“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!”
Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat. Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka. “What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?” Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti. Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan. “Yes! Akhirnya, udah jadi!” “Kamu masak apa?” Seseorang tiba-tiba mendekat dan meletakkan kepalanya di bahu Ama dengan santai. Wanita itu menoleh dan mengangkat bahunya kaget. “Astaganaga! Bikin kaget aja, sih, On!” Akan tetapi, gerakan refleksnya justru membuat kepala mereka bertabrakan. Ama langsung berteriak keras. Namun, lelaki itu justru tak peduli dan tetap saja berdiri di belakangnya. Jantung Ama berdegup kencang sesaat ketika dirinya berada sangat dekat dengan Orion. Napas segar bercampur aroma khas dari lelaki itu mendominasi indera penciuman Ama. “Bisa minggir dulu gak, sih!” pekik Ama, sekali lagi dia menggerakkan bahunya, dan menyikut perut Orion. Diam-diam, Ama menelan ludah kasar. Dirinya bahkan belum pernah sedekat itu dengan Edrick, tapi Orion dengan kurang ajarnya berani dekat-dekat seperti ini. “Kenapa? Aku cuma penasaran sama masakan istriku. Gosong atau tidak.” Rion melongok, mengintip ke arah wajan. “Nggak mungkin gosonglah!” Ama mendengkus. Dia lalu mengedikkan bahu untuk menyingkirkan lelaki itu. Berjalan sambil membawa dua piring nasi goreng menuju meja makan. Aroma sedap itu seperti menggiring Rion menuju meja makan tanpa diminta. “Ini enak!” Pujian Rion langsung terdengar ketika satu suap nasi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. “Apa aku bilang, Ama gitu loh,” ucap Ama bangga dengan menepuk dadanya. “Tiap pagi wajib, sih, bikinin aku sarapan!” Lelaki itu menyeringai sambil mengelap mulutnya. “Apa? Nggak! Enak aja! Suruh bibi aja yang masak!” Ama mengerutkan keningnya. “Kamu ‘kan istriku.” Rion dengan santai membawa piringnya ke dapur untuk dicuci. “Lagipula, aku gak terbiasa pake asisten rumah tangga.” Ama terpaku, menegang di kursinya. Pipinya memanas, seiring dengan detak jantungnya semakin menggila. ‘Istriku, dia bilang….’ * “Melalui video ini, kami ingin mengklarifikasi jika kami sudah menikah. Kejadian malam itu adalah bulan madu kami. Jadi, kami tidak melakukannya di luar nikah.” Ama mengembuskan napas lega ketika kalimat itu selesai. Namun, Rion tertawa keras di sampingnya. Saat ini mereka sedang menunggu di salah satu ruangan, di kantor Orion, latihan untuk konferensi pers nanti. “Rion, kamu apaan, sih? Aku tuh udah susah payah buat hafalin kalimat itu seharian, lho!” Ama mencubit perut Rion yang sayangnya tidak bisa, sebab perut lelaki itu keras. “Hei, Nona. Kamu pikir mereka akan percaya kalau kamu sekaku itu?” cibir Orion. “Lalu?” Orion menggeser duduknya lebih dekat dengan Ama. Kemudian, ia menyampirkan tangannya ke bagian belakang sofa, seakan sedang merangkul Ama. “Misalnya….” jari telunjuk Orion menyentuh dagu Ama. “Kita bisa sedikit… menunjukkan kemesraan…” “Hih! Pergi sana!” Ama mendorong wajah Orion agak menjauh darinya. “Merinding aku bayanginnya, Rion! P-pokoknya aku gak mau kayak gitu!” Untungnya, sebelum Ama melempar heelsnya ke kepala Orion, pria itu sudah bangkit lebih dulu. Ia