“Kamu gak mau?” Ama tersenyum mencemooh menatap suaminya. Ia bahkan terlihat santai dengan tangan bersedekap di depan dada. “Itu hak kamu, Rion. Karena aku, gak akan pernah mau dibodohi lagi sama kamu!” “Kapan aku membodohimu, Mal?” Tangannya ditarik, lalu tubuhnya di pojokan ke dinding.“Cih! Apa kau lupa dengan semua yang telah kamu lakukan padaku dulu? Atau, kau hanya pura-pura lupa?” Ama menatap sengit lelaki itu. “Semua tak akan pernah terjadi jika kamu tak meniduriku, Bodoh!”“Tunggu dulu!” Rion segera mengkoreksi. “Bukankah kejadian itu karena ulahmu sendiri? Kalau kamu lupa, kamu yang udah merayuku, menggodaku, Amal!” Lelaki itu menyangkal dengan santai.“Tapi, lelaki yang baik tidak akan pernah tergoda, Rion!” Ama bersikeras. Ia melengos ke arah lain asal bukan mata Orion. Tatapan sang suami sungguh mematikan hingga sulit bagi dirinya mengelak.Lelaki itu tiba-tiba tersenyum menyeringai. “Jadi, aku bukanlah lelaki yang baik? Hm?”“Itu,” jedanya ragu, “k-kamu bisa menilainya
“Aku tidak pernah seyakin ini tentang sebuah hubungan, Amal. Aku tahu kita bukanlah yang pertama dalam sebuah hubungan. Tapi, aku ingin kita menjadi yang terakhir menjalin di mana hanya ada kita berdua dan juga calon anak-anak kita kelak!”Ucapan Orion bagaikan nyanyian yang selalu membuatnya terngiang-ngiang. “Anak,” gumam Ama.Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun, rasa kantuk sama sekali tidak menghampiri. Ama justru terjaga setelah mereka menghabiskan malam panjang. Sementara Orion sendiri sudah terlelap di sampingnya.Ia mendongak, menatap wajah suaminya dalam diam. Pillow talk mereka semalam benar-benar berefek dahsyat pada dirinya. Jangankan untuk memejamkan mata, untuk sekedar menyerongkan tubuh saja ia enggan. Helaan napas panjang terembus begitu saja dari hidungnya. “Apakah tidak apa jika aku mempunyai anak sekarang? Bahkan, aku belum bisa mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang bisniswomen yang diakui oleh semua orang?”Ada ketakutan dalam hati Ama. Mengingat jik
“Kenapa kamu bisa lupa dengan janjimu?” tanya Ama tanpa melihat lawan bicaranya.“A-aku–”Kening Ama mengernyit. Ia seolah mencium ada yang tidak beres di situ. Kepalanya menoleh ke arah Orion di mana lelaki itu seperti salah tingkah. “Kau punya janji dengan orang lain tadi?”Terdengar helaan napas berat dari Orion. Kepala lelaki itu langsung menunduk penuh penyesalan. “Maaf.”Ama mengangguk dan cukup tahu saja. “Ok, kalau begitu tolong antarkan saya ke rumah sakit!” Ia langsung memalingkan wajah untuk melihat ke arah luar jendela.“Baiklah.” Suara Orion terdengar pasrah.Tiba-tiba, ponsel Orion berbunyi. Sebuah notifikasi pesan baru saja masuk dan tertulis di sana; Makasih atas makan malam….Belum selesai Ama membaca, ponsel itu sudah diambil. Ia menyeringai, lalu berbalik melihat ke arah jendela. “Aku bisa jelasin, Mal!” Suara Orion kembali terdengar. Ama menguap hingga matanya berembun. “Hem, silakan!” balasnya santai.Ama bukanlah perempuan yang suka meledak-ledak ketika marah.
Sepulangnya dari rumah ayah, Ama masuk ke dalam rumah suaminya dengan gontai. Permintaan ayah terdengar mudah, tetapi bagi dirinya begitu sulit. “Haruskah aku memaafkan dia?” Ama menghela napas sambil tetap berjalan, menenteng tas berisi minuman tradisional yang diberikan sang ayah untuknya dan suami.“Ini lagi ayah pakai acara ngasih jamu? Ya, kali kita disuruh begituan tiap hari,” keluhnya ngeri, “bisa bonyoken nanti yang ada aku!”“Amal. Amal, tunggu aku!” Panggilan dari belakang bahunya terdengar jelas.“Panjang umur kali dia,” dumelnya tak ikhlas. Ia lalu menatap pria itu bosan. “Apa, sih, Rion?”Tangannya tiba-tiba ditarik ke dalam genggaman erat. Sudah hampir seminggu mereka tak saling bertegur sapa dan hari ini, mungkin adalah waktu yang tepat karena mereka sama-sama libur.Hanya saja, Ama memilih kabur ke rumah ayahnya sejak pagi dan siang ini baru pulang. Itu pun karena desakan sang ayah jika tidak, mungkin ia masih bermalas-malasan di rumah.“Kamu dari mana aja? Kenapa ngg
Amalthea melirik ke arah samping kemudi di mana Orion tengah duduk sambil menyetir. Tujuan mereka adalah adalah kantornya. Namun, ada yang berbeda dari suasana mereka. Tak tahan, ia segera menelengkan kepalanya menghadap si suami.“Sshhh, mau sampai kapan kamu akan tetap mendiamkanku, Rion?” Ama memang suka sunyi, tapi akan berbeda jika di dekat Orion. Lelaki itu sudah mencekokinya dengan kerandoman dia. Jadi, akan sangat awkward jika mereka berada dalam satu mobil, duduk berdampingan, tetapi hanya saling diam. Ama tidak bisa dicuekin oleh Orion. Namun, pertanyaannya sama sekali tak mendapatkan tanggapan apa pun.Wah, hebat sekali lelaki brengsek di sampingnya itu.Ama menghela napas kesal saat tak mendapatkan jawaban apa pun dari Orion. “Yakh! Sebenarnya ada masalah apa sih, kamu sama aku, Rion?!” Wanita itu mulai kehabisan kesabaran.“Diamlah! Aku gak mau ngomong sama kamu!”“What!” Mata Ama membelalak tak percaya. “Seriously?” Lelaki itu hanya meliriknya sementara, lalu kembali
“Heol! Berani sekali wanita ular itu mengancamku!” Ama langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia mendengkus sebal dengan menyandarkan satu sikunya ke jendela, sedangkan satunya lagi memegang bagian kepala.“Siapa yang udah buat istriku tercinta kesal di pagi hari? Hm!” Suara Orion di sampingnya membuat fokus Ama terpecah.“Ah, bukan siapa-siapa.” Ama mencoba tersenyum. “Cepat jalankan mobil ini! Aku harus ke kantor tepat waktu!”“Kau yakin?” Orion terdengar ragu, tetapi kakinya tetap menginjak gas sehingga mobil yang mereka tumpangi melaju bersama kendaraan lain di jalan raya.“Hem.” Ama berdeham. Ia tak mengatakan apa pun pada Orion tentang pesan dari Ameera. Bukan karena mau main rahasia-rahasiaan, melainkan ia merasa bisa menyelesaikan masalah keluarganya sendiri.Lalu, di sinilah Ama berada, kediaman orang tuanya. Setelah pulang dari kantor dan beralasan ada rapat di luar bersama klien kepada Orion, ia sudah berada di pintu menuju taman belakang.“Bagaimana bisa aku tertipu
Ama sudah menghubungi Orion. Namun, lelaki itu berkata sedang berada di luar bersama dengan teman-temannya. Katanya, mereka sedang mendiskusikan masalah pernikahan Malik–teman sekolah sang suami.“Kenapa, Mal?” tanya Orion lagi di seberang telepon. “Apa kamu udah kangen dan memintaku untuk cepat pulang?” Ama mendengkus geli mendengar suara Orion yang begitu percaya diri. “Dalam mimpimu pun, seorang Ama tidak akan pernah merindukanmu. Cih! Enyahlah!” Setelah itu, Ama langsung memutuskan panggilan itu dan menyugar rambutnya. Ia melihat ke arah ponselnya yang menyala tanda ada panggilan. Ternyata Orion menghubungi balik. Namun, tak digubris olehnya.Ama mencibir, “kalau mau nongkrong mah nongkrong aja. Emang dia pikir dia siapa? Berani sekali memintaku untuk merindukannya!” Dirinya hendak berjalan menuju ruang kerja ayahnya, tetapi sebuah tepukan di bahu membuat ia berhenti..“Ama!”Ama menoleh. Wajahnya yang tadi kecut ketika berbicara dengan Orion, kini semakin masam. “Mau ngapain ka
Orion mematikan mesin mobil, lalu melihat ke arah rumahnya yang masih gelap. Lampu kamar dan lampu teras belum menyala, padahal ini sudah malam. Kepalanya meneleng sambil berdecak. “Apa Ama belum pulang?” Lelaki itu pun melihat ke arah jam tangannya, pukul 22.00 wib. Ia mendesis dengan kepala digelengkan. Sambil berjalan menuju pintu utama, ia berujar sendiri. “Apa dia lembur lagi, yah? Tapi, kayaknya gak, deh.” Baru saja ia berjalan 5 langkah, ponselnya berdering. Nomor istrinya memanggil. Bibir Orion pun tersenyum lebar.“Emang dasarnya jodoh, ya, begini. Gak bisa banget kalau dirasanin sedikit.” Lelaki itu terkekeh sebelum mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Mal.” sapanya senang.“Permisi, Tuan. Apa benar ini adalah nomor suami dari Nona Amalthea?” Suara seorang pria di seberang telepon tertangkap indera pendengaran Orion.Kedua alis Orion terangkat naik. “Kok, laki-laki,” gumamnya. Ia pun langsung menjauhkan ponselnya dan melihat nomor yang tertera di sana. “Bener, kok, ini no
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni