Olivia Lauren duduk di meja kerjanya yang terletak di sudut kantor, dikelilingi oleh tumpukan berkas yang belum terurus dan layar komputer yang berkilau, menciptakan suasana kontras antara kesibukan yang menuntut dan pikirannya yang melayang jauh. Sambil mengetik email, dia teringat pada pertemuan tak terduga yang mengubah hidupnya—pertemuan dengan Arjun, CEO tampan yang terkenal berkarisma, yang kini menjadi bagian dari hidupnya yang paling gelap dan penuh risiko.
“Olivia, bisa kamu kirimkan laporan itu ke meja saya sebelum rapat?” suara baritone yang dikenal dengan baik itu memecah konsentrasi Olivia. Dia menoleh, menemukan Arjun berdiri di pintu kantornya, wajahnya tampak serius namun ada kilau tajam di matanya yang membuat jantungnya berdegup kencang. “Tentu, Arjun. Saya akan mengirimkannya sekarang juga,” jawab Olivia dengan senyuman yang sedikit dipaksakan, berusaha menutupi kegugupan yang menghimpit dadanya. Dalam hati, ia merasa bingung—apakah dia harus terus terjebak dalam skandal yang bisa menghancurkan kariernya atau berani mengambil langkah untuk mengakhiri semuanya? Arjun melangkah masuk dan menutup pintu, membuat suasana di dalam ruangan itu terasa lebih intim dan tegang. “Olivia, kita perlu bicara,” katanya, suaranya rendah dan penuh intensi. “Kita tidak bisa terus menyembunyikan ini selamanya. Orang-orang mulai mencurigai ada yang aneh.” “Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Olivia, suaranya bergetar. Dia tahu skandal ini bisa menghancurkan tidak hanya reputasinya, tetapi juga bisa menimbulkan dampak besar bagi Arjun dan perusahaannya. “Apakah kita akan terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan ini, atau apakah kita harus memberanikan diri untuk mengakui segalanya?” Arjun menarik napas panjang, mengerutkan keningnya. “Kita bisa mengubah semuanya. Mungkin kita bisa memulai dari awal, menjelaskan situasinya dengan cara yang benar. Tapi…,” dia terdiam sejenak, matanya memandang Olivia dengan serius, “aku tidak bisa melakukannya tanpa kamu di sisiku.” Olivia merasakan rasa hangat menyelimuti pipinya. Di satu sisi, keinginan untuk melarikan diri dari skandal ini begitu kuat, namun di sisi lain, dia tidak bisa menahan rasa ketertarikan yang mendalam terhadap Arjun, yang terus memikatnya meskipun konsekuensi dari hubungan mereka. “Dan jika itu berarti kita harus menghadapi semua ini? Apakah kamu siap untuk menghadapi kemarahan dan cacian orang lain?” tanyanya, menantang. Arjun mengangguk, keteguhan di wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah siap mengambil risiko. “Aku lebih memilih menghadapi kemarahan dunia luar daripada terus hidup dalam kebohongan ini, Olivia. Bagaimana denganmu?” “Jika aku terus bersembunyi, aku hanya akan semakin tenggelam dalam penyesalan,” ujar Olivia dengan mantap, akhirnya menemukan kekuatan dalam dirinya. “Mungkin ini saatnya aku mengendalikan takdirku sendiri.” Ketika mereka saling menatap, waktu seakan berhenti, dan Olivia menyadari bahwa keputusan yang diambilnya bukan hanya tentang skandal mereka, tetapi tentang keberaniannya untuk menghadapi dunia dengan semua keindahan dan cacian yang menyertainya. Akankah mereka benar-benar berani melangkah maju, atau akankah skandal itu menenggelamkan mereka berdua? Dengan langkah penuh keyakinan, Olivia mengambil keputusan untuk menghadapi tantangan ini, meninggalkan kecemasan yang menghantuinya dan meraih masa depan yang lebih cerah, meskipun tak ada yang bisa memprediksi arah cerita cinta dan skandal mereka. Beberapa hari setelah keputusan itu, suasana di kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Olivia merasakan ketidakpastian yang menggantung di udara, seakan setiap orang menyimpan rahasia yang lebih dalam. Saat dia duduk di mejanya, meneliti berkas-berkas yang harus disiapkan untuk presentasi, pikirannya melayang kembali kepada pertemuan yang telah mengubah segalanya. Rasa takut dan harapan