berdiri, dan memperbaiki penampilannya. Sambil memasukkan tangan ke saku, Orion menunjuk dua benda di atas meja. “Jangan lupa tunjukkan buku nikah dan foto wedding kita kemarin,” katanya. Ama berdecih, lalu ikut berdiri. Ia membawa skrip klarifikasinya, buku nikah, dan dua lembar foto pre-wedding itu dengan kasar. “Pria menyebalkan!” umpat Ama untuk terakhir kalinya, sebelum mendahului Orion berjalan menuju ruang konferensi pers. Bisa Ama dengar kekehan khas pria itu di belakang. Karena Ama yang bersikeras menginginkan konferensi pers ini, Orion pun lepas tangan. Ia hanya membantu menyiapkan tempat dan informasi saja. Sementara seluruh pernyataan disusun oleh Ama. Sebenarnya, publik sudah mengetahui kalau Ama dan Orion sudah menikah. Perusahaan Orion pun sudah memberikan klarifikasi. Namun tetap saja, Ama tidak puas. “Buat apa sih pakai klarifikasi. Toh, semua juga tahu kalau kita sudah menikah,” Orion menjawab seperti itu ketika Ama terus mengulang satu-satunya cara memulihkan namanya adalah konferensi pers. Mereka pun memasuki ruang konferensi pers bersamaan, lalu duduk bersebelahan. Para wartawan sudah siap dengan kameranya. Ama sempat kaget karena ada begitu banyak wartawan yang datang di konferensi pers. Ama melirik Orion yang mengangguk di samping, lalu tatapannya turun ke arah bawah meja. Saking gugupnya, ia tanpa sadar sampai menggenggam tangan Orion. Namun bukannya langsung melepaskan, Orion malah mengelus punggung tangan Ama dengan ibu jarinya. “Tenang….” bisik Orion dengan gerakan mulut saja. “Selamat sore, semuanya,” sapa Ama, memulai konferensi pers. Walaupun sempat gugup di awal, Ama bisa menguasai kondisi dengan cepat. Ia menjelaskan secara runut, dan klarifikasi dibalik gemparnya foto dan video mereka di hotel. Lalu, mereka mulai ke sesi tanya jawab. “Jadi, bagaimana kalian bisa menikah? Dan, sejak kapan kalian saling mencintai?” tanya salah satu wartawan dari stasiun televisi Suta. Ama sempat melihat ke arah Orion, lalu menjawabnya dengan lancar. Dia sudah menduga jika pertanyaan klasik itu pasti akan terlontar dari para wartawan. Jadi, dia sudah menyiapkan, bahkan menghapal jawabannya. Pertanyaan kedua dari salah satu stasiun televisi GV. “Kami sempat mendengar kabar, jika perusahaan kalian adalah rival, lalu bagaimana bisa kalian memutuskan menikah? Dan, semua orang juga tahu, kalau Nona Amalthea sudah bertunangan dengan Tuan Edrick!” Jantung Ama sempat terhenti sekejap. Bukan hanya karena pertanyaannya, tapi wartawan itu juga terlihat terbawa emosi. Tangan Ama bergetar mengambil mikrofon di depannya. Tatapan wartawan itu masih mengarah kepadanya, dan tersenyum culas. Sepertinya dia mengharapkan Ama salah bicara. “Untuk hal itu—”“Bolehkah saya yang menjawabnya?” Sebelum Ama menyelesaikan jawabannya, sebuah tangan besar menggenggamnya di bawah meja. Adalah Orion pelakunya. Ama mengerjap.“Apa kalian tahu takdir kalian apa?” Orion mengambil alih mikrofon yang satunya. “Itu adalah kisah kami.” Orion melempar tatapan teduh pada Ama. “Kisah kami memang sedikit rumit, tetapi di balik pertengkaran yang sering dilakukan, ada cinta yang mengikat kami untuk bersama.”Orion memberikan senyum manis pada Ama sebelum kembali melanjutkan ucapannya, “Pernikahan kami memang terkesan mendadak, tapi percayalah! Tidak ada yang saling menikung di sini. Ama dan Edrick sudah berpisah saat kami memutuskan menikah. Terima kasih!”Ama terdiam, mendengarkan perkataan Rion ketika menjawab pertanyaan karyawan yang terakhir. Dia sedikit tersentuh dengan kata-kata Orion. Bibirnya sempat membalas senyum pria itu sebelum dirinya tersadar, kalau mereka masih berada di tempat konferensi pers. ‘Bagaimana bisa dia terlihat begitu lancar? Pad
Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang. “Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya. “Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya. “Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi. Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp. “Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!” “Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama. “Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?” Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberika
“Apa kamu bilang?” Karina menarik lengannya paksa, bahkan kuku jari kakak tirinya ada yang menancap di kulitnya. “Lepaskan tangan kotormu dari lenganku, Sundel!” Mata Ama berkilat marah. “Apa? Sundel!” Karina berseru tak terima. Karina pun mendorong bahu Ama dengan telunjuknya. “Hei, Jalang! Asal kamu tau, yah! Yang lebih pantas dengan Mas Edrick itu cuma aku. Dan apa kamu bilang tadi? Bekasan? Sorry, sepertinya itu tak berlaku untukku. Karena kenyataannya, akulah yang pertama untuk Mas Edrick!” Pertama? Kening Ama mengernyit, mencoba memproses maksud dari perkataan Karina yang menyebutkan jika dialah yang pertama, bukan dirinya. “Apa, sih, mau kamu?” Ama menepis tangan Karina. Rasa perih langsung menyengat ketika tangan kakak tirinya sudah menghilang dari lengannya. “Arkh, kenapa kamu mendorongku, Ama?” Wanita itu berakting. Ama menatap Karina bosan. “Please, deh, gak usah sok jadi ratu drama di sini. Aku muak tau, gak, sih!” “Ama! Berani sekali kamu mengatai calon istri
Ama menggeleng pilu. “T-tapi kita–” “Ssttt!” Rion meletakkan jarinya di depan bibir Ama. “Cukup kamu tanamkan dalam pikiran dan hatimu, Amal. Ada aku, Orion, suamimu! Aku gak akan pernah meninggalkanmu!” katanya menyakinkan. Ama membiarkan pria itu menempelkan kening mereka, sementara ia memejamkan mata sambil menangis. “Bohong! Kau sama saja dengan bajingan itu! Kau pasti akan meninggalkanku,” sahutnya bosan. Pria itu berdecak, lalu mengecup keningnya. Ia ingin protes, tetapi Orion dengan berani mengecup bibirnya. “Orion!” Ama mendelik kesal. Ia langsung mendorong tubuh Orion, sedangkan dirinya memilih berjalan ke arah kursi taman. Bibirnya ia usap seolah tak sudi dicium oleh sang suami. Namun, Orion hanya terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihat Ama marah-marah. Pria itu pun menarik tangan Ama agar berhadapan dengannya lagi. “Apa mantanmu itu baru saja mengganggumu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut. Ama menaikkan satu kakinya dengan punggung bersandar, seda
