Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya.
“Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya terhenti saat Arjun menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Olivia dengan lembut, namun penuh hasrat. Ciuman itu memicu api yang selama ini terpendam, membakar semua keraguan dan rasa takut yang menghantuinya. Dia membalas ciuman itu dengan semangat yang sama, merasakan getaran di sekujur tubuhnya. Arjun menggenggam wajahnya, sementara tangan Olivia meraih lehernya, menariknya lebih dekat. Semua rasa bersalah, ketakutan, dan tekanan dari luar seolah sirna saat mereka berbagi momen yang begitu kuat. Ketika ciuman itu semakin dalam dan penuh gairah, Arjun menahan Olivia lebih erat, seolah-olah takut kehilangan momen indah ini. “Kita tidak bisa berpura-pura lagi,” dia berbisik antara ciuman, suaranya penuh dengan ketegangan dan cinta. “Aku tidak ingin kehilanganmu.” “Begitu juga aku, Arjun,” jawab Olivia, menarik napas dalam-dalam. “Tapi ini berisiko. Kita bisa kehilangan segalanya.” “Jika kita tidak memperjuangkan apa yang kita miliki, kita sudah kehilangan segalanya,” Arjun membalas, kemudian kembali menarik Olivia ke dalam pelukan hangatnya, menyelimutinya dengan rasa aman. Dia merasakan ketukan lembut di hatinya, menandakan betapa berartinya momen ini. Mereka berdua berdiri di sana, terkurung dalam pelukan satu sama lain, melupakan semua kebisingan dunia luar. Di dalam ruangan itu, semua masalah dan skandal terasa jauh. Yang ada hanyalah cinta yang telah tumbuh antara mereka, menuntut untuk diakui dan diperjuangkan. Akhirnya, Arjun menjauhkan wajahnya sedikit, memandang Olivia dengan tatapan penuh arti. “Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin bersamamu. Kita akan menghadapi semua ini bersama, apapun yang terjadi,” ujarnya, memastikan bahwa Olivia mengerti kedalaman perasaannya. Olivia tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. “Aku bersamamu, Arjun. Selalu,” katanya, dan dengan itu, mereka saling merangkul, berjanji untuk menghadapi apa pun yang akan datang dengan keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan. Dengan semangat baru, mereka saling berpegangan tangan, siap untuk meninggalkan ruangan dan menghadapi dunia luar yang menanti, tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan—meskipun terjal dan penuh rintangan. Setelah beberapa saat menikmati kehangatan pelukan, Arjun melepaskan Olivia perlahan. Dia menatap dalam ke matanya, seolah-olah sedang mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benaknya. “Jadi, sekarang apa? Kamu tahu, kita nggak bisa terus kayak gini, sembunyi-sembunyi. Orang-orang udah mulai curiga, Arjun,” Olivia akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembut, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Arjun menarik napas dalam, matanya menerawang sejenak sebelum menatap kembali ke Olivia. “Aku tahu, Olivia. Tapi nggak mungkin kita langsung blak-blakan gitu. Kita harus hati-hati. Kalo kita gegabah, semuanya bisa hancur—aku, kamu, karier kita, bahkan perusahaan ini,” katanya dengan nada rendah tapi serius. Olivia mengerutkan kening, merasa lelah dengan semua kehati-hatian yang selama ini mereka jalani. “Jadi maksudmu apa? Kita nunggu sampai kapan? Sampai orang-orang nggak cuma curiga, tapi mereka bener-bener tahu semuanya?” Nada suaranya mulai naik, mencerminkan frustrasi yang selama ini ia pendam. Arjun melangkah mendekat lagi, kali ini lebih lembut. “Bukan itu maksudku. Denger, aku cuma bilang kita harus nyusun strategi. Bukan cuma buat kita, tapi buat semuanya. Kita harus mikir jangka panjang. Kalau kita salah langkah, kita nggak cuma kehilangan pekerjaan, tapi kita bisa bikin perusahaan ini goyah.” Olivia mendengus, masih merasa ragu. “Kamu selalu mikirin perusahaan, Arjun. Kadang aku ngerasa kamu lebih peduli sama bisnis daripada kita,” ucapnya pelan, meski ia tahu dalam hatinya itu tidak sepenuhnya benar. Arjun menghela napas, lalu menggenggam tangan Olivia dengan lembut. “Aku peduli sama kamu. Lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi ini semua kompleks, Liv. Aku nggak bisa ngorbanin perusahaan yang udah aku bangun dari nol begitu aja. Aku pengen kita tetap bisa bareng tanpa harus ngeliat semuanya runtuh di sekitar kita.” Olivia terdiam, meresapi kata-kata Arjun. Meskipun ia mengerti logika di balik rencana Arjun, hatinya masih memberontak. “Lalu gimana? Kamu pengen kita tetap sembunyi sampai semuanya tenang, gitu?” Arjun menatap Olivia, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak pengen sembunyi terus-terusan. Tapi, kita juga nggak bisa langsung buka semua sekarang. Kita harus bikin orang-orang mikir hubungan ini nggak bakal ngerusak profesionalisme kita. Kita harus tunjukin kalo kita tetap bisa bekerja tanpa campur aduk emosi.” Olivia mengerutkan alisnya, merasa belum puas dengan jawaban itu. “Dan kapan waktunya? Berapa lama lagi kita harus nunggu?” “Sebentar lagi, Liv. Aku udah ada rencana. Dalam beberapa bulan, aku akan lepas jabatan CEO dan alih posisi ke peran yang lebih strategis. Begitu aku nggak jadi pusat perhatian lagi, kita bisa perlahan-lahan mengungkapkan hubungan ini, tanpa orang-orang ngerasa kita nyalahin kekuasaan atau apapun itu.” Olivia menatapnya, mencoba memahami rencana Arjun yang rumit. “Dan kamu yakin itu bakal berhasil? Gimana kalo orang tetap aja nyalahin kita? Mereka bisa bilang kita cuma pura-pura profesional buat nutupin skandal.” Arjun mengangguk pelan, menggenggam tangan Olivia lebih erat. “Aku udah mikirin itu. Kita nggak bisa kendaliin omongan orang, Liv. Tapi kita bisa kontrol gimana kita bereaksi. Asal kita tetap solid, tunjukin kalo kita nggak ngerusak apa-apa di sini, perlahan orang bakal terima.” Olivia mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku capek, Arjun. Capek pura-pura nggak ada apa-apa. Tiap hari rasanya kayak aku harus ngumpetin bagian dari diriku yang penting. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa terus kayak gini.” Arjun mendekatinya lagi, kali ini dengan penuh keseriusan di matanya. “Aku juga capek, Liv. Tapi aku percaya kita bisa ngatasin ini. Aku janji nggak lama lagi semuanya bakal jelas. Kita nggak akan selamanya sembunyi.” Olivia terdiam sejenak, memandangi wajah Arjun yang penuh harap. Meskipun hatinya masih bimbang, ia tahu bahwa Arjun tidak akan pernah membiarkan mereka terjatuh. “Oke,” katanya akhirnya dengan napas panjang. “Aku percaya kamu. Tapi jangan lama-lama ya, Arjun. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.” Arjun tersenyum tipis, kemudian menarik Olivia dalam pelukan hangat. “Aku janji, Liv. Kita akan lewatin ini bareng-bareng. Kita kuat.” Di tengah pelukan itu, meskipun rasa khawatir masih ada, Olivia merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, sekarang mereka punya rencana. Sebuah jalan yang meskipun terjal, tapi bisa mereka tempuh bersama. Di sisi lain kota, di sebuah mansion mewah yang dikelilingi taman luas dan pagar tinggi, Elvira—istri Arjun—sedang duduk di ruang tamu besar dengan dinding berhiaskan lukisan-lukisan mahal. Di tangannya, ia memegang sebuah novel, berusaha menikmati sore yang tenang. Hembusan angin lembut dari jendela terbuka menyapu rambutnya yang rapi disisir ke belakang. Sejenak ia berhenti membaca, menatap keluar jendela, menikmati pemandangan taman yang terawat sempurna. “Hari ini tenang sekali,” gumamnya, tersenyum kecil. Bagi Elvira, kehidupan di mansion seringkali sunyi. Arjun, suaminya, hampir selalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri atau dengan para pelayan yang menjaga rumah tersebut. Dia melirik ke arah telepon di meja sebelahnya, memikirkan Arjun. Suaminya sudah tiga hari ini pulang terlambat, lebih sibuk dari biasanya, dan hal itu membuatnya sedikit bertanya-tanya, meski tidak terlalu khawatir. “Sibuk lagi di kantor,” Elvira berbisik pada dirinya sendiri, meyakinkan hati bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Arjun memang dikenal sangat berdedikasi pada pekerjaannya, dan sering kali pulang larut malam dengan alasan pertemuan bisnis yang penting. Di saat yang sama, seorang pelayan masuk dengan nampan berisi teh dan beberapa kue kecil. “Nyonya, ini tehnya sudah siap,” katanya sambil meletakkan nampan di atas meja di depan Elvira. “Terima kasih, Maria,” jawab Elvira lembut, tersenyum ramah. Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan. “Apa Arjun sudah menghubungi untuk bilang dia akan pulang telat lagi malam ini?” Maria menggeleng pelan. “Belum, Nyonya. Mungkin Pak Arjun masih sibuk di kantor. Biasanya dia memberi kabar menjelang malam.” Elvira mengangguk sambil menyesap teh lagi, meskipun dalam hati ia berharap Arjun akan segera pulang. Sudah beberapa minggu terakhir ini ia merasakan jarak di antara mereka. Bukan hal yang aneh, mengingat kesibukan Arjun, tetapi kali ini rasanya berbeda. Namun, ia berusaha menepis perasaan tersebut. “Jangan berpikir yang aneh-aneh,” pikirnya. “Ini hanya karena dia sedang ada proyek besar.” Sambil menaruh cangkir tehnya kembali ke meja, Elvira teringat pembicaraan mereka seminggu yang lalu, saat Arjun berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga setelah proyeknya selesai. “Mungkin setelah ini, kita bisa liburan ke luar kota,” ujarnya dengan suara pelan, berusaha membangkitkan semangat dalam hatinya. Malam itu, Elvira merasa perlu mencari kesibukan sendiri. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman mansion. Di bawah langit senja yang indah, Elvira merasakan angin sejuk yang membuat suasana semakin tenang. Tetapi di balik ketenangan itu, ada sedikit kegelisahan yang mengganggu pikirannya. Sebuah perasaan samar, seolah ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia tidak tahu apa itu. Saat Elvira melangkah di antara pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang mekar di sepanjang jalur taman, pikirannya kembali melayang pada Arjun. “Aku yakin dia hanya terlalu sibuk. Ini bukan pertama kalinya dia tenggelam dalam pekerjaannya,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Kehidupan yang selama ini tampak sempurna, mulai terasa rapuh, meskipun ia belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di belakangnya. Bagi Elvira, Arjun adalah suami yang sempurna, penyayang, dan bertanggung jawab—sosok yang ia percayai sepenuhnya. Namun, di sisi lain, ada dunia yang tersembunyi darinya. Sebuah skandal yang ia tak pernah duga, tersembunyi di balik senyuman dan perhatian Arjun yang selalu terlihat tulus. Saat Elvira kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, ia tidak menyadari bahwa di luar sana, di balik dinding-dinding yang ia anggap aman, ada rahasia besar yang sedang bergulir. Rahasia yang bisa menghancurkan segala yang ia percayai tentang pernikahannya.Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali. Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakan
Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc
Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kamar, menyinari sudut ruangan dengan lembut. Arjun menatap Olivia yang masih terlelap di sampingnya. Wajahnya terlihat begitu damai, meski ada gurat lelah yang tak bisa disembunyikan. Arjun mengulurkan tangan, jemarinya dengan lembut menyentuh rambut Olivia yang tergerai di atas bantal. Olivia perlahan membuka mata, senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat Arjun menatapnya penuh kasih. "Kau sudah bangun?" bisiknya lembut. Arjun mengangguk, lalu mengecup kening istrinya. "Aku tak pernah lelah melihat wajahmu saat tidur. Kau seperti mimpi yang tak ingin aku akhiri." Olivia tersenyum kecil, matanya berkilat lembut. "Kau terlalu manis pagi ini. Ada apa?" godanya. Arjun menggenggam tangan Olivia, membawanya ke dadanya. "Aku hanya ingin memastikan kau tahu betapa aku mencintaimu. Betapa kau dan anak kita adalah segalanya bagiku." Olivia terdiam, matanya berkaca-kaca. "Arjun...," suaranya tercekat, "Aku menyesal atas semua yang per
Arjun, Olivia, dan Mama Arjun duduk di ruang keluarga yang megah namun terasa hangat. Udara sore mulai berganti menjadi malam, dan ketegangan dari percakapan sebelumnya masih terasa di antara mereka. Papa Arjun datang dari ruang kerjanya, membawa beberapa dokumen di tangannya. Wajahnya tampak serius. “Aku sudah bicara dengan pengacara keluarga kita,” ujar Papa Arjun, duduk di samping Mama. “Elvira semakin berani, dan dia sepertinya punya rencana besar untuk menghancurkan kita di media. Kita harus lebih berhati-hati.” Arjun mengangguk, matanya memancarkan ketegangan yang ia coba sembunyikan. “Aku akan menghadapi Elvira. Aku tidak akan membiarkan dia memanipulasi media dengan kebohongannya.” Olivia yang duduk di samping Arjun tampak gelisah, tangannya memegang perutnya yang mulai membesar. Ia berusaha menenangkan diri, tapi bayangan masa lalu dan ancaman Elvira membuatnya tidak nyaman. “Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Jika dia benar-benar menyebar fitnah, bagaimana kita bisa
Di ruang keluarga yang dipenuhi cahaya sore, Arjun duduk dengan ekspresi serius. Mama dan Papa Arjun menatapnya dengan penuh perhatian, sementara Olivia menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan tanpa kata. “Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan tentang Elvira,” Arjun memulai, suaranya tenang namun tegas. Mama Arjun mengerutkan dahi. “Ada apa dengan Elvira lagi, Nak?” Arjun menarik napas dalam, lalu melanjutkan. “Ternyata, selama ini dia masih berusaha menghancurkan Olivia. Dia tidak terima setelah perceraian kami, dan beberapa waktu lalu, dia bahkan mengadakan konferensi pers untuk mencemarkan nama baik Olivia.” Papa Arjun mengepalkan tangannya di atas meja. “Perempuan itu benar-benar keterlaluan! Sudah cukup dia menghancurkan rumah tangga kalian dulu, sekarang masih berani mengganggu?” Mama Arjun menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Kenapa dia begitu tega? Apa dia tidak sadar betapa banyak kesalahan yang telah dia perbuat?” Olivia, yang sejak tadi diam, akhi
Di sisi lain, Elvira duduk di meja kerja kecil di apartemennya yang kini jauh dari kemewahan mansion yang dulu ia tinggali bersama Arjun. Pandangannya tajam menatap layar laptop di depannya, sementara tangannya sibuk mengetik pesan-pesan singkat yang ia kirim ke beberapa kenalannya. Elvira bukan tipe wanita yang menyerah begitu saja. “Arjun mungkin mengira dia sudah menang,” gumamnya dengan senyum sinis. “Tapi dia lupa siapa aku. Aku nggak akan berhenti sampai semuanya hancur, termasuk dia dan Olivia.” Dia membuka folder di laptopnya, di mana ada beberapa dokumen lama tentang bisnis keluarga Arjun. Di sana terdapat beberapa laporan yang belum pernah ia gunakan sebagai senjata. Senyumnya semakin melebar. “Semua ini akan aku manfaatkan.” Telepon di mejanya berbunyi, mengalihkan perhatian Elvira. Dia menjawab dengan nada dingin, "Halo?" "Elvira, apa kau yakin dengan rencanamu ini?" suara seorang pria di ujung telepon terdengar ragu. "Jika ketahuan, ini bisa menghancurkanmu." El
Arjun menatap Olivia dengan intensitas yang dalam, matanya seolah ingin menyampaikan semua yang ada di hatinya tanpa kata. Dia mengangkat tangan, menyentuh wajah Olivia yang sembab, ibu jarinya menyapu lembut sisa air mata yang masih mengalir di pipinya. "Olivia," suaranya terdengar rendah, namun sarat emosi. "Kamu adalah istriku. Wanita yang kupilih untuk hidup bersamaku, untuk menjadi ibu dari anakku. Aku tahu masa lalu kita tidak sempurna, tapi aku juga tahu kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik ke depan." Olivia menggigit bibirnya, merasa hati kecilnya mencelos mendengar kata-kata itu. "Tapi, Arjun... aku menyakitimu. Aku... aku memanfaatkanmu. Bagaimana bisa kau tetap mencintaiku setelah semua itu?" Arjun tersenyum tipis, senyuman yang penuh luka namun juga kejujuran. "Karena aku tahu kamu lebih dari sekadar kesalahan itu. Aku tahu, Olivia, bahwa di balik dendammu, ada hati yang terluka. Dan di balik semuanya, aku melihat kebaikanmu. Kamu mencintai dengan cara yang