"Maksudmu? Mereka bisa datang di atas jam 10 malam dan menginap di pabrik?" Bima terkejut mendengar suara lantang Kala. "Bukan menginap, Pak. Tapi kerja. Lagipula.., gak setiap hari. Hanya disaat produksi sedang tinggi-tingginya. Kita membuka shift malam, Pak," terang Bima. Wajar jika Kala tidak tahu pengaturan pabrik. Karena ia juga baru gabung menjadi salah satu direksi disini.Kala terdiam. Kalau begitu, artinya enam bulan ke depan kemungkinan produksi malam dijalankan. Kebetulan perusahaan Adikara Tjandra mendapatkan proyek besar dan diminta proses cepat. Artinya bisa saja tindakan kekerasan maupun pelecehan terjadi di tempatnya. Tidak, Kala tidak ingin sampai terjadi. Kemaslahatan buruh dari datang sampai pulang juga merupakan tanggung jawab dirinya. Kala merasa gak bisa berpangku tangan melihat ketidak adilan di depan matanya. Ironi, perusahaan yang semestinya jadi ladang mencari amal ibadah dan berkah-Nya. Berubah jadi ketakutan dalam dada. Kala resah, andai kepimpinannya di
"Tolong ambilkan setelan jas saya," titah Kala lantas menutup telepon. Ia menunggu seraya menatap Bima masih jutek. 'Dia bikin aku pusing. Bisa-bisanya ingusan di badanku. Ahk, ini bisa hilang gak,ya?' Kala jadi over thingking. Sifatnya yang anti banget kotor malah merepotkannya. Sungguh, entah sejak kapan dirinya punya sugesti diri harus bersih sehingga terhindar dari kuman. Seingatnya waktu sekolah ia malah suka kotor-kotoran. Karena melamun, Kala jadi gak beranjak di tempatnya.'Wow... badan Pak Kala jadi banget. Otot leher, dada hingga perut semua terlihat kencang. Dia gym dimana. Aku mau juga dong. Supaya pacarku makin suka sama aku,' benak Bima mengamati tiap lekuk tubuh Kala tanpa berkedip. Ketika yang sama Vanilla masuk dengan setelan kemeja biru muda dan Jas hitam untuk Kala.Kok, ia merasa déjavu. Kenapa harus ada diposisi orang ketiga. Karena sungguh, di mata Vanilla. Kala seolah membanggakan tubuhnya ke Bima dan Bima sedang mengagumi sambil duduk selurusan kearah Kala.
"Kamu benar." Kala bergumam untuk fikirannya itu. Senyum tampan juga nampak di wajahnya. Pun sedikit kelegaan terlihat dari raut Vanilla. Dia sebenarnya ingin bertanya konteks benar yang Kala ucapkan. Tapi Vanilla lebih dulu mau menyelamatkan kebohongannya. Lebih baik tidak perlu memperdulikan apapun yang Kala fikirkan, daripada lelaki itu sadar kalau tadi dia sempat ingin memukul kepala Kala dari belakang."Ya, Pak. CCTV- nya gak usah diperiksa. Dipajang saja disana," katanya lagi meyakinkan agar Kala tidak membahas lagi. Kala mengangguk, dia malah memekik."Ikut saya!" Lelaki itu berdiri lebih dulu. Semakin ketar-ketirlah Vanilla. Kenapa sih dia selalu saja punya fikiran mau celakai Kala. Habis itu baru menyesal. Memangnya enak, jantung serasa diremas-remas karena takut ketahuan. Makanya kalau punya hati sama otak disingkronkan dong!Vanilla cuma bisa merapal doa. Agar langkah Kala tidak terbawa keruangan control CCTV. Tapi ternyata anggapannya salah. Kala mengajak Vanilla ke tempat
Kala kembali ke ruangan sembari menghembuskan nafas lelah. Ia mendongakkan kepala disandaran sofa. Juga memukul-mukul kening pakai kepalan tangannya. Vanilla sendiri berjinjit masuk ke area kerja. Ia tahu Kala sedang badmood. Dan rasanya Vanilla gak mau mengganggu lelaki muda itu kalau gak mau dapat intruksi yang aneh-aneh."Ahk, selamat. Hari ini aku gak boleh buat bos marah. Kalau gak mau dikasih kerjaan kayak Pak Justin." Vanilla mewanti dirinya sendiri. Sesaat ia justru kasihan sama Justin."Eeh.., apa aku boleh seneng kayak gini. Tadi itu,'kan seharusnya pekerjaan aku. Malah dilimpahkan ke Pak Justin. Kayaknya aku harus bantu dia deh," lanjut Vanilla tidak enak. Tiba-tiba saja seorang gadis muda datang. Ia terlihat begitu anggun. Sekali lihat, Vanilla tahu berapa harga dari gaun selutut yang menaungi tubuh sang gadis juga tas kecil warna hitam yang ia jinjing di sisi tubuhnya. Vaniila jadi memegangi dadanya. Gaun terakota itu kan yang pernah dipakai artis korea ternama. Sialnya
"Yah. Tapi kamu juga harus sadar, kita bahkan sudah mencarinya lama, Dik. Tapi gak ketemu juga," beber Alinea supaya Kala paham. Selamanya cinta tidak bisa dipaksakan. Di sini adiknya menunggu, gimana kalau ternyata orang yang dinanti sudah menikah. Apa Kala akan patah hati? Dan Alinea tidak mau Kala melewati itu.Kala menyertikan alis. "Kakak kenapa manggil aku Dika lagi sih?" Ia memasang raut tak senang. Baginya nama itu membawanya dalam kenangan buruk termasuk ditinggal cinta pertamanya. Alin hanya terkekeh mendengar suara judes Kala."Udah. Udah.., kamu kalau manyun gitu terus yang ada anak buah kamu pada takut. Tadi itu siapa? Tuh! Dia aja takut sama kamu." Alin mendorong bahu Kala dengan telunjuknya. Kala mencibik seraya menjawab ogah-ogahan."Vanilla," ucapnya. Alinea menerawang dalam hati.'Vanilla. Kayaknya aku pernah ketemu dia tapi bukan di sini.' Alinea keluar, ia menajamkan mata dan telinga ketika tidak sengaja mendengar gerutuan Vanilla."Kak. Biar aku aja yang buat k
Vanilla gugup. Entah mengapa seluruh fikirannya terasa kosong waktu jemari Justin membelainya dari sisi pinggul merambat hingga ke atas. Namun sebelum semua berakhir lebih jauh Melinda mengetuk pintu dengan tergesa."Aahk," Vanilla segera sadar. Ia membuka pintu yang tepat di belakangnya. Mata Justin memandang Melinda sangat marah. Bisa-bisanya ia menghancurkan suasana. "Ada apa?" ketus Justin. Oh, Melinda tidak bisa pergi begitu saja darinya. Wanita itu harus mendapat pelajaran. Pun Melinda tidak mau menatap Justin. Wajahnya pucat pasi. Melinda tahu sudah melakukan kesalahan fatal, tetapi ini demi Vanilla. Ia tidak mau ada orang lain yang jatuh dilubang yang sama olehnya."Pak Kala mencarimu, Vani!" Ia terpaksa berbohong. Sebetulnya Kala tidak pernah mencari Vanilla. Melinda mencengkram tangan Vanilla begitu kaku dan gemetar. "Ayok kita temui beliau!" Sebenarnya tidak ada urusan apapun dia dengan Kala. Melinda tidak terbiasa bekerja di bawah Kala. Dan kebohongan itu cepat diendus o
Kala percaya, tidak ada yang abadi di dunia bisnis. Lawan bisa jadi kawan begitupun sebaliknya. Sudah puas ia melihat ayah juga kakeknya yang beberapa kali berusaha digulirkan oleh orang-orang yang mereka percaya. Dan Kala tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Itu juga alasan yang membuatnya berusaha peduli dari hati kepada karyawan pilihannya.Kala memutuskan ke ruangan. Disaat menghempaskan punggung ke sofa, ia malah menjerit kesakitan. Hm, sepertinya punggungnya sakit terkena benturan odner terisi penuh itu."Aduuh," Kala merapatkan netra. Tangannya berusaha menggapai punggung yang memar. Tapi Vanilla datang dengan kotak P3K. "Sini Pak. Saya bantu obatin!" pekik Vanilla jutek. Kala meninggalkannya begitu saja. Pria itu terkadang peduli namun terkadang juga tak acuh. Menimbulkan keraguan di hati Vanilla.Kala menurut, ia merubah posisi duduk jadi menyamping. Membuka jas dan kemeja navy itu. Mempertontonkan otot punggung juga bahu lebar miliknya. "Jangan kenceng-kenceng,ya!""Y
Hah, sejak kapan saya menguji kesabaran Bapak? Lagian Bapak, kan emang gak sabaran." gerutu Vanilla berusaha tidak menatap Kala. Tubuhnya gemetar. Tangannya sembari mencengkram jas menutupi area sensitif. Kala menumpuhkan kedua lengan di sisi Vanilla. "Sejak pertama kamu datang," katanya dengan suara terdengar datar namun seksi. Meski tidak menoleh ke Kala, tapi Vanilla bisa merasakan. Pria itu terus mematut pandangan intens kearahnya. Vanilla mengepal tangan. Apa ini lagi-lagi karena baju. Oke.., Vanilla lupa Kala juga orang yang perfect. Ia gak mau orangnya terlihat tidak profesional. Tapi memakai baju seperti ini di restoran hotel bintang lima juga tidak ada salahnya. Banyak juga wanita-wanita yang datang dengan pakaian lebih gemerlap dan lebih seksi. Tidak perlu Kala mempermasalahkan dengan bersikap sefrontal ini. Paling penting mereka cuma berstatus bos dan karyawan. Jadi, Vanilla merasa bebas mengambil sikap dalam berpakaian."Bapak masih mau menghina baju saya?!" Tuding Vanill