“K-kau mencintaiku…?” cicit Ama dengan suara bergetar.Entahlah, kenapa ia merasa sedikit takut sekarang. Bukan takut yang bagaimana, tapi ia takut kalau dadanya meledak karena jantungnya berdetak tidak normal.‘Aku gak bakal mati kan ya?’Apalagi, Orion tidak cepat menanggapi. Pria itu malah mengulurkan tangannya untuk menyelipkan anak rambut Ama ke belakang telinga. Lalu, bibir pria itu mengarah ke telinga Ama.“Tapi, bohong,” bisiknya kemudian.Mata Ama seketika terbuka lebar. Menatap Orion yang sedang terbahak di kursi kemudinya dengan tatapan tak percaya. “ORION!” teriaknya.Dan, Orion hanya terbahak.“J-jadi, kamu mempermainkan ku?” tanyanya dengan tangan mengepal.Orion tersenyum kalem dan mulai menjalankan kembali mobilnya. “Kamu tuh lucu, Mal. Apalagi kalau lagi tegang begitu. Lagian, aku tahu kamu gak mungkin mencintaiku,” ujarnya sambil melirik Ama.Suara Orion kembali terdengar memecah hening di antara mereka. “Aku juga gak mungkin menjalani pernikahan dengan seseorang ya
“Iya, ini aku, Edrick.” Ama tak bisa menahan diri untuk tak merotasikan kedua bola matanya. “Ada apa? Kalau tidak ada hal yang perlu–” “Ama, tunggu! Jangan dimatikan dulu!” Suara di seberang terdengar memotong ucapan Ama. Kening wanita itu mengernyit heran. Ama memijit pelipisnya. “Apa lagi?” tanyanya bosan. Kejadian semalam saja masih belum hilang dari ingatan. Haruskah pagi ini Ama kembali berurusan dengan Edrick yang notabene sudah menghinanya? Pria itu bahkan sudah menjudge dirinya sebagai wanita yang tak pantas untuk disukai oleh orang lain. “Sial! Berani sekali pria itu menghubunginya setelah apa yang telah dia lakukan,” umpatnya dalam hati. Ama menjadi berpikir, apa selama ini Edrick memang semenyebalkan itu? “Ama, bisakah kita kesampingkan dulu masalah pribadi kita?” Suara Edrick terdengar memelas. Ama berdecih. Ia bahkan ingin meludahi ponselnya sendiri sekarang. “Lalu untuk apa seorang Edrick menghubungiku? Apa kau masih level berbicara denganku?” Wanita itu
Ama dibuat terperangah dengan kedatangan sang suami. Pria itu bahkan dengan cekatan menata makanan yang dibawa di atas meja. Tidak lupa air minum juga piring sudah disiapkan oleh Orion.“Hei, ayo buruan sarapan!” Orion memanggilnya yang masih duduk di kursi. Pria itu melambaikan tangan untuk memintanya bergabung di sofa. “Aku yakin bubur itu tak akan mengganjal perutmu yang kurus itu. Kemarilah! Aku sudah membeli makanan ini dalam perjalanan!”“Sial! Kenapa kau mengatai perutuku kurus, Orion!”Suara kekehan terdengar dari Orion. “Apa aku harus menyuruhmu untuk berkaca? Huh!”Ama melihat dirinya sendiri, lalu ke arah bubur yang masih cukup banyak. Pandangannya kemudian dilemparkan ke arah sang suami yang tengah menepuk sisi kosong di sampingnya.“Kemari,” panggil Orion sekali lagi.“Sial!” Ama berdecak kesal kemudian menurunkan kakinya dari pangkuan dan berjalan menuju Orion.Aroma santan yang gurih langsung menyeruak hidungnya. Perutnya tiba-tiba bergejolak minta diisi. “Daripada kam
“Sial! Gara-gara Rion, aku jadi gak fokus kerja.” Setengah hari yang menurut Ama sangat lama. Bagaimana tidak, hampir 5 jam ia dibuat mati penasaran dengan maksud ucapan dari sang suami. Kini, langkahnya begitu pasti masuk ke dalam sebuah restoran di mana ia sudah janjian dengan Orion dan ayah mertua. Ia melongok, mencari keberadaan dua pria tersebut. Namun, selama mata menyusuri, tidak ia temukan keluarga barunya itu.Kenapa Orion tak menjemput? Karena Ama yang melarang. Ia begitu tak ingin menyusahkan orang lain pada saat kaki dan tangannya masih berfungsi untuk menyetir mobil. Lagipula, ia sudah biasa pergi-pergi sendiri selama ini.“Selamat datang, Nona. Apa Anda sudah buat janji?” tanya salah satu pegawai resto ketika melihatnya kebingungan di depan pintu.“Saya sudah buat janji dengan Tuan Orion,” jawabnya. “Apa mereka sudah datang?”“Baik, mari saya antar ke ruangannya, Nona.”Ama hanya mendengarkan sambil mengikuti langkah si pramusaji membawanya ke dalam sebuah lorong yang m
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan
"Aku hanya merasa kaget aja, Yank,” jawab Orion setelah sekian detik terpaku. Dia tidak menyangka jika usahanya selama ini berbuah manis. Cinta yang diperjuangkan hanya untuk Amalthea, berbalas oleh sang pemilik hati. Ya, walaupun mereka sudah menikah setahun lebih, tetapi Amalthea jarang mengungkapkan perasaannya. Jadi, wajar saja jika Orion terkejut. “Sayang, coba tampar aku!” ujarnya menatap sang istri.“Apaan sih, Mas? Nggak usah ngaco, deh! Lagian kamu itu tidak sedang bermimpi, ini nyata.” Amalthea menangkup wajah Orion, lalu mengecup bibir itu dengan mesra. Setelah puas, barulah ia melepaskannya. “See, apa kau masih merasa ini mimpi?”Mata Orion mengerjap, ia tak mengalihkan sedikitpun pandangan dari wajah Amalthea. Istrinya memang begitu cantik, murah hati, hingga ia jatuh sejatuh-jatuhnya mencintai wanita yang kini berada di hadapan. “Ya, aku memang sedang tidak bermimpi. Karena kau jauh lebih indah daripada mimpi-mimpi setiap malamku dulu. This is real, no dream.” Orion la
“No! Aku gak setuju.” Amalthea menolak usulan sang suami. “Lebih baik, kita serahkan saja ke mereka. Aku juga udah minta Kak Leo buat deketin Farah sendiri. Kamu tau, kan, aku lagi hamil, Yank?” Tangannya mengusap perutnya yang sudah mulai membesar.“Astaga!” Orion menepuk kening karena hampir lupa jika istrinya tengah berbadan dua. Ia langsung menundukkan wajahnya kemudian mengecup perut Amalthea berkali-kali. “Maaf, Sayang. Hampir saja Papa lupa jika kamu berada di sana,” sesalnya.Bibir Amalthea cemberut, tetapi hanya sebentar. “It's ok, Papa. Yang penting Papa cepet sehat biar bisa main lagi sama dedek bayi,” ujarnya menirukan suara anak kecil.“Iya, Sayang. Aamiin. Makasih doanya.” Orion kembali mengecup puncak perut istrinya, lalu ia menengadahkan wajah untuk menatap Amalthea. “Makasih ya, karena kamu selalu ada untukku, Yank.”Amalthea mengusap wajah suaminya yang masih terlihat pucat. “Sama-sama, Mas. Lagian, kita kan emang harus saling mendukung satu sama lain. Ingat, kita in
Orion menatap sekitarnya dengan mata mengerjap. Dia mengerang sambil memegang bagian kepala yang terasa pening. “Ke mana semua orang? Bukankah aku tadi sedang ada di ruangan rapat?” tanyanya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka dan munculnya sosok Amalthea membuat pria itu menoleh. Mereka saling bertatapan dan untuk sesaat ada kelegaan dari wajah mereka. “Sayang,” panggil Orion berusaha untuk bangun. Amalthea tersenyum senang melihat suaminya yang akhirnya sadar setelah 2 jam pingsan. Kakinya melangkah cepat untuk membantu Orion duduk di ranjang kecil yang terdapat di ruangan kantor sang suami. “Kamu sudah bangun, Mas?” Orion mengangguk, lalu menepuk sisi kosong ranjang di sampingnya. “Kemarilah! Aku ingin memelukmu, Sayang,” pintanya dengan wajah yang pucat.Amalthea menuruti keinginan sang suami. Setelah itu, ia duduk dan menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat Orion. Jujur, ia sangat khawatir ketika melihat orang yang selama ini kuat, tiba-tiba jatuh pingsan. Diha
