Ama sudah menghubungi Orion. Namun, lelaki itu berkata sedang berada di luar bersama dengan teman-temannya. Katanya, mereka sedang mendiskusikan masalah pernikahan Malik–teman sekolah sang suami.“Kenapa, Mal?” tanya Orion lagi di seberang telepon. “Apa kamu udah kangen dan memintaku untuk cepat pulang?” Ama mendengkus geli mendengar suara Orion yang begitu percaya diri. “Dalam mimpimu pun, seorang Ama tidak akan pernah merindukanmu. Cih! Enyahlah!” Setelah itu, Ama langsung memutuskan panggilan itu dan menyugar rambutnya. Ia melihat ke arah ponselnya yang menyala tanda ada panggilan. Ternyata Orion menghubungi balik. Namun, tak digubris olehnya.Ama mencibir, “kalau mau nongkrong mah nongkrong aja. Emang dia pikir dia siapa? Berani sekali memintaku untuk merindukannya!” Dirinya hendak berjalan menuju ruang kerja ayahnya, tetapi sebuah tepukan di bahu membuat ia berhenti..“Ama!”Ama menoleh. Wajahnya yang tadi kecut ketika berbicara dengan Orion, kini semakin masam. “Mau ngapain ka
Orion mematikan mesin mobil, lalu melihat ke arah rumahnya yang masih gelap. Lampu kamar dan lampu teras belum menyala, padahal ini sudah malam. Kepalanya meneleng sambil berdecak. “Apa Ama belum pulang?” Lelaki itu pun melihat ke arah jam tangannya, pukul 22.00 wib. Ia mendesis dengan kepala digelengkan. Sambil berjalan menuju pintu utama, ia berujar sendiri. “Apa dia lembur lagi, yah? Tapi, kayaknya gak, deh.” Baru saja ia berjalan 5 langkah, ponselnya berdering. Nomor istrinya memanggil. Bibir Orion pun tersenyum lebar.“Emang dasarnya jodoh, ya, begini. Gak bisa banget kalau dirasanin sedikit.” Lelaki itu terkekeh sebelum mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Mal.” sapanya senang.“Permisi, Tuan. Apa benar ini adalah nomor suami dari Nona Amalthea?” Suara seorang pria di seberang telepon tertangkap indera pendengaran Orion.Kedua alis Orion terangkat naik. “Kok, laki-laki,” gumamnya. Ia pun langsung menjauhkan ponselnya dan melihat nomor yang tertera di sana. “Bener, kok, ini no
Pengaruh alkohol sudah hilang dan hanya tinggal mual, serta pusing. Ama menatap suaminya dengan sengit. “Selain menyebalkan dan tidak peka, kamu itu lelaki brengsek yang bisanya cuma bikin aku kayak orang bego!”“A-apa!” Orion terdiam beberapa detik sebelum kembali membuka mulut. “Aku gak ngerti sama apa yang kamu katakan, Mal. Jelas-jelas aku langsung ke kantor polisi setelah mendengar kabarmu–”“Aku di kantor polisi karena pria bajingan itu udah melecehkan ku, Rion!” Ama menggeram menahan diri. “Bukankah aku tadi sudah jelaskan ke kamu? Jadi, apa perlu aku menjelaskan lagi?”Orion langsung berjongkok dan menggenggam tangan istrinya. “iya aku tahu. Ok, aku minta maaf karena gak bisa jaga kamu, dan aku juga makasih banget karena kamu bisa menjaga dirimu,” jeda lelaki itu sebentar.Tiba-tiba, bibir Orion mencebik dan menatapnya dengan pandangan setengah kesal. “Kenapa kamu menendang kandung kemihnya pelan? Seharusnya, kamu buat saja dia tak bisa bangun sekalian?” Dia berkata dengan mua
“Kau gila, Amal!” Pria itu langsung seperti orang gila. Ia menggaruk belakang kepala dan berteriak tidak jelas. Setelah itu, kembali menatap Ama dengan pandangan kecewa.Ama menatap Orion dalam diam, lalu tersenyum menyeringai. “Anggap saja aku memang gila. Tapi, itu sudah jadi keputusanku. Jadi, jika kamu menginginkan anak maka aku akan menyewa wanita lain untuk– arghh, sakit, Rion!” Matanya mendelik lebar dengan bibir meringis kesakitan ketika tangannya dicengkram kuat oleh sang suami. “Yakh, lepas, Rion!” “Apa kau sedang bermain-main denganku, Amal?!” Pria itu terdengar mendesis, bahkan mata Orion terlihat menyeramkan sekarang. “Lepas!” Ama menatap tak kalah sengit. Pria itu seolah menulikan telinga dan terus saja menghimpitnya di bawah kungkungan. “Selama ini aku selalu diam menghadapi semua kerandomanmu, Amal. Tapi, untuk bagian ini,” jeda Orion dengan kepala digelengkan. “Kau sungguh-sungguh jahat, Ama!”“Tung–” Setelah itu, Ama merasa kosong. Tangannya yang sedari tadi dice
“Sayang. Kamu di mana?” Orion masuk ke dalam kamar dengan sedikit mengendap. Ia memutuskan untuk pulang daripada berada di luar dan beresiko diganggu oleh mbak Kunti. Bukan karena Orion takut, melainkan jaga-jaga saja. Bukankah tidak lucu jika cowok setampan Orion diganggu sama Mbak Kunti? Orion tidak takut, hanya kurang berteman saja dengan makhluk astralAkan tetapi, ketika ia menyusuri ruang tamu, ruang tengah, lanjut ke dapur, tapi tak juga ditemukan sosok istrinya. “Di mana Amal, yah?” Orion menggaruk belakang kepalanya. Akhirnya, Orion memutuskan langsung ke kamar. Namun, ia juga tidak menemukan siapa pun di kamar itu. Keningnya mengernyit dalam dengan kepala sedikit ditelengkan. “Apa aku melewatkan sesuatu?” Orion menghela napas lelah. Badan sudah terasa remuk hingga otaknya menyuruh tubuh untuk beristirahat. “Mungkin dia balik ke apartemen kali, yah?” gumamnya, “lebih baik aku biarkan dulu, deh. Sekalian buat nenangin diri.”Badannya benar-benar sudah menjerit minta diisti
Disaksikan oleh beberapa karyawan dan resepsionis, Ama dibuat tersenyum salah tingkah oleh tingkah Orion. Mata wanita itu masih tertuju pada sang suami yang sudah berdiri di hadapannya.“Rion,” panggil Ama sekali lagi. “Aku datang untuk meminta maaf atas semua kesalahanku,” ujar Orion dengan suara lirih.Ama sedikit menggelinjang geli lantaran tangan Orion yang tiba-tiba menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Apa kita bisa bicara di ruanganmu, Amal?”Mata Ama mengerjap, lalu mundur sedikit sambil meremas buket bunga pemberian Orion. Ia berdeham dengan wajah dipalingkan. Rona Merta serta-merta mewarnai pipinya. “A-ku–”Belum selesai Ama bicara, suara sekretarisnya memanggil dari belakang bahu. “Bu Ama, kita harus rapat sekarang juga! Semua anggota sudah berada di ruangan,” beritahu perempuan berusia 27 tahun itu.“Ah!” Ama gelagapan. Wajahnya melihat Orion dengan perasaan bersalah. Di satu sisi, ia ingin bicara dengan sang suami. Namun, pekerjaannya juga tidak bisa ditinggal
“AMALLLLL!” “Bwahahaha!” Ama tertawa begitu keras melihat suaminya terjatuh menggelinding ke lantai. Ama membungkuk, memegang perut karena tak tahan melihat suaminya yang begitu lucu.Perutnya benar-benar terasa dikocok. Setelah tadi diberi makanan, kini ia harus tertawa puas. Ama menepuk sofa saking ‘geget’ nya ia melihat tingkah random Orion. Pria itu segera bangun dari lantai dan menatapnya dengan bibir cemberut. “Kenapa kau malah menertawakanku, Mal? Kamu, kan, harusnya menolongku!” “Sorry, sorry!” Ama berusaha menghentikan tawanya. Namun, kejadian itu terlalu funny hingga membuatnya kembali terkikik. “Wait-wait-wait! Perutku sakit banget, nih gegera kamu, Rion!” Dengkusan keras baru saja terdengar dari hidung bangir suaminya. “Kau terlihat begitu senang melihat suamimu tercinta sengsara? Huh!” Pria itu menepuk tangannya yang kotor karena tak sengaja kotak makanan ada yang jatuh bersamanya.Ama menggeleng sambil mengulum senyum. “Astaga.” Wanita itu mencoba menarik napas, lal
“Bodoh!” “Huh?” Ama mengernyit bingung ketika lelaki itu mendorong tubuhnya pelan. Pelukan itu sudah tak ia rasakan lagi berganti sentilan di keningnya. “Yakh!” Ia menatapnya protes.“Tak peduli apa yang akan terjadi dalam rumah tangga kita. Jika memang Allahmenakdirkan kita tanpa anak, aku gak masalah, Amal. Selama itu denganmu, kita bisa ciptakan kebahagiaan sendiri.”Ama menatap mata Orion. Ia mencari kebohongan, ataupun kejahilan yang biasa dilakukan oleh sang suami. Namun, lelaki itu terlihat jujur hingga membuat sesuatu di dalam dirinya tersentil. Ama benci perasaan ragunya sekarang? Hatinya semakin mudah goyah semenjak mengenal Orion. Namun, ia segera menghapus keraguan itu agar dinding yang ia coba bangun selama ini tidak runtuh.Ama tidak boleh goyah.Pokoknya katakan tidak pada anak.“Baikah. Kita lihat saja nanti!” tantang Ama. Wanita itu lalu mendorong tubuh Orion. “Udah sana balik kamu ke kantor! Mau jadi apa perusahaanmu jika punya bos tapi malah keluyuran di jam kerj
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni