Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali.
Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakangan ini Elvira merasa jarak di antara mereka semakin terasa. Setelah beberapa menit berlalu tanpa balasan, Elvira mulai merasa sedikit gelisah. Pikirannya berkelana, bertanya-tanya apakah Arjun sedang terlalu sibuk untuk sekadar membaca pesan darinya, atau mungkin ada hal lain yang mengganggu. “Ah, mungkin dia masih rapat,” gumam Elvira, mencoba menenangkan diri sambil menatap ponselnya. Dia meletakkannya di meja, tetapi tidak bisa benar-benar mengalihkan pikirannya dari pesan yang belum juga dibalas. Meskipun ia sering kali mengerti betapa sibuknya Arjun dengan urusan bisnis, malam ini perasaannya seolah lebih peka dari biasanya. Sambil menunggu, Elvira berjalan menuju jendela dan melihat ke luar. Langit malam mulai gelap, dan angin lembut berhembus melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap bahwa besok, Arjun akan ada di sisinya, menemani dirinya di pesta itu. Sebuah kehadiran yang tidak hanya penting secara sosial, tetapi juga secara emosional baginya. Lima belas menit berlalu, dan masih tidak ada balasan. Elvira akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak, meskipun tetap lembut. Elvira: Arjun, please jangan lupa besok. Aku pengen kamu temenin aku ke pesta Mr. Gunawan. Aku merasa akhir-akhir ini kita jarang ada waktu bareng, dan besok bisa jadi kesempatan bagus buat kita. Elvira menghela napas, sedikit gugup karena merasa seperti terlalu menekan Arjun. Ia tidak ingin terlihat menuntut, tetapi di sisi lain, ia juga merindukan kebersamaan mereka yang akhir-akhir ini semakin jarang. Di saat yang sama, perasaan takut mulai merayap di benaknya, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Namun, ia tidak berani untuk membiarkan pikiran itu berkembang terlalu jauh. Ia kembali ke sofa, menatap ponselnya dengan penuh harap. Hanya ada sunyi. Elvira memeluk bantal di sebelahnya, mencoba menghibur diri dengan pikiran bahwa Arjun pasti akan segera merespons. “Mungkin nanti dia akan pulang dengan kejutan atau kabar baik,” pikirnya, berusaha menepis rasa cemas yang mulai meresap. Namun, jauh di dalam hatinya, ada bisikan halus yang terus-menerus mengatakan bahwa mungkin ada hal yang lebih besar yang disembunyikan Arjun. Sebuah rahasia yang ia tidak pernah bayangkan. Adegan: Penantian yang Sepi Satu jam sudah berlalu sejak Elvira mengirim pesan keduanya, dan layar ponselnya tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda balasan dari Arjun. Elvira menghela napas panjang, duduk di ujung sofa dengan perasaan semakin gelisah. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan berbagai pikiran buruk yang mulai berkumpul di kepalanya. “Hari ini sibuk banget mungkin…” gumamnya lagi, berusaha meyakinkan diri. Namun, suara hatinya tidak seoptimis itu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Perasaan asing yang seolah menekannya, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Elvira akhirnya mengambil ponselnya lagi, kali ini memutuskan untuk menelepon Arjun. Setelah beberapa dering, sambungan tersambung, tetapi yang terdengar hanyalah suara mesin penjawab. Mesin penjawab: "Anda telah menghubungi Arjun. Saya sedang tidak bisa menerima panggilan. Silakan tinggalkan pesan." Elvira menutup teleponnya dengan cepat, tidak ingin meninggalkan pesan suara. Napasnya mulai terasa lebih berat, dan hatinya dipenuhi kekhawatiran. Kenapa Arjun nggak angkat teleponku? pikirnya. Biasanya, meskipun sibuk, Arjun selalu menyempatkan diri untuk menjawab atau setidaknya mengirim pesan singkat. Tetapi kali ini, semua terasa berbeda. Saat itu, salah satu pelayan rumah, Maria, masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi minuman. “Nyonya, mau saya siapkan makan malam untuk Nyonya dan Tuan Arjun?” tanya Maria sambil tersenyum sopan. Elvira menggeleng pelan, berusaha menutupi kegelisahannya. “Tidak usah, Maria. Arjun mungkin masih sibuk. Aku juga nggak terlalu lapar,” jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Maria, yang terbiasa melihat ketenangan Nyonya rumah, bisa merasakan ada yang berbeda malam itu. “Nyonya, apa Tuan Arjun belum memberi kabar?” tanyanya hati-hati. Elvira terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, belum. Tapi aku yakin dia akan segera menghubungi,” ucapnya dengan suara yang hampir terdengar meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak terlalu yakin dengan kata-katanya. Maria tersenyum simpul. “Mungkin Tuan Arjun sedang ada rapat penting. Kalau begitu, saya akan siapkan sesuatu yang ringan untuk Nyonya nanti, siapa tahu Anda lapar,” ujarnya lembut sebelum berlalu pergi. Setelah Maria meninggalkan ruangan, Elvira memandangi ponselnya lagi. Ada dorongan kuat untuk mengirim pesan lagi, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin terlihat seperti istri yang terlalu cemas atau terlalu menuntut. Namun, di dalam hatinya, Elvira merasa bahwa ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan Elvira segera meraihnya dengan harapan besar. Tapi ternyata, itu bukan pesan dari Arjun. Hanya notifikasi dari grup obrolan sosialnya. Elvira mendesah berat. Ia menatap layar ponselnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengetik pesan lagi, kali ini lebih singkat, namun penuh harapan. Elvira: Arjun, aku tunggu kabarmu. Jangan lupa ya besok. Aku benar-benar butuh kamu di sana. Setelah pesan itu terkirim, Elvira menatap keluar jendela. Malam semakin larut, dan langit yang awalnya dipenuhi bintang mulai tertutup oleh awan kelabu. Perasaannya juga sama—semakin tertutup oleh awan-awan keraguan yang sulit diabaikan. Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui tirai kamar hotel yang setengah terbuka. Olivia perlahan membuka matanya, merasakan kehangatan tubuh Arjun di sampingnya. Keduanya masih berbaring di ranjang besar dengan seprai kusut, sisa-sisa malam yang penuh gairah dan percintaan panas yang mereka nikmati bersama. Olivia melirik ke arah Arjun, yang masih tertidur pulas dengan napas teratur. Senyum tipis muncul di wajahnya, memikirkan bagaimana pria itu benar-benar terpikat padanya hingga mengorbankan begitu banyak. Namun, di balik kepuasan itu, ada sedikit kecemasan yang berdesir di hatinya. Olivia tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang hubungan gelap ini. Setiap langkah yang mereka ambil semakin berisiko, terutama dengan Elvira, istri Arjun, yang tak mengetahui apa-apa. Olivia duduk di tepi ranjang, menyibakkan rambut panjangnya, lalu mengambil ponsel Arjun yang tergeletak di meja samping. Ia membuka layar dan melihat pesan dari Elvira yang masuk semalam. Jari-jari Olivia gemetar sedikit saat ia membaca pesan itu. Elvira: "Arjun, aku tunggu kabarmu. Jangan lupa ya besok. Aku benar-benar butuh kamu di sana." Sebuah perasaan bersalah singkat melintas di benaknya, tetapi Olivia dengan cepat mengabaikannya. Dalam hatinya, ia merasa Arjun sudah terlalu jauh untuk mundur, dan hubungan mereka sekarang adalah bagian dari kehidupan yang baru, meskipun terlarang. Ia tidak bisa membiarkan Elvira mengganggu apa yang telah mereka mulai. Dengan tenang dan hati-hati, Olivia menghapus pesan itu dari ponsel Arjun, memastikan bahwa tidak ada jejak yang tertinggal. Ia menaruh ponsel itu kembali di tempatnya, lalu memandangi Arjun yang masih tidur. Pria itu tampak begitu damai, tidak menyadari bahwa Olivia baru saja membuang pesan dari istrinya—pesan yang mungkin bisa membuat segalanya hancur jika dilihat. Setelah menghapus pesan itu, Olivia menarik napas lega, lalu berbaring kembali di samping Arjun. Ia menempelkan kepalanya di dada pria itu, mendengarkan detak jantungnya yang tenang. "Kalau saja semua ini bisa tetap seperti ini selamanya," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, Arjun mulai terbangun, menggeliat di bawah sentuhan Olivia. “Pagi,” katanya dengan suara berat karena baru bangun. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum lelah, memeluk Olivia lebih erat. “Pagi,” balas Olivia lembut, matanya memandangi wajah Arjun yang masih tampak lelah setelah malam yang panjang. Arjun menghela napas panjang. "Aku harus kembali ke rumah nanti sore," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di bantal. "Ada pesta yang harus aku datangi sama Elvira." Olivia terdiam sejenak, perasaannya campur aduk antara cemburu dan marah, meskipun ia tahu ini adalah konsekuensi dari hubungan mereka. “Kamu nggak bisa batalin aja?” tanyanya, mencoba menyembunyikan nada kecewa. Arjun menoleh padanya, tersenyum kecil. “Nggak bisa, Liv. Ini acara penting. Lagipula, kita udah cukup banyak ngabisin waktu bareng. Aku harus kembali ke rumah. Jangan cemas, nanti kita akan ketemu lagi.” Olivia mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa jauh dari puas. “Aku cuma nggak suka kalau kamu harus pulang ke dia. Rasanya seperti… semuanya balik lagi ke awal.” Arjun menarik Olivia lebih dekat, mencium puncak kepalanya. “Ini cuma sementara, Liv. Aku janji, suatu saat semua ini akan berbeda. Tapi untuk sekarang, kita harus hati-hati.” Meski mendengar kata-kata Arjun itu, hati Olivia tetap bergejolak. Namun, ia tahu bahwa untuk saat ini, ia harus menerima kenyataan bahwa pria yang ia cintai masih terikat dengan orang lain—setidaknya di mata dunia. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Olivia menutup matanya lagi, berusaha menikmati sisa pagi itu di pelukan Arjun, meskipun bayangan tentang Elvira terus menghantui benaknya.Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Olivia Lauren duduk di meja kerjanya yang terletak di sudut kantor, dikelilingi oleh tumpukan berkas yang belum terurus dan layar komputer yang berkilau, menciptakan suasana kontras antara kesibukan yang menuntut dan pikirannya yang melayang jauh. Sambil mengetik email, dia teringat pada pertemuan tak terduga yang mengubah hidupnya—pertemuan dengan Arjun, CEO tampan yang terkenal berkarisma, yang kini menjadi bagian dari hidupnya yang paling gelap dan penuh risiko. “Olivia, bisa kamu kirimkan laporan itu ke meja saya sebelum rapat?” suara baritone yang dikenal dengan baik itu memecah konsentrasi Olivia. Dia menoleh, menemukan Arjun berdiri di pintu kantornya, wajahnya tampak serius namun ada kilau tajam di matanya yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Tentu, Arjun. Saya akan mengirimkannya sekarang juga,” jawab Olivia dengan senyuman yang sedikit dipaksakan, berusaha menutupi kegugupan yang menghimpit dadanya. Dalam hati, ia merasa bingung—apakah dia harus terus terjebak dal
Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya. “Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya te