Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia.
Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaimana dengan…?” dia mulai, tetapi Arjun tidak membiarkannya menyelesaikan kalimatnya. “Tidak ada waktu untuk membicarakan itu sekarang. Aku hanya ingin bersamamu,” katanya, mengambil langkah maju dan merangkul Olivia, menariknya lebih dekat. Mereka saling menatap, jantung berdegup kencang, dan tanpa memperdulikan risiko yang ada, Arjun menundukkan kepalanya dan mencium bibir Olivia dengan penuh gairah. Olivia merespons ciuman itu, menutup matanya dan membiarkan dirinya terbenam dalam kehangatan yang ia rindukan. “Aku merindukan ini,” Olivia berbisik, suaranya hampir tak terdengar di antara desahan mereka. “Tapi kita harus hati-hati.” “Biarkan semuanya terjadi,” Arjun menjawab sambil mencium lehernya, merasakan getaran dari sentuhan bibirnya. “Ini hanya kita berdua malam ini.” Sambil merasakan dorongan hati yang kuat, Olivia mengangguk dan menggenggam leher Arjun, mengundangnya lebih dalam. Dia menarik Arjun ke arah tempat tidur, seolah-olah ruang sempit itu penuh dengan magnetisme yang tak tertahankan. Arjun mengikuti, matanya tidak lepas dari wajah Olivia yang bersinar penuh gairah. “Kau membuatku gila, tahu?” ia berkata, suaranya bergetar saat ia mengusap pipi Olivia dengan lembut. “Kau sangat cantik malam ini.” “Dan kau tampan seperti biasanya,” Olivia menjawab dengan senyuman menggoda, sebelum mendorongnya ke tempat tidur dan membuatnya terbaring. Dia mendaki ke atas tubuh Arjun, menatapnya dengan mata yang penuh hasrat. “Apa kau siap untuk melupakan semua yang ada di luar?” tanyanya, seolah memprovokasi Arjun. “Siap,” jawab Arjun tegas, tangan-tangannya meraih pinggang Olivia, menariknya lebih dekat. "tidak ada yang bisa menghentikan kita malam ini." mereka melanjutkan, membiarkan perasaan yang menguasai. Olivia merasakan sentuhan Arjun begitu candu untuknya. Sinar matahari yang lembut mulai menyusup melalui tirai kamar hotel, menciptakan suasana hangat dan intim di antara Arjun dan Olivia. Ketika cahaya itu menyentuh wajah Olivia, dia perlahan terbangun, merasakan kehangatan tubuh Arjun di sampingnya. Arjun, yang masih terlelap, memeluk tubuh polos Olivia yang terbalut selimut, menciptakan suasana perlindungan dan kasih sayang. Saat Olivia membuka matanya, senyum kecil muncul di wajahnya ketika dia merasakan sentuhan lembut Arjun di tubuhnya. Dia menggerakkan kepalanya, memperhatikan Arjun yang terlihat sangat tampan saat tidur. Setelah beberapa saat terdiam, Olivia tidak bisa menahan keinginannya untuk membangunkan Arjun. Dengan gerakan lembut, dia menyentuh pipi Arjun dan membisikkan, “Bangun, sayang.” Arjun menggeliat, membuka matanya dengan lambat, dan saat dia melihat Olivia, senyumnya merekah. “Selamat pagi, kecantikku,” ucapnya dengan suara serak, lalu menarik Olivia lebih dekat ke dalam pelukannya. “Selamat pagi,” jawab Olivia, suaranya lembut. Dia merasa hangat dan nyaman di pelukan Arjun. “Kau masih di sini,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Dan aku tidak akan pergi,” jawab Arjun, menggenggam tangan Olivia dan menatapnya dalam-dalam. “Malam tadi… itu sangat luar biasa.” “Ya, aku setuju,” Olivia tersenyum, hatinya berdebar saat mengingat momen-momen yang mereka bagi semalam. Dia bergerak sedikit, menyentuh bibirnya ke bibir Arjun dalam ciuman lembut yang penuh kasih. Ciuman itu semakin dalam, seolah-olah ingin mengekspresikan semua perasaan yang terpendam di antara mereka. Arjun menanggapi dengan semangat, menguatkan pelukannya dan menekankan bibirnya lebih erat pada Olivia, seolah-olah mereka ingin menyatu. “Mmm…” Olivia mendesah, merasa setiap sentuhan di tubuhnya membangkitkan kembali semangat yang sudah terpendam. “Kau tahu, kita harus hati-hati.” Arjun menatap Olivia dengan mata penuh rasa kasih. “Aku tahu, tapi di sini dan sekarang, aku hanya ingin bersamamu. Tidak ada yang lain,” katanya sambil kembali menciumnya, merasakan kehangatan yang membara antara mereka. Olivia menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya akan konsekuensi yang mungkin mereka hadapi, tetapi saat ini, semua itu terasa begitu jauh. “Tapi apa yang akan kita lakukan tentang Elvira?” tanyanya, walaupun suaranya mulai bergetar penuh keraguan. “Biarkan itu untuk nanti. Sekarang, kita miliki momen ini,” Arjun menjawab, merangkul Olivia lebih erat. “Momen di mana kita bisa menjadi diri kita sendiri.” Olivia tersenyum, hatinya berdebar-debar mendengar kata-kata Arjun. “Baiklah,” jawabnya. “Mari kita nikmati pagi ini.” Dengan itu, mereka kembali tenggelam dalam ciuman, membiarkan dunia di luar ruangan lenyap. Setiap detik terasa berharga, dan Olivia merasa seolah-olah tidak ada yang lebih penting daripada saat ini, saat mereka bisa menjadi satu. Arjun mengangkat selimut yang menutupi tubuh mereka, mengungkapkan kulit Olivia yang halus, dan memperkuat pelukannya. “Kau membuatku merasa hidup,” ucapnya, menatap Olivia dengan penuh kekaguman. Olivia membalas tatapan Arjun, hatinya penuh dengan cinta yang tulus. “Dan kau adalah alasanku untuk terus berjuang meskipun kita tahu semua ini salah,” balasnya dengan tulus. “Mungkin kita tidak perlu memperdebatkan apa yang benar dan salah." "Yang terpenting kita saling mencintai dan membutuhkan!" Adegan: Permintaan yang Tak Terduga Olivia memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka, tetapi ketegangan dan keraguan mulai muncul dalam benaknya. Setelah beberapa saat menikmati kedekatan mereka, Olivia mengangkat kepala dan menatap Arjun dengan serius. “Arjun,” katanya, suaranya lembut namun penuh permohonan. “Tolong jangan pergi.” Arjun, yang masih terbaring dengan selimut menutupi tubuh mereka, mengangkat alisnya, terkejut dengan permintaan itu. “Apa maksudmu? Kenapa aku harus pergi?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Karena… aku tidak ingin kehilangan momen ini. Aku tidak ingin kita terburu-buru,” Olivia menjelaskan, mencoba mengekspresikan semua perasaannya. “Kita baru saja bersama, dan rasanya seperti semua masalah akan menghampiri kita jika kita kembali ke kenyataan.” Arjun mengangguk, merasakan getaran emosi yang sama. “Aku mengerti. Momen ini sangat berarti bagiku juga. Tapi kita tidak bisa mengabaikan realita, Olivia,” ujarnya, menatap dalam mata Olivia yang penuh harapan. “Tapi aku tidak mau. Aku hanya ingin kita tetap di sini, dalam pelukan ini, tanpa memikirkan apa pun,” Olivia berkata, sedikit mengerutkan keningnya. “Bisakah kau melakukan itu untukku? Beri aku satu pagi ini untuk kita berdua, tanpa rasa takut atau cemas.” Arjun menatap Olivia, merasakan kerentanan dan keinginan yang mendalam. “Kau tahu, aku juga merasakannya. Aku tidak ingin pergi, tetapi kita harus bijaksana. Elvira akan menyadari jika aku menghilang terlalu lama,” katanya, mencoba menyeimbangkan perasaannya. “Biarkan dia berpikir apa pun,” Olivia menjawab dengan semangat, bersikeras. “Kita hanya memiliki saat ini. Kau adalah alasan aku merasa hidup, dan aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu.” Arjun menilai intensitas dalam mata Olivia, melihat keinginan dan kerentanan bersatu. “Jika ini yang kau inginkan, aku tidak bisa menolakmu,” ucapnya sambil tersenyum, merangkul Olivia lebih erat. “Jadi, tinggalah bersamaku,” Olivia memohon, dan ada kilau harapan dalam suaranya. “Mari kita berikan diri kita kesempatan untuk merasakan cinta ini tanpa beban.” “Baiklah,” jawab Arjun, menyerah pada permohonan Olivia. “Aku akan tinggal, setidaknya untuk pagi ini. Kita bisa menikmati waktu kita, tanpa khawatir.” Mereka berdua terdiam sejenak, meresapi momen itu, merasakan kedekatan yang mendalam antara satu sama lain. Arjun kembali memeluk Olivia, dan mereka saling menghangatkan tubuh masing-masing, terbenam dalam rasa nyaman. Olivia menggeliat, merasakan kebahagiaan ketika Arjun mengelus punggungnya dengan lembut. “Jadi, apa yang ingin kita lakukan?” tanyanya, mata Olivia bersinar penuh keceriaan. Arjun berpikir sejenak, lalu tersenyum nakal. “Bagaimana kalau kita tidak melakukan apa-apa? Hanya berbaring di sini dan menikmati kebersamaan kita?” Olivia tertawa, merasa lega dan bahagia. “Aku suka itu. Berbaring dan menikmati suara detak jantungmu.” Mereka kembali berciuman, bibir mereka bertemu dalam kehangatan yang tak terlukiskan, seolah mengabaikan semua masalah yang mungkin mereka hadapi. Dalam momen itu, mereka merasa terhubung lebih dalam, seperti dua jiwa yang saling melengkapi, terpisah dari dunia yang rumit di luar. Dengan saling berpelukan, mereka berbagi cerita-cerita kecil, menertawakan hal-hal sepele, dan merencanakan masa depan yang mungkin tak pasti. Setiap detik berlalu terasa sangat berharga, dan Olivia bersyukur untuk setiap momen yang diberikan. Mereka berbagi canda dan tawa, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun berarti. Di saat itulah, Olivia menyadari bahwa cinta ini, meskipun penuh risiko, adalah sesuatu yang tidak ingin dia lepaskan. Selama Arjun di sampingnya, dia merasa kuat dan berani menghadapi apa pun yang akan datang. Pagi itu menjadi simbol kebersamaan mereka, sebuah pengingat bahwa meskipun dunia di luar bergejolak, di dalam pelukan satu sama lain, mereka menemukan kedamaian yang tak ternilai.Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun berdiri diam di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia tahu apa yang harus dilakukan—dia harus menyelamatkan dirinya, reputasinya, pernikahannya. Tapi di sisi lain, Olivia telah membangun jaring yang kuat di sekitarnya, mengancamnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan. Ada dendam yang membara dalam wanita itu, dan itu membuat Arjun takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tidak menuruti tuntutannya. Olivia, yang berdiri beberapa langkah darinya, menatap Arjun dengan ekspresi yang tenang tapi penuh perhitungan. Dia tahu dia sudah memenangkan permainan ini. Kini, hanya masalah waktu sebelum Arjun menyerah sepenuhnya. “Aku tahu ini sulit bagimu,” ucap Olivia, suaranya lebih lembut, mencoba mendekati Arjun. “Tapi percayalah, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku hanya ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau, Arjun. Kita. Bersama-sama.” Arjun tetap diam, tapi Olivia bisa melihat ta
Elvira menatap layar ponselnya dengan perasaan kacau. Judul berita yang menyebar begitu cepat di media sosial membuatnya merasakan gelombang panik dan kemarahan. Dengan tangan gemetar, dia membaca komentar-komentar yang muncul, penuh spekulasi dan fitnah tentang dirinya. Gosip itu berkembang liar, seolah-olah semua orang tiba-tiba menjadi hakim yang siap menghakiminya tanpa ampun. Dia segera menghubungi Arjun, berharap bisa mendapatkan penjelasan atau setidaknya dukungan dari suaminya. Namun, deringan teleponnya berulang kali tak terjawab. Arjun tidak mengangkat, dan perasaan cemas Elvira semakin memburuk. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya, merasa terjebak dalam kekacauan yang tidak dia mengerti. Sementara itu, di hotel Udaipur, Olivia kembali menatap layar ponselnya dengan senyum puas. Berita yang dia sebarkan telah menjadi bola salju yang tak terbendung. Dia sudah bisa membayangkan betapa paniknya Elvira saat ini. Dan yang lebih penting, betapa hancurnya pernikahan Elvira da
Elvira akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jendela dan berjalan perlahan menuju kamar tidur, di mana bayangan Arjun yang tidak pulang sejak semalam terus menghantui pikirannya. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena perasaan yang terus menggerogoti ketenangannya. Dia terbaring di ranjang yang dingin, menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau. Meski sudah berkali-kali mencoba untuk tidak berpikir negatif, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan terburuk. Apakah Arjun telah mengkhianatinya? Apakah gosip ini adalah hasil dari sesuatu yang lebih dari sekadar fitnah tak berdasar? Dia menghela napas panjang, tangan gemetar saat meraih ponselnya lagi. Dering telepon tadi pagi masih terngiang, dan bagaimana Arjun memutus sambungan begitu cepat membuatnya semakin cemas. Meski hatinya masih dipenuhi cinta untuk suaminya, ada keraguan yang perlahan menyelinap, sesuatu yang selama ini dia abaikan namun sekarang mulai tu
Di sisi lain kota, Olivia duduk di balkon suite mewahnya, memandang pemandangan kota yang bersinar dengan lampu-lampu malam. Angin malam yang lembut berhembus, memainkan ujung rambutnya yang tergerai. Gelas anggur di tangannya terasa dingin, menambah sensasi kenyamanan yang ia nikmati malam itu. Hidupnya, yang dulu penuh perjuangan sebagai sekretaris biasa, kini berubah drastis. Segalanya terasa lebih mudah setelah Arjun mulai memberikan perhatian khusus padanya, dan lebih dari itu, kekayaan serta pengaruh yang datang bersamaan dengan status kekasih rahasia seorang CEO ternama. Olivia tersenyum sinis, mengingat bagaimana dia dulu bekerja keras untuk mendapatkan semua yang dia miliki sekarang. Tapi kini, hanya dengan memanfaatkan hubungan terlarangnya dengan Arjun, segala hal yang dulunya sulit dijangkau menjadi mudah didapatkan. Apartemen mewah ini, barang-barang bermerek, perjalanan mewah, semuanya diberikan Arjun tanpa banyak tanya. Dia tahu bagaimana memainkannya, bagaimana membu
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc