Ama sudah tidak tahan. Ia pun berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Karina. Tanpa babibu, dia langsung menarik rambut Karina, sampai membuatnya memekik nyaring.
"Apa yang kamu lakukan, jalang?!" teriak Karina, sambil berusaha melepaskan jambakan Ama. "Dengar, ya!" Ama mendesis. "Kamu tidak akan bisa mengambil itu semua, karena dari awal, semua itu memang bukan untukmu!" "Amalthea! Lepaskan tanganmu!" Ameera mulai membantu sang anak yang mulai menangis. Namun, bukannya melepaskan, Ama malah menjambak rambut Ameera dengan tangan satunya. "Diam kamu, Nenek!" Keributan di kamar rawat VVIP itu akhirnya mengundang perhatian orang-orang di luar. Pintu terbuka, membuat Ama berhenti sejenak dan menoleh. Pada saat itulah jambakannya mengendur. Edrick berdiri di depan sana bersama kedua orang tuanya. "Amalthea!" bentak Edrick. 'Oh, sialan!' Ama mengumpat dalam hati. Situasi ini pasti terlihat seperti dirinya yang menyiksa dua dedemit ini. Ama buru-buru melepaskan tangannya. "Mas Edrick, ini—" "Cukup!" potong Edrick. "Mas Edrick...." Karina, yang sudah terbebas dari Ama pun segera menghampiri Edrick dan memeluk pria itu. "Jangan marahi Ama... ini salahku karena tidak bisa menjaga Ayah tadi...." "Sudah, sudah, Karina... jangan menangis...." Edrick menepuk-nepuk lengan Karina untuk menenangkan, tapi justru membuat Ama semakin tidak tenang. Harusnya dia menjambak rambut Karina lebih kuat. “M-Mas Edrick… kamu dan Karina…” "Amalthea," Edrick tiba-tiba menoleh lagi ke arah Ama. "Mari kita batalkan pertunangan ini." Mata Ama membulat. “A-apa?” “Karena aku akan menikahi Karina, yang lebih baik darimu.” *** Ama melangkah gontai sambil mengurut pangkal hidungnya. Masalah seolah tak berhenti datang kepadanya sehingga membuatnya yang selama ini mandiri harus meminta tolong kepada orang lain. Seperti sekarang, Ama sudah memarkirkan mobilnya di sebuah gedung pencakar langit milik rivalnya, Orion. Ingatan akan ucapan Edrick di bangsal rumah sakit tadi masih membekas di dalam hatinya. “Bagaimana bisa Mas Edrick membatalkan rencana pernikahan kami dan memilih menikah dengan Karina?! Apa semudah itu cinta mas Edrick berpaling dariku?” Dibanding sedih, Ama merasa marah sekarang. Dia mendongakkan kepala untuk melihat kondisi gedung pencakar langit milik Orion. Gara-gara pria ini, semua jadi kacau! Oleh sebab itu, Ama memutuskan untuk mendatangi orang tersebut. Dia harus mendapat kesaksian pria itu untuk meraih kepercayaan ayahnya dan membalas dendam kepada Karina serta Edrick. Dia tidak mau jika perusahaan sampai jatuh ke tangan para dedemit itu. Setelah membuat janji dengan sekretaris pria tersebut, Ama diizinkan untuk naik ke lantai atas. Sedikit kagum dengan nuansa yang digunakan oleh si pemilik gedung, dia kemudian memilih duduk di sofa bagian sudut yang dapat melihat sekitar dengan leluasa. Sayangnya, Orion sedang ada tamu di dalam sehingga Ama diminta untuk menunggu sebentar. “Kalau gak inget aku yang butuh, ogah duduk di sini!” Bibirnya menggerutu. Hampir satu jam Ama menunggu dan itu jelas sudah membuat harga dirinya makin turun. Hanya karena Orion, wanita itu harus merendahkan dirinya sendiri. “Sumpah, dia gak keluar dalam 5 menit, bakalan aku hanguskan gedung ini!” ujarnya, gedek. Sepertinya, Tuhan masih sayang kepada Orion karena tidak lama pria itu muncul dengan jas formal, layaknya para CEO muda yang sukses. Tubuhnya yang tinggi itu terlihat sangat menonjol, apalagi didukung dengan rahang tegas dan wajah campuran bule itu. Ama hampir menampar dirinya sendiri ketika secara tidak sadar berdecak kagum melihatnya. 'Ingat, Ama! Dia itu musuh kamu!' “Saya cukup terkejut mendengar seorang Amalthea mau berkunjung ke kantor saya,” ucap Orion dengan senyum miringnya. Pria itu dengan senyum lebarnya membungkuk ala pengawal yang memberi hormat kepada Ratu, lalu berkata, “Suatu kebanggan bagi saya karena dikunjungi oleh Yang Mulia Ratu!” Ama segera berdiri, mengabaikan tingkah Orion yang selalu saja membuat dirinya kehabisan kata-kata. “Aku mau ngomong, penting!” “Sepenting apa, sampai seorang Nona Amalthea mendatangi kantor saya yang kecil ini?” ujar pria itu. “Orion, please! Aku mau ngomong serius sama kamu!” Ama yang sudah tidak sabar menghentakkan kakinya kesal. Wanita itu mengabaikan Orion yang terkekeh geli melihatnya yang selalu tidak sabar dan gampang sekali marah. Ama lalu melihat ke sekitar dan ada si sekretaris pria tersebut yang sedang duduk di meja kerja. “Di ruanganku?” Orion menunjuk ruangannya. Tak mau berlama-lama, Ama dengan cepat berjalan mendahului si pemilik kantor untuk masuk ke ruangannya. Dia sedang tidak berkawan dengan tata krama. Jadi, tanpa disuruh Ama sudah duduk di sofa. Dia mengabaikan gelengan kepala dari Orion yang kini baru saja menutup pintu ruangannya. Pria itu berjalan ke arah kulkas kecil sambil melepas jas dan mengendurkan dasi. Ia pun menggulung kemejanya sampai siku, sebelum mengambil minuman dari kulkas itu. “Oke, kamu mau mau ngomong apa?” tanya Orion sambil berjalan menuju sofa. Orion menaruh satu botol minuman yang entah kenapa bisa ada di ruangan pria tersebut. Itu adalah minuman favoritnya, kopi. Padahal, Ama jelas masih ingat kalau Orion itu tidak suka kopi. Pria itu hampir dibawa ke UGD gara-gara minum minuman pahit itu. 'Apa pria ini lagi banyak kerjaan sampai menyimpan kopi di ruangannya?' batin Ama masih bertanya-tanya. “Amal?” “Eh?” Ama segera kembali melihat ke arah depan, di mana pria itu baru saja mengetukkan jari di atas meja kaca untuk menyadarkan dirinya. “Ada apa?” Ama kemudian berdeham, menatap pria itu dengan wajah serius. “Tolong bantu aku!” Ama berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri kalau ini tidak apa-apa. Ia bahkan tidak mau menatap wajah Orion saking malunya. 'Gak apa-apa sekali aja rendahin diri di depan Orion sombong ini. Please, Ma, tahan bentar!' Ama menguatkan dirinya sendiri. "Kamu bilang apa?" ulang Orion, entah untuk mengejek atau benar-benar tidak mendengar ucapan Ama. Ama menarik napas panjang sekali lagi. "Aku mau kamu bantu aku terbebas dari gosip itu." Belum ada jawaban dari Orion, jadi Ama pun melanjutkan, “Ayah kena serangan jantung, Orion, dan itu terjadi setelah melihat foto kita malam itu.” Suara Ama bergetar. Ama merasakan sisi sofanya bergerak dan ternyata Orion memilih pindah tempat duduk di sebelahnya. “Lalu, bagaimana keadaan ayah sekarang?” Orion melembutkan suaranya. “Dia belum sadar. Aku nggak tahu harus ke mana lagi. Otakku serasa mau meledak, belum lagi duo iblis itu makin gencar buat ambil semua harta ayah.” Suara sesenggukan Ama terdengar semakin keras. Pria itu mengangkat tangannya, hampir saja dia memeluk gadis itu. Namun, diurungkan dengan tangan menggantung di udara beberapa detik. Tangannya berpindah menepuk kepala wanita itu perlahan. Ama menatap Orion. Wajahnya tampak serius, sedikit berharap kalau pria itu mau membantunya. Namun, ucapan Orion setelah itu membuat Ama ingin sekali membalikkan meja di depannya. “Kalau begitu, ayo menikah denganku!" Pria itu mengulurkan tangannya tiba-tiba ke depan wajah Ama. “Apa?!” Mata Ama terbelalak. Dia membutuhkan solusi untuk mengurangi masalah, bukan membuat masalah baru. Mata tajam Ama langsung mengarah kepada Orion. “Aku meminta bantuanmu untuk klarifikasi!” ucap Ama tegas. "Kenapa kamu malah ngajak aku nikah, Orion?!" Berbeda dengan Ama yang menggebu-gebu, Orion malah menarik napas panjang dan menjawab dengan tenang. “Bukankah itu satu-satunya cara yang cepat? Kita klarifikasi dengan pernikahan.” Ama menggeleng, tidak percaya dengan jalan pikiran pria ini. Benar, dia sudah gila. “Bukankah kamu juga sudah gak punya tunangan?” sambung Orion kemudian. Dahi Ama mengeryit. “Dari mana kamu tahu aku dan Edrick…” "Amal! Aku ngelakuin ini juga untuk menyelamatkan nama baik kita,” potong Orion sebelum Ama menyelesaikan kecurigaannya. “Aku pun kena dampaknya, tau. Telepon ruang sekretariatku tidak berhenti berdering dari pagi, bahkan, orang tuaku pun sekarang menjadi tak percaya padaku." Pria itu memasang wajah sedih. "Ditambah lagi. Posisimu yang seorang CEO pasti mulai dipertanyakan oleh karyawan dan juga dewan direksi bukan? Lalu, soal ayahmu yang sakit? Apa kamu gak kasihan?" Ama semakin goyah. Setiap kata yang diucapkan oleh Orion semakin membuatnya ragu dan juga yakin. Benar kata Orion, Edrick sudah mengkhianatinya. Alih-alih menenangkannya, Edrick malah memilih untuk menikahi Karina. Dia jadi meragukan kesungguhan Edrick selama ini. "Lalu, soal kakak tirimu dan tunanganmu.” Ucapan Orion selanjutnya, membuat Ama menoleh dengan cepat. “Oh, maaf. Mantan tunanganmu,” pria itu merevisi dengan gaya khasnya. "Bukankah kamu juga ingin balas dendam kepada mereka?" Di mata publik, Ama dan Karina adalah adik-kakak ideal, walaupun mereka saudara tiri. Karina digambarkan sebagai kakak yang mengayomi, dan selalu mendukung Ama yang menjabat sebagai CEO perusahaan ayahnya. Jujur saja, image Karina jauh lebih bagus daripada Ama di publik. Makanya, setelah skandal ini pecah, hanya Ama yang mendapat masalahnya. Karina justru tertawa lebar seperti kuntilanak yang kesenangan. "Lalu, apa kamu yakin jika ini adalah solusi yang tepat?" tanya Ama sambil menatap Orion. Pria itu mengangguk, yakin. "Ya." Ama mengusap kasar air matanya. Cepat-cepat dia mendongak dan menyambut uluran tangan Orion. “Baiklah, mari kita tulis kontraknya.” Sepertinya, kalimatnya sukses membuat Orion kaget. Dia mengernyit kala menemukan kegetiran dalam ekspresi pria itu ketika pernikahan mereka hanya dijadikan sebuah sandiwara. “Kontrak?” ulang Orion. “Lantas, apa lagi?” sahut Ama. “Memangnya kamu mau menikah sungguhan denganku?” Orion tidak langsung menjawab, tapi setelah berpikir sejenak akhirnya pria itu tersenyum. “Katakan apa persyaratannya.” pria itu berdehem untuk menetralkan suaranya yang terdengar aneh. “Pertama, pernikahan ini hanya berlangsung satu tahun.” Ama mengacungkan jari telunjuknya. “Kedua, kita gak boleh ikut campur dengan urusan satu sama lain, dan kita tinggal terpisah di rumah masing-masing.” Jari tengah Ama mengikuti jari telunjuk. Orion buru-buru menginterupsi, “Tunggu, apakah orang-orang akan percaya kita benar-benar menikah jika tinggal terpisah?” Pertanyaan pria itu seolah menyadarkan kesalahan Ama yang, justru akan menghancurkan rencana mereka. “Benar juga ya, kalo gitu kita tinggal serumah. Tapi, ada batas yang boleh dan gak boleh dilanggar ketika di rumah!” Ama mencari solusi terbaik dan Orion hanya mengangguk-angguk perlahan. “Ketiga, mempersilahkan pasangan untuk mencari cinta sejati mereka—” “Apa? Gak! Aku gak setuju.” Pria itu menolak tegas sambil melipat tangannya di dada. Alisnya berkerut, dan bibirnya melengkung ke bawah. “Tapi, Orion.... memangnya kamu mau terjebak selamanya denganku?” “....nggak masalah.” “Apa?”“Apa?” Ama yakin, ia tadi mendengar sesuatu. “Ck! Baiklah, sesukamu saja,” jawab Orion akhirnya, malah mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Kalau begitu, aku terima semua syaratnya. Tapi, aku juga punya beberapa syarat.” “Apa itu?” Ama mengerutkan keningnya. “Satu, tidak boleh bermesraan dengan lawan jenis selain aku di hadapan khalayak ramai. Dua, jika pergi harus saling memberi tahu ke mana dan dengan siapa. Ketiga, jika sampai perjanjian ini berakhir dan kamu memiliki sedikit rasa padaku, maka kamu harus menuruti semua keinginanku.” Orion memberikan syaratnya tanpa jeda. “Apa-apaan itu semua tadi?” Ama menganga tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Deal atau nggak?” Orion menatap Ama serius. Orion mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Ama berpikir keras. Wanita itu tampak menimang-nimang persyaratan dari Orion. Beberapa saat kemudian, akhirnya Ama membuka suara. “Deal!” Tangan Ama menggantung di udara. Cepat-cepat pria itu melangkah untuk menyambut uluran tang
Sosoknya yang tinggi itu tampak mengintimidasi Edrick. Ama terdiam di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Orion. “Seperti yang kau bilang, dua hari yang lalu kalian masih bertunangan,” Orion lalu melirik Karina yang berdiri di sebelah Edrick. “Tapi, apa kau tidak memiliki kaca di rumah?” Ama tidak bisa berpaling. Pesona Orion hari ini benar-benar menjeratnya hingga netra Ama sulit sekali dialihkan dari pria tersebut. “Sayang sekali istriku harus bertemu ubur-ubur sepertimu kemarin,” Nada bicara Orion kembali seperti semula. “Dia sangat malang malang bertemu dengan pria bodoh yang sudah menyia-nyiakannya.” Sudut bibir pria itu tertarik ke atas hingga membentuk sebuah kurva senyum. Ama terpaku sesaat, merasakan debaran jantungnya yang mendadak jadi aneh. “Istriku,” panggil Orion lembut. Ama baru sadar ketika pria itu sudah merangkul pinggangnya kembali. “Hm?” sahut Ama. “Bukankah aku ini tampan?” Seperti terhipnotis, Ama mengangguk saja hingga Orion sema
“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!” Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka. “What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan. “Yes! Akhirnya, udah jadi!”“Kamu mas
“Bolehkah saya yang menjawabnya?” Sebelum Ama menyelesaikan jawabannya, sebuah tangan besar menggenggamnya di bawah meja. Adalah Orion pelakunya. Ama mengerjap.“Apa kalian tahu takdir kalian apa?” Orion mengambil alih mikrofon yang satunya. “Itu adalah kisah kami.” Orion melempar tatapan teduh pada Ama. “Kisah kami memang sedikit rumit, tetapi di balik pertengkaran yang sering dilakukan, ada cinta yang mengikat kami untuk bersama.”Orion memberikan senyum manis pada Ama sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Pernikahan kami memang terkesan mendadak, tapi percayalah! Tidak ada yang saling menikung di sini. Ama dan Edrick sudah berpisah saat kami memutuskan menikah. Terima kasih!”Ama terdiam, mendengarkan perkataan Rion ketika menjawab pertanyaan karyawan yang terakhir. Dia sedikit tersentuh dengan kata-kata Orion. Bibirnya sempat membalas senyum pria itu sebelum dirinya tersadar, kalau mereka masih berada di tempat konferensi pers. ‘Bagaimana bisa dia terlihat begitu lancar? Pad
Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang. “Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya. “Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya. “Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi. Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp. “Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!” “Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama. “Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?” Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberika
“Apa kamu bilang?” Karina menarik lengannya paksa, bahkan kuku jari kakak tirinya ada yang menancap di kulitnya. “Lepaskan tangan kotormu dari lenganku, Sundel!” Mata Ama berkilat marah. “Apa? Sundel!” Karina berseru tak terima. Karina pun mendorong bahu Ama dengan telunjuknya. “Hei, Jalang! Asal kamu tau, yah! Yang lebih pantas dengan Mas Edrick itu cuma aku. Dan apa kamu bilang tadi? Bekasan? Sorry, sepertinya itu tak berlaku untukku. Karena kenyataannya, akulah yang pertama untuk Mas Edrick!” Pertama? Kening Ama mengernyit, mencoba memproses maksud dari perkataan Karina yang menyebutkan jika dialah yang pertama, bukan dirinya. “Apa, sih, mau kamu?” Ama menepis tangan Karina. Rasa perih langsung menyengat ketika tangan kakak tirinya sudah menghilang dari lengannya. “Arkh, kenapa kamu mendorongku, Ama?” Wanita itu berakting. Ama menatap Karina bosan. “Please, deh, gak usah sok jadi ratu drama di sini. Aku muak tau, gak, sih!” “Ama! Berani sekali kamu mengatai calon istri
Ama menggeleng pilu. “T-tapi kita–” “Ssttt!” Rion meletakkan jarinya di depan bibir Ama. “Cukup kamu tanamkan dalam pikiran dan hatimu, Amal. Ada aku, Orion, suamimu! Aku gak akan pernah meninggalkanmu!” katanya menyakinkan. Ama membiarkan pria itu menempelkan kening mereka, sementara ia memejamkan mata sambil menangis. “Bohong! Kau sama saja dengan bajingan itu! Kau pasti akan meninggalkanku,” sahutnya bosan. Pria itu berdecak, lalu mengecup keningnya. Ia ingin protes, tetapi Orion dengan berani mengecup bibirnya. “Orion!” Ama mendelik kesal. Ia langsung mendorong tubuh Orion, sedangkan dirinya memilih berjalan ke arah kursi taman. Bibirnya ia usap seolah tak sudi dicium oleh sang suami. Namun, Orion hanya terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihat Ama marah-marah. Pria itu pun menarik tangan Ama agar berhadapan dengannya lagi. “Apa mantanmu itu baru saja mengganggumu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Ama menaikkan satu kakinya dengan punggung bersandar, seda
“K-kau mencintaiku…?” cicit Ama dengan suara bergetar.Entahlah, kenapa ia merasa sedikit takut sekarang. Bukan takut yang bagaimana, tapi ia takut kalau dadanya meledak karena jantungnya berdetak tidak normal.‘Aku gak bakal mati kan ya?’Apalagi, Orion tidak cepat menanggapi. Pria itu malah mengulurkan tangannya untuk menyelipkan anak rambut Ama ke belakang telinga. Lalu, bibir pria itu mengarah ke telinga Ama.“Tapi, bohong,” bisiknya kemudian.Mata Ama seketika terbuka lebar. Menatap Orion yang sedang terbahak di kursi kemudinya dengan tatapan tak percaya. “ORION!” teriaknya.Dan, Orion hanya terbahak.“J-jadi, kamu mempermainkan ku?” tanyanya dengan tangan mengepal.Orion tersenyum kalem dan mulai menjalankan kembali mobilnya. “Kamu tuh lucu, Mal. Apalagi kalau lagi tegang begitu. Lagian, aku tahu kamu gak mungkin mencintaiku,” ujarnya sambil melirik Ama.Suara Orion kembali terdengar memecah hening di antara mereka. “Aku juga gak mungkin menjalani pernikahan dengan seseorang ya
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni