“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
Amalthena berjalan sempoyongan di sebuah lorong hotel. Dia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya setelah minum segelas wine yang ditawarkan Karina—kakak tirinya.Dia mengumpat saat rasa sakit menyerang kepalanya, ditambah tubuhnya juga menggigil. Padahal dia hanya minum sedikit tadi, dan toleransinya terhadap alkohol lebih kuat dari beberapa orang.Gaunnya yang tanpa lengan semakin membuat dia menggigil hingga ke sekujur tubuhnya. Ia harus cepat pulang, sebelum ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ketika dia hampir mencapai lift, dia merasakan dahinya menabrak sebuah dada bidang seorang pria. “Ah, maaf!” ujar Ama dengan kepala tertunduk.“Ama?” Ama tertegun mendengar suara familiar itu. Ia pun mendongak.“Kamu gak apa-apa?” tanya pria itu lagi.Walaupun pandangannya sedikit mengabur, Ama tetap yakin jika pria itu adalah Orion Setiawan. Pria yang selama ini menjabat sebagai CEO Angkasa Group. Hubungan mereka pun tidak berjalan baik, alias musuh bebuyutan.Jika bia
Ama menunduk menatap foto-foto yang dilempar ayahnya. Foto-foto tersebut diambil dengan sudut yang pas. Tentu akan membuat orang yang melihat menjadi salah paham. Itu adalah foto dirinya dan Orion yang tengah ada di lorong hotel semalam, bahkan ada beberapa foto Orion ketika menggendongnya masuk ke kamar hotel.Deg!Keringat dingin membanjiri dahi Ama. “B-bagaimana bisa ada f-foto itu…”Tubuhnya gemetar ketakutan, apalagi saat matanya menangkap jelas keberadaan Edrick yang duduk di single sofa, di rumahnya. Tungkainya yang lemas dipaksa untuk berjalan mendekati sang tunangan. “M-mas, A-ama bisa jelasin!”Pria itu langsung menepis tangan Ama saat ingin digenggam. Sakit, tapi tak berdarah. Hatinya begitu diliputi rasa takut dan juga frustasi. “M-mas….” panggilnya dengan mata basah.“Bukankah pria itu adalah Orion?” tanya Edrick.Ama menegang kaku, apalagi saat Edrick membawa-bawa nama pria itu. Dia bingung harus menjawab apa dan hanya menunduk. “I-tu–”“Tega kamu, Ma!” kata itu begi
Ama sudah tidak tahan. Ia pun berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Karina. Tanpa babibu, dia langsung menarik rambut Karina, sampai membuatnya memekik nyaring. "Apa yang kamu lakukan, jalang?!" teriak Karina, sambil berusaha melepaskan jambakan Ama. "Dengar, ya!" Ama mendesis. "Kamu tidak akan bisa mengambil itu semua, karena dari awal, semua itu memang bukan untukmu!" "Amalthea! Lepaskan tanganmu!" Ameera mulai membantu sang anak yang mulai menangis. Namun, bukannya melepaskan, Ama malah menjambak rambut Ameera dengan tangan satunya. "Diam kamu, Nenek!" Keributan di kamar rawat VVIP itu akhirnya mengundang perhatian orang-orang di luar. Pintu terbuka, membuat Ama berhenti sejenak dan menoleh. Pada saat itulah jambakannya mengendur. Edrick berdiri di depan sana bersama kedua orang tuanya. "Amalthea!" bentak Edrick. 'Oh, sialan!' Ama mengumpat dalam hati. Situasi ini pasti terlihat seperti dirinya yang menyiksa dua dedemit ini. Ama buru-buru melepaskan tangannya. "Mas Edric
“Apa?” Ama yakin, ia tadi mendengar sesuatu. “Ck! Baiklah, sesukamu saja,” jawab Orion akhirnya, malah mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Kalau begitu, aku terima semua syaratnya. Tapi, aku juga punya beberapa syarat.” “Apa itu?” Ama mengerutkan keningnya. “Satu, tidak boleh bermesraan dengan lawan jenis selain aku di hadapan khalayak ramai. Dua, jika pergi harus saling memberi tahu ke mana dan dengan siapa. Ketiga, jika sampai perjanjian ini berakhir dan kamu memiliki sedikit rasa padaku, maka kamu harus menuruti semua keinginanku.” Orion memberikan syaratnya tanpa jeda. “Apa-apaan itu semua tadi?” Ama menganga tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Deal atau nggak?” Orion menatap Ama serius. Orion mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Ama berpikir keras. Wanita itu tampak menimang-nimang persyaratan dari Orion. Beberapa saat kemudian, akhirnya Ama membuka suara. “Deal!” Tangan Ama menggantung di udara. Cepat-cepat pria itu melangkah untuk menyambut uluran tang
Sosoknya yang tinggi itu tampak mengintimidasi Edrick. Ama terdiam di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Orion. “Seperti yang kau bilang, dua hari yang lalu kalian masih bertunangan,” Orion lalu melirik Karina yang berdiri di sebelah Edrick. “Tapi, apa kau tidak memiliki kaca di rumah?” Ama tidak bisa berpaling. Pesona Orion hari ini benar-benar menjeratnya hingga netra Ama sulit sekali dialihkan dari pria tersebut. “Sayang sekali istriku harus bertemu ubur-ubur sepertimu kemarin,” Nada bicara Orion kembali seperti semula. “Dia sangat malang malang bertemu dengan pria bodoh yang sudah menyia-nyiakannya.” Sudut bibir pria itu tertarik ke atas hingga membentuk sebuah kurva senyum. Ama terpaku sesaat, merasakan debaran jantungnya yang mendadak jadi aneh. “Istriku,” panggil Orion lembut. Ama baru sadar ketika pria itu sudah merangkul pinggangnya kembali. “Hm?” sahut Ama. “Bukankah aku ini tampan?” Seperti terhipnotis, Ama mengangguk saja hingga Orion sema
“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!” Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka. “What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan. “Yes! Akhirnya, udah jadi!”“Kamu mas