Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya.
“Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya terhenti saat Arjun menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Olivia dengan lembut, namun penuh hasrat. Ciuman itu memicu api yang selama ini terpendam, membakar semua keraguan dan rasa takut yang menghantuinya. Dia membalas ciuman itu dengan semangat yang sama, merasakan getaran di sekujur tubuhnya. Arjun menggenggam wajahnya, sementara tangan Olivia meraih lehernya, menariknya lebih dekat. Semua rasa bersalah, ketakutan, dan tekanan dari luar seolah sirna saat mereka berbagi momen yang begitu kuat. Ketika ciuman itu semakin dalam dan penuh gairah, Arjun menahan Olivia lebih erat, seolah-olah takut kehilangan momen indah ini. “Kita tidak bisa berpura-pura lagi,” dia berbisik antara ciuman, suaranya penuh dengan ketegangan dan cinta. “Aku tidak ingin kehilanganmu.” “Begitu juga aku, Arjun,” jawab Olivia, menarik napas dalam-dalam. “Tapi ini berisiko. Kita bisa kehilangan segalanya.” “Jika kita tidak memperjuangkan apa yang kita miliki, kita sudah kehilangan segalanya,” Arjun membalas, kemudian kembali menarik Olivia ke dalam pelukan hangatnya, menyelimutinya dengan rasa aman. Dia merasakan ketukan lembut di hatinya, menandakan betapa berartinya momen ini. Mereka berdua berdiri di sana, terkurung dalam pelukan satu sama lain, melupakan semua kebisingan dunia luar. Di dalam ruangan itu, semua masalah dan skandal terasa jauh. Yang ada hanyalah cinta yang telah tumbuh antara mereka, menuntut untuk diakui dan diperjuangkan. Akhirnya, Arjun menjauhkan wajahnya sedikit, memandang Olivia dengan tatapan penuh arti. “Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan. Yang aku tahu hanyalah aku ingin bersamamu. Kita akan menghadapi semua ini bersama, apapun yang terjadi,” ujarnya, memastikan bahwa Olivia mengerti kedalaman perasaannya. Olivia tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya. “Aku bersamamu, Arjun. Selalu,” katanya, dan dengan itu, mereka saling merangkul, berjanji untuk menghadapi apa pun yang akan datang dengan keberanian dan cinta yang tak tergoyahkan. Dengan semangat baru, mereka saling berpegangan tangan, siap untuk meninggalkan ruangan dan menghadapi dunia luar yang menanti, tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan—meskipun terjal dan penuh rintangan. Setelah beberapa saat menikmati kehangatan pelukan, Arjun melepaskan Olivia perlahan. Dia menatap dalam ke matanya, seolah-olah sedang mencoba membaca setiap pikiran yang ada di benaknya. “Jadi, sekarang apa? Kamu tahu, kita nggak bisa terus kayak gini, sembunyi-sembunyi. Orang-orang udah mulai curiga, Arjun,” Olivia akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembut, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Arjun menarik napas dalam, matanya menerawang sejenak sebelum menatap kembali ke Olivia. “Aku tahu, Olivia. Tapi nggak mungkin kita langsung blak-blakan gitu. Kita harus hati-hati. Kalo kita gegabah, semuanya bisa hancur—aku, kamu, karier kita, bahkan perusahaan ini,” katanya dengan nada rendah tapi serius. Olivia mengerutkan kening, merasa lelah dengan semua kehati-hatian yang selama ini mereka jalani. “Jadi maksudmu apa? Kita nunggu sampai kapan? Sampai orang-orang nggak cuma curiga, tapi mereka bener-bener tahu semuanya?” Nada suaranya mulai naik, mencerminkan frustrasi yang selama ini ia pendam. Arjun melangkah mendekat lagi, kali ini lebih lembut. “Bukan itu maksudku. Denger, aku cuma bilang kita harus nyusun strategi. Bukan cuma buat kita, tapi buat semuanya. Kita harus mikir jangka panjang. Kalau kita salah langkah, kita nggak cuma kehilangan pekerjaan, tapi kita bisa bikin perusahaan ini goyah.” Olivia mendengus, masih merasa ragu. “Kamu selalu mikirin perusahaan, Arjun. Kadang aku ngerasa kamu lebih peduli sama bisnis daripada kita,” ucapnya pelan, meski ia tahu dalam hatinya itu tidak sepenuhnya benar. Arjun menghela napas, lalu menggenggam tangan Olivia dengan lembut. “Aku peduli sama kamu. Lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi ini semua kompleks, Liv. Aku nggak bisa ngorbanin perusahaan yang udah aku bangun dari nol begitu aja. Aku pengen kita tetap bisa bareng tanpa harus ngeliat semuanya runtuh di sekitar kita.” Olivia terdiam, meresapi kata-kata Arjun. Meskipun ia mengerti logika di balik rencana Arjun, hatinya masih memberontak. “Lalu gimana? Kamu pengen kita tetap sembunyi sampai semuanya tenang, gitu?” Arjun menatap Olivia, lalu menggeleng pelan. “Nggak. Aku nggak pengen sembunyi terus-terusan. Tapi, kita juga nggak bisa langsung buka semua sekarang. Kita harus bikin orang-orang mikir hubungan ini nggak bakal ngerusak profesionalisme kita. Kita harus tunjukin kalo kita tetap bisa bekerja tanpa campur aduk emosi.” Olivia mengerutkan alisnya, merasa belum puas dengan jawaban itu. “Dan kapan waktunya? Berapa lama lagi kita harus nunggu?” “Sebentar lagi, Liv. Aku udah ada rencana. Dalam beberapa bulan, aku akan lepas jabatan CEO dan alih posisi ke peran yang lebih strategis. Begitu aku nggak jadi pusat perhatian lagi, kita bisa perlahan-lahan mengungkapkan hubungan ini, tanpa orang-orang ngerasa kita nyalahin kekuasaan atau apapun itu.” Olivia menatapnya, mencoba memahami rencana Arjun yang rumit. “Dan kamu yakin itu bakal berhasil? Gimana kalo orang tetap aja nyalahin kita? Mereka bisa bilang kita cuma pura-pura profesional buat nutupin skandal.” Arjun mengangguk pelan, menggenggam tangan Olivia lebih erat. “Aku udah mikirin itu. Kita nggak bisa kendaliin omongan orang, Liv. Tapi kita bisa kontrol gimana kita bereaksi. Asal kita tetap solid, tunjukin kalo kita nggak ngerusak apa-apa di sini, perlahan orang bakal terima.” Olivia mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku capek, Arjun. Capek pura-pura nggak ada apa-apa. Tiap hari rasanya kayak aku harus ngumpetin bagian dari diriku yang penting. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa terus kayak gini.” Arjun mendekatinya lagi, kali ini dengan penuh keseriusan di matanya. “Aku juga capek, Liv. Tapi aku percaya kita bisa ngatasin ini. Aku janji nggak lama lagi semuanya bakal jelas. Kita nggak akan selamanya sembunyi.” Olivia terdiam sejenak, memandangi wajah Arjun yang penuh harap. Meskipun hatinya masih bimbang, ia tahu bahwa Arjun tidak akan pernah membiarkan mereka terjatuh. “Oke,” katanya akhirnya dengan napas panjang. “Aku percaya kamu. Tapi jangan lama-lama ya, Arjun. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.” Arjun tersenyum tipis, kemudian menarik Olivia dalam pelukan hangat. “Aku janji, Liv. Kita akan lewatin ini bareng-bareng. Kita kuat.” Di tengah pelukan itu, meskipun rasa khawatir masih ada, Olivia merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, sekarang mereka punya rencana. Sebuah jalan yang meskipun terjal, tapi bisa mereka tempuh bersama. Di sisi lain kota, di sebuah mansion mewah yang dikelilingi taman luas dan pagar tinggi, Elvira—istri Arjun—sedang duduk di ruang tamu besar dengan dinding berhiaskan lukisan-lukisan mahal. Di tangannya, ia memegang sebuah novel, berusaha menikmati sore yang tenang. Hembusan angin lembut dari jendela terbuka menyapu rambutnya yang rapi disisir ke belakang. Sejenak ia berhenti membaca, menatap keluar jendela, menikmati pemandangan taman yang terawat sempurna. “Hari ini tenang sekali,” gumamnya, tersenyum kecil. Bagi Elvira, kehidupan di mansion seringkali sunyi. Arjun, suaminya, hampir selalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sementara ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri atau dengan para pelayan yang menjaga rumah tersebut. Dia melirik ke arah telepon di meja sebelahnya, memikirkan Arjun. Suaminya sudah tiga hari ini pulang terlambat, lebih sibuk dari biasanya, dan hal itu membuatnya sedikit bertanya-tanya, meski tidak terlalu khawatir. “Sibuk lagi di kantor,” Elvira berbisik pada dirinya sendiri, meyakinkan hati bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Arjun memang dikenal sangat berdedikasi pada pekerjaannya, dan sering kali pulang larut malam dengan alasan pertemuan bisnis yang penting. Di saat yang sama, seorang pelayan masuk dengan nampan berisi teh dan beberapa kue kecil. “Nyonya, ini tehnya sudah siap,” katanya sambil meletakkan nampan di atas meja di depan Elvira. “Terima kasih, Maria,” jawab Elvira lembut, tersenyum ramah. Ia mengambil cangkir teh dan menyesapnya pelan. “Apa Arjun sudah menghubungi untuk bilang dia akan pulang telat lagi malam ini?” Maria menggeleng pelan. “Belum, Nyonya. Mungkin Pak Arjun masih sibuk di kantor. Biasanya dia memberi kabar menjelang malam.” Elvira mengangguk sambil menyesap teh lagi, meskipun dalam hati ia berharap Arjun akan segera pulang. Sudah beberapa minggu terakhir ini ia merasakan jarak di antara mereka. Bukan hal yang aneh, mengingat kesibukan Arjun, tetapi kali ini rasanya berbeda. Namun, ia berusaha menepis perasaan tersebut. “Jangan berpikir yang aneh-aneh,” pikirnya. “Ini hanya karena dia sedang ada proyek besar.” Sambil menaruh cangkir tehnya kembali ke meja, Elvira teringat pembicaraan mereka seminggu yang lalu, saat Arjun berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga setelah proyeknya selesai. “Mungkin setelah ini, kita bisa liburan ke luar kota,” ujarnya dengan suara pelan, berusaha membangkitkan semangat dalam hatinya. Malam itu, Elvira merasa perlu mencari kesibukan sendiri. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman mansion. Di bawah langit senja yang indah, Elvira merasakan angin sejuk yang membuat suasana semakin tenang. Tetapi di balik ketenangan itu, ada sedikit kegelisahan yang mengganggu pikirannya. Sebuah perasaan samar, seolah ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia tidak tahu apa itu. Saat Elvira melangkah di antara pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang mekar di sepanjang jalur taman, pikirannya kembali melayang pada Arjun. “Aku yakin dia hanya terlalu sibuk. Ini bukan pertama kalinya dia tenggelam dalam pekerjaannya,” gumamnya, berusaha menenangkan diri. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, meskipun ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Kehidupan yang selama ini tampak sempurna, mulai terasa rapuh, meskipun ia belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di belakangnya. Bagi Elvira, Arjun adalah suami yang sempurna, penyayang, dan bertanggung jawab—sosok yang ia percayai sepenuhnya. Namun, di sisi lain, ada dunia yang tersembunyi darinya. Sebuah skandal yang ia tak pernah duga, tersembunyi di balik senyuman dan perhatian Arjun yang selalu terlihat tulus. Saat Elvira kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, ia tidak menyadari bahwa di luar sana, di balik dinding-dinding yang ia anggap aman, ada rahasia besar yang sedang bergulir. Rahasia yang bisa menghancurkan segala yang ia percayai tentang pernikahannya.Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali. Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakan
Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Sore itu, Olivia berdiri di dekat jendela kamar hotel, menatap pemandangan kota yang ramai di bawahnya. Di balik senyuman kecil yang sesekali muncul di bibirnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa dendam yang terus membara. Tak ada yang tahu, bahkan Arjun, tentang apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya setiap kali nama Elvira disebut. Dia menggenggam cangkir kopi di tangannya dengan erat, membiarkan kehangatan dari cangkir itu menenangkan pikirannya yang penuh emosi. “Elvira,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia pikir hidupnya sempurna, dia pikir dia memiliki segalanya.” Pikirannya kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu dengan Arjun. Dia ingat bagaimana Arjun bercerita tentang kehidupan pernikahannya, tentang Elvira yang tampak sempurna di mata semua orang—istri ideal, cantik, dan anggun. Tapi di balik kesempurnaan itu, Olivia tahu lebih dari yang terlihat. Arjun telah memberitahunya tent
Regan duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan ekspresi tegas. Pesan dari Nayla barusan membuat dadanya bergemuruh. "Regan, aku butuh bantuanmu." Hanya lima kata, tapi cukup untuk membuatnya mengambil keputusan besar. Ia menggenggam ponsel itu erat, lalu bersandar di kursinya, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia tahu bahwa Nayla masih terikat pernikahan dengan Daren, tapi ia juga tahu satu hal—Nayla tidak bahagia. Dan ia tidak akan tinggal diam. Regan menekan tombol interkom dan memanggil asistennya. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk. "Selidiki Daren lebih dalam. Aku ingin tahu semua tentang dia, terutama kelemahannya," perintah Regan dengan nada dingin. Asistennya mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya." Setelah pria itu keluar, Regan mengusap wajahnya dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak peduli dengan norma atau status sosial saat ini. Yang ia tahu, Nayla pantas mendapatkan kebahagiaan—dan kebahagiaan itu
Keesokan harinya, Nayla bangun dengan mata sembab. Sepanjang malam, ia tak bisa tidur memikirkan semua yang terjadi. Ancaman Daren masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya merasa semakin terperangkap. Namun, di sisi lain, ingatan tentang Regan dan bagaimana pria itu berusaha membelanya terus menghantui pikirannya. Saat ia turun ke ruang makan, Daren sudah duduk di meja dengan sikap santai seolah tidak terjadi apa-apa. Pria itu menyesap kopinya sambil menatap Nayla yang berjalan mendekat. “Kamu tidur nyenyak?” tanyanya dengan nada sinis. Nayla tidak menjawab, hanya duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena kembali ke rumah ini, ke dalam pernikahan yang membuatnya tersiksa. Daren menaruh cangkirnya dan menyandarkan tubuh ke kursi. “Aku sudah bilang, Nayla. Jangan coba-coba menentang aku. Kalau kamu nurut, kita nggak perlu ada masalah.” Nayla mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan amarah dan ketakutan yang berkecamuk
Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana di rumah orang tua Nayla kembali tenang, meskipun kecemasan masih menyelimuti hati Nayla. Ia merasa terperangkap dalam rasa takut dan kebingungannya. Namun, Regan tak pernah berhenti memberikan dukungan penuh kepadanya. Ia bahkan sering datang menjemput Nayla, memastikan dia tidak sendirian. Suatu sore, setelah makan malam, Regan duduk berhadapan dengan Nayla di ruang tamu. Wajah Nayla terlihat murung, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. Regan bisa merasakan betapa berat perasaan Nayla. “Nayla, aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku juga tahu kamu merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit, tapi kamu harus tahu, kamu tidak harus menghadapi ini sendirian. Aku akan selalu ada di sini untuk kamu,” kata Regan dengan penuh perhatian. Nayla mengangkat wajahnya, mata mereka saling bertemu. Ada kekuatan dan ketulusan dalam pandangan Regan yang membuat hatinya terasa lebih ringan. “Regan… aku merasa bingung. Aku tidak tahu
Setelah beberapa saat berbincang dengan Regan, Nayla memutuskan untuk pulang. Regan menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Nayla menolak dengan halus. “Aku nggak mau kamu terlibat lebih jauh, Regan. Aku akan baik-baik saja.” “Kalau kamu butuh apa pun, jangan ragu menghubungiku,” ujar Regan dengan nada penuh perhatian. Nayla tersenyum tipis dan mengangguk sebelum melangkah keluar kafe. Namun, saat Nayla berjalan menuju mobilnya, pria yang diperintahkan Daren untuk mengawasi langsung bergerak mendekatinya. Dia menyentuh earphone kecil di telinganya, memberikan laporan singkat kepada atasannya. “Tuan, Nyonya baru saja keluar dari kafe. Haruskah saya mengambil tindakan?” “Ikuti dia, tapi jangan bertindak gegabah,” jawab Daren tegas. “Aku ingin tahu ke mana dia pergi. Jangan sampai kehilangan jejak.” Pria itu segera memasuki mobilnya dan mulai mengikuti Nayla dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup jauh agar tak menimbulkan kecurigaan. --- Di sisi lain, Daren terus menatap
Keesokan harinya, setelah pertemuan panjang dengan orang tuanya, Nayla memutuskan untuk menghadapi suaminya. Dengan penuh tekad, ia kembali ke apartemen mereka. Sesampainya di sana, suasana terasa sepi. Namun, baru beberapa langkah masuk, ia dikejutkan oleh suara berat suaminya yang muncul dari ruang tengah. “Kamu dari mana saja?” tanya pria itu dengan nada tajam, tanpa menoleh. Nayla menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Aku dari rumah orang tua. Aku butuh waktu berpikir.” Suaminya, Daren, berdiri dan berjalan mendekat. Matanya menatap tajam ke arah Nayla, penuh dengan amarah. “Berpikir apa? Tentang bagaimana kabur dari pernikahan ini, begitu?” Nayla tetap tenang, meski hatinya berdebar keras. “Aku sudah cukup lama berpikir. Dan aku sudah mengambil keputusan, Daren. Aku ingin kita bercerai.” Daren terkejut mendengar ucapan Nayla yang begitu tegas. “Apa kamu serius, Nayla? Hanya karena kamu melihat aku bersama teman wanita kemarin? Itu bukan urusa
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Ia merasa butuh dukungan, sekaligus ingin menjernihkan pikirannya setelah pertemuan dengan Regan semalam. Namun, tak disangka di perjalanan, ia melihat suaminya bersama seorang wanita lain di sebuah kafe. Jantung Nayla berdegup kencang, tangannya gemetar. "Jadi selama ini... dia selingkuh?" gumamnya pelan, merasa semua yang ia perjuangkan selama bertahun-tahun hancur begitu saja. Nayla segera mengambil ponselnya dan menghubungi Regan. “Regan, aku butuh bicara. Bisa ketemu sekarang?” Di sisi lain, Regan langsung merespons dengan nada khawatir. “Tentu, Nayla. Kamu di mana? Aku jemput.” Tak sampai setengah jam kemudian, Regan tiba di tempat Nayla berdiri. Melihat wajah Nayla yang pucat dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, Regan segera turun dan menghampirinya. “Kamu baik-baik saja?” Nayla menggeleng pelan, menahan tangis. “Aku… aku baru saja melihat suamiku bersama wanita lain. Selama ini aku ya
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk keluar rumah sejenak. Ia butuh udara segar dan waktu untuk menenangkan pikirannya yang penuh tekanan. Tanpa tahu ke mana harus pergi, langkahnya membawanya ke sebuah taman kecil di tengah kota. Duduk di bangku kayu di bawah rindangnya pohon, ia membiarkan pikirannya melayang jauh. Sementara itu, di tempat lain, Regan sedang menikmati akhir pekannya dengan adiknya, Sean. Mereka berdua berjalan santai di area taman yang sama. Sean, dengan gaya cerianya, terus mengoceh tentang rencana bisnis mereka yang baru. Namun, perhatian Regan tertuju pada sosok wanita yang duduk di bangku tak jauh dari mereka. “Nayla?” gumam Regan perlahan, matanya memperhatikan wajah yang tampak tak asing itu. Sean berhenti berbicara, mengikuti arah pandangan kakaknya. “Kamu kenal dia?” Regan mengangguk kecil. “Dia teman lama. Aku nggak nyangka bakal ketemu dia di sini.” Sean tersenyum jahil. “Ya udah, samperin aja.” Tanpa banyak berpikir, Regan melangkah mendek
Keesokan harinya, di kantor pusat perusahaan, Regan mengadakan rapat besar dengan seluruh direksi. Aula pertemuan dipenuhi para eksekutif yang duduk dengan sikap formal, menanti arahan dari sang CEO muda. Regan mengenakan setelan jas hitam elegan, wajahnya serius, tetapi penuh percaya diri. Di sampingnya, Sean duduk memperhatikan dengan saksama, belajar dari kakaknya. “Saya ingin perusahaan ini tidak hanya berkembang pesat, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat luas. Kita akan memulai proyek besar untuk pembangunan fasilitas pendidikan gratis di beberapa daerah yang membutuhkan,” ujar Regan dengan tegas. Salah satu direktur mengangguk sambil mencatat. “Kami akan segera menyusun rencana detailnya, Tuan Regan.” Setelah rapat berakhir, Sean berjalan mendekati Regan dengan senyum bangga. “Kak, keren banget tadi. Aku harap nanti kalau giliranku, aku bisa sehebat kamu.” Regan menepuk bahu adiknya. “Kamu pasti bisa, Sean. Ingat, jadi pemimpin itu bukan hanya tentang k
Siang itu, di aula megah perusahaan milik keluarga Anderson, suasana penuh dengan keriuhan. Para petinggi perusahaan, rekan bisnis, dan karyawan senior berkumpul untuk menyambut momen besar. Arjun, kini dengan rambut mulai memutih, berdiri di samping Olivia yang tetap anggun seperti dulu. Keduanya tersenyum bangga ketika putra sulung mereka, Regan Anderson, melangkah maju ke podium dengan langkah mantap. “Terima kasih atas kepercayaan ini. Saya akan menjalankan amanah sebagai CEO baru dengan penuh tanggung jawab,” ujar Regan dengan suara tegas. Sorak sorai memenuhi ruangan. Sean, adiknya yang kini berusia 18 tahun, berdiri di barisan depan bersama teman-temannya. “Hebat, Kak! Jangan lupa traktir aku nanti,” ujar Sean setengah berbisik ketika Regan turun dari podium, membuat sang kakak tertawa kecil. Olivia mengusap lembut punggung Regan, bangga melihat anaknya tumbuh menjadi pria yang sukses. “Mama selalu percaya kamu bisa mencapai ini, Nak.” Arjun menepuk bahu putranya. “In