Leo menarik kursi di samping Amalthea. Ia tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari adik tingkatnya ketika kuliah. “Karena aku ke sini memang karena kamu, Ama.”“Mencurigakan sekali. Tapi,” jeda Amalthea melihat ke arah sekitar. “Sepertinya kita harus pindah ke tempat lain, Le!”Farah dan Leo kemudian mengangguk. Mereka berjalan bersama di mana dua wanita di depan, sedangkan si lelaki di belakang mengikuti. Ketika sampai di ruangan yang lebih privasi, barulah Leo melepas topi dan maskernya. “Kita langsung saja,” ucap Amalthea tak mau menunda-nunda. “Jadi, ada apa Pak Dewan menemui kami?”“Kamu, bukan kami!” Farah meralat ucapan Amalthea. “Aku di sini hanya menemani kalian saja.”Amalthea merotasikan kedua bola matanya malas. “Sama aja.”Farah hendak menyahut, tetapi segera diinterupsi oleh Leo. “Ok, aku diam “Leo tersenyum, lalu menatap Amalthea yang masih cantik, padahal sedang hamil. “Kamu kapan nikah? Dan, kenapa aku tidak kamu undang?”“Jangankan kamu, Le. Aku yang sahabat baik
“Jadi, apa yang mau kamu omongin.”“Yaelah, sabar Napa jadi orang. Kasih gue napas,” ujarnya di antara deru napasnya. “Njir, aku udah kek lagi disatroni sama debcolektor,” keluh Farah sambil menyeruput teh manis di tas meja.Amalthea memilih duduk bersandar dengan satu kaki yang ditopang. Namun, tatapannya tak pernah lari dari keberadaan Farah. Wanita di depan sana terlihat seperti baru saja keluar dari bencana. “Kau sungguh sangat-sangat berantakan, Far,” cibir Amalthea.“Cih! Ini semua ulah kamu yang minta aku buat kerja pagi-pagi begini,” timpal Farah sengit. “Ish, mana makanan buat aku, Mal? Kamu beneran gak mesenin apa pun buat aku?”Amalthea menghela napas malas, lalu mencari keberadaan pelayan cafe. Mereka berdua kini tengah berada di tempat nongkrong yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. “Mbak, pesanan saya apa masih lama?” tanyanya pada si pelayan.“Untuk meja nomor 9 sedang di-plating, Kak. Jadi, mungkin sebentar lagi rekan kami antar,” balas perempuan muda bernama
Didi kini tengah berjalan mengendap-endap di belakang gedung tua. Ia sudah janjian dengan seseorang di tempat itu. Namun, ia sedikit terlambat karena ada urusan tadi. Jadi, ketika sampai di lokasi, seseorang sudah berdiri menunggunya.“Maaf, gue telat. Lo udah lama nunggu?” Didi segera duduk di kursi reot, di samping si teman. Ia juga mengipasi diri sendiri lantaran merasa gerah setelah memakai penyamaran topi, masker, juga jaket.“Ckckck!” Wanita yang memakai pakaian serba hitam itu melengos. “Gue udah hampir lumutan nungguin lo, Bangke!” sambungnya sarkas. “Lain kali, kalau lo bikin gue nunggu lagi, gue gak segan buat nendang lo!”“Maaf, Er. Gue tadi ada urusan bentar,” jelas Didi. “Shit! Ini nyamuk malah nyipok gue, njir!” omelnya.Erni menyeringai tidak peduli. Namun, dia sebenarnya juga sudah bosan terus berada di tempat angker. Jika tak ingat akan uangnya, maka ia tak akan mau.“Oh, iya, lo bawa, kan, apa yang gue mau?” Didi segera menadahkan tangan ke wanita bernama Erni. Erni