“AMALLLLL!” “Bwahahaha!” Ama tertawa begitu keras melihat suaminya terjatuh menggelinding ke lantai. Ama membungkuk, memegang perut karena tak tahan melihat suaminya yang begitu lucu.Perutnya benar-benar terasa dikocok. Setelah tadi diberi makanan, kini ia harus tertawa puas. Ama menepuk sofa saking ‘geget’ nya ia melihat tingkah random Orion. Pria itu segera bangun dari lantai dan menatapnya dengan bibir cemberut. “Kenapa kau malah menertawakanku, Mal? Kamu, kan, harusnya menolongku!” “Sorry, sorry!” Ama berusaha menghentikan tawanya. Namun, kejadian itu terlalu funny hingga membuatnya kembali terkikik. “Wait-wait-wait! Perutku sakit banget, nih gegera kamu, Rion!” Dengkusan keras baru saja terdengar dari hidung bangir suaminya. “Kau terlihat begitu senang melihat suamimu tercinta sengsara? Huh!” Pria itu menepuk tangannya yang kotor karena tak sengaja kotak makanan ada yang jatuh bersamanya.Ama menggeleng sambil mengulum senyum. “Astaga.” Wanita itu mencoba menarik napas, lal
“Bodoh!” “Huh?” Ama mengernyit bingung ketika lelaki itu mendorong tubuhnya pelan. Pelukan itu sudah tak ia rasakan lagi berganti sentilan di keningnya. “Yakh!” Ia menatapnya protes.“Tak peduli apa yang akan terjadi dalam rumah tangga kita. Jika memang Allahmenakdirkan kita tanpa anak, aku gak masalah, Amal. Selama itu denganmu, kita bisa ciptakan kebahagiaan sendiri.”Ama menatap mata Orion. Ia mencari kebohongan, ataupun kejahilan yang biasa dilakukan oleh sang suami. Namun, lelaki itu terlihat jujur hingga membuat sesuatu di dalam dirinya tersentil. Ama benci perasaan ragunya sekarang? Hatinya semakin mudah goyah semenjak mengenal Orion. Namun, ia segera menghapus keraguan itu agar dinding yang ia coba bangun selama ini tidak runtuh.Ama tidak boleh goyah.Pokoknya katakan tidak pada anak.“Baikah. Kita lihat saja nanti!” tantang Ama. Wanita itu lalu mendorong tubuh Orion. “Udah sana balik kamu ke kantor! Mau jadi apa perusahaanmu jika punya bos tapi malah keluyuran di jam kerj
Setelah mengatakan itu, ia segera berjalan menjauh, meninggalkan Karina yang berteriak seperti orang kerasukan.di belakang. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia sudah kembali berhenti. Bibirnya langsung mengulas senyum tatkala melihat satu pesan masuk di ponselnya. Orion: Datang ke Mall X. Aku tunggu di resto Haww.Ama tersenyum sendiri membaca isi pesan tersebut. Ia sengaja tak membalas chat Orion, tetapi mobil yang ia kemudikan mengarah ke mall X. Tidak butuh waktu lama hingga ia sudah sampai di parkiran. Langkahnya begitu ringan, bahkan sesekali ia berhenti di sebuah kaca besar untuk melihat penampilannya. “Astaga, kenapa aku merasa ini seperti kencan, sih?” Ama memegang bagian wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Rona merah pasti sudah menghiasi wajahnya sekarang.“Hai, Ama Sayang. Long time no see!” Sapaan sok kenal terdengar ketika Ama baru saja masuk ke dalam lift Mall. Kening Ama mengernyit. Kepalanya lalu ditelengkan sedikit untuk mengingat siapa wanita itu. Wajahnya
“Maaf, apa kita saling kenal?” Orion terlihat menatap ke arahnya, lalu pada Rachel. Pria itu tampak bingung dengan maksud pertanyaan sahabat dari istrinya.“Bang, ini aku, Ichel. Adeknya Raka.” Rachel terlihat begitu semangat memperkenalkan diri di depan suaminya. Apa mereka sedekat itu hingga mempunyai panggilan yang sedikit manis?Eh!Apa Ama cemburu?Ama yang tidak tahu apa-apa hanya diam saja. Ia tahu jika Rachel adalah adik dari Raka. Ia tahu itu. Tapi, jika Raka temenan sama Orion? Ia jelas tidak tahu.Hubungannya hanya dengan Rachel, tidak dengan Raka. Pernah dulu mereka bertemu ketika pulang bermain dari pasar malam. Rachel yang dijemput Raka, sedangkan dirinya memilih untuk pulang naik ojek.Ama dulu begitu tertutup hingga tak pernah mau bersosialisasi dengan orang lain. Hidupnya terlalu monoton karena merasa dunia tidak pernah berpusat padanya. Jadi, ia memutuskan untuk menjadi orang introvert sewaktu SMP hingga SMA.“Raka Purnomo?” Suara antusias Orion seketika mengembalik
“Tunggu sebentar!”“Eh. Kamu mau ke mana?” Tangan Ama segera menahan lengan suaminya yang tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Kamu gak mungkin ninggalin aku di sini, kan?”“Gaklah, Sayang. Aku pergi bentar, kok!” Orion mengecup puncak kepalanya, lalu pergi meninggalkan restoran dengan terburu-buru.Ama menurunkan tangannya yang hampa, lalu menghela napas pasrah karena ditinggal sang suami.“Bang Rion mau ke mana, sih?” Rachel tiba-tiba berpindah duduk di kursi di mana Orion tadi tempati. Sementara dirinya hanya mengedikkan bahu. Matanya masih tertuju ke arah kepergian Orion. Helaan napas berat terembus begitu saja dari hidung sebelum ia merasakan pipinya dingin karena menyentuh sesuatu.“Apa, sih?” Ama mengusap pipinya yang basah dengan bibir sedikit memberengut. Ia lalu menatap Rachel protes, apalagi ketika wanita itu hanya terkikik sambil menaruh gelas jus itu di atas meja. “Rese banget, dah!”“Lagian gitu amat ngeliatin Bang Rion sih, Ma. Tenang, sih. Dia gak akan ke mana-mana, kok.
“Bukan siapa-siapa.”Jawaban Orion 3 hari yang lalu masih saja membuat otak Ama yang selalu berpikiran pendek menjadi kesal. Namun, ia tak berani bertanya pada sang suami karena lelaki itu pun begitu tertutup masalah pribadinya.Berkat kejadian itu pula, pekerjaannya di kantor sering kali salah. Ia bahkan beberapa kali harus diingatkan oleh sekretarisnya untuk masalah kerjaan. Mau bagaimana lagi, Orion sudah menjadi satu dari bagian hidup Ama. Mau bersikap acuh pun tidak bisa. Dari pihak si lelakinya sendiri juga begitu cuek, bahkan Orion seperti membangun tembok tinggi dari Ama. Terutama masalah masa lalu itu.Tidak adil banget memang. Namun, Ama bisa apa selain diam di pojokan sambil mantau.Hari ini saja, Ama kembali ditegur oleh salah satu klien karena beberapa kali melamun ketika orang tersebut menjelaskan. Akhirnya, meeting itu pun dibatalkan dengan sedikit ceramah dari sang sekretaris.“Sebenarnya Nona ini ada apa, sih? Kenapa beberapa hari ini selalu saja tidak fokus? Jika m
“Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakangku?” “Amal!” Orion terlihat linglung seperti lelaki yang ke gep selingkuh oleh istrinya. Pria itu berdiri mendekatinya, tapi ia segera menyingkir.“Bagus!” Ama bertepuk tangan dengan bibir menyeringai. “Kamu bilang kemarin lagi di Bandung karena ada kerjaan. Tapi,” jedanya dengan menaikkan suaranya, “kamu di sini, berduaan dengan wanita lain, Rion!”“Amal, dengerin aku dulu!” “Stop! Jangan sentuh aku anying!” Ama mundur beberapa langkah ketika tangan Orion kembali hendak menyentuhnya. Bibirnya berkedut, menatap suaminya yang masih saja berusaha untuk mendekat.“Ok…. Aku akan diam. Tapi, kamu dengerin dulu penjelasan ku!” pinta Orion dengan sangat.Ama menggerakkan rahangnya dalam diam, walau kini dadanya tengah bergemuruh. Sesuatu di dalam dirinya sudah hampir meledak jika tak ingat di mana mereka berada sekarang. “Ama, sebaiknya kita turuti keinginan suamimu!” Farah bahkan memintanya untuk diam dan mendengarkan.Dia pun berdecak. “Ok! Aku ber
“Aku hanya gak mau kamu salah paham, Mal.”“Tapi, dengan seperti ini kamu sudah menyakitiku!”Orion menarik kursinya hingga kini menempel pada lelaki itu. Ama hanya diam dengan sedikit salah tingkah. Ia masih sadar jika mereka tidak sedang berdua saja, melainkan ada Diana dan Farah sedang mengawasi di depan mereka.Akan tetapi, Orion seperti tidak peduli. Lelaki itu bahkan dengan berani mengecup punggung tangan, lalu menatapnya dengan tatapan bersalah. “Aku berani bersumpah, kalau aku dan Diana tidak ada hubungan apa pun selain mitra kerja!” jelas lelaki itu.“Kau yakin kata-katamu bisa dipercaya?” Ama berusaha percaya sekaligus mendiamkan desiran dan rasa mulas di perutnya. Orion memang benar-benar membuat hidupnya jungkir balik dan bangun lagi. Rasanya, hidup dengan Orion itu seperti naik roller coaster. Pada saat di atas ia dibuai dengan banyaknya angin segar. Namun, ketika turun perutnya dibuat melilit hingga ingin menangis dengan rasa yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi, ia
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni