Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya.
“Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya terhenti saat Arjun menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Olivia dengan lembut, namun penuh hasrat. Ciuman itu memicu api yang selama ini terpendam, membakar semua keraguan dan rasa takut yang menghantuinya. Dia membalas ciuman itu dengan semangat yang sama, merasakan getaran di sekujur tubuhnya. Arjun menggenggam wajahnya, sementara tangan Olivia meraih lehernya, menariknya lebih dekat. Semua rasa bersalah, ketakutan, dan tekanan dari luar seolah sirna saat mereka berbagi momen yang begitu kuat. Ketika ciuman itu semakin dalam dan penuh gairah, Arjun menahan Olivia lebih erat, seolah-olah takut kehilangan momen indah ini. “Kita tidak bisa berpura-pura lagi,” dia berbisik antara ciuman, suaranya penuh dengan ketegangan dan cinta. “Aku tidak ingin kehilanganmu.” “Begitu juga aku, Arjun,” jawab Olivia, menarik napas dalam-dalam. “Tapi ini berisiko. Kita bisa kehilangan segalanya.” “Jika kita tidak memperjuangkan apa yang kita miliki, kita sudah kehilangan segalanya,” Arjun membalas, kemudian kembali menarik Olivia ke dalam pelukan hangatnya, menyelimutinya dengan rasa aman. Dia merasakan ketukan lembut di hatinya, menandakan betapa berartinya momen ini. Mereka berdua berdiri di sana, terkurung dalam pelukan satu sama lain, melupakan semua kebisingan dunia luar. Di dalam ruangan itu, semua masalah dan skandal terasa jauh. Yang ada hanyalah cinta yang telah tumbuh antara mereka, menuntut untuk diakui dan diperjuangkan. Akhirnya, Arjun menjauhkan wajahnya sedikit, memandang Olivia dengan tatapan penuh arti. “Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin bersamamu. Kita akan menghadapi semua ini bersama, apapun yang terjadi,” ujarnya, memastikan bahwa Olivia mengerti kedalaman perasaannya. Olivia tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. “Aku bersamamu, Arjun. Selalu,” katanya, dan dengan itu, mereka saling merangkul, berjanji untuk menghadapi apa pun yang akan datang dengan keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan. Dengan semangat baru, mereka saling berpegangan tangan, siap untuk meninggalkan ruangan dan menghadapi dunia luar yang menanti, tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan—meskipun terjal dan penuh rintangan. Setelah beberapa saat menikmati kehangatan pelukan, Arjun melepaskan Olivia perlahan. Dia menatap dalam ke matanya, seolah-olah sedang mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benaknya. “Jadi, sekarang apa? Kamu tahu, kita nggak bisa terus kayak gini, sembunyi-sembunyi. Orang-orang udah mulai curiga, Arjun,” Olivia akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembut, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Arjun menarik napas dalam, matanya menerawang sejenak sebelum menatap kembali ke Olivia. “Aku tahu, Olivia. Tapi nggak mungkin kita langsung blak-blakan gitu. Kita harus hati-hati. Kalo kita gegabah, semuanya bisa hancur—aku, kamu, karier kita, bahkan perusahaan ini,” katanya dengan nada rendah tapi serius. Olivia mengerutkan kening, merasa lelah dengan semua kehati-hatian yang selama ini mereka jalani. “Jadi maksudmu apa? Kita nunggu sampai kapan? Sampai orang-orang nggak cuma curiga, tapi mereka bener-bener tahu semuanya?” Nada suaranya mulai naik, mencerminkan frustrasi yang selama ini ia pendam. Arjun melangkah mendekat lagi, kali ini lebih lembut. “Bukan itu maksudku. Denger, aku cuma bilang kita harus nyusun strategi. Bukan cuma buat kita, tapi buat semuanya. Kita harus mikir jangka panjang. Kalau kita salah langkah, kita nggak cuma kehilangan pekerjaan, tapi kita bisa bikin perusahaan ini goyah.” Olivia mendengus, masih merasa ragu. “Kamu selalu mikirin perusahaan, Arjun. Kadang aku ngerasa kamu lebih peduli sama bisnis daripada kita,” ucapnya pelan, meski ia tahu dalam hatinya itu tidak sepenuhnya benar. Arjun menghela napas, lalu menggenggam tangan Olivia dengan lembut. “Aku peduli sama kamu. Lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi ini semua kompleks, Liv. Aku nggak bisa ngorbanin perusahaan yang udah aku bangun dari nol begitu aja. Aku pengen kita tetap bisa bareng tanpa harus ngeliat semuanya runtuh di sekitar kita.” Olivia terdiam, meresapi kata-kata Arjun. Meskipun ia mengerti logika di balik rencana Arjun, hatinya masih memberontak. “Lalu gimana? Kamu pengen kita tetap sembunyi sampai semuanya tenang, gitu?” Arjun menatap Olivia, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak pengen sembunyi terus-terusan. Tapi, kita juga nggak bisa langsung buka semua sekarang. Kita harus bikin orang-orang mikir hubungan ini nggak bakal ngerusak profesionalisme kita. Kita harus tunjukin kalo kita tetap bisa bekerja tanpa campur aduk emosi.” Olivia mengerutkan alisnya, merasa belum puas dengan jawaban itu. “Dan kapan waktunya? Berapa lama lagi kita harus nunggu?” “Sebentar lagi, Liv. Aku udah ada rencana. Dalam beberapa bulan, aku akan lepas jabatan CEO dan alih posisi ke peran yang lebih strategis. Begitu aku nggak jadi pusat perhatian lagi, kita bisa perlahan-lahan mengungkapkan hubungan ini, tanpa orang-orang ngerasa kita nyalahin kekuasaan atau apapun itu.” Olivia menatapnya, mencoba memahami rencana Arjun yang rumit. “Dan kamu yakin itu bakal berhasil? Gimana kalo orang tetap aja nyalahin kita? Mereka bisa bilang kita cuma pura-pura profesional buat nutupin skandal.” Arjun mengangguk pelan, menggenggam tangan Olivia lebih erat. “Aku udah mikirin itu. Kita nggak bisa kendaliin omongan orang, Liv. Tapi kita bisa kontrol gimana kita bereaksi. Asal kita tetap solid, tunjukin kalo kita nggak ngerusak apa-apa di sini, perlahan orang bakal terima.” Olivia mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku capek, Arjun. Capek pura-pura nggak ada apa-apa. Tiap hari rasanya kayak aku harus ngumpetin bagian dari diriku yang penting. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa terus kayak gini.” Arjun mendekatinya lagi, kali ini dengan penuh keseriusan di matanya. “Aku juga capek, Liv. Tapi aku percaya kita bisa ngatasin ini. Aku janji nggak lama lagi semuanya bakal jelas. Kita nggak akan selamanya sembunyi.” Olivia terdiam sejenak, memandangi wajah Arjun yang penuh harap. Meskipun hatinya masih bimbang, ia tahu bahwa Arjun tidak akan pernah membiarkan mereka terjatuh. “Oke,” katanya akhirnya dengan napas panjang. “Aku percaya kamu. Tapi jangan lama-lama ya, Arjun. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.” Arjun tersenyum tipis, kemudian menarik Olivia dalam pelukan hangat. “Aku janji, Liv. Kita akan lewatin ini bareng-bareng. Kita kuat.” Di tengah pelukan itu, meskipun rasa khawatir masih ada, Olivia merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, sekarang mereka punya rencana. Sebuah jalan yang meskipun terjal, tapi bisa mereka tempuh bersama. Di sisi lain kota, di sebuah mansion mewah yang dikelilingi taman luas dan pagar tinggi, Elvira—istri Arjun—sedang duduk di ruang tamu besar dengan dinding berhiaskan lukisan-lukisan mahal. Di tangannya, ia memegang sebuah novel, berusaha menikmati sore yang tenang. Hembusan angin lembut dari jendela terbuka menyapu rambutnya yang rapi disisir ke belakang. Sejenak ia berhenti membaca, menatap keluar jendela, menikmati pemandangan taman yang terawat sempurna. “Hari ini tenang sekali,” gumamnya, tersenyum kecil. Bagi Elvira, kehidupan di mansion seringkali sunyi. Arjun, suaminya, hampir selalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri atau dengan para pelayan yang menjaga rumah tersebut. Dia melirik ke arah telepon di meja sebelahnya, memikirkan Arjun. Suaminya sudah tiga hari ini pulang terlambat, lebih sibuk dari biasanya, dan hal itu membuatnya sedikit bertanya-tanya, meski tidak terlalu khawatir. “Sibuk lagi di kantor,” Elvira berbisik pada dirinya sendiri, meyakinkan hati bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Arjun memang dikenal sangat berdedikasi pada pekerjaannya, dan sering kali pulang larut malam dengan alasan pertemuan bisnis yang penting. Di saat yang sama, seorang pelayan masuk dengan nampan berisi teh dan beberapa kue kecil. “Nyonya, ini tehnya sudah siap,” katanya sambil meletakkan nampan di atas meja di depan Elvira. “Terima kasih, Maria,” jawab Elvira lembut, tersenyum ramah. Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan. “Apa Arjun sudah menghubungi untuk bilang dia akan pulang telat lagi malam ini?” Maria menggeleng pelan. “Belum, Nyonya. Mungkin Pak Arjun masih sibuk di kantor. Biasanya dia memberi kabar menjelang malam.” Elvira mengangguk sambil menyesap teh lagi, meskipun dalam hati ia berharap Arjun akan segera pulang. Sudah beberapa minggu terakhir ini ia merasakan jarak di antara mereka. Bukan hal yang aneh, mengingat kesibukan Arjun, tetapi kali ini rasanya berbeda. Namun, ia berusaha menepis perasaan tersebut. “Jangan berpikir yang aneh-aneh,” pikirnya. “Ini hanya karena dia sedang ada proyek besar.” Sambil menaruh cangkir tehnya kembali ke meja, Elvira teringat pembicaraan mereka seminggu yang lalu, saat Arjun berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga setelah proyeknya selesai. “Mungkin setelah ini, kita bisa liburan ke luar kota,” ujarnya dengan suara pelan, berusaha membangkitkan semangat dalam hatinya. Malam itu, Elvira merasa perlu mencari kesibukan sendiri. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman mansion. Di bawah langit senja yang indah, Elvira merasakan angin sejuk yang membuat suasana semakin tenang. Tetapi di balik ketenangan itu, ada sedikit kegelisahan yang mengganggu pikirannya. Sebuah perasaan samar, seolah ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia tidak tahu apa itu. Saat Elvira melangkah di antara pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang mekar di sepanjang jalur taman, pikirannya kembali melayang pada Arjun. “Aku yakin dia hanya terlalu sibuk. Ini bukan pertama kalinya dia tenggelam dalam pekerjaannya,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Kehidupan yang selama ini tampak sempurna, mulai terasa rapuh, meskipun ia belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di belakangnya. Bagi Elvira, Arjun adalah suami yang sempurna, penyayang, dan bertanggung jawab—sosok yang ia percayai sepenuhnya. Namun, di sisi lain, ada dunia yang tersembunyi darinya. Sebuah skandal yang ia tak pernah duga, tersembunyi di balik senyuman dan perhatian Arjun yang selalu terlihat tulus. Saat Elvira kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, ia tidak menyadari bahwa di luar sana, di balik dinding-dinding yang ia anggap aman, ada rahasia besar yang sedang bergulir. Rahasia yang bisa menghancurkan segala yang ia percayai tentang pernikahannya.Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali. Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakan
Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na