Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali.
Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakangan ini Elvira merasa jarak di antara mereka semakin terasa. Setelah beberapa menit berlalu tanpa balasan, Elvira mulai merasa sedikit gelisah. Pikirannya berkelana, bertanya-tanya apakah Arjun sedang terlalu sibuk untuk sekadar membaca pesan darinya, atau mungkin ada hal lain yang mengganggu. “Ah, mungkin dia masih rapat,” gumam Elvira, mencoba menenangkan diri sambil menatap ponselnya. Dia meletakkannya di meja, tetapi tidak bisa benar-benar mengalihkan pikirannya dari pesan yang belum juga dibalas. Meskipun ia sering kali mengerti betapa sibuknya Arjun dengan urusan bisnis, malam ini perasaannya seolah lebih peka dari biasanya. Sambil menunggu, Elvira berjalan menuju jendela dan melihat ke luar. Langit malam mulai gelap, dan angin lembut berhembus melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap bahwa besok, Arjun akan ada di sisinya, menemani dirinya di pesta itu. Sebuah kehadiran yang tidak hanya penting secara sosial, tetapi juga secara emosional baginya. Lima belas menit berlalu, dan masih tidak ada balasan. Elvira akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak, meskipun tetap lembut. Elvira: Arjun, please jangan lupa besok. Aku pengen kamu temenin aku ke pesta Mr. Gunawan. Aku merasa akhir-akhir ini kita jarang ada waktu bareng, dan besok bisa jadi kesempatan bagus buat kita. Elvira menghela napas, sedikit gugup karena merasa seperti terlalu menekan Arjun. Ia tidak ingin terlihat menuntut, tetapi di sisi lain, ia juga merindukan kebersamaan mereka yang akhir-akhir ini semakin jarang. Di saat yang sama, perasaan takut mulai merayap di benaknya, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Namun, ia tidak berani untuk membiarkan pikiran itu berkembang terlalu jauh. Ia kembali ke sofa, menatap ponselnya dengan penuh harap. Hanya ada sunyi. Elvira memeluk bantal di sebelahnya, mencoba menghibur diri dengan pikiran bahwa Arjun pasti akan segera merespons. “Mungkin nanti dia akan pulang dengan kejutan atau kabar baik,” pikirnya, berusaha menepis rasa cemas yang mulai meresap. Namun, jauh di dalam hatinya, ada bisikan halus yang terus-menerus mengatakan bahwa mungkin ada hal yang lebih besar yang disembunyikan Arjun. Sebuah rahasia yang ia tidak pernah bayangkan. Adegan: Penantian yang Sepi Satu jam sudah berlalu sejak Elvira mengirim pesan keduanya, dan layar ponselnya tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda balasan dari Arjun. Elvira menghela napas panjang, duduk di ujung sofa dengan perasaan semakin gelisah. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan berbagai pikiran buruk yang mulai berkumpul di kepalanya. “Hari ini sibuk banget mungkin…” gumamnya lagi, berusaha meyakinkan diri. Namun, suara hatinya tidak seoptimis itu. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini. Perasaan asing yang seolah menekannya, dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Elvira akhirnya mengambil ponselnya lagi, kali ini memutuskan untuk menelepon Arjun. Setelah beberapa dering, sambungan tersambung, tetapi yang terdengar hanyalah suara mesin penjawab. Mesin penjawab: "Anda telah menghubungi Arjun. Saya sedang tidak bisa menerima panggilan. Silakan tinggalkan pesan." Elvira menutup teleponnya dengan cepat, tidak ingin meninggalkan pesan suara. Napasnya mulai terasa lebih berat, dan hatinya dipenuhi kekhawatiran. Kenapa Arjun nggak angkat teleponku? pikirnya. Biasanya, meskipun sibuk, Arjun selalu menyempatkan diri untuk menjawab atau setidaknya mengirim pesan singkat. Tetapi kali ini, semua terasa berbeda. Saat itu, salah satu pelayan rumah, Maria, masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi minuman. “Nyonya, mau saya siapkan makan malam untuk Nyonya dan Tuan Arjun?” tanya Maria sambil tersenyum sopan. Elvira menggeleng pelan, berusaha menutupi kegelisahannya. “Tidak usah, Maria. Arjun mungkin masih sibuk. Aku juga nggak terlalu lapar,” jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Maria, yang terbiasa melihat ketenangan Nyonya rumah, bisa merasakan ada yang berbeda malam itu. “Nyonya, apa Tuan Arjun belum memberi kabar?” tanyanya hati-hati. Elvira terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, belum. Tapi aku yakin dia akan segera menghubungi,” ucapnya dengan suara yang hampir terdengar meyakinkan, meskipun ia sendiri tidak terlalu yakin dengan kata-katanya. Maria tersenyum simpul. “Mungkin Tuan Arjun sedang ada rapat penting. Kalau begitu, saya akan siapkan sesuatu yang ringan untuk Nyonya nanti, siapa tahu Anda lapar,” ujarnya lembut sebelum berlalu pergi. Setelah Maria meninggalkan ruangan, Elvira memandangi ponselnya lagi. Ada dorongan kuat untuk mengirim pesan lagi, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin terlihat seperti istri yang terlalu cemas atau terlalu menuntut. Namun, di dalam hatinya, Elvira merasa bahwa ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan Elvira segera meraihnya dengan harapan besar. Tapi ternyata, itu bukan pesan dari Arjun. Hanya notifikasi dari grup obrolan sosialnya. Elvira mendesah berat. Ia menatap layar ponselnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengetik pesan lagi, kali ini lebih singkat, namun penuh harapan. Elvira: Arjun, aku tunggu kabarmu. Jangan lupa ya besok. Aku benar-benar butuh kamu di sana. Setelah pesan itu terkirim, Elvira menatap keluar jendela. Malam semakin larut, dan langit yang awalnya dipenuhi bintang mulai tertutup oleh awan kelabu. Perasaannya juga sama—semakin tertutup oleh awan-awan keraguan yang sulit diabaikan. Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui tirai kamar hotel yang setengah terbuka. Olivia perlahan membuka matanya, merasakan kehangatan tubuh Arjun di sampingnya. Keduanya masih berbaring di ranjang besar dengan seprai kusut, sisa-sisa malam yang penuh gairah dan percintaan panas yang mereka nikmati bersama. Olivia melirik ke arah Arjun, yang masih tertidur pulas dengan napas teratur. Senyum tipis muncul di wajahnya, memikirkan bagaimana pria itu benar-benar terpikat padanya hingga mengorbankan begitu banyak. Namun, di balik kepuasan itu, ada sedikit kecemasan yang berdesir di hatinya. Olivia tahu bahwa mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang hubungan gelap ini. Setiap langkah yang mereka ambil semakin berisiko, terutama dengan Elvira, istri Arjun, yang tak mengetahui apa-apa. Olivia duduk di tepi ranjang, menyibakkan rambut panjangnya, lalu mengambil ponsel Arjun yang tergeletak di meja samping. Ia membuka layar dan melihat pesan dari Elvira yang masuk semalam. Jari-jari Olivia gemetar sedikit saat ia membaca pesan itu. Elvira: "Arjun, aku tunggu kabarmu. Jangan lupa ya besok. Aku benar-benar butuh kamu di sana." Sebuah perasaan bersalah singkat melintas di benaknya, tetapi Olivia dengan cepat mengabaikannya. Dalam hatinya, ia merasa Arjun sudah terlalu jauh untuk mundur, dan hubungan mereka sekarang adalah bagian dari kehidupan yang baru, meskipun terlarang. Ia tidak bisa membiarkan Elvira mengganggu apa yang telah mereka mulai. Dengan tenang dan hati-hati, Olivia menghapus pesan itu dari ponsel Arjun, memastikan bahwa tidak ada jejak yang tertinggal. Ia menaruh ponsel itu kembali di tempatnya, lalu memandangi Arjun yang masih tidur. Pria itu tampak begitu damai, tidak menyadari bahwa Olivia baru saja membuang pesan dari istrinya—pesan yang mungkin bisa membuat segalanya hancur jika dilihat. Setelah menghapus pesan itu, Olivia menarik napas lega, lalu berbaring kembali di samping Arjun. Ia menempelkan kepalanya di dada pria itu, mendengarkan detak jantungnya yang tenang. "Kalau saja semua ini bisa tetap seperti ini selamanya," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, Arjun mulai terbangun, menggeliat di bawah sentuhan Olivia. “Pagi,” katanya dengan suara berat karena baru bangun. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum lelah, memeluk Olivia lebih erat. “Pagi,” balas Olivia lembut, matanya memandangi wajah Arjun yang masih tampak lelah setelah malam yang panjang. Arjun menghela napas panjang. "Aku harus kembali ke rumah nanti sore," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di bantal. "Ada pesta yang harus aku datangi sama Elvira." Olivia terdiam sejenak, perasaannya campur aduk antara cemburu dan marah, meskipun ia tahu ini adalah konsekuensi dari hubungan mereka. “Kamu nggak bisa batalin aja?” tanyanya, mencoba menyembunyikan nada kecewa. Arjun menoleh padanya, tersenyum kecil. “Nggak bisa, Liv. Ini acara penting. Lagipula, kita udah cukup banyak ngabisin waktu bareng. Aku harus kembali ke rumah. Jangan cemas, nanti kita akan ketemu lagi.” Olivia mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa jauh dari puas. “Aku cuma nggak suka kalau kamu harus pulang ke dia. Rasanya seperti… semuanya balik lagi ke awal.” Arjun menarik Olivia lebih dekat, mencium puncak kepalanya. “Ini cuma sementara, Liv. Aku janji, suatu saat semua ini akan berbeda. Tapi untuk sekarang, kita harus hati-hati.” Meski mendengar kata-kata Arjun itu, hati Olivia tetap bergejolak. Namun, ia tahu bahwa untuk saat ini, ia harus menerima kenyataan bahwa pria yang ia cintai masih terikat dengan orang lain—setidaknya di mata dunia. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Olivia menutup matanya lagi, berusaha menikmati sisa pagi itu di pelukan Arjun, meskipun bayangan tentang Elvira terus menghantui benaknya.Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Olivia duduk sendirian di kamar hotel setelah Arjun pergi untuk menghadiri pertemuan bisnisnya. Dia menatap kosong ke arah jendela, di mana matahari pagi mulai memancarkan cahayanya, tapi di dalam hatinya, kegelapan yang tak pernah padam terus membara. Sebuah dendam yang sudah berakar sejak setahun lalu, ketika Elvira, wanita yang sekarang menjadi istri Arjun, mempermalukan orang tuanya di depan semua orang. Itu adalah momen yang Olivia tidak pernah bisa lupakan. Saat itu, keluarganya masih dihormati di kalangan elit sosial. Orang tuanya adalah pasangan yang terhormat, sampai Elvira—dengan keangkuhannya—membuat sebuah skandal besar. Olivia masih ingat bagaimana ibunya dipermalukan di acara resmi, dituduh sebagai pengkhianat oleh Elvira tanpa alasan yang jelas. Ayahnya, yang saat itu mencoba membela diri, malah dihancurkan reputasinya karena Elvira menggunakan koneksinya untuk menyebarkan rumor palsu. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu bahagia, Elvira," gumam Olivia sambil mengepal
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc