Ama menunduk menatap foto-foto yang dilempar ayahnya. Foto-foto tersebut diambil dengan sudut yang pas. Tentu akan membuat orang yang melihat menjadi salah paham.
Itu adalah foto dirinya dan Orion yang tengah ada di lorong hotel semalam, bahkan ada beberapa foto Orion ketika menggendongnya masuk ke kamar hotel. Deg! Keringat dingin membanjiri dahi Ama. “B-bagaimana bisa ada f-foto itu…” Tubuhnya gemetar ketakutan, apalagi saat matanya menangkap jelas keberadaan Edrick yang duduk di single sofa, di rumahnya. Tungkainya yang lemas dipaksa untuk berjalan mendekati sang tunangan. “M-mas, A-ama bisa jelasin!” Pria itu langsung menepis tangan Ama saat ingin digenggam. Sakit, tapi tak berdarah. Hatinya begitu diliputi rasa takut dan juga frustasi. “M-mas….” panggilnya dengan mata basah. “Bukankah pria itu adalah Orion?” tanya Edrick. Ama menegang kaku, apalagi saat Edrick membawa-bawa nama pria itu. Dia bingung harus menjawab apa dan hanya menunduk. “I-tu–” “Tega kamu, Ma!” kata itu begitu pendek, tapi cukup membuat hati Ama semakin porak-poranda. Ama menggeleng. Dia berusaha keras untuk menjelaskan pada Edrick. Namun, lidahnya begitu kelu, apalagi saat melihat tatapan kecewa yang tergambar jelas di sorot mata sang tunangan. “A-ma bersumpah, Mas. Hanya Mas Edrick yang Ama cinta, bukan pria mana pun,” ujarnya, jujur. “Lalu, bagaimana bisa kamu tidur sama Orion, Ma?” Suara Karina menginterupsi Ama yang sedang mencoba menjelaskan pada Edrick. “P-padahal… padahal semalam ulang tahunku, tapi kamu malah membuat Mas Edrick marah gara-gara kejadian ini…” Ama masih tidak paham dengan korelasi ulang tahun Karina dan keadaan Edrick. Namun, melihat bagaimana wanita itu meneteskan air mata, dan bersandar di bahu Edrick, ia sudah bisa menduganya. “Kau yang sudah membuatku mabuk semalam!” Ama berkata dengan suara bergemeletuk menahan geram. Dia bahkan langsung mendorong dada kakak tirinya itu dengan penuh benci. “K-kok kamu malah nyalahin Kakak, sih?” Karina masih menangis. “I-itu ulang tahunku… a-aku tidak mungkin melakukan hal buruk kepada adikku sendiri…” “Cukup, Ama!” bentak Edrick. “Kamu padahal tau, kalau aku tuh gak suka kamu deketan sama pria bajingan itu! Kalau kamu mabuk, harusnya mencariku atau pulang saja, bukannya tidur dengan Orion!” Ama menggeleng prihatin. “Sumpah demi apa pun, Mas! Aku juga gak tau bagaimana bisa ada di kamar itu dengan Orion!” Plak! Bukan Edrick atau Karina, tapi Akbarthea atau ayahnya sendiri yang menampar keras pipi Ama. Wanita itu terdiam. Bahkan semua orang yang ada di sana pun ikut terkejut. “Kamu masih berani menuduh kakakmu yang melakukan itu? Apa kamu tidak tahu jika semalaman kakakmu sudah mencarimu ke mana-mana?!” bentak Akbar. Ini adalah kali pertama Akbar meninggikan suara untuk Ama. “A-ayah….” Ayahnya yang sedari tadi duduk dan menonton kini terlihat begitu kecewa. Wajah ramah dan tatapan teduh yang biasa pria tua itu berikan kepada Ama, kini jelas tidak tersirat di sana. Hanya tatapan marah dan juga kecewa. “Cukup, Ama! Ayah sudah melihat semuanya. Ayah nggak nyangka jika kamu akan berbuat seperti—ugh….” Brug! “AYAH!” Tubuh Akbar mendadak limbung, dan terjatuh di lantai. “Ayah!” Ama yang panik pun langsung menghampiri pria tua itu, memeluknya dengan derai air mata yang membasahi wajahnya. “Ayah… maafin Ama… maaf…” “A-ayah kece-wa padamu, A-ama. J-jika kamu tak menyelesaikan masalah ini, A-ayah akan mencoret namamu dari hak w-waris!” *** "Gimana keadaan ayah saya, Dok?” Ama bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. Serangan jantung ayahnya tiba-tiba kambuh, sehingga membuat Ama kalap sendiri. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit ia terus berdoa. Hanya ayahnya satu-satunya keluarga yang ia punya. “Kondisi Tuan Akbar sudah stabil. Namun, beliau masih tidak sadarkan diri. Saya akan memindahkan beliau di kamar inap saja untuk memantau keadaan beliau hingga sadar,” ucap sang Dokter. Ama bisa bernapas sedikit lega setelah mendengar penjelasan dokter. Lalu, ayahnya pun dipindahkan ke kamar rawat inap VVIP, Ama terus menemaninya di sana. Dirinya tidak mengharapkan kedatangan ibu dan kakak tirinya. Wanita itu memegang telapak tangan Akbar dan menempelkannya ke pipi. “Ayah, maafin Ama...,” ujar Ama sambil terisak. Kalau saja dia tidak datang ke pesta Karina, kalau saja dia masa bodoh dengan tatapan orang-orang ketika dia menolak minuman Karina, kalau saja dia tidak mementingkan citra perusahaan daripada citranya sendiri, semua ini tidak akan terjadi. Ayahnya pasti masih sehat dan menyambutnya dengan senyuman di rumah. Suara pintu didorong dari luar segera membuat Ama menoleh. Bibirnya tak bisa untuk tak berdecih, apalagi dengan tak berperasaan dua manusia palsu itu masuk dan duduk di sofa. Karena malas berbicara dengan mereka, Ama hanya membuang muka dan kembali fokus pada ayahnya “Cecunguk kayak kamu sudah terlalu lama dimanja. Sekarang, aku sebagai ibu barumu harus memberimu sedikit pelajaran hidup.” Ameera mengangkat dagunya tinggi. “Tahu apa Anda tentang hidupku? Kalian masuk ke dalam keluarga kami karena harta yang telah dikumpulkan oleh kedua orang tuaku.” Ama berbicara penuh penekanan, masih duduk di sebelah brankar ayahnya. “Kalian sudah merusak hidup kami. Dan kamu!” Ama menunjuk Karina dengan mata tajam. “Aku pastikan kamu dapat balasan yang lebih buruk dari bayanganmu.” Lanjut Ama. Bukannya takut, Karina malah tertawa sinis. "Coba saja. Memangnya siapa lagi yang percaya padamu sekarang? Mas Edrick bahkan tidak sudi melihat wajahmu lagi." Ama masih menatap tajam Karina. Tangannya mengepal kuat. 'Bolehkah aku melempar tabung oksigen ini ke wajah penuh suntik botox itu?' batin Ama menggeram. "Ah, satu lagi," sekarang, Ameera yang berbicara. "Sepertinya, pengacara ayahmu akan menghubungimu segera. Untuk membicarakan perpindahan hak waris." Kedua ibu dan anak itu pun tertawa lagi.Ama sudah tidak tahan. Ia pun berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Karina. Tanpa babibu, dia langsung menarik rambut Karina, sampai membuatnya memekik nyaring. "Apa yang kamu lakukan, jalang?!" teriak Karina, sambil berusaha melepaskan jambakan Ama. "Dengar, ya!" Ama mendesis. "Kamu tidak akan bisa mengambil itu semua, karena dari awal, semua itu memang bukan untukmu!" "Amalthea! Lepaskan tanganmu!" Ameera mulai membantu sang anak yang mulai menangis. Namun, bukannya melepaskan, Ama malah menjambak rambut Ameera dengan tangan satunya. "Diam kamu, Nenek!" Keributan di kamar rawat VVIP itu akhirnya mengundang perhatian orang-orang di luar. Pintu terbuka, membuat Ama berhenti sejenak dan menoleh. Pada saat itulah jambakannya mengendur. Edrick berdiri di depan sana bersama kedua orang tuanya. "Amalthea!" bentak Edrick. 'Oh, sialan!' Ama mengumpat dalam hati. Situasi ini pasti terlihat seperti dirinya yang menyiksa dua dedemit ini. Ama buru-buru melepaskan tangannya. "Mas Edric
“Apa?” Ama yakin, ia tadi mendengar sesuatu. “Ck! Baiklah, sesukamu saja,” jawab Orion akhirnya, malah mengalihkan wajahnya ke arah lain. "Kalau begitu, aku terima semua syaratnya. Tapi, aku juga punya beberapa syarat.” “Apa itu?” Ama mengerutkan keningnya. “Satu, tidak boleh bermesraan dengan lawan jenis selain aku di hadapan khalayak ramai. Dua, jika pergi harus saling memberi tahu ke mana dan dengan siapa. Ketiga, jika sampai perjanjian ini berakhir dan kamu memiliki sedikit rasa padaku, maka kamu harus menuruti semua keinginanku.” Orion memberikan syaratnya tanpa jeda. “Apa-apaan itu semua tadi?” Ama menganga tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Deal atau nggak?” Orion menatap Ama serius. Orion mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Ama berpikir keras. Wanita itu tampak menimang-nimang persyaratan dari Orion. Beberapa saat kemudian, akhirnya Ama membuka suara. “Deal!” Tangan Ama menggantung di udara. Cepat-cepat pria itu melangkah untuk menyambut uluran tang
Sosoknya yang tinggi itu tampak mengintimidasi Edrick. Ama terdiam di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Orion. “Seperti yang kau bilang, dua hari yang lalu kalian masih bertunangan,” Orion lalu melirik Karina yang berdiri di sebelah Edrick. “Tapi, apa kau tidak memiliki kaca di rumah?” Ama tidak bisa berpaling. Pesona Orion hari ini benar-benar menjeratnya hingga netra Ama sulit sekali dialihkan dari pria tersebut. “Sayang sekali istriku harus bertemu ubur-ubur sepertimu kemarin,” Nada bicara Orion kembali seperti semula. “Dia sangat malang malang bertemu dengan pria bodoh yang sudah menyia-nyiakannya.” Sudut bibir pria itu tertarik ke atas hingga membentuk sebuah kurva senyum. Ama terpaku sesaat, merasakan debaran jantungnya yang mendadak jadi aneh. “Istriku,” panggil Orion lembut. Ama baru sadar ketika pria itu sudah merangkul pinggangnya kembali. “Hm?” sahut Ama. “Bukankah aku ini tampan?” Seperti terhipnotis, Ama mengangguk saja hingga Orion sema
