dengan suasana tenang. Elvira duduk di antara mertua dan suaminya, Arjun, sambil sesekali menyendokkan sup ke mulutnya. Raut wajahnya terlihat tenang seperti biasa, namun dalam hatinya dia merasa sedikit tegang setiap kali menghabiskan waktu bersama orang tua Arjun. Ada perasaan tak nyaman yang selalu menghantuinya. Tiba-tiba, ibu Arjun, Ny. Sharma, meletakkan sendoknya dan menatap langsung ke arah Elvira dengan senyum ramah namun penuh maksud. “Elvira sayang, aku dan ayah Arjun sudah lama ingin menanyakan ini pada kalian berdua,” katanya sambil menghela napas kecil. “Kapan kita akan mendapatkan cucu? Rasanya sudah cukup lama kalian menikah, bukan?” Elvira yang baru saja hendak meminum air, tiba-tiba tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia cepat-cepat menutupi mulutnya dengan serbet, sementara matanya melebar panik. Arjun, yang duduk di sampingnya, menatap heran ke arahnya, tet
Beberapa hari yang lalu, Elvira harus pergi ke luar kota untuk menghadiri pemotretan. Kesibukan itu memberikan Arjun kebebasan yang tak pernah ia dapatkan saat Elvira ada di rumah. Dengan licik, dia merencanakan pertemuan dengan Olivia, yang selama ini menjadi rahasia tergelapnya. Ketika malam tiba, Arjun sudah berada di apartemen Olivia, tempat pertemuan mereka selalu berlangsung jauh dari pandangan siapa pun. Olivia membuka pintu dengan senyum menggoda yang sudah Arjun kenali dengan baik. Tubuhnya yang hanya dibalut gaun tidur tipis, dengan rambut yang tergerai, seolah mengundang Arjun masuk ke dalam perangkap penuh gairah itu. “Jadi, istrimu sedang sibuk di luar kota?” tanya Olivia sambil menutup pintu dengan pelan, mendekati Arjun dengan langkah lambat namun pasti. "Sepertinya kita punya waktu yang lebih dari cukup malam ini." Arjun menghela napas berat, melepaskan jaketnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. “Dia tidak akan kembali dalam dua hari. Cukup waktu untuk kita meni
Setelah menikmati pagi yang penuh dengan keintiman, Olivia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaian tipis yang tergantung di kursi dekat jendela. Langkahnya lambat, penuh keyakinan, seolah dia sedang mengendalikan segalanya di sekitar dirinya. Dia tahu betul bahwa dalam permainan ini, Arjun adalah pion yang sudah sepenuhnya berada dalam kendalinya. Arjun masih berbaring di atas kasur, memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman dan rasa bersalah yang samar, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Olivia bisa merasakan kekacauan batin pria itu, namun dia tidak peduli. Baginya, ini adalah tentang tujuan yang lebih besar. Setelah mengenakan pakaian, Olivia berjalan ke meja riasnya, mengambil lipstik dan memulas bibirnya dengan warna merah terang. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, dan tersenyum puas. Pikirannya sudah melangkah jauh ke depan—rencana untuk menghancurkan Elvira semakin matang. Tadi malam, dia telah m
Satu bulan berlalu sejak Olivia memulai rencananya untuk menghancurkan Elvira, dan saat ini, suasana di mansion keluarga Arjun sangat meriah. Pesta yang diadakan untuk merayakan ulang tahun ayah Arjun menarik banyak anggota keluarga dan teman-teman dekat. Arjun berdiri di tengah ruang tamu yang didekorasi megah, dikelilingi oleh kerabat dan teman-teman yang saling berbincang dengan hangat. Senyumnya yang tampak lelah menyembunyikan ketegangan yang ia rasakan, mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Di sisi lain ruangan, Olivia melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan gaun malam berwarna merah yang pas di tubuhnya, menonjolkan keanggunan dan kecantikannya. Ia terlihat seperti bintang film, dan semua mata langsung tertuju padanya saat dia melangkah ke arah Arjun. “Hai, sayang,” sapa Olivia dengan suara lembut saat mendekati Arjun, memberi kesan seolah mereka sudah saling mengenal lama. “Keluargamu sangat ramah. Aku
Olivia dan Galang melangkah keluar menuju taman yang diterangi lampu-lampu kecil di sepanjang jalur setapak. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, dan suara pesta yang masih ramai terdengar samar dari dalam mansion. Galang berjalan di sebelah Olivia, memberikan panduan sembari bercerita tentang masa kecilnya di rumah besar ini. “Kau tahu,” kata Galang sambil tersenyum, “waktu kecil, kami sering bermain di taman ini, bersembunyi di antara pohon-pohon besar dan menunggu sampai malam tiba. Kami akan memanjat pohon itu—” Galang menunjuk ke arah pohon besar di sudut taman, “dan membuat persembunyian rahasia.” Olivia tersenyum, berusaha seolah-olah benar-benar terpesona dengan cerita Galang, meskipun pikirannya sesungguhnya sedang melayang pada hal lain—terutama pada Arjun yang pasti sedang cemburu melihat kedekatannya dengan sepupu tampannya ini. “Kedengarannya sangat menyenangkan,” ucap Olivia sambil melirik Galang dengan pandangan ramah. “Aku tak pernah punya tempat bermain sepert
Olivia melangkah anggun menuju sekelompok sepupu Arjun dan Elvira yang sedang berbincang di dekat balkon, senyum manis tak pernah lepas dari bibirnya. Rambutnya yang ditata rapi bergoyang lembut saat ia berjalan, memancarkan aura tenang dan supel. Mereka menyambutnya dengan hangat, seolah Olivia adalah bagian dari keluarga besar ini, tak ada sedikit pun tanda-tanda kecurigaan dalam benak mereka. "Olivia! Kau kelihatan cantik malam ini!" ucap salah satu sepupu Elvira, Rani, sambil tersenyum lebar. "Gaunmu benar-benar indah, cocok sekali denganmu!" Olivia tersenyum lebar dan sedikit merunduk dengan sopan. “Terima kasih, Rani. Kau juga terlihat sangat mempesona.” Dia memainkan sedikit pujian, tahu betul bagaimana cara menyenangkan hati orang-orang di sekitar. “Kalian benar-benar keluarga yang luar biasa. Aku senang sekali bisa diundang ke acara seperti ini.” "Oh, kau sudah menjadi bagian dari kami sekarang," kata sepupu lai
Elvira mencoba menenangkan perasaannya yang semakin berkecamuk, tetapi tatapan Olivia yang tersenyum ke arahnya semakin membuat amarahnya memuncak. Dia tahu ada sesuatu yang salah, meski belum memiliki bukti nyata. Semua gestur Olivia, keakraban yang tampak begitu cepat dengan keluarga besar Arjun, dan bagaimana suaminya terus-menerus mencuri pandang ke arah wanita itu—semuanya terasa seperti sinyal bahaya. Saat percakapan di sekelilingnya semakin ramai, Elvira akhirnya memutuskan untuk mendekati Arjun. Dia menarik napas dalam, berusaha menormalkan wajahnya yang sedikit tegang. Tanpa menunggu lama, dia berjalan mendekati suaminya yang sedang berbicara dengan beberapa anggota keluarga lainnya. "Arjun," Elvira memanggil dengan suara lembut tapi tegas, "bisakah kita bicara sebentar? Aku butuh kamu." Arjun menoleh dan melihat ekspresi istrinya. Ada sesuatu di wajah Elvira yang tak bisa diabaikannya, meski dia berusaha tetap tenang. "Sebentar, ya. Aku lagi ngobrol," katanya pelan, tapi
Elvira menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan yang bergemuruh di dalam dadanya. Wajahnya yang semula pucat kini berusaha menampilkan ketenangan, meski di dalam, pikirannya masih kalut. Ia menatap Arjun yang berdiri di hadapannya, tatapan pria itu semakin tajam dan penuh tuntutan. Elvira tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, keadaan akan semakin buruk. Dengan gerakan halus, Elvira berdiri dan mendekati Arjun. Tangannya yang dingin menyentuh lengan suaminya, memberikan sentuhan lembut yang penuh godaan. “Arjun, sayang…” suaranya mendesah, mencoba meredakan ketegangan dengan kelembutan. “Mungkin kita bisa membicarakan ini nanti. Ayo ke kamar, biar aku yang menenangkanmu.” Ia menarik sedikit tangan Arjun, mengajaknya melangkah. Arjun mengernyit, tidak tergerak oleh sentuhan istrinya. Tatapannya tetap dingin, seperti dinding baja yang sulit ditembus. “Elvira,” ucapnya tegas, mengangkat tangannya, melepaskan pegangan Elvira dengan perlahan tapi pasti. “Aku tidak sed
Nayla menundukkan kepala, mendengarkan ibunya bicara dengan suara lembut namun penuh ketegasan. "Nayla, Ibu tahu kamu sudah melalui banyak hal. Perceraian itu bukan hal mudah, apalagi dengan segala yang Darren lakukan padamu," ujar ibunya sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi Ibu nggak mau kamu terjebak dalam kebingungan. Kamu harus benar-benar berpikir sebelum mengambil keputusan lagi." Nayla menggigit bibir, menatap jemari mereka yang saling menggenggam. "Ibu, aku juga nggak mau gegabah. Aku cuma..." Ibunya menatapnya lekat. "Kamu takut, kan?" Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu itu benar. "Regan memang baik, Ibu nggak menyangkal itu. Tapi apakah kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu? Apakah dia benar-benar yang kamu inginkan, atau hanya karena kamu merasa kesepian?" Nayla menelan ludah, mencoba mencari jawaban di hatinya. Ibunya melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Ibu cuma nggak mau kamu terluka lagi, Nak. Kamu berhak bahagia, tapi pastika
Beberapa bulan setelah resmi bercerai, Nayla mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang janda. Meski awalnya berat, ia mulai menikmati kebebasan yang kini dimilikinya. Tak ada lagi tekanan, tak ada lagi tuduhan menyakitkan dari Darren, dan yang terpenting, ia tak lagi merasa sendirian. Pagi ini, seperti biasa, Nayla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca novel. Matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, dan angin sepoi-sepoi mengelus rambutnya yang tergerai. "Akhirnya, hidupku terasa damai," gumamnya pelan. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Regan muncul di layar. Nayla tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Pagi, Regan." "Pagi, Nayla. Apa rencanamu hari ini?" suara pria itu terdengar santai, seperti biasa. Nayla menghela napas kecil. "Belum ada rencana. Mungkin ke butik, mencari beberapa baju baru. Aku butuh suasana baru." Regan terkekeh. "Bagus, kamu mulai menikmati waktumu sendiri. Tapi… bagaimana kalau aku menemanimu?
Setelah berbincang dengan Olivia, Nayla merasa lebih tenang. Namun, begitu ia berbalik untuk pergi ke kamarnya, langkahnya terhenti saat melihat sosok Regan berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Tatapan pria itu begitu lembut, penuh ketulusan yang membuat Nayla hampir kehilangan kata-kata. Regan melangkah mendekat, lalu menyentuh pipi Nayla dengan jemarinya. "Aku mendengar semuanya," ucapnya pelan. "Apa yang kamu katakan pada Mom tadi… itu benar-benar berarti untukku, Nayla." Nayla menundukkan kepala, wajahnya memanas. "Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Regan tersenyum, lalu meraih kedua tangan Nayla dan menggenggamnya erat. "Kalau begitu, aku ingin kamu juga mendengar sesuatu dariku." Nayla mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu dengan rasa penasaran. "Aku mencintaimu, Nayla. Dari dulu, sejak pertama kali aku melihatmu dalam kesedihanmu, aku tahu aku ingin melindungi dan membahagiakanmu. Aku tidak peduli dengan masa lalu atau siapa pun yang mencoba menghalangi
Regan menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Nama sang ibu, Olivia, tertera di sana. Ia tahu, cepat atau lambat, pembicaraan ini akan terjadi. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat panggilan itu. "Regan, Nak. Bisakah kamu datang ke mansion sekarang?" Suara Olivia terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Regan melirik sekilas ke arah Nayla, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil. Wanita itu masih tampak lelah setelah sidang, tetapi tetap tenang. "Ada apa, Mom?" tanya Regan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Kamu tahu ini tentang apa," jawab Olivia. "Ayahmu juga ingin bicara denganmu. Dan bawalah Nayla bersamamu." Regan menghela napas dalam. "Baiklah. Kami akan segera ke sana." Setelah menutup panggilan, ia menoleh pada Nayla. "Mom dan Dad ingin kita datang ke mansion." Nayla menegang sejenak. "Aku sudah bisa menebak," katanya lirih. "Mereka pasti ingin membahas semuanya, terutama soal kita." Regan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kita ha
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Nayla melangkah memasuki ruang sidang dengan kepala tegak, meskipun dadanya berdebar kencang. Regan berdiri di belakangnya, memberikan dukungan tanpa suara. Ia tahu betapa pentingnya hari ini bagi Nayla. Darren sudah duduk di kursi penggugat, wajahnya dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka. Ia menatap Nayla dengan sorot mata tajam, seolah menantang wanita itu untuk mundur. Namun, Nayla tidak goyah. Ia sudah siap. Hakim mengetuk palunya, membuka sidang perceraian mereka. "Saudari Nayla, Anda mengajukan gugatan cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan perselingkuhan dari pihak suami. Apakah benar demikian?" Nayla mengangguk mantap. "Benar, Yang Mulia." Darren mendengus sinis. "Itu semua kebohongan. Dia hanya ingin meninggalkanku demi pria lain!" Hakim menatap Darren tajam. "Saudara Darren, harap jaga sikap Anda di persidangan." Nayla menghela napas panjang sebelum berbicara, suaranya jernih dan mantap. "Selama bertahun-tahun saya
Darren Bersiap Menyerang, Regan Tidak Tinggal Diam Di vila rahasia, Regan duduk di depan layar komputer besar dengan ekspresi tegang. Seorang pengawalnya baru saja memberi laporan tentang Darren yang mulai bergerak. Melalui kamera pengintai dan beberapa informan, ia bisa melihat Darren sedang mengumpulkan anak buahnya. "Dia sudah menemukan lokasi kita," kata Regan dengan suara dingin, matanya tajam menatap layar. Nayla yang duduk di sofa menegang mendengar itu. "Apa? Bagaimana bisa?" Regan menutup laptopnya dengan tenang, lalu bangkit dan menghampiri Nayla. "Darren memang licik, tapi aku sudah mengantisipasi ini. Aku sengaja membiarkan sedikit petunjuk agar dia berpikir dia lebih unggul. Tapi sebenarnya, ini jebakan." Nayla menatap Regan dengan bingung. "Jebakan?" Regan tersenyum tipis. "Ya. Aku ingin memastikan dia membuat kesalahan fatal kali ini. Jika dia datang dengan niat buruk, aku akan memastikan dia tidak bisa lolos dari hukum lagi." Tiba-tiba, salah satu pengawa
Regan Tak Tinggal Diam Regan menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Berita tentang dirinya menyebar seperti api, dan media terus menggiring opini bahwa ia telah menculik Nayla. Tak ingin tinggal diam, Regan segera menghubungi kepala tim PR-nya. "Aku ingin konferensi pers. Segera." Suara di ujung telepon terdengar ragu. "Tuan Regan, situasinya cukup sensitif. Jika Anda bicara sekarang tanpa bukti kuat, justru bisa memperburuk keadaan." Regan mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli. Siapkan semuanya. Aku akan membalikkan keadaan." Sementara itu, Nayla duduk di sofa dengan tatapan kosong. Ia merasa bersalah karena Regan harus menghadapi semua ini gara-gara dirinya. Regan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. "Jangan khawatir. Aku akan membuat dunia tahu siapa yang sebenarnya bersalah." Nayla menghela napas dalam. "Tapi Regan… jika Darren semakin marah, dia bisa melakukan hal yang lebih buruk." Regan menatapnya tajam. "Dia boleh mencoba, tapi aku tidak akan memb
Kemurkaan Darren dan Kesiapan Regan Di kediaman keluarga Anderson, Darren menggebrak meja dengan keras, matanya memerah penuh amarah. "Di mana dia menyembunyikan istriku?!" bentaknya tajam ke arah Olivia dan Arjun. Olivia yang duduk di sofa tampak berusaha mempertahankan ketenangannya meski jelas ia sangat syok dengan tindakan putranya. "Darren, aku tahu kau marah, tapi menggebrak meja di rumah orang lain bukan tindakan yang pantas." "Jangan bicara soal pantas atau tidak, Nyonya Olivia," dengus Darren sinis. "Aku tahu putramu yang membawa kabur Nayla! Dia pikir siapa dia bisa mencampuri rumah tanggaku?! Aku mau dia mengembalikan istriku sekarang juga!" Arjun yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau Nayla benar-benar ingin kembali padamu, Darren, dia pasti sudah melakukannya. Nyatanya, dia tidak ingin kembali padamu, kan?" Darren mengertakkan gigi, wajahnya merah padam. "Itu karena Regan yang menculiknya!" Olivia menatap Darren tajam. "Sebut itu penculikan atau a
Ketegangan di Vila Setelah panggilan dengan orang tuanya berakhir, Regan bersandar di kursinya, menghembuskan napas panjang. Ia tahu keluarganya tidak akan tinggal diam, tetapi saat ini yang paling penting baginya adalah menjaga Nayla tetap aman. Di sisi lain, Nayla duduk di ruang tamu vila, menatap kosong ke arah camilan yang disajikan pelayan. Pikirannya kacau. Sejak tiba di tempat ini, ia terus memikirkan perbedaan sikap antara Regan dan Darren. Darren selalu memperlakukannya dengan dingin, penuh tuntutan, dan sering menyalahkannya. Sementara Regan... pria itu selalu ada untuknya. Memberikan perlindungan tanpa meminta balasan, membuatnya merasa berharga meskipun ia sendiri masih bingung dengan perasaannya. "Kenapa kau melamun?" Suara Regan membuyarkan pikirannya. Nayla menoleh dan melihat pria itu sudah berdiri di belakang sofa, menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku hanya..." Nayla menggigit bibirnya, ragu untuk jujur. "Aku memikirkan semuanya." Regan duduk di sofa seberan