"Yah. Tapi kamu juga harus sadar, kita bahkan sudah mencarinya lama, Dik. Tapi gak ketemu juga," beber Alinea supaya Kala paham. Selamanya cinta tidak bisa dipaksakan. Di sini adiknya menunggu, gimana kalau ternyata orang yang dinanti sudah menikah. Apa Kala akan patah hati? Dan Alinea tidak mau Kala melewati itu.Kala menyertikan alis. "Kakak kenapa manggil aku Dika lagi sih?" Ia memasang raut tak senang. Baginya nama itu membawanya dalam kenangan buruk termasuk ditinggal cinta pertamanya. Alin hanya terkekeh mendengar suara judes Kala."Udah. Udah.., kamu kalau manyun gitu terus yang ada anak buah kamu pada takut. Tadi itu siapa? Tuh! Dia aja takut sama kamu." Alin mendorong bahu Kala dengan telunjuknya. Kala mencibik seraya menjawab ogah-ogahan."Vanilla," ucapnya. Alinea menerawang dalam hati.'Vanilla. Kayaknya aku pernah ketemu dia tapi bukan di sini.' Alinea keluar, ia menajamkan mata dan telinga ketika tidak sengaja mendengar gerutuan Vanilla."Kak. Biar aku aja yang buat k
Vanilla gugup. Entah mengapa seluruh fikirannya terasa kosong waktu jemari Justin membelainya dari sisi pinggul merambat hingga ke atas. Namun sebelum semua berakhir lebih jauh Melinda mengetuk pintu dengan tergesa."Aahk," Vanilla segera sadar. Ia membuka pintu yang tepat di belakangnya. Mata Justin memandang Melinda sangat marah. Bisa-bisanya ia menghancurkan suasana. "Ada apa?" ketus Justin. Oh, Melinda tidak bisa pergi begitu saja darinya. Wanita itu harus mendapat pelajaran. Pun Melinda tidak mau menatap Justin. Wajahnya pucat pasi. Melinda tahu sudah melakukan kesalahan fatal, tetapi ini demi Vanilla. Ia tidak mau ada orang lain yang jatuh dilubang yang sama olehnya."Pak Kala mencarimu, Vani!" Ia terpaksa berbohong. Sebetulnya Kala tidak pernah mencari Vanilla. Melinda mencengkram tangan Vanilla begitu kaku dan gemetar. "Ayok kita temui beliau!" Sebenarnya tidak ada urusan apapun dia dengan Kala. Melinda tidak terbiasa bekerja di bawah Kala. Dan kebohongan itu cepat diendus o
Kala percaya, tidak ada yang abadi di dunia bisnis. Lawan bisa jadi kawan begitupun sebaliknya. Sudah puas ia melihat ayah juga kakeknya yang beberapa kali berusaha digulirkan oleh orang-orang yang mereka percaya. Dan Kala tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Itu juga alasan yang membuatnya berusaha peduli dari hati kepada karyawan pilihannya.Kala memutuskan ke ruangan. Disaat menghempaskan punggung ke sofa, ia malah menjerit kesakitan. Hm, sepertinya punggungnya sakit terkena benturan odner terisi penuh itu."Aduuh," Kala merapatkan netra. Tangannya berusaha menggapai punggung yang memar. Tapi Vanilla datang dengan kotak P3K. "Sini Pak. Saya bantu obatin!" pekik Vanilla jutek. Kala meninggalkannya begitu saja. Pria itu terkadang peduli namun terkadang juga tak acuh. Menimbulkan keraguan di hati Vanilla.Kala menurut, ia merubah posisi duduk jadi menyamping. Membuka jas dan kemeja navy itu. Mempertontonkan otot punggung juga bahu lebar miliknya. "Jangan kenceng-kenceng,ya!""Y
Hah, sejak kapan saya menguji kesabaran Bapak? Lagian Bapak, kan emang gak sabaran." gerutu Vanilla berusaha tidak menatap Kala. Tubuhnya gemetar. Tangannya sembari mencengkram jas menutupi area sensitif. Kala menumpuhkan kedua lengan di sisi Vanilla. "Sejak pertama kamu datang," katanya dengan suara terdengar datar namun seksi. Meski tidak menoleh ke Kala, tapi Vanilla bisa merasakan. Pria itu terus mematut pandangan intens kearahnya. Vanilla mengepal tangan. Apa ini lagi-lagi karena baju. Oke.., Vanilla lupa Kala juga orang yang perfect. Ia gak mau orangnya terlihat tidak profesional. Tapi memakai baju seperti ini di restoran hotel bintang lima juga tidak ada salahnya. Banyak juga wanita-wanita yang datang dengan pakaian lebih gemerlap dan lebih seksi. Tidak perlu Kala mempermasalahkan dengan bersikap sefrontal ini. Paling penting mereka cuma berstatus bos dan karyawan. Jadi, Vanilla merasa bebas mengambil sikap dalam berpakaian."Bapak masih mau menghina baju saya?!" Tuding Vanill
Ting...!Pintu lift terbuka. Kala segera mengambil jasnya. Ia letakkan di bahu Vanilla. Sayangnya Vanilla menampik. Merasa tak sabaran. Kala menggendong Vanilla ala bridal. Ia yakin, pasti gadis itu juga akan menolak diantar pulang."Pak saya bisa jalan sendiri!" Vanilla berteriak sembari melihat sekelilingnya. Orang-orang terlihat memperhatikan mereka berdua."Kalau kamu gak mau jadi bahan pembicaraan. Lebih baik diamlah." Pinta Kala tegas. Kala memasukkan Vanilla di bangku belakang dan dia juga duduk di sampingnya."Kita perlu bicara. Saya tahu kamu sedang marah sama saya. Dan sebaiknya kamu meredam amarahmu dulu." Vanilla membuang pandangan. Kala tahu gadis itu marah tapi Kala tidak bisa merubah sikap. Ia masih tetap bertahan dengan raut datar dan gasture kaku. Kala lebih suka memberikan waktu supaya Vanilla tenang."Sebaiknya kamu bilang. Apa yang membuat kamu marah sama saya. Apa karena saya meminta kamu membuang baju ini?" Kala menebak sembari menyentuh sedikit ujung gaun Vanil
"Waktu itu, Pak. Pas baju Bapak basah dan Bapak menolong Pak Bima yang mau jatuh." Vanilla menreka ulang menurut sudut pandangnya. Sepanjang berceloteh. Ia menunjukkan sisi polos dan cerobohnya, sedang Kala tercenang. Cuman karena dia duduk setengah membuka kemeja menghadap Bima. Dia sudah dikira yang enggak-enggak sama Vanilla. Ya Tuhan, tobat.Kala menaiki tangan. Vanilla tak perlu lagi melanjutkan kisah yang pasti gak ada betulnya sama sekali. Sedikit senyum smirk tersinggul di wajah tampannya. Kala mendekatkan wajahnya ke Vanilla."Eeh, Bapak mau ngapain?!" "Saya mau membuktikan kalau saya gak seperti yang kamu duga," ujar Kala menatap jail pada Vanilla. Vanilla manyun, gimana caranya. Dengan kurang ajar Kala menuntun tangan Vanilla ke pangkal pahanya. "Kamu bisa rasakan. Ini(?) sudah tegak. Bahkan saat kita masih di restoran." Kala terang-terang menggoda. Dan sekarang Vanilla tahu apa arti kata, 'Kamu sudah menguji kesabaran saya.' Seharusnya itu sudah jadi sinyal yang cukup.
Vanilla berdecih. "Kalau punya kenapa. Kalau gak kenapa?!" tantangnya. Apa sekalian saja bilang PUNYA biar Kala gak sembarangan lagi cium-cium. Iih..., dikira Vanilla mau nolak apa. Enggak juga tuh!!Kala menoleh ke Vanilla sebentar. "Saya bos kamu lho. Kamu harus jawab dengan tegas. Ada atau tidak! Gak boleh ada informasi yang ditutupi dari perusahaan." Kala kembali mode kaku. Namun Vanilla tak terima. Itu, kan masalah pribadi karyawan. Masa kudu disetor ke bos juga. Ngadi-ngadi ini bos!"Enggak ada!" Vanilla jawab sambil membentak. Membuat alis gunung Kala terangkat. "Jangan berteriak. Saya tidak tuli." ucapnya seraya mengelus dadanya. Ya Tuhan, cantik-cantik galak. Jadi mau menaklukkan. Tadi.., katanya gak punya, kan. Bisa kalik!***Ke esokkan harinya. Setiap Vanilla masuk ruangannya, Kala selalu menyempatkan melirik kearah Vanilla. Entah apa yang dia cari. Apa mungkin bibir Vanilla yang sempat ia sesap beberapa menit itu. Vanilla menyadari gerak-gerik Kala yang diluar kebiasaan.
"Yah, pak Majid itu dulunya mantan supir rumah aku. Dan aku di sini atas ijin beliau. Kamu sendiri?!" Gilirian Nada menggaruk tengkuk tak enak. Ooh.., rumah ini sedang disewakan ke orang lain. Kalau dilihat lagi, kayaknya cowok ini kaya. Yah, paling dia sedang homestay di tengah kebun. Semacam mencari ketenangan batin gitu. Nada tidak begitu memperhatikan jika Kala memakai tongkat untuk menumpuh tubuhnya."Gue kesini karena gue biasa bantuin bapak buat naroh karung-karung itu di sini. Sorry,ya. Gue gak tahu kalau ada lo!" Kala mengangguk. Dia melihat karung yang dibawa perempuan tadi. Itukan cukup berat, pikirnya sesaat mengamati. Ada perasaan kagum yang terbit di hati Kala saat itu juga. "Eeh. Kenapa! Lo mau bantuin gue bawa?!" Kala terdiam. Apa dia sedang menghina keadaan Kala. Jangankan membantu. Untuk jalan saja Kala kesulitan. Ketika Kala menunjukkan keadaannya secara jelas. Nada tetap tidak bergeming. Tidak ada raut-raut kasihan sama keadaan Kala. Tatapan iba yang sering Kal