“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!” Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka. “What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan. “Yes! Akhirnya, udah jadi!”“Kamu mas
“Bolehkah saya yang menjawabnya?” Sebelum Ama menyelesaikan jawabannya, sebuah tangan besar menggenggamnya di bawah meja. Adalah Orion pelakunya. Ama mengerjap.“Apa kalian tahu takdir kalian apa?” Orion mengambil alih mikrofon yang satunya. “Itu adalah kisah kami.” Orion melempar tatapan teduh pada Ama. “Kisah kami memang sedikit rumit, tetapi di balik pertengkaran yang sering dilakukan, ada cinta yang mengikat kami untuk bersama.”Orion memberikan senyum manis pada Ama sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Pernikahan kami memang terkesan mendadak, tapi percayalah! Tidak ada yang saling menikung di sini. Ama dan Edrick sudah berpisah saat kami memutuskan menikah. Terima kasih!”Ama terdiam, mendengarkan perkataan Rion ketika menjawab pertanyaan karyawan yang terakhir. Dia sedikit tersentuh dengan kata-kata Orion. Bibirnya sempat membalas senyum pria itu sebelum dirinya tersadar, kalau mereka masih berada di tempat konferensi pers. ‘Bagaimana bisa dia terlihat begitu lancar? Pad
Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang. “Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya. “Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya. “Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi. Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp. “Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!” “Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama. “Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?” Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberika
“Apa kamu bilang?” Karina menarik lengannya paksa, bahkan kuku jari kakak tirinya ada yang menancap di kulitnya. “Lepaskan tangan kotormu dari lenganku, Sundel!” Mata Ama berkilat marah. “Apa? Sundel!” Karina berseru tak terima. Karina pun mendorong bahu Ama dengan telunjuknya. “Hei, Jalang! Asal kamu tau, yah! Yang lebih pantas dengan Mas Edrick itu cuma aku. Dan apa kamu bilang tadi? Bekasan? Sorry, sepertinya itu tak berlaku untukku. Karena kenyataannya, akulah yang pertama untuk Mas Edrick!” Pertama? Kening Ama mengernyit, mencoba memproses maksud dari perkataan Karina yang menyebutkan jika dialah yang pertama, bukan dirinya. “Apa, sih, mau kamu?” Ama menepis tangan Karina. Rasa perih langsung menyengat ketika tangan kakak tirinya sudah menghilang dari lengannya. “Arkh, kenapa kamu mendorongku, Ama?” Wanita itu berakting. Ama menatap Karina bosan. “Please, deh, gak usah sok jadi ratu drama di sini. Aku muak tau, gak, sih!” “Ama! Berani sekali kamu mengatai calon istri
Ama menggeleng pilu. “T-tapi kita–” “Ssttt!” Rion meletakkan jarinya di depan bibir Ama. “Cukup kamu tanamkan dalam pikiran dan hatimu, Amal. Ada aku, Orion, suamimu! Aku gak akan pernah meninggalkanmu!” katanya menyakinkan. Ama membiarkan pria itu menempelkan kening mereka, sementara ia memejamkan mata sambil menangis. “Bohong! Kau sama saja dengan bajingan itu! Kau pasti akan meninggalkanku,” sahutnya bosan. Pria itu berdecak, lalu mengecup keningnya. Ia ingin protes, tetapi Orion dengan berani mengecup bibirnya. “Orion!” Ama mendelik kesal. Ia langsung mendorong tubuh Orion, sedangkan dirinya memilih berjalan ke arah kursi taman. Bibirnya ia usap seolah tak sudi dicium oleh sang suami. Namun, Orion hanya terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihat Ama marah-marah. Pria itu pun menarik tangan Ama agar berhadapan dengannya lagi. “Apa mantanmu itu baru saja mengganggumu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Ama menaikkan satu kakinya dengan punggung bersandar, seda