Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan.
“Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di dalamnya. Mungkin memang ini saatnya untuk benar-benar berhenti berharap pada sesuatu yang tak pasti, seperti hubungan terlarangnya dengan Arjun. Selesai dari kafe, mereka berdua memutuskan untuk berkeliling Udaipur lebih jauh. Kota itu dipenuhi dengan sejarah dan keindahan yang tampak menenangkan hati. Bentangan arsitektur kuno, suara-suara riuh dari orang-orang yang lalu lalang, serta aroma rempah-rempah khas India yang tercium di udara membuat Olivia merasa bahwa dunia di luar masalahnya masih terus berputar, masih penuh dengan kehidupan yang bisa ia nikmati. Saat melewati sebuah kuil tua yang indah, Olivia berhenti. “Aku rasa aku butuh waktu untuk menyendiri sebentar,” katanya kepada Maya. “Terima kasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak membantuku.” Maya tersenyum, memberikan pelukan singkat. “Nggak masalah, Liv. Kapan pun kamu butuh teman, aku selalu ada. Ingat, kamu nggak sendirian.” Setelah Maya pergi, Olivia berdiri sejenak di depan kuil. Ia merasa ada kedamaian yang mengalir dari tempat itu. Sebuah undangan untuk merenung dan mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Perlahan, ia melangkah masuk ke dalam kuil, disambut dengan aroma dupa yang menenangkan. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah kecil di dinding batu memberikan nuansa spiritual yang mendalam. Di sudut kuil, Olivia duduk sendirian, membiarkan pikirannya tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Suara hiruk-pikuk pasar dan kota terasa jauh, seakan teredam oleh ketenangan kuil. Ia menutup mata, merasakan keheningan di dalam dirinya. “Apa yang sebenarnya aku inginkan dari hidup ini?” pikirnya. “Apakah hubungan dengan Arjun benar-benar yang terbaik untukku?” Seiring dengan waktu, pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di benaknya, namun kali ini tanpa rasa cemas. Di dalam ketenangan ini, Olivia mulai menemukan secercah jawaban. Ia tahu bahwa cinta yang penuh rahasia dan kebohongan seperti hubungannya dengan Arjun tidak akan pernah memberinya kebahagiaan sejati. Mungkin sudah waktunya untuk melepaskan, meski sulit. Setelah beberapa lama, Olivia membuka mata. Ia merasa ada ketenangan baru dalam hatinya, sesuatu yang belum ia rasakan selama ini. Dengan keputusan yang mantap, ia bangkit dari tempat duduknya, siap untuk melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik. Ia keluar dari kuil, cahaya matahari menyambutnya dengan hangat. Langkah Olivia terasa lebih ringan saat ia berjalan kembali ke hotel. Kali ini, ia tidak lagi merasakan beban yang menghimpit setiap kali memikirkan Arjun. Ia tahu, perasaan itu akan tetap ada, tetapi ia juga tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk memilih jalannya sendiri. Sesampainya di hotel, Olivia mengambil tasnya dan memeriksa ponsel. Tidak ada pesan dari Arjun—tidak ada kata-kata yang harus ia khawatirkan lagi. Ia menatap layar ponsel itu sejenak, lalu memutuskan untuk mematikan perangkat itu. Untuk sementara, pikirnya. Aku butuh ruang tanpa gangguan. Olivia tersenyum, merasa ada perubahan yang nyata dalam dirinya. Ia tahu perjalanan untuk menemukan kebebasan dan kedamaian tidak akan mudah, tapi ia siap menghadapinya. Dengan langkah penuh keyakinan, ia meninggalkan hotel, memulai babak baru dalam hidupnya—tanpa Arjun. Udara Udaipur yang hangat menyambut Olivia saat ia melangkah keluar dari hotel. Langit biru bersih di atas kepalanya seolah menggambarkan lembaran baru dalam hidup yang sedang ia mulai. Setelah mematikan ponselnya tadi, Olivia merasa lebih tenang, seakan tali pengikat yang membuatnya terjebak dalam hubungan dengan Arjun mulai mengendur. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya menuntunnya ke arah mana pun. Olivia ingin merasakan kebebasan—sebuah kebebasan yang telah lama ia rindukan. Pikirannya sesekali kembali pada Arjun, pada hubungan terlarang mereka yang begitu penuh gairah, namun juga penuh kebohongan. Tapi kali ini, ada rasa lega yang mengiringi setiap kenangan itu. Olivia telah membuat keputusan: ia tidak akan kembali terjebak dalam lingkaran itu lagi. Setelah beberapa waktu, Olivia menemukan dirinya di pinggir danau Pichola yang memukau. Air danau yang tenang memantulkan sinar matahari dengan indah, seolah mengajak Olivia untuk merenung lebih dalam tentang hidupnya. Ia berhenti di tepi danau, memandangi perahu-perahu yang melintas pelan. Dalam ketenangan itu, Olivia mulai merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang telah lama ia lupakan: perasaan nyaman dengan dirinya sendiri. Saat berdiri di sana, suara langkah kaki yang mendekat membuyarkan pikirannya. Ia menoleh dan melihat sosok Arjun yang tengah mendekat dengan ekspresi yang tak terbaca di wajahnya. Olivia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, namun ia tidak lagi merasa panik seperti sebelumnya. “Olivia,” panggil Arjun dengan suara rendah. “Arjun…” Olivia menatapnya dengan tenang, berusaha menahan gejolak perasaan yang kembali muncul. Ia tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini. “Aku mencari kamu,” ucap Arjun dengan nada tegas. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya serius. “Kenapa kamu nggak membalas pesan atau teleponku?” Olivia menghela napas pelan, berusaha menenangkan diri. Ia menatap Arjun, merasa seperti inilah saatnya untuk berbicara jujur. “Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Arjun. Aku nggak bisa terus begini.” “Kamu tahu aku mencintaimu, Olivia,” kata Arjun, suaranya terdengar tegas tapi juga mengandung rasa frustrasi. “Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.” Olivia tersenyum tipis, tapi kali ini senyuman itu penuh kesadaran. “Aku tahu, Arjun. Tapi kita nggak bisa terus hidup dalam kebohongan. Ini nggak adil, buat aku, buat kamu… dan buat istrimu.” Arjun terdiam, ekspresinya berubah. Dia seolah tahu bahwa Olivia sudah mengambil keputusan, tapi belum siap untuk menerimanya. “Apa ini berarti kamu ingin mengakhiri semuanya?” Olivia mengangguk pelan. “Iya, Arjun. Aku harus melepaskan kita berdua dari situasi ini. Kamu punya kehidupanmu sendiri, dan aku juga pantas mendapat kebahagiaan tanpa harus menyakiti orang lain.” Arjun mendekat, mencoba menggenggam tangan Olivia. “Tapi Olivia, kita bisa—” Olivia mundur selangkah, menolak genggaman itu dengan halus tapi tegas. “Aku lelah, Arjun. Aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan bersalah dan ketakutan akan rahasia kita terbongkar. Aku butuh hidup yang tenang, hidup yang bisa kujalani tanpa rasa takut atau khawatir.” Arjun menatapnya dengan ekspresi yang penuh pergolakan, tetapi ia tidak bisa memaksa Olivia lagi. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara air danau yang tenang. “Aku mengerti,” akhirnya Arjun berkata dengan suara pelan, meskipun terlihat jelas ia kesulitan menerima kenyataan itu. “Kalau ini yang kamu inginkan…” “Iya, ini yang terbaik untuk kita berdua,” Olivia menjawab dengan tegas. “Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Dan aku juga akan berusaha untuk menemukan kebahagiaanku.” Arjun menunduk sejenak, mencoba menata pikirannya. Kemudian, ia menatap Olivia untuk terakhir kalinya, dengan mata yang masih dipenuhi perasaan yang belum sepenuhnya terungkap. “Aku harap kamu bahagia, Olivia.” Olivia hanya mengangguk. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, karena ia tahu bahwa ini adalah akhir dari kisah mereka—akhir dari cinta yang penuh rahasia, dan awal dari kebebasannya. Arjun perlahan melangkah mundur, lalu pergi meninggalkan Olivia sendirian di tepi danau. Ketika sosok Arjun menghilang dari pandangannya, Olivia menarik napas dalam-dalam. Meskipun ada sedikit kesedihan yang menggelayut di hatinya, ia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi rasa bersalah. Ia menatap danau yang tenang, merasakan kedamaian perlahan-lahan merayapi hatinya. Olivia tahu, perjalanan untuk melanjutkan hidupnya masih panjang. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa siap untuk menghadapi semuanya. Dan kali ini, ia akan melakukannya dengan jujur—pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah mantap, Olivia berbalik dan meninggalkan tepi danau, melangkah menuju masa depannya yang baru.Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Olivia berjalan keluar dari pemakaman dengan langkah yang berat, tapi tekadnya semakin kuat. Dingin angin sore menusuk kulitnya, namun dia tak merasakan apa-apa selain kehampaan dan amarah. Dia kini bukan lagi gadis lugu yang bekerja sebagai sekretaris dengan penuh harapan. Kehilangan orang tuanya dalam cara yang tragis itu telah mengubah segalanya. Hatinya kini tertutup oleh kebencian yang mendalam, dan satu-satunya tujuan yang tertinggal adalah membalaskan dendam pada Elvira. Di perjalanan pulang menuju apartemennya, Olivia duduk di dalam taksi dengan pandangan kosong menatap jendela. Dia memutar otaknya, mencari cara terbaik untuk menghancurkan hidup Elvira. Arjun bisa menjadi alat yang sempurna, namun Olivia tahu, jika dia hanya mengandalkan perselingkuhannya dengan pria itu, hasilnya mungkin belum cukup menghancurkan Elvira seutuhnya. "Bagaimana caraku menjatuhkanmu, Elvira?" gumam Olivia, suaranya rendah tapi penuh dengan tekad. Dia berpikir keras, mencoba menemukan titik le
Arjun berdiri diam di depan jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, dia tahu apa yang harus dilakukan—dia harus menyelamatkan dirinya, reputasinya, pernikahannya. Tapi di sisi lain, Olivia telah membangun jaring yang kuat di sekitarnya, mengancamnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perselingkuhan. Ada dendam yang membara dalam wanita itu, dan itu membuat Arjun takut akan apa yang bisa terjadi jika dia tidak menuruti tuntutannya. Olivia, yang berdiri beberapa langkah darinya, menatap Arjun dengan ekspresi yang tenang tapi penuh perhitungan. Dia tahu dia sudah memenangkan permainan ini. Kini, hanya masalah waktu sebelum Arjun menyerah sepenuhnya. “Aku tahu ini sulit bagimu,” ucap Olivia, suaranya lebih lembut, mencoba mendekati Arjun. “Tapi percayalah, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku hanya ingin apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau, Arjun. Kita. Bersama-sama.” Arjun tetap diam, tapi Olivia bisa melihat ta
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika Nayla keluar dari rumah ibunya. Ia merasa lebih baik hari ini, meski perasaan canggung masih ada setelah kembali ke kehidupan lamanya. Sesampainya di sebuah toko bunga kecil di sudut kota, Nayla disambut hangat oleh sahabatnya, Rania. Wanita itu langsung menarik tangan Nayla dengan penuh semangat. "Akhirnya kamu datang juga! Aku sudah menunggu." Nayla tersenyum kecil. "Maaf, aku agak lama di jalan. Sudah lama nggak ke sini." Rania menepuk bahu Nayla ringan. "Nggak masalah. Yang penting sekarang kamu ada di sini. Aku butuh bantuanmu di toko ini, dan kamu butuh kesibukan biar nggak terlalu banyak berpikir." Nayla mengangguk. "Iya, aku juga ingin mulai sesuatu yang baru." Mereka berdua pun mulai bekerja. Nayla membantu merapikan bunga-bunga yang baru datang, sementara Rania melayani pelanggan. Perlahan, Nayla mulai merasa nyaman berada di lingkungan ini. Saat tengah merangkai buket bunga, Rania meliriknya dengan senyum menggoda. "Jad
Tak lama setelah panggilan itu berakhir, suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Nayla menarik napas dalam, mencoba mengusir kegugupan yang mulai menguasai hatinya. "Regan sudah datang," gumamnya pelan. Sang ibu mengelus pundaknya dengan lembut. "Hati-hati, Nak. Apa pun yang terjadi, ingat bahwa kamu tidak sendirian." Nayla mengangguk, lalu melangkah keluar. Regan berdiri di samping mobilnya, mengenakan kemeja hitam yang sedikit tergulung di bagian lengannya. Wajahnya serius, matanya menatap Nayla dengan intens. "Masuk," katanya singkat, membuka pintu mobil untuk Nayla. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, hingga akhirnya Nayla tak tahan lagi. "Regan, sebenarnya ada apa?" tanyanya, suaranya mengandung kecemasan. Regan menghela napas panjang, lalu menoleh sekilas ke arah Nayla sebelum kembali fokus pada jalan. "Darren mulai bergerak lagi." Nayla merasakan jantungnya mencelos. "Apa maksudmu? Bukankah perceraianku sudah selesai?"
Nayla menundukkan kepala, mendengarkan ibunya bicara dengan suara lembut namun penuh ketegasan. "Nayla, Ibu tahu kamu sudah melalui banyak hal. Perceraian itu bukan hal mudah, apalagi dengan segala yang Darren lakukan padamu," ujar ibunya sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi Ibu nggak mau kamu terjebak dalam kebingungan. Kamu harus benar-benar berpikir sebelum mengambil keputusan lagi." Nayla menggigit bibir, menatap jemari mereka yang saling menggenggam. "Ibu, aku juga nggak mau gegabah. Aku cuma..." Ibunya menatapnya lekat. "Kamu takut, kan?" Nayla terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu itu benar. "Regan memang baik, Ibu nggak menyangkal itu. Tapi apakah kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu? Apakah dia benar-benar yang kamu inginkan, atau hanya karena kamu merasa kesepian?" Nayla menelan ludah, mencoba mencari jawaban di hatinya. Ibunya melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Ibu cuma nggak mau kamu terluka lagi, Nak. Kamu berhak bahagia, tapi pastikan
Beberapa bulan setelah resmi bercerai, Nayla mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai seorang janda. Meski awalnya berat, ia mulai menikmati kebebasan yang kini dimilikinya. Tak ada lagi tekanan, tak ada lagi tuduhan menyakitkan dari Darren, dan yang terpenting, ia tak lagi merasa sendirian. Pagi ini, seperti biasa, Nayla duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca novel. Matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, dan angin sepoi-sepoi mengelus rambutnya yang tergerai. "Akhirnya, hidupku terasa damai," gumamnya pelan. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama Regan muncul di layar. Nayla tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. "Pagi, Regan." "Pagi, Nayla. Apa rencanamu hari ini?" suara pria itu terdengar santai, seperti biasa. Nayla menghela napas kecil. "Belum ada rencana. Mungkin ke butik, mencari beberapa baju baru. Aku butuh suasana baru." Regan terkekeh. "Bagus, kamu mulai menikmati waktumu sendiri. Tapi… bagaimana kalau aku menemanimu?