Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang.
“Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya. “Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya. “Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi. Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp. “Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!” “Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama. “Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?” Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberikan oleh Orion. “Udah pakai aja, sih!” “Tapi, Rion–” Belum sempat Ama menyelesaikan ucapannya, ia sudah didorong masuk ke dalam kamar mandi. “Aku tunggu 10 menit. Kalau kamu gak keluar juga, aku bakalan dobrak pintu dan memakaikan pakaian itu!” ancam Rion. “What?!” Ama melihat ke arah pintu, lalu ke paper bag dengan perasaan dongkol. Dia mendesah keras, berpikir sebentar hingga akhirnya, mau tidak mau ia pun menurut dan memakainya. “Gila itu cowok, cuman sekali doang udah paham aja size aku,” ucapnya sambil berputar di depan cermin. Setelan itu terdiri dari kemeja warna putih dengan tali menggantung di kerah, dan dipadukan rok pensil di bawah lutut dengan saku kecil di bagian depan. Ini memang bukan style Ama, tetapi ia cukup terkesan dengan pemilihan pria tersebut. “Amal, mau berapa lama lagi kamu di dalam?” Suara ketukan disusul panggilan dari Orion memecah lamunan Ama. “Astaga! Kenapa gak sabaran banget?!” Ama melihat ke arah pintu dengan kesal. Ia pun berjalan keluar dengan wajah ditekuk. “Berisik banget, sih!” omelnya. Ama sempat melihat pria itu tertegun, tetapi dengan secepat kilat tatapan itu berubah biasa saja. Aneh. “Ya, lumayanlah,” celetuk Orion setelah terdiam beberapa saat. Kening Ama mengerut, apalagi melihat sikap dan ekspresi Orion yang malu-malu. Ucapannya memang sedikit meremehkan, tetapi telinga pria itu memerah, seperti waktu kemarin. “Cih!” Ama mendengkus. “Aku gak butuh penilaianmu!” Ia mendorong dada Orion agar menyingkir dari hadapannya. Ia lalu berjalan menuju meja nakas, mengambil ponsel dan juga dompetnya. “Mau bareng?” Suara Orion terdengar di balik bahunya. “Hm. Nanti pulangnya aku bisa sendiri,” jawabnya acuh. “Ok, seenak kamu aja!” Ama hendak menjawab, tetapi pria itu sudah lebih dulu pergi. Ia pun hanya bisa menghela napas panjang. “Bisa-bisanya aku terjebak sama cowok modelan kayak dia,” keluhnya. Ama tidak bisa banyak mengeluh sekarang. Ia harus segera berangkat ke kantor sebelum rapat dimulai. Ia tak ingin memberikan contoh yang buruk kepada karyawannya. Dalam perjalanan, ia menatap Orion yang hari ini terlihat lebih banyak diam. Padahal dulu, tiada hari tanpa pria itu mengejeknya. Dimulai dari masalah gaya rambut, sampai cara berjalan Ama un dikomentarinya. Di tengah keheningan, tiba-tiba pria itu malah mengucapkan, “Nanti, pulang kerja biar aku yang jemput. Sekalian aku mau ngajak kamu beli baju!” “Gak usah!” tolak Ama cepat. “Bajuku udah banyak. Lagian, nanti aku bakalan minta bibi buat beresin bajuku buat dikirim ke rumahmu!” “Sayangnya, aku gak suka dibantah, Amal.” Pria itu melirik sebentar sebelum kembali fokus dengan jalanan di depan. “Hah! Whatever!” Ama juga malas berdebat. Ia lebih memilih fokus untuk membuka email dari sekretarisnya di ponsel. *** Satu alis Ama naik ke atas melihat chat dari Orion. [Mal, kamu bisa pulang sendiri, kan? Maaf, tiba-tiba ada keperluan mendesak, dan ini gak bisa diwakilkan.] Ama tertawa hambar. “Wah, wah, wah!” Ama lalu berdiri dari kursinya, berkacak pinggang dengan wajah mendongak. Matanya tertuju pada langit-langit ruang kerjanya yang berwarna putih. Padahal pria itu yang tadi menawarkannya pulang bersama. Karena tadi mereka berangkat bersama, Ama jadi tidak bawa mobil sendiri. Lalu tiba–tiba, pria itu membatalkan janjinya begitu saja. “Kenapa aku jadi sakit hati begini, yah?!” ocehnya sendiri. “Bajingan itu benar-benar sudah membuat moodku hancur!” Ama mendesah kesal, lalu menatap kembali chat dari Orion. “Siapa yang maksa buat beli baju bareng? Dia, kan? Terus, kenapa malah dia batalin? Mendadak lagi!” Ama semakin kesal karena ia sudah membatalkan pertemuannya dengan salah satu klien hanya untuk pergi dengan Orion. Kenyataannya, ia mendapati pria itu membatalkan secara sepihak janjinya. “Sebenarnya itu orang mau ke mana, sih? Urusan sepenting apa sampai dia membatalkan janjinya?” Ama terus mengoceh sendiri. “Kalau gak inget itu orang udah pernah nolongin aku, udah aku bumi hanguskan kantornya itu!” dengkusnya. Akhirnya, Ama memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Ia ingin menjenguk ayahnya. Sudah dua hari ia tak bertemu Akbar lantaran sibuk mengurusi masalahnya yang seperti tak henti-henti datang menghampiri. Sambil menjalankan mobilnya, Ama menghubungi sekretaris ayahnya untuk menanyakan keadaan beliau. Setelah mengetahui jika Akbar masih belum sadar, Ama semakin menginjak gasnya menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ama langsung menuju kamar rawat ayahnya. Ia berharap tidak bertemu dengan Ameera, ataupun Karina. Dirinya sedang tak mood untuk ribut. Sayangnya, harapan Ama tak terkabul. Kenyataannya, di ruangan sang ayah sudah ada Karina, Ameera, dan Edrick. Entah sejak kapan ia sadar jika wajah calon suaminya itu jelek. Mungkin, semenjak diputusin kali. “Ngapain kamu ke sini? Bukankah dirimu sedang sibuk konferensi pers sana-sini?” Karian menyapanya dengan wajah sinis. Wanita bermuka dua itu bahkan tak malu menggunakan pakaian yang dibelinya di Korea. “Selain tak tahu malu, kamu juga senang, yah, ngumpulin bekasan dari diriku?” Ama berkata dengan enteng.“Apa kamu bilang?” Karina menarik lengannya paksa, bahkan kuku jari kakak tirinya ada yang menancap di kulitnya. “Lepaskan tangan kotormu dari lenganku, Sundel!” Mata Ama berkilat marah. “Apa? Sundel!” Karina berseru tak terima. Karina pun mendorong bahu Ama dengan telunjuknya. “Hei, Jalang! Asal kamu tau, yah! Yang lebih pantas dengan Mas Edrick itu cuma aku. Dan apa kamu bilang tadi? Bekasan? Sorry, sepertinya itu tak berlaku untukku. Karena kenyataannya, akulah yang pertama untuk Mas Edrick!” Pertama? Kening Ama mengernyit, mencoba memproses maksud dari perkataan Karina yang menyebutkan jika dialah yang pertama, bukan dirinya. “Apa, sih, mau kamu?” Ama menepis tangan Karina. Rasa perih langsung menyengat ketika tangan kakak tirinya sudah menghilang dari lengannya. “Arkh, kenapa kamu mendorongku, Ama?” Wanita itu berakting. Ama menatap Karina bosan. “Please, deh, gak usah sok jadi ratu drama di sini. Aku muak tau, gak, sih!” “Ama! Berani sekali kamu mengatai calon istri
Ama menggeleng pilu. “T-tapi kita–” “Ssttt!” Rion meletakkan jarinya di depan bibir Ama. “Cukup kamu tanamkan dalam pikiran dan hatimu, Amal. Ada aku, Orion, suamimu! Aku gak akan pernah meninggalkanmu!” katanya menyakinkan. Ama membiarkan pria itu menempelkan kening mereka, sementara ia memejamkan mata sambil menangis. “Bohong! Kau sama saja dengan bajingan itu! Kau pasti akan meninggalkanku,” sahutnya bosan. Pria itu berdecak, lalu mengecup keningnya. Ia ingin protes, tetapi Orion dengan berani mengecup bibirnya. “Orion!” Ama mendelik kesal. Ia langsung mendorong tubuh Orion, sedangkan dirinya memilih berjalan ke arah kursi taman. Bibirnya ia usap seolah tak sudi dicium oleh sang suami. Namun, Orion hanya terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihat Ama marah-marah. Pria itu pun menarik tangan Ama agar berhadapan dengannya lagi. “Apa mantanmu itu baru saja mengganggumu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Ama menaikkan satu kakinya dengan punggung bersandar, seda
“K-kau mencintaiku…?” cicit Ama dengan suara bergetar.Entahlah, kenapa ia merasa sedikit takut sekarang. Bukan takut yang bagaimana, tapi ia takut kalau dadanya meledak karena jantungnya berdetak tidak normal.‘Aku gak bakal mati kan ya?’Apalagi, Orion tidak cepat menanggapi. Pria itu malah mengulurkan tangannya untuk menyelipkan anak rambut Ama ke belakang telinga. Lalu, bibir pria itu mengarah ke telinga Ama.“Tapi, bohong,” bisiknya kemudian.Mata Ama seketika terbuka lebar. Menatap Orion yang sedang terbahak di kursi kemudinya dengan tatapan tak percaya. “ORION!” teriaknya.Dan, Orion hanya terbahak.“J-jadi, kamu mempermainkan ku?” tanyanya dengan tangan mengepal.Orion tersenyum kalem dan mulai menjalankan kembali mobilnya. “Kamu tuh lucu, Mal. Apalagi kalau lagi tegang begitu. Lagian, aku tahu kamu gak mungkin mencintaiku,” ujarnya sambil melirik Ama.Suara Orion kembali terdengar memecah hening di antara mereka. “Aku juga gak mungkin menjalani pernikahan dengan seseorang ya
“Iya, ini aku, Edrick.” Ama tak bisa menahan diri untuk tak merotasikan kedua bola matanya. “Ada apa? Kalau tidak ada hal yang perlu–” “Ama, tunggu! Jangan dimatikan dulu!” Suara di seberang terdengar memotong ucapan Ama. Kening wanita itu mengernyit heran. Ama memijit pelipisnya. “Apa lagi?” tanyanya bosan. Kejadian semalam saja masih belum hilang dari ingatan. Haruskah pagi ini Ama kembali berurusan dengan Edrick yang notabene sudah menghinanya? Pria itu bahkan sudah menjudge dirinya sebagai wanita yang tak pantas untuk disukai oleh orang lain. “Sial! Berani sekali pria itu menghubunginya setelah apa yang telah dia lakukan,” umpatnya dalam hati. Ama menjadi berpikir, apa selama ini Edrick memang semenyebalkan itu? “Ama, bisakah kita kesampingkan dulu masalah pribadi kita?” Suara Edrick terdengar memelas. Ama berdecih. Ia bahkan ingin meludahi ponselnya sendiri sekarang. “Lalu untuk apa seorang Edrick menghubungiku? Apa kau masih level berbicara denganku?” Wanita itu
Ama dibuat terperangah dengan kedatangan sang suami. Pria itu bahkan dengan cekatan menata makanan yang dibawa di atas meja. Tidak lupa air minum juga piring sudah disiapkan oleh Orion.“Hei, ayo buruan sarapan!” Orion memanggilnya yang masih duduk di kursi. Pria itu melambaikan tangan untuk memintanya bergabung di sofa. “Aku yakin bubur itu tak akan mengganjal perutmu yang kurus itu. Kemarilah! Aku sudah membeli makanan ini dalam perjalanan!”“Sial! Kenapa kau mengatai perutuku kurus, Orion!”Suara kekehan terdengar dari Orion. “Apa aku harus menyuruhmu untuk berkaca? Huh!”Ama melihat dirinya sendiri, lalu ke arah bubur yang masih cukup banyak. Pandangannya kemudian dilemparkan ke arah sang suami yang tengah menepuk sisi kosong di sampingnya.“Kemari,” panggil Orion sekali lagi.“Sial!” Ama berdecak kesal kemudian menurunkan kakinya dari pangkuan dan berjalan menuju Orion.Aroma santan yang gurih langsung menyeruak hidungnya. Perutnya tiba-tiba bergejolak minta diisi. “Daripada kam
“Sial! Gara-gara Rion, aku jadi gak fokus kerja.” Setengah hari yang menurut Ama sangat lama. Bagaimana tidak, hampir 5 jam ia dibuat mati penasaran dengan maksud ucapan dari sang suami. Kini, langkahnya begitu pasti masuk ke dalam sebuah restoran di mana ia sudah janjian dengan Orion dan ayah mertua. Ia melongok, mencari keberadaan dua pria tersebut. Namun, selama mata menyusuri, tidak ia temukan keluarga barunya itu.Kenapa Orion tak menjemput? Karena Ama yang melarang. Ia begitu tak ingin menyusahkan orang lain pada saat kaki dan tangannya masih berfungsi untuk menyetir mobil. Lagipula, ia sudah biasa pergi-pergi sendiri selama ini.“Selamat datang, Nona. Apa Anda sudah buat janji?” tanya salah satu pegawai resto ketika melihatnya kebingungan di depan pintu.“Saya sudah buat janji dengan Tuan Orion,” jawabnya. “Apa mereka sudah datang?”“Baik, mari saya antar ke ruangannya, Nona.”Ama hanya mendengarkan sambil mengikuti langkah si pramusaji membawanya ke dalam sebuah lorong yang m
Ama pikir, Orion adalah lelaki berbeda dari yang lain. Kenyataannya, pria itu sama saja brengseknya dengan Edrick. “Rion itu benar-benar udah bikin mood aku hancur!” Ama menghentakkan satu kakinya kesal tepat di depan mobilnya. Parkiran terlihat sepi siang itu dan membuat Ama leluasa meluapkan emosinya. “Tau gitu tadi aku makan sendiri!” Ia menghela napas keras, lalu berbalik badan untuk membuka pintu mobil. Namun, suara Orion di belakang bahu segera membuatnya menoleh. “Amal! Tunggu dulu!” Adalah Orion Setiawan yang memanggilnya. “Biar aku antar!” Ama menepis tangan Orion. Ia lalu bersandar di badan mobil sambil bersedekap di depan dada. Tatapannya begitu bosan. “Jadi, ini yang kamu maksud tadi pagi?” Lelaki itu tak menjawab. Orion justru bertingkah seperti anak kecil yang hendak minta uang pada ibunya. Si suami memainkan ujung blazer yang dikenakan olehnya tanpa berani menatap manik coklat miliknya. Ia menepis tangan sang suami, lalu berseru tak sabar. “Jawab, Rion!” Kepala
Sesampainya di apartemen, Ama langsung melempar tas miliknya di atas sofa. Ia duduk dengan tangan sesekali memijat kening yang terasa pening. Embusan napas lelah pun tak terelakan. Baru saja ia memejamkan, suara ponselnya berdering. Sontak, decakan dari bibir merah pudar itu memenuhi ruang tamu. Dengan melawan malas dan kesal, Ama berusaha melihat si penelpon.“Siapa sebenarnya orang kurang ajar yang mengganggu waktu istirahatku? Apa dia tak tahu, kalau aku lagi kesel?” Bibirnya terus mendumel, tetapi tangan satunya tetap mencari keberadaan gawai tersebut.Setelah ketemu, Ama meliriknya. Adalah Orion Setiawan. “Cih! Masih ada muka itu orang hubungin aku!” Ia memang memutuskan tak pulang ke rumah milik sang suami hari ini. Ama butuh ketenangan setelah bergulat dengan banyak masalah hari ini. Ia juga butuh mendinginkan pikiran di rumahnya sendiri.Bayangan akan nikmatnya tidur di kamar sendiri harus terhempas karena dering ponsel. Mau tidak mau, Ama memperbaiki posisi duduknya agar le