bercampur, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan keputusan mereka kepada dunia. “Olivia!” seru Mia, rekan kerjanya, sambil berlari menghampiri meja Olivia. Wajah Mia terlihat khawatir, dan Olivia dapat merasakan gelombang emosi dari sahabatnya. “Kau sudah mendengar kabar terbaru tentang Arjun?” “Tidak, apa yang terjadi?” tanya Olivia, merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, suasana di sekelilingnya terasa hening, semua perhatian tertuju padanya. “Mereka bilang ada rumor bahwa dia akan mundur dari posisinya sebagai CEO! Orang-orang percaya ini ada hubungannya dengan skandal yang melibatkan dia,” jawab Mia dengan nada berbisik. “Olivia, ini bisa menjadi bencana besar bagi perusahaan.” Olivia merasa dunia seakan runtuh. “Apa? Dia tidak mungkin….” suaranya terputus. Dia tahu betapa kerasnya Arjun bekerja dan seberapa besar pengorbanan yang telah dia lakukan untuk mencapai posisi tersebut. “Kita harus berbicara dengannya.” Mia menggeleng. “Dia sedang dalam pertemuan penting, dan semua orang tampak ingin mencari tahu siapa yang terlibat. Kau harus hati-hati, Olivia. Semua mata tertuju padamu.” Dengan detak jantung yang semakin cepat, Olivia merasa seperti berada di atas panggung dengan sorotan lampu yang menyilaukan. Dia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk memilih—apakah dia akan terus menyembunyikan hubungan mereka atau maju ke depan dan menghadapi konsekuensinya? Satu jam kemudian, ketika Olivia sedang berjuang mengumpulkan keberanian untuk mendatangi ruang rapat, pintu terbuka dan Arjun muncul, terlihat lebih lelah dari biasanya, tetapi ada tekad di matanya. “Olivia,” panggilnya, suara serak, “kita perlu bicara.” Dia mengangguk, lalu mengikuti Arjun ke ruang kecil di belakang kantor, tempat yang jarang dikunjungi. Saat pintu tertutup, Arjun langsung menatapnya. “Aku mendengar rumor itu. Mereka sedang mencari-cari alasan untuk menjatuhkan kita,” katanya dengan nada serius. “Arjun, kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Kita harus bersikap terbuka tentang hubungan kita. Jika tidak, semua ini hanya akan semakin memburuk,” Olivia mengeluarkan kata-kata dengan penuh keberanian, meskipun hatinya berdebar. “Dan apakah kamu siap untuk menghadapi semua tuduhan itu?” tanya Arjun, matanya meneliti wajah Olivia, seolah ingin melihat kedalaman keberaniannya. “Aku siap. Aku sudah lelah bersembunyi di balik bayang-bayang. Jika orang-orang ingin tahu, biarkan mereka tahu. Tapi aku tidak akan melakukan ini tanpa dukunganmu,” balas Olivia, menatap Arjun dengan penuh keyakinan. “Kita menghadapi ini bersama.” Arjun terdiam, lalu mengangguk pelan, seolah menyadari betapa pentingnya keputusan ini. “Baiklah, jika ini yang kamu inginkan. Kita akan menghadapinya bersama. Tapi kau harus siap—ini akan sulit.” “Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, Arjun. Kita harus mengambil risiko,” jawab Olivia, merasa semangatnya mulai membara. Dengan langkah mantap, mereka keluar dari ruang kecil itu, siap menghadapi apa pun yang datang. Saat mereka melangkah kembali ke ruangan kerja, Olivia merasakan keberanian yang mengalir dalam dirinya. Dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju kebebasan, dan terlepas dari apa yang orang lain katakan, dia akan memperjuangkan cintanya. Di luar, semua orang di kantor menatap mereka dengan tatapan curiga. Olivia merasakan hawa dingin melintas di punggungnya, tetapi kali ini dia tidak merasa takut. Dia tahu, apapun yang terjadi, dia tidak akan berdiri sendirian—Arjun ada di sisinya. Dengan penuh tekad, mereka berdua melangkah maju menuju ruang rapat, siap untuk mengumumkan kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan menghadapi setiap konsekuensinya. Ruang rapat terasa lebih padat dari biasanya, dipenuhi oleh rekan-rekan kerja dan beberapa anggota dewan yang menantikan pengumuman penting dari Arjun dan Olivia. Saat mereka melangkah masuk, suasana tegang mengalir di antara semua yang hadir. Olivia dapat merasakan tatapan tajam dari setiap orang, beberapa di antaranya terlihat skeptis, sementara yang lain tampak penasaran. “Terima kasih telah datang,” Arjun mulai berbicara, suaranya mantap namun Olivia bisa mendeteksi sedikit ketegangan di balik nada tersebut. “Kami di sini untuk membahas situasi yang sedang berkembang di perusahaan dan cara kita akan melanjutkan.” Olivia merasa napasnya tersengal, bersiap untuk menyampaikan apa yang telah mereka diskusikan. Namun, Arjun tiba-tiba memberi isyarat untuk menghentikannya. “Olivia, tunggu,” katanya, pandangan matanya mengisyaratkan ketidaksetujuan. “Huh?” Olivia menatapnya bingung, merasa gelisah. “Apa maksudmu, Arjun? Kita harus membicarakan hubungan kita dan bagaimana ini mempengaruhi perusahaan.” Arjun menegakkan punggungnya, wajahnya serius. “Tapi tidak di sini, di depan mereka,” jawabnya dengan nada tegas. “Ini bukan tempat yang tepat untuk itu. Kita tidak bisa memberi mereka alasan untuk menjatuhkan kita. Kita harus menunjukkan bahwa kita tetap profesional.” “Profesional?” seru Olivia, suaranya sedikit meninggi, terkejut oleh ketidakberaniannya. “Kita sudah terjebak dalam skandal ini, Arjun! Tidak ada cara untuk kembali ke kehidupan normal tanpa menghadapi kenyataan.” “Dan apa yang terjadi jika kita berbicara sekarang? Kamu tahu betapa cepatnya rumor bisa menyebar,” Arjun menjelaskan, tangannya bergerak ekspresif. “Kita harus menjaga citra perusahaan agar tetap utuh. Jika kita mengumumkan hubungan kita di sini, itu hanya akan membuat situasi semakin buruk.” Olivia merasakan amarah dan frustrasi memuncak di dalam dirinya. “Tapi kita tidak bisa terus bersembunyi! Ini bukan hanya tentang perusahaan, ini tentang kita! Tentang apa yang kita rasakan satu sama lain!” Satu demi satu, mata di dalam ruangan itu beralih ke Olivia dan Arjun, semua orang jelas memperhatikan ketegangan di antara mereka. Olivia bisa merasakan deru jantungnya, tidak ingin menunjukkan kerentanan di depan publik. “Olivia, mendengarkan aku,” kata Arjun dengan lembut, tetapi nada suaranya tetap tegas. “Kita akan menemukan waktu yang tepat untuk berbicara. Saat ini, kita perlu berfokus pada pekerjaan dan memecahkan masalah ini dari dalam. Kita tidak bisa memberi mereka kesempatan untuk menyerang kita. Ini adalah langkah strategis.” Olivia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Dia tahu ada kebenaran dalam apa yang Arjun katakan, tetapi hatinya menolak untuk terus berdiam diri, terperangkap dalam kebohongan. “Jadi, apa yang harus kita lakukan? Berpura-pura tidak terjadi apa-apa?” tanyanya, suara hatinya bergetar. Arjun mengalihkan pandangannya sejenak, seolah mempertimbangkan semua kemungkinan. “Kita harus memperkuat posisi kita di perusahaan. Aku akan berbicara dengan dewan tentang langkah-langkah untuk memperbaiki situasi ini. Kita harus menjaga hubungan kita dan karier kita tetap utuh sebelum mengambil langkah lebih jauh.” Olivia merasa seolah jiwanya terombang-ambing, antara keinginan untuk mengakui cintanya dan rasa tanggung jawab terhadap perusahaan. “Jika itu yang kamu inginkan, aku akan mengikutinya. Tapi, aku berharap kita tidak akan terlambat,” jawabnya, suaranya kini lebih tenang, tetapi hatinya tetap penuh kekhawatiran. “Tidak, kita tidak akan terlambat,” balas Arjun, tersenyum dengan lembut, meskipun ada kerisauan di matanya. “Kami akan melewati ini bersama.” Dengan keputusan yang diambil, mereka melanjutkan presentasi, tetapi di dalam hati Olivia, rasa takut dan harapan saling berkelindan. Saat dia menyampaikan laporan, semua orang memperhatikan, tetapi dia merasa ada beban berat yang menghimpit di dalam dirinya—skandal yang masih menggantung dan rasa cinta yang terlarang yang belum bisa diungkapkan. Ketika rapat berakhir, Arjun menarik Olivia ke sisi, jauh dari perhatian orang lain. “Kita akan berbicara lebih lanjut tentang ini nanti, Olivia. Kita perlu memiliki rencana yang solid sebelum mengambil langkah berikutnya,” katanya, menatapnya dengan serius. Olivia hanya mengangguk, menerima keputusan itu, tetapi dalam hatinya, dia berdoa agar keputusan mereka tidak membawa mereka pada jalan yang salah. Saat mereka meninggalkan ruangan, satu pertanyaan tetap membara di pikirannya: Akankah mereka mampu menghadapi dunia dengan keberanian untuk mengakui hubungan terlarang ini, atau akankah mereka terjebak selamanya dalam bayang-bayang kebohongan?Setelah rapat berakhir, Arjun membawa Olivia ke ruangannya dengan langkah cepat, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Suasana di dalam ruangan terasa lebih intim, terisolasi dari dunia luar yang penuh tekanan. Saat pintu tertutup, Olivia merasakan napasnya terhenti sejenak, campuran antara rasa takut dan kegembiraan membanjiri hatinya. “Olivia,” Arjun memanggilnya, suaranya dalam dan berat dengan emosi yang terpendam. Dia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin menyusut. “Kita tidak bisa terus mengabaikan apa yang terjadi di antara kita. Aku merasa…,” dia terhenti, menatap dalam-dalam ke mata Olivia, “aku tidak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.” Sebelum Olivia bisa menjawab, Arjun mengambil langkah maju, menariknya ke dalam pelukan yang hangat. Olivia bisa merasakan ketegangan di bahunya menghilang seiring dengan kehadiran Arjun, seolah dunia di luar sana lenyap, meninggalkan hanya mereka berdua. “Arjun…” Olivia berbisik, tetapi kata-katanya te
Setelah kembali ke dalam rumah, Elvira duduk di sofa ruang tamu dengan rasa tenang yang perlahan mulai terusik oleh pikirannya sendiri. Ia melirik jam di dinding—sudah hampir pukul tujuh malam, tetapi Arjun belum juga memberi kabar. Biasanya, ia sudah mengirim pesan singkat untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang terlambat, namun kali ini tidak ada pesan sama sekali. Elvira mengambil ponselnya, dan jari-jarinya mulai mengetik pesan dengan pelan. Elvira: Sayang, kamu sibuk banget ya hari ini? Aku cuma mau ingetin besok ada pesta ulang tahun Mr. Gunawan di hotel. Kamu ingat kan? Kita diundang sejak dua minggu lalu. Bisa temani aku ke sana? Elvira memandangi pesan tersebut selama beberapa detik sebelum menekan tombol kirim. Hatinya berharap Arjun akan langsung membalas seperti biasanya. Ia sangat ingin suaminya hadir bersamanya di pesta itu. Pesta tersebut merupakan acara yang penting, bukan hanya untuk Elvira, tetapi juga untuk jaringan sosial dan bisnis mereka. Apalagi, belakan
Setelah kepergian Arjun, Olivia merasa hatinya dipenuhi campuran emosi yang sulit dicerna. Ia merasakan perasaan kosong yang menyelimuti dirinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Dalam sekejap, ia memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, berharap bisa mengusir rasa cemas yang menggelayut di benaknya. Dengan cepat, Olivia berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan air di bak mandi, menunggu hingga penuh, dan saat air hangat mulai memenuhi bak, ia mengeluarkan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Selimut itu terasa lembut di kulitnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah rasa sepinya. Olivia terjun ke dalam air, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, merasakan aliran air yang menenangkan, dan berusaha mengabaikan suara hatinya yang terus berbisik tentang Arjun dan Elvira. Bagaimana bisa aku terus hidup seperti ini? pikirnya, meremas selimut yang basah di dekatnya. Ia mengingat k
Setelah menikmati teh dan obrolan yang menenangkan dengan Maya, Olivia merasa sedikit lebih ringan. Keputusan untuk mengambil jarak dari masalah yang selama ini membelenggunya mulai terasa seperti pilihan yang tepat. Langit di atas Udaipur mulai beranjak siang, dengan matahari yang menyinari jalanan penuh kehidupan. “Kamu tahu, Liv, kadang yang kita butuhkan hanyalah jeda sejenak dari rutinitas,” kata Maya sambil memandang Olivia dengan penuh perhatian. “Hidup nggak selalu harus rumit. Kadang kita hanya perlu memutuskan kapan kita mau berhenti dan melanjutkan dengan cara yang berbeda.” Olivia tersenyum lemah. “Iya, mungkin aku terlalu lama terjebak dalam satu masalah yang sama. Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk lepas dari semua ini.” Maya menyentuh tangannya, memberinya dukungan yang tulus. “Kamu bisa mulai kapan saja. Bahkan mulai sekarang.” Olivia terdiam sejenak, menatap cangkir tehnya yang hampir habis. Ia merenungkan kata-kata Maya, merasa ada kebenaran yang dalam di
Adegan: Arjun yang Tak Ingin Melepas Saat Arjun berjalan menjauh dari Olivia, pikirannya terus berputar, berusaha menerima keputusan yang baru saja didengar. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin besar gejolak di dalam dirinya. Hatinya menolak kenyataan bahwa Olivia ingin meninggalkannya begitu saja. Meski ia memiliki istri, hubungan yang ia miliki dengan Olivia terasa begitu kuat dan tak bisa ia lepaskan begitu saja. Arjun berhenti di tengah jalan, menatap kosong ke depan. “Tidak… aku tidak bisa begitu saja menyerah.” pikirnya. Rasa kepemilikannya terhadap Olivia mulai mengambil alih, menolak keputusan Olivia yang terlihat begitu tegas. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Olivia, bahkan jika itu berarti terus hidup dalam rahasia. Dengan napas berat dan tekad yang membara, Arjun memutar tubuhnya dan mulai berjalan kembali menuju arah di mana Olivia masih berada. Tatapannya keras, dan setiap langkahnya penuh keyakinan. Tidak ada yang bisa memisahkannya dari wanita yang begitu i
Setelah meninggalkan kamar, Arjun memutuskan untuk menghindari Elvira lebih lama lagi. Dia berjalan ke balkon di lantai dua mansion mereka, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya yang berantakan. Di bawah cahaya rembulan, Arjun berdiri diam, mencoba merenung tentang semua yang terjadi. Wajah Olivia, tubuhnya yang bersandar di sampingnya pagi tadi, semuanya membanjiri pikirannya tanpa henti. Namun di bawah itu semua, rasa bersalah pada Elvira semakin menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa ia sedang mengkhianati istrinya—wanita yang selalu setia, yang mencintainya tanpa syarat. Sementara itu, Elvira duduk sendirian di ruang makan. Meja telah diatur dengan rapi, hidangan yang ia buat dengan cinta terhampar di depannya, tapi tidak ada Arjun di sana. Dia menatap kosong ke arah piringnya, lalu menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan merasuk. Arjun, yang biasanya akan segera turun dan duduk bersamanya, kini semakin sering menghilang dengan alasan sibuk. Dan
Malam sudah larut, dan Arjun merayap keluar dari mansion dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara agar tidak terbangun Elvira. Ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya sangat berisiko, tetapi kerinduan akan Olivia sudah mencapai puncaknya, dan ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Ketika ia tiba di hotel, suasana sunyi menyambutnya, dan ia melangkah cepat menuju pintu kamar Olivia. Dengan sedikit ketegangan, ia mengetuk pintu. Setelah beberapa detik, suara lembut Olivia memecah keheningan, “Siapa di luar?” “Olivia, ini aku,” jawabnya sambil menahan nafsu yang membara. Pintu terbuka, dan Olivia muncul dengan wajah terkejut, matanya membesar saat melihatnya. “Arjun! Kau di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar antara kegembiraan dan ketakutan. “Diam, jangan keras-keras,” Arjun berbisik sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Olivia menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kepastian di mata Arjun. “Tapi, bagaima
Setelah beberapa saat berdiam dalam kehangatan satu sama lain, Arjun perlahan bangkit dari ranjang, menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Olivia. Elvira pasti mulai curiga kalau aku terlalu lama di sini,” katanya dengan nada enggan. Namun, Olivia menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya mengerucut. “Tidak,” jawabnya tegas, suaranya dingin namun tegas. “Aku tidak mau kau pergi.” Arjun terkejut mendengar respons Olivia yang langsung dan tak terduga. “Olivia, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau tahu posisiku. Kita tidak bisa terus begini.” Olivia duduk dengan selimut melilit tubuhnya, matanya berkilat penuh emosi. “Kenapa kau selalu memikirkan dia, Arjun? Aku di sini. Aku yang ada bersamamu sekarang, bukan Elvira.” Nadanya menggambarkan kekecewaan yang mendalam, hampir seperti permohonan. “Aku mengerti, Olivia,” Arjun berkata pelan, mencoba meredam ketegangan. “Tapi aku punya tanggung jawab. Aku tidak bisa terus mengabaikan kenyataan.” Olivia mendengus, jelas tak puas den
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel
Elvira berdiri di depan gerbang megah mansion milik Arjun, tangannya gemetar, matanya menatap kosong ke arah pintu besar yang menjulang tinggi. Perasaan gugup bercampur dengan harapan tipis. Tanpa ragu, dia menekan bel. Suara denting halus terdengar, lalu keheningan kembali menyelimuti. Tak lama, seorang pelayan membukakan pintu, wajahnya penuh tanya. “Bu Elvira?” sapanya, suaranya sarat dengan kebingungan. “Bilang ke Arjun… Aku ingin bertemu dengannya,” kata Elvira, suaranya sedikit bergetar, namun tetap memaksa tegar. Pelayan itu tampak ragu. “Tuan Arjun sedang sibuk, Bu—” “Saya tunggu di dalam,” potong Elvira, tanpa memberi kesempatan pelayan itu menyelesaikan kalimatnya. Dia melangkah masuk, matanya menjelajahi ruangan yang begitu familiar, ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Beberapa menit berlalu sebelum Arjun muncul di ambang pintu ruang tamu, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur kebencian. “Elvira?” suaranya terdengar datar, dingin. Elvira
Pagi itu, suasana di rumah Arjun terlihat penuh ketegangan. Setelah percakapan yang mengharukan semalam, orang tua Arjun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Mereka sudah cukup melihat kebohongan dan manipulasi Elvira, dan kali ini mereka tak akan diam saja. Mereka ingin memastikan bahwa Elvira tidak lagi mengganggu kehidupan anak mereka dan Olivia. Di rumah Elvira, suasana tampak suram. Elvira baru saja selesai sarapan ketika pintu diketuk dengan keras. Dia membuka pintu, hanya untuk melihat Mama dan Papa Arjun berdiri di ambang pintu, wajah mereka dipenuhi kemarahan dan ketegasan. “Elvira,” Mama Arjun memulai dengan suara tegas, “Kau sudah melampaui batas. Kami datang untuk memberi tahu kamu bahwa ini harus segera berakhir.” Elvira terkejut, dan walaupun wajahnya terlihat kacau karena masih mabuk semalam, dia berusaha menutupi rasa khawatirnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, suara serak. Papa Arjun melangkah maju, tanpa ampun menatap Elvira. “Kau telah merusak b
Elvira membuka lemari dengan kasar, tangannya menyibak deretan pakaian mahal yang tergantung rapi. Matanya tajam, mencari sesuatu yang akan membantunya menghidupkan kembali citra dirinya di mata Arjun. Dengan cepat, ia mengambil gaun berwarna merah tua, warna yang selalu berhasil membuatnya terlihat dominan dan mempesona. Dia mengenakan gaun itu dengan gerakan cepat, wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin. Elvira menatap bayangannya di cermin, merapikan rambut basahnya dengan jari-jari. Senyum sinis terukir di bibirnya. Ada tekad yang membakar dalam dirinya—dia tidak akan membiarkan Olivia menang begitu saja. Ponselnya berdering di atas meja rias. Elvira melirik sekilas sebelum mengangkatnya. “Halo?” suaranya terdengar tegas, tanpa basa-basi. “Elvira, ada apa denganmu? Kau bahkan tidak pulang semalam.” Suara dari seberang, suara pria yang selama ini hanya menjadi pelarian, terdengar penuh tuntutan. Elvira mendengus. “Bukan urusanmu, Dion. Jangan ikut campur. Aku punya renc