Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia.
Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaimana dengan…?” dia mulai, tetapi Arjun tidak membiarkannya menyelesaikan kalimatnya. “Tidak ada waktu untuk membicarakan itu sekarang. Aku hanya ingin bersamamu,” katanya, mengambil langkah maju dan merangkul Olivia, menariknya lebih dekat. Mereka saling menatap, jantung berdegup kencang, dan tanpa memperdulikan risiko yang ada, Arjun menundukkan kepalanya dan mencium bibir Olivia dengan penuh gairah. Olivia merespons ciuman itu, menutup matanya dan membiarkan dirinya terbenam dalam kehangatan yang ia rindukan. “Aku merindukan ini,” Olivia berbisik, suaranya hampir tak terdengar di antara desahan mereka. “Tapi kita harus hati-hati.” “Biarkan semuanya terjadi,” Arjun menjawab sambil mencium lehernya, merasakan getaran dari sentuhan bibirnya. “Ini hanya kita berdua malam ini.” Sambil merasakan dorongan hati yang kuat, Olivia mengangguk dan menggenggam leher Arjun, mengundangnya lebih dalam. Dia menarik Arjun ke arah tempat tidur, seolah-olah ruang sempit itu penuh dengan magnetisme yang tak tertahankan. Arjun mengikuti, matanya tidak lepas dari wajah Olivia yang bersinar penuh gairah. “Kau membuatku gila, tahu?” ia berkata, suaranya bergetar saat ia mengusap pipi Olivia dengan lembut. “Kau sangat cantik malam ini.” “Dan kau tampan seperti biasanya,” Olivia menjawab dengan senyuman menggoda, sebelum mendorongnya ke tempat tidur dan membuatnya terbaring. Dia mendaki ke atas tubuh Arjun, menatapnya dengan mata yang penuh hasrat. “Apa kau siap untuk melupakan semua yang ada di luar?” tanyanya, seolah memprovokasi Arjun. “Siap,” jawab Arjun tegas, tangan-tangannya meraih pinggang Olivia, menariknya lebih dekat. "tidak ada yang bisa menghentikan kita malam ini." mereka melanjutkan, membiarkan perasaan yang menguasai. Olivia merasakan sentuhan Arjun begitu candu untuknya. Sinar matahari yang lembut mulai menyusup melalui tirai kamar hotel, menciptakan suasana hangat dan intim di antara Arjun dan Olivia. Ketika cahaya itu menyentuh wajah Olivia, dia perlahan terbangun, merasakan kehangatan tubuh Arjun di sampingnya. Arjun, yang masih terlelap, memeluk tubuh polos Olivia yang terbalut selimut, menciptakan suasana perlindungan dan kasih sayang. Saat Olivia membuka matanya, senyum kecil muncul di wajahnya ketika dia merasakan sentuhan lembut Arjun di tubuhnya. Dia menggerakkan kepalanya, memperhatikan Arjun yang terlihat sangat tampan saat tidur. Setelah beberapa saat terdiam, Olivia tidak bisa menahan keinginannya untuk membangunkan Arjun. Dengan gerakan lembut, dia menyentuh pipi Arjun dan membisikkan, “Bangun, sayang.” Arjun menggeliat, membuka matanya dengan lambat, dan saat dia melihat Olivia, senyumnya merekah. “Selamat pagi, kecantikku,” ucapnya dengan suara serak, lalu menarik Olivia lebih dekat ke dalam pelukannya. “Selamat pagi,” jawab Olivia, suaranya lembut. Dia merasa hangat dan nyaman di pelukan Arjun. “Kau masih di sini,” katanya dengan nada penuh rasa syukur. “Dan aku tidak akan pergi,” jawab Arjun, menggenggam tangan Olivia dan menatapnya dalam-dalam. “Malam tadi… itu sangat luar biasa.” “Ya, aku setuju,” Olivia tersenyum, hatinya berdebar saat mengingat momen-momen yang mereka bagi semalam. Dia bergerak sedikit, menyentuh bibirnya ke bibir Arjun dalam ciuman lembut yang penuh kasih. Ciuman itu semakin dalam, seolah-olah ingin mengekspresikan semua perasaan yang terpendam di antara mereka. Arjun menanggapi dengan semangat, menguatkan pelukannya dan menekankan bibirnya lebih erat pada Olivia, seolah-olah mereka ingin menyatu. “Mmm…” Olivia mendesah, merasa setiap sentuhan di tubuhnya membangkitkan kembali semangat yang sudah terpendam. “Kau tahu, kita harus hati-hati.” Arjun menatap Olivia dengan mata penuh rasa kasih. “Aku tahu, tapi di sini dan sekarang, aku hanya ingin bersamamu. Tidak ada yang lain,” katanya sambil kembali menciumnya, merasakan kehangatan yang membara antara mereka. Olivia menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya akan konsekuensi yang mungkin mereka hadapi, tetapi saat ini, semua itu terasa begitu jauh. “Tapi apa yang akan kita lakukan tentang Elvira?” tanyanya, walaupun suaranya mulai bergetar penuh keraguan. “Biarkan itu untuk nanti. Sekarang, kita miliki momen ini,” Arjun menjawab, merangkul Olivia lebih erat. “Momen di mana kita bisa menjadi diri kita sendiri.” Olivia tersenyum, hatinya berdebar-debar mendengar kata-kata Arjun. “Baiklah,” jawabnya. “Mari kita nikmati pagi ini.” Dengan itu, mereka kembali tenggelam dalam ciuman, membiarkan dunia di luar ruangan lenyap. Setiap detik terasa berharga, dan Olivia merasa seolah-olah tidak ada yang lebih penting daripada saat ini, saat mereka bisa menjadi satu. Arjun mengangkat selimut yang menutupi tubuh mereka, mengungkapkan kulit Olivia yang halus, dan memperkuat pelukannya. “Kau membuatku merasa hidup,” ucapnya, menatap Olivia dengan penuh kekaguman. Olivia membalas tatapan Arjun, hatinya penuh dengan cinta yang tulus. “Dan kau adalah alasanku untuk terus berjuang meskipun kita tahu semua ini salah,” balasnya dengan tulus. “Mungkin kita tidak perlu memperdebatkan apa yang benar dan salah." "Yang terpenting kita saling mencintai dan membutuhkan!" Adegan: Permintaan yang Tak Terduga Olivia memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka, tetapi ketegangan dan keraguan mulai muncul dalam benaknya. Setelah beberapa saat menikmati kedekatan mereka, Olivia mengangkat kepala dan menatap Arjun dengan serius. “Arjun,” katanya, suaranya lembut namun penuh permohonan. “Tolong jangan pergi.” Arjun, yang masih terbaring dengan selimut menutupi tubuh mereka, mengangkat alisnya, terkejut dengan permintaan itu. “Apa maksudmu? Kenapa aku harus pergi?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Karena… aku tidak ingin kehilangan momen ini. Aku tidak ingin kita terburu-buru,” Olivia menjelaskan, mencoba mengekspresikan semua perasaannya. “Kita baru saja bersama, dan rasanya seperti semua masalah akan menghampiri kita jika kita kembali ke kenyataan.” Arjun mengangguk, merasakan getaran emosi yang sama. “Aku mengerti. Momen ini sangat berarti bagiku juga. Tapi kita tidak bisa mengabaikan realita, Olivia,” ujarnya, menatap dalam mata Olivia yang penuh harapan. “Tapi aku tidak mau. Aku hanya ingin kita tetap di sini, dalam pelukan ini, tanpa memikirkan apa pun,” Olivia berkata, sedikit mengerutkan keningnya. “Bisakah kau melakukan itu untukku? Beri aku satu pagi ini untuk kita berdua, tanpa rasa takut atau cemas.” Arjun menatap Olivia, merasakan kerentanan dan keinginan yang mendalam. “Kau tahu, aku juga merasakannya. Aku tidak ingin pergi, tetapi kita harus bijaksana. Elvira akan menyadari jika aku menghilang terlalu lama,” katanya, mencoba menyeimbangkan perasaannya. “Biarkan dia berpikir apa pun,” Olivia menjawab dengan semangat, bersikeras. “Kita hanya memiliki saat ini. Kau adalah alasan aku merasa hidup, dan aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu.” Arjun menilai intensitas dalam mata Olivia, melihat keinginan dan kerentanan bersatu. “Jika ini yang kau inginkan, aku tidak bisa menolakmu,” ucapnya sambil tersenyum, merangkul Olivia lebih erat. “Jadi, tinggalah bersamaku,” Olivia memohon, dan ada kilau harapan dalam suaranya. “Mari kita berikan diri kita kesempatan untuk merasakan cinta ini tanpa beban.” “Baiklah,” jawab Arjun, menyerah pada permohonan Olivia. “Aku akan tinggal, setidaknya untuk pagi ini. Kita bisa menikmati waktu kita, tanpa khawatir.” Mereka berdua terdiam sejenak, meresapi momen itu, merasakan kedekatan yang mendalam antara satu sama lain. Arjun kembali memeluk Olivia, dan mereka saling menghangatkan tubuh masing-masing, terbenam dalam rasa nyaman. Olivia menggeliat, merasakan kebahagiaan ketika Arjun mengelus punggungnya dengan lembut. “Jadi, apa yang ingin kita lakukan?” tanyanya, mata Olivia bersinar penuh keceriaan. Arjun berpikir sejenak, lalu tersenyum nakal. “Bagaimana kalau kita tidak melakukan apa-apa? Hanya berbaring di sini dan menikmati kebersamaan kita?” Olivia tertawa, merasa lega dan bahagia. “Aku suka itu. Berbaring dan menikmati suara detak jantungmu.” Mereka kembali berciuman, bibir mereka bertemu dalam kehangatan yang tak terlukiskan, seolah mengabaikan semua masalah yang mungkin mereka hadapi. Dalam momen itu, mereka merasa terhubung lebih dalam, seperti dua jiwa yang saling melengkapi, terpisah dari dunia yang rumit di luar. Dengan saling berpelukan, mereka berbagi cerita-cerita kecil, menertawakan hal-hal sepele, dan merencanakan masa depan yang mungkin tak pasti. Setiap detik berlalu terasa sangat berharga, dan Olivia bersyukur untuk setiap momen yang diberikan. Mereka berbagi canda dan tawa, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun berarti. Di saat itulah, Olivia menyadari bahwa cinta ini, meskipun penuh risiko, adalah sesuatu yang tidak ingin dia lepaskan. Selama Arjun di sampingnya, dia merasa kuat dan berani menghadapi apa pun yang akan datang. Pagi itu menjadi simbol kebersamaan mereka, sebuah pengingat bahwa meskipun dunia di luar bergejolak, di dalam pelukan satu sama lain, mereka menemukan kedamaian yang tak ternilai.Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun berdiri diam di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia tahu apa yang harus dilakukan—dia harus menyelamatkan dirinya, reputasinya, pernikahannya. Tapi di sisi lain, Olivia telah membangun jaring yang kuat di sekitarnya, mengancamnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan. Ada dendam yang membara dalam wanita itu, dan itu membuat Arjun takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tidak menuruti tuntutannya. Olivia, yang berdiri beberapa langkah darinya, menatap Arjun dengan ekspresi yang tenang tapi penuh perhitungan. Dia tahu dia sudah memenangkan permainan ini. Kini, hanya masalah waktu sebelum Arjun menyerah sepenuhnya. “Aku tahu ini sulit bagimu,” ucap Olivia, suaranya lebih lembut, mencoba mendekati Arjun. “Tapi percayalah, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku hanya ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau, Arjun. Kita. Bersama-sama.” Arjun tetap diam, tapi Olivia bisa melihat ta
Elvira menatap layar ponselnya dengan perasaan kacau. Judul berita yang menyebar begitu cepat di media sosial membuatnya merasakan gelombang panik dan kemarahan. Dengan tangan gemetar, dia membaca komentar-komentar yang muncul, penuh spekulasi dan fitnah tentang dirinya. Gosip itu berkembang liar, seolah-olah semua orang tiba-tiba menjadi hakim yang siap menghakiminya tanpa ampun. Dia segera menghubungi Arjun, berharap bisa mendapatkan penjelasan atau setidaknya dukungan dari suaminya. Namun, deringan teleponnya berulang kali tak terjawab. Arjun tidak mengangkat, dan perasaan cemas Elvira semakin memburuk. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya, merasa terjebak dalam kekacauan yang tidak dia mengerti. Sementara itu, di hotel Udaipur, Olivia kembali menatap layar ponselnya dengan senyum puas. Berita yang dia sebarkan telah menjadi bola salju yang tak terbendung. Dia sudah bisa membayangkan betapa paniknya Elvira saat ini. Dan yang lebih penting, betapa hancurnya pernikahan Elvira da
Elvira akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jendela dan berjalan perlahan menuju kamar tidur, di mana bayangan Arjun yang tidak pulang sejak semalam terus menghantui pikirannya. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena perasaan yang terus menggerogoti ketenangannya. Dia terbaring di ranjang yang dingin, menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau. Meski sudah berkali-kali mencoba untuk tidak berpikir negatif, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan terburuk. Apakah Arjun telah mengkhianatinya? Apakah gosip ini adalah hasil dari sesuatu yang lebih dari sekadar fitnah tak berdasar? Dia menghela napas panjang, tangan gemetar saat meraih ponselnya lagi. Dering telepon tadi pagi masih terngiang, dan bagaimana Arjun memutus sambungan begitu cepat membuatnya semakin cemas. Meski hatinya masih dipenuhi cinta untuk suaminya, ada keraguan yang perlahan menyelinap, sesuatu yang selama ini dia abaikan namun sekarang mulai tu
Di sisi lain kota, Olivia duduk di balkon suite mewahnya, memandang pemandangan kota yang bersinar dengan lampu-lampu malam. Angin malam yang lembut berhembus, memainkan ujung rambutnya yang tergerai. Gelas anggur di tangannya terasa dingin, menambah sensasi kenyamanan yang ia nikmati malam itu. Hidupnya, yang dulu penuh perjuangan sebagai sekretaris biasa, kini berubah drastis. Segalanya terasa lebih mudah setelah Arjun mulai memberikan perhatian khusus padanya, dan lebih dari itu, kekayaan serta pengaruh yang datang bersamaan dengan status kekasih rahasia seorang CEO ternama. Olivia tersenyum sinis, mengingat bagaimana dia dulu bekerja keras untuk mendapatkan semua yang dia miliki sekarang. Tapi kini, hanya dengan memanfaatkan hubungan terlarangnya dengan Arjun, segala hal yang dulunya sulit dijangkau menjadi mudah didapatkan. Apartemen mewah ini, barang-barang bermerek, perjalanan mewah, semuanya diberikan Arjun tanpa banyak tanya. Dia tahu bagaimana memainkannya, bagaimana membu
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika Nayla keluar dari rumah ibunya. Ia merasa lebih baik hari ini, meski perasaan canggung masih ada setelah kembali ke kehidupan lamanya. Sesampainya di sebuah toko bunga kecil di sudut kota, Nayla disambut hangat oleh sahabatnya, Rania. Wanita itu langsung menarik tangan Nayla dengan penuh semangat. "Akhirnya kamu datang juga! Aku sudah menunggu." Nayla tersenyum kecil. "Maaf, aku agak lama di jalan. Sudah lama nggak ke sini." Rania menepuk bahu Nayla ringan. "Nggak masalah. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Aku butuh bantuanmu di toko ini, dan kamu butuh kesibukan biar nggak terlalu banyak berpikir." Nayla mengangguk. "Iya, aku juga ingin mulai sesuatu yang baru." Mereka berdua pun mulai bekerja. Nayla membantu merapikan bunga-bunga yang baru datang, sementara Rania melayani pelanggan. Perlahan, Nayla mulai merasa nyaman berada di lingkungan ini. Saat tengah merangkai buket bunga, Rania meliriknya dengan senyum menggoda. "Jad
Tak lama setelah panggilan itu berakhir, suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Nayla menarik napas dalam, mencoba mengusir kegugupan yang mulai menguasai hatinya. "Regan sudah datang," gumamnya pelan. Sang ibu mengelus pundaknya dengan lembut. "Hati-hati, Nak. Apa pun yang terjadi, ingat bahwa kamu tidak sendirian." Nayla mengangguk, lalu melangkah keluar. Regan berdiri di samping mobilnya, mengenakan kemeja hitam yang sedikit tergulung di bagian lengannya. Wajahnya serius, matanya menatap Nayla dengan intens. "Masuk," katanya singkat, membuka pintu mobil untuk Nayla. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, hingga akhirnya Nayla tak tahan lagi. "Regan, sebenarnya ada apa?" tanyanya, suaranya mengandung kecemasan. Regan menghela napas panjang, lalu menoleh sekilas ke arah Nayla sebelum kembali fokus pada jalan. "Darren mulai bergerak lagi." Nayla merasakan jantungnya mencelos. "Apa maksudmu? Bukankah perceraianku sudah selesai?"
Nayla menundukkan kepala, mendengarkan ibunya bicara dengan suara lembut namun penuh ketegasan. "Nayla, Ibu tahu kamu sudah melalui banyak hal. Perceraian itu bukan hal mudah, apalagi dengan segala yang Darren lakukan padamu," ujar ibunya sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi Ibu nggak mau kamu terjebak dalam kebingungan. Kamu harus benar-benar berpikir sebelum mengambil keputusan lagi." Nayla menggigit bibir, menatap jemari mereka yang saling menggenggam. "Ibu, aku juga nggak mau gegabah. Aku cuma..." Ibunya menatapnya lekat. "Kamu takut, kan?" Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu itu benar. "Regan memang baik, Ibu nggak menyangkal itu. Tapi apakah kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu? Apakah dia benar-benar yang kamu inginkan, atau hanya karena kamu merasa kesepian?" Nayla menelan ludah, mencoba mencari jawaban di hatinya. Ibunya melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Ibu cuma nggak mau kamu terluka lagi, Nak. Kamu berhak bahagia, tapi pastikan
Beberapa bulan setelah resmi bercerai, Nayla mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang janda. Meski awalnya berat, ia mulai menikmati kebebasan yang kini dimilikinya. Tak ada lagi tekanan, tak ada lagi tuduhan menyakitkan dari Darren, dan yang terpenting, ia tak lagi merasa sendirian. Pagi ini, seperti biasa, Nayla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca novel. Matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, dan angin sepoi-sepoi mengelus rambutnya yang tergerai. "Akhirnya, hidupku terasa damai," gumamnya pelan. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Regan muncul di layar. Nayla tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Pagi, Regan." "Pagi, Nayla. Apa rencanamu hari ini?" suara pria itu terdengar santai, seperti biasa. Nayla menghela napas kecil. "Belum ada rencana. Mungkin ke butik, mencari beberapa baju baru. Aku butuh suasana baru." Regan terkekeh. "Bagus, kamu mulai menikmati waktumu sendiri. Tapi… bagaimana kalau aku menemanimu?