Perkataan wanita yang kini mengusap lembut bahu Selena itu sebetulnya perkataan yang sangat serius, yang ditujukan pada putranya. Karena ia tahu pasti bagaimana kepribadian putranya yang sangat menjengkelkan itu.
Namun, bagi keluarga Selena yang tidak mengetahui keseharian sang pemuda yang terlihat begitu tenang dan penuh kharisma, tentu saja beranggapan bahwa apa yang dikatakan oleh wanita anggun mengenakan dress batik panjang turunan bangsawan itu hanyalah candaan semata.
Kendatipun seluruh anggota keluarganya tertawa, Selena hanya menyeringai samar. Kemunculan sosok lelaki beparas menawan khas putra bangsawan itu sama sekali tak menggoyahkan hatinya. Jantungnya memang berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, namun sama sekali bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama layaknya roman picisan, alih-alih, yang ada justru sebaliknya. Sengatan kejengkelan yang disebabkan oleh tatapan meremehkan lelaki itulah penyebabnya.
Jika ibunya berharap kedua pipinya merona merah karena merasa terpsona dengan kemunculannya yang begitu menyilaukan, maka Selena sungguh berharap ibunya segera terbangun dan menghadapi kenyataan yang mungkin saja akan membuatnya semakin frustrasi.
Namun demikian, Selena tidak sekeras kepala itu. Sebetulnya, dirinya merasa cukup bersalah ketika melihat sang ibu frustrasi memikirkan dirinya. Tapi, kenapa harus lelaki seperti ini yang diundangnya datang ke rumah?
Di sisi lain, Arjuna sama sekali tak bereaksi dengan peringatan yang diberikan ibunya. Alih-alih tersenyum untuk sekadar basa-basi, pemuda jangkung yang berusia 27 tahun itu hanya mentap Selena datar. Sudut bibirnya bahkan hanya bergerak ke atas satu mili.
“Aku justru khawatir Selena-lah yang membuat Arjuna takut, Siren,” seloroh ibu Selena seraya terkekeh pelan. Membuat Selena segera melempari ibunya dengan gestur cemberut sementara yang lain tergelak. Kecuali Arjuna tentu saja. Lelaki itu masih setia dengan wajah datarnya. Dunianya seakan telah mati rasa. Entah karena apa, Selena sama sekali tak berniat mencaritahu.
Dua keluarga itu pun menuju ruang makan yang terletak di ruangan sebelah ruang tamu. Tersekat oleh dinding batu alam, yang memiliki tanaman rambat yang memenuhi dinding dari sisi dapur. Disempurnakan dengan pot-pot tanaman yang berukuran cukup besar di setiap sudut, sementara di rak dan meja-meja, tanaman lili putih menjadikan nuansa alam di ruang makan dengan dapur terbuka itu semakin segar dan nyaman. Dan tentu saja, seluruh tanaman hias yang ada di dapur itu adalah tanaman yang tidak berbahaya dan tetap mengeluarkan oksigen sekalipun di malam hari. Selena-lah yang menghendaki desain interior seperti itu, yang katanya, bisa mengalirkan ide dengan sangat deras ketika ia menulis.
Meja makan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu itu tampak penuh oleh hidangan makan malam yang sangat menggiurkan.
Dan tentu saja, semua yang ada di meja makan itu adalah hasil kerja keras Alin yang merupakan seorang koki profesional dalam keluarga. Dibantu oleh sang ibu dan dua asisten rumah tangga mereka. Dan hal itu, dipaparkan oleh ayah Selena pada tamu istimewanya dengan perasaan bangga. Membuat Alin segera saja salah tingkah. Ayahnya selalu seja mengapresiasi hal sekecil apa pun yang dilakukan oleh putra-putrinya. Mendukung hal-hal baik jenis apa pun yang menjadi minat mereka. Membuat mereka tumbuh dengan penuh percaya diri dengan kemampuan yang mereka miliki.
Alin bukanlah koki profesional peraih medali michelin, namun, ia adalah seorang dokter muda berbakat yang gemar memasak hingga mengambil kursus memasak di sebuah akademi profesional ketika SMA. Dan sepertinya, kegemarannya itu sungguh menjadi keberuntungan besar bagi Selena yang selalu dengan sesuka hati meminta sang kakak untuk membuatkan beraneka macam makanan yang ia inginkan. Yang entah bagaimana, bakat dan ketekunan kakaknya itu sama sekali tak membuatnya serta merta tertular layaknya virus yang dengan mudah berpindah hanya dengan sebuah sentuhan. Alih-alih, kemampuan Selena benar-benar seperti see saw di mana posisinya berada di dasar membentur tanah, sementara sang kakak terbang tinggi mengepakkan kedua sayap emasnya.
“Wah, kau memiliki pesaing berat, Arjuna,” gumam ayah Arjuna yang berjalan beriringan dengan ayah Selena seraya mengedarkan pandangannya ke atas meja makan dari ujung ke ujung, sorot matanya berbinar-binar seperti kejora yang menatap penuh kekaguman. Begitu juga dengan ibu Arjuna yang segera saja duduk begitu Selena menarikkan kursi untuknya.
“Apakah Arjuna juga suka memasak seperti Alin?” sahut ibu Selena sedikit terkejut dengan pernyataan ayah Arjuna, tersenyum dengan kedua mata terbuka lebar, seakan tak mempercayai kenyataan yang baru saja dipaparkan secara tidak sengaja itu.
“Ya, Arjuna tidak pernah makan masakan orang lain, Laras. Dia hanya makan makanan yang dibuatnya sendiri. Bahkan bocah nakal itu tak mau makan makanan yang susah payah kubuatan untuknya.” Itu ibu Arjuna yang menjawab, sedikit menggerutu dan memanyunkan bibirnya yang mungil dan merona dengan indah, melirik putranya yang kini duduk tepat di hadapan menantu idamannya, yang dilihat dari reaksinya, sepertinya tidak sengaja melakukannya.
Namun, lirikan itu jelas sekali bukan lirikan bangga sebagaimana yang dilakukan ibu Selena pada sang kakak. Alih-alih bangga, di mata Selena, lirikan itu bahkan terkesan seperti bentuk sebuah kejengkelan. Yang entah karena alasan apa, Selena sama sekali tidak ingin mencari tahu.
Setelah melirik putra semata wayangnya yang sama sekali tak menunjukkan reaksi apa pun, wanita anggun itu tersenyum lebar penuh ketulusan begitu menoleh ke arah Selena. “Sayang, apakah kau juga suka memasak?” tanyanya dengan tatapan begitu lembut yang membuat Selena semakin sungkan jika hendak mengacaukan makan malam ini.
Sebuah pertanyaan yang membuat Selena nyengir kuda sementara ayah dan kakaknya tergelak. “Gadis ini sama sekali tidak pandai memasak, Siren. Dia hanya bisa merebus air dan memasak mie instan,” sahut ibu Selena seraya menyeringai lebar.
“Aku ingat, dapur kami bahkan hampir meledak dua tahun lalu ketika Selena dengan begitu keras kepala ingin memasak sendiri. Benar tidak, Selena?” Alin berujar ringan sekali seraya terkekeh lebar.
Dan tiba-tiba, ide itu muncul begitu saja. Gadis itu bukannya malu karena aibnya terbongkar, yang ada justru sebaliknya. Ia mengangguk tanpa sedikit pun keraguan seraya menyeringai lebar.
“Benar sekali, Tante Siren. Aku sama sekali tidak bisa memasak. Terakhir kali aku memasak, semua orang keracunan karenanya. Dan aku juga sangat tidak suka berdandan. Tante lihat sendiri, bukan? Aku bahkan tak bisa merias diri dalam jamuan-jamuan penting kaluarga. Tante terlalu berlebihan memujiku, segala bentuk pujian Tante Siren sungguh sangat jauh dari kenyataan,” sahut Selena dalam sekali tarikan napas. Dan tersenyum sangat lebar begitu megakhiri kalimatnya. Berharap apa yang telah dikatakannya itu mampu menggoyahkan keinginan pasangan terhormat itu untuk menjadikannya menantu.
Bukankah sangat memalukan memiliki menantu yang sama sekali tak bisa merias diri, sementara putranya adalah orang penting yang sering sekali menghadiri acara-acara formal yang menuntut pasangannya tampil anggun nan elegan?
Selena terbahak dalam hati. Dirinya yakin sekali Tante Siren yang begitu anggun itu akan mempertimbangkan ucapannya. Dan memutuskan untuk mengurungkan niatnya menjadikan dirinya menantu.
Yang sialnya, Selena tahu, hal itu hanya ada dalam angannya yang menyedihkan. Karena pada kenyataannya, wanita di sampingnya itu justru tersenyum lebar dan menarik hidung bangirnya lembut.
“Apa yang kau bicarakan, Sayang? Bukankah sudah Tante katakan, kecantikanmu itu seperti bidadari. Sekalipun tanpa riasan, Tante yakin sekali, di luaran sana tidak sedikit lelaki yang harus patah hati karena perasaannya terhadapmu bertepuk sebelah tangan,” tuturnya ringan sekali, lantas, mengarahkan pandangannya pada putranya yang kini hanya mengangkat sebelah alis begitu mendapati tatapan yang sangat mengintimidasi dari sang ibu.
“Untuk memasak, biarkan itu menjadi urusan suamimu. Terserah dia mau masak sendiri atau membayar orang untuk melakukannya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang,” lanjutnya tanpa ampun. Membuat Selena membeku dan hanya mampu menelan ludah.
Gadis itu benar-benar tidak mengerti bagaimana wanita ini bisa sangat menyukainya. Dari segi penampilan, mereka jelas bagai bumi dan langit. Apakah wanita ini benar-benar ingin mempermalukan putranya dan merusak garis keturunan bangsawan yang mengalir deras dalam keluarga mereka? Selena benar-benar dibuat kehabisan kata.
Di sisi lain, Arjuna yang melihat reaksi gadis berparas anggun namun memiliki sisi liar dan susah dikendalikan dari sorot matanya yang sebening kristal itu, sontak saja langsung terkejut terhadap isyarat penolakan yang ditunjukkan gadis itu secara terang-terangan terhadapa dirinya.Mata tajamnya memandang gadis itu semakin dalam, seakan ingin menyelam jauh di kedalaman hati dan pikirannya.Apakah gadis ini sedang bersandiwara dan sok jual mahal? Sejak kapan ada wanita yang tak menginginkannya? Tapi, bagus juga jika gadis ini berhasil menggagalkan perjodohan mereka. Mari kita lihat, apakah gadis ini bisa melawan ibunya yang sudah membuatnya menyerah tanpa bisa melakukan apa pun itu lagi? Jika ya, ia bersumpah akan menjadikan gadis yang tampak sekali sangat keras kepala itu menjadi satu-satunya teman wanitanya. Sementara itu, dalam perasaan putus asanya, demi langit mendung yang mengandung petir, Selena sungguh bisa melihat lelaki di hadapannya
Hentakan tangan Selena itu pun segera menyadarkan Arjuna. Lelaki itu menarik kembali tangannya dengan cepat sedikit salah tingkah. Lantas menyeringai samar penuh intimidasi dengan tatapan tajam seakan ingin menghukum gadis yang justru balas menatap tak kalah tajamnya itu lari 20 putaran mengelilingi lapangan bola, karena dengan begitu berani dan sudah pasti dengan sangat sengaja, memenuhi mangkuk supnya dengan lada yang sangat tak ia sukai.Gadis itu mengatakan jika ibunya berkata demikian? Arjuna terkekeh dalam hati. Trik-trik rendahan seperti itu tak akan pernah mampu mempengaruhinya. Dan lihat saja bagaimana ia akan membalas perlakuan menyenangkan gadis ini padanya berkali lipat.Kejengkelan Arjuna pada gadis yang kini sudah dengan begitu santai meraih mangkuk besar dan memenuhinya dengan sup iga itu, membuatnya lupa bagaimana dirinya bereaksi terhadap sentuhan, ia bahkan tak merasakan perasaan alergi sebagaimana yang selalu ia rasakan ketika tak s
“Oh astaga,” suara tawa yang terdengar jelas sekali seakan tak percaya itu keluar dari lisan ayah Arjun. “Gadis ini sungguh luar biasa sekali. Dharta, putrimu benar-benar hebat. Dia adalah satu-satunya gadis yang bisa mempermalukan Arjuna,” lanjutnya heboh dengan tawa berderai. “Hei, Siren, lihatlah, kapan kau terakhir kali melihat wajah putramu itu merona seperti ini, eh? Aku sungguh menyukaimu, Nak,” tegasnya seraya menatap Selena penuh arti dengan sisa-sisa tawanya. Seakan tengah menaruh harapan yang begitu besar padanya.Selena benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Pasalnya, ia dengan begitu sengaja melakukan semua ketidaksopanan itu demi penolakan. Namun, lihatlah apa yang terjadi, alih-alih menolaknya, keluarga Daneswara itu justru terlihat begitu mengharapkannya menjadi menantu mereka.Belum sempat Selena selesai menganalisa apa yang keliru dengan sikapnya, Siren sudah merangkul tubuhnya dan memeluknya dengan erat. M
Selena melirik kakaknya penuh isyarat, berharap sang kakak akan segera berdiri dan menggantikan dirinya untuk mengantarkan lelaki yang kini terlihat begitu pucat itu menuju kamar tamu untuk beristirahat.Alin bukan tidak memahami isyarat adiknya yang begitu kasihan itu, tetapi tatapan ibunya yang seakan memahami situasi yang terjadi, yang terlihat jelas tidak menghendakinya turut campur dalam masalah yang dibuat adiknya itu, mau tak mau membuatnya mengurungkan niat untuk membantu Selena. Membuat gadis itu menatap sang kakak penuh kejengkelan dan peringatan. Yang sialnya, hanya dibalas dengan tatapan permintaan maaf oleh sang kakak yang sungguh tak bisa berbuat apa-apa di bawah tekanan tatapan sang ibu.Setelah menghela napas dalam, Selena akhirnya berdiri. “Tuan, mari ikut denganku,” ucapnya seraya berjalan keluar dari ruang makan.Arjuna yang merasakan rasa sakit yang luar biasa, benar-benar kehilangan keinginan untuk membantah. Dia memundurkan kurs
“Kau benar sekali, aku memang bukan seorang wanita. Harga dirimu akan jatuh jika sampai kau menikah dengan orang sepertiku. Percayalah, kehadiranku dalam hidupmu akan mengacaukan sistem keteraturan yang kau pegang selama ini, jadi sebaiknya─"“Aku membatalkan perjodohan kita?” sela Arjuna seraya menyeringai dengan kedua mata sedikit terbuka, hanya sedikit saja, seakan masih menahan rasa sakit di kepala dan perutnya. Melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan Selena perlahan.Sebuah pertanyaan yang membuat Selena segera saja menyeringai lebar dan mengangguk bersemangat.“Tepat sekali. Kau harus membujuk orangtuamu agar menggagalkan perjodohan ini," sahut Selena penuh semangat. Karena ia sudah tak yakin bisa membujuk ibunya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta lelaki ini melakukannya."Biar kutebak, lelaki sepertimu, pasti memiliki jutaan penggemar. Kau bisa memilihnya salah satu yang kau sukai dan menjadikannya istrimu. Atau
Selena terdiam cukup lama memperhatikan sosok lelaki yang kini mendengkur halus dengan mulut sedikit terbuka itu. Keningnya yang semula berkerut dalam seakan tengah menahan rasa sakit, perlahan memudar. Dada bidangnya naik turun dengan begitu teratur. Dan saat itulah, Selena sungguh baru menyadari jika di dada sebelah kiri sedikit ke dalam lelaki itu terdapat bekas luka sayatan benda tajam yang cukup panjang.Mata Selena menyipit dengan pikiran yang mulai menebak-nebak. Lelaki ini adalah seorang tentara berstatus kapten, pemimpin dari satu batalion pasukan khusus di mana satu orang saja di antaranya memiliki kekuatan 30 orang prajurit biasa. Dengan statusnya itu, tidak menutup kemungkinan jika lelaki ini sudah terlibat dengan kejadian yang mungkin saja akan dengan mudah merenggut nyawanya.Dan tiba-tiba saja, ide-ide segar bermunculan di benak Selena. Membuat gadis itu menyeringai lebar.Lelaki ini sangat tampan. Nilai jual dari ketampanannya pastilah sangat
Arjuna yang tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan sedemikian merendahkan harga dirinya itu pun, sedikit tertegun dengan keberanian gadis di hadapaannya yang kini bahkan berani melemparinya dengan tatapan mencemooh itu.Sejak ia kecil, entah bagaimana, orang-orang di sekitarnya merasa segan dengannya. Mungkin bukan hanya karena nilai akademisnya yang selalu menduduki posisi puncak di setiap jenjang pendidikan, namun, mungkin juga karena pembawaannya yang begitu tenang dan tak banyak bicaralah yang menjadikannya disegani oleh teman-teman bahkan para seniornya.Karena perlakuan itu telah ia terima bahkan ketika dirinya baru berada di bangku taman kanak-kanak, yang seakan telah menyatu dengan kehidupannya, menyatu dengan kepribadiannya, mau tidak mau membentuk kepribadian tinggi hatinya tanpa sadar. Merasa diri berada di posisi paling sempurna di mana tak seorang pun memiliki kesempatan untuk mencelanya. Sehingga, mendapati dirinya diperlakukan diluar kebiasaan, tentu
Selena seketika mendecih begitu mendengar nada arogan yang mengalir deras dalam setiap getar suara sosok lelaki yang kini bahkan enggan menoleh ke arahnya itu. Entah karena malu atau karena terlalu jengkel dan kesal padanya. Selena sama sekali tak peduli.Namun, belum sempat Selena membalas perkataan Arjuna yang menjengkelkan itu, terdengar instrument BrunuhVille “Spirit of The Wild” dari saku celana Arjuna. Sebuah instrumental yang seketika membuat Selena terbeliak. Sedikit terkejut menyadari bahwa lelaki ini memiliki selera yang sama dengannya. Meskipun harus ia akui, instrumental yang terdengar liar, lembut, dan penuh semangat ini memanglah sangat bagus, bahkan mungkin saja memiliki jutaan penikmat di luaran sana, namun, tetap saja, bukankah ini terlalu kebetulan bagi mereka?Bahkan sama-sama menggunakannya sebagai nada dering panggilan ponsel? Oh, sungguh, Selena berharap tak ada seorang pun yang menghubunginya malam ini. Jika sampai lelaki itu mengetah
Arjuna menatap ponsel yang telah padam di tangannya itu seraya mengangkat sebelah alis sedikit terkejut, sebelum akhirnya terkekeh pelan. Benar-benar tak menyangka jika ada gadis yang berani berkata kasar dan begitu vulgar pada dirinya.Dan lebih buruk daripada itu, sebentar lagi gadis itu akan menjadi istri sahnya. Karakter seorang gadis yang sama sekali tak pernah terlintas di benaknya yang selama ini hanya menjumpai gadis-gadis anggun nan bersikap lembut kala di hadapannya.Yang anehnya, justru sikap Selena yang begitu terang-terangan dan sama sekali tak memiliki kecanggungan ataupun sopan santun terhadap dirinya yang notabene selalu disegani banyak orang itulah yang membuatnya tertarik pada gadis itu.Tidak hanya tertarik, ajaibnya, ketika berada di dekat gadis itu, dirinya bisa menjadi lelaki normal dan melupakan traumanya di masa silam.Karena berbagai alasan itulah, Arjuna memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Selena yang semena-
“Tentu saja aku kesal!” geram Selena dengan nada tinggi. “Apakah kau berharap aku akan merasa sangat senang sekali jika ada orang lain yang menjamahya ruang pribadiku, eh?” lanjutnya seraya bersungut-sungut. Andai di hadapannya saat ini ada kue klepon kesukaannya, ia pasti menelannya bulat-bulat.“Tapi aku bukan orang lain. Aku adalah calon suamimu. Bukankah dalam hubungan suami-istri tidak seharusnya ada ruang pribadi sebagaimana yang kau bicarakan itu?” balas Arjuna ringan sekali, seakan tengah membicarakan cuaca mendung di pagi hari.Baginya, apa yang ia lakukan sama sekali tidak mengandung unsur kesalahan. Lagipula, ponsel gadis itu juga tak memiliki rahasia jenis apa pun yang bisa menghancurkan dunia. Alih-alih, percakapan dalam pesannya hanya berisi segelintir orang, itu pun hanya membicarakan masalah yang menurutnya sama sekali tak penting.Bahkan gallery gadis itu sama sekali tak normal layaknya gadis muda pada umumnya
Selena segera menyambar ponselnya dan mengumpat kesal begitu melihat nama kontak yang tertera di layar ponsel.“My Husband, eh? Jangan panggil aku Selena jika tidak bisa memberi pelajaran pada orang yang dengan berani meretas ponselku!” geram Selena seraya menunggu panggilan telepon tersambung, menyeringai seperti penyihir jahat yang dengan riang menakuti anak-anak.Namun, sedetik kemudian, gadis itu mengerutkan kening dalam. Teringat bahwa ponselnya telah memiliki sistem berlapis yang menjaganya dari gangguan peretas.Bagaimana bisa Arjuna menembusnya? Mungkinkah lelaki itu juga memiliki keahlian yang sama seperti dirinya?Belum selesai Selena menganalisanya, terdengar sahutan dari seberang yang terdengar begitu lelah.“Kau sudah membacanya?” tanya Arjuna seraya menyandarkan punggung ke sandaran kursi di ruangannya. Peristiwa yang terjadi semalam benar-benar telah menguras energi dan pikirannya sebagai
Selena menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi kaki menggantung setelah selesai berbicara dengan ayahnya. Ia bahkan merasa tak perlu repot-repot berganti pakaian sekalipun pakaian yang ia kenakan basah dan lengket oleh keringat.Beruntungnya, ibunya tidak ada di sana. Jika tidak, ia pasti akan menerima petuah gratis selama dua jam penuh tentang pentingnya menjaga kebersihan diri.Gadis itu menghela napas panjang dan membiarkan kedua tangannya telentang.Pandangannya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih gading dengan pikiran yang melayang jauh ke segala penjuru mata angin, memikirkan banyak hal tentang masa depan pernikahannya.Dirinya memang menyetujui perjodohan itu, tetapi ia sungguh tak menyangka akan secepat itu prosesnya.Satu bulan sejak pertemuan pertama mereka? Oh yang benar saja!Selena mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan. Mendesah berat dan hampir saja meloloskan erangan frustrasi. Sebelum akhirnya,
“Oh, benarkah?” Nada tak yakin dengan tatapan penuh selidik sang ayah itu seketika membuat Selena merutuki kecerobohannya. Tidak seharusnya dirinya terburu-buru menghampiri sang ayah unuk melihat berita hari ini. Dirinya sungguh menyesal kenapa tidak menonton televisi melalui jaringan internet saja.Namun, penyesalannya sungguh tak berguna sama sekali. Nasi telah menjadi bubur. Bagaimana mungkin dirinya bisa mengembalikannya lagi menjadi bulir-bulir nasi?Yang harus ia pikirkan saat ini adalah mencari cara bagaimana agar ayahnya, yang kini menatap dirinya dengan kedua mata menyipit semakin curiga itu bisa mempercayai bualannya.Selena sungguh tertawa ironi dalam hati, betapa buku tentang kiat-kiat berbohong yang sengaja ia baca untuk menguatkan karakter-karakter fiksinya itu akan sangat berguna di situasi seperti ini.“Apakah Ayah meragukanku?” sanggah Selena cepat, dengan raut yang dibuat seakan tengah terluka karena seseora
“Tunggu sebentar,” ucap Dharta dengan kening berkerut samar, seakan ada sesuatu yang mengganggunya.“Jika informasi tentang penyerangan Markas Rajawali itu tak ditayangkan oleh media mana pun, lalu, bagaimana kau bisa mengetahuinya, Sayang? Ayah pikir, hubungan kalian belum sedekat itu hingga Arjuna menceritakan masalah yang ditutup rapat-rapat dari jangkauan publik itu padamu. Atau, telah terjadi sesuatu ketika kalian berdua di kamar tamu?” cecar Dharta seraya menatap lekat manik sewarna madu miliki gadisnya yang kini bergerak-gerak salah tingkah. Membuat Dharta semakin mengerutkan kening dalam.Selena sungguh mati kutu. Ia sama sekali lupa mengantisipasi kemungkinan munculnya pertanyaan itu dari sang ayah.Dirinya tentu saja tidak mungkin menceritkan tentang tindakan kriminal yang telah ia lakukan.Jika sampai ayahnya tahu tentang kemampuan dan tindakannya itu, sudah bisa dipastikan, ayahnya yang lembut namun juga tegas secara be
Keesokan harinya, Selena sudah bangun sebelum subuh dan menjalankan rutinitas sebagaimana biasanya. Meskipun semalam ia tidur larut malam, namun, energi mudanya yang luar biasa, membuatnya tetap bangun dalam keadaan segar bugar. Sama sekali tak terlihat jejak kelelahan akibat begadang.Dan di pagi itu, setelah ia selesai lari pagi, sama sekali tidak seperti biasanya, ia langsung menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga dekat dengan sang ayah yang tengah menonton acara bincang bisnis yang dihadiri beberapa pakar.“Pagi, Ayah,” sapanya dengan nada riang pada sang ayah yang tengah menikmati teh hangat dan pisang goreng seraya menonton.“Pagi juga, Sayang,” balas Dharta seraya menarik kepala putrinya lembut dan mengecup kening putrinya penuh sayang. “Tumben sekali, ada apakah gerangan, eh? Biasanya putri Ayah sama sekali tidak tertarik dengan tontonan jenis apa pun, atau.” Dharta menjeda kalimatnya, menyipit penuh rasa curiga
Selena yang masih sibuk mengamati pergerakan orang-oramg melalui layar monitornya seraya terus berkomentar, segera terdiam begitu mendengar suara Arjuna yang teramat jelas di telinganya yang kini mengenakan headphone.Sebelah alisnya terangkat, seakan otaknya terlambat mencerna kalimat menyudutkan yang baru saja diterima indera pendengarannya itu.Hening sejenak. Sebelum akhirnya seruan jengkel meluncur dari lisan Selena tanpa bisa dicegah. Mengalir deras bagai air bah yang menghanyutkan apa pun yang dilintasinya. Beruntunya, Arjuna adalah sebuah pohon yang kokoh dengan akar yang kuat. Derasnya air bah yang menerjangnya, tidak akan cukup kuat untuk membuatnya tercerabut dari akar dan terseret arus. Alih-alih, yang ada justru air bah itulah yang menyerah dan surut ke dalam tanah.“Apakah kau sudah selesai?” tanya Arjuna dengan santainya begitu Selena menghentikan kalimat makiannya untuk mengambil napas.“Kau idiot!” geram S
Selena mengetuk-ngetuk pipinya lembut dengan jari telunjuknya ketika memikirkan kembali apa yang baru saja disampaikan oleh kakaknya. Bibirnya terkatup rapat sementara kedua alisnya saling bertautan erat.Sebetulnya, ia sama sekali tak ingin memikirkan apa yang baru saja kakaknya itu katakan. Namun sungguh sial, kata sakral itu terus terngiang di benaknya sekalipun kakaknya telah lama meninggalkan kamarnya.Tadinya, ia langsung setuju dengan perjodohan itu karena sama sekali tak melihat adanya poin yang merugikan dirinya. Tapi ia sunggguh baru tersadar jika pernikahan adalah sebuah wujud tanggung jawab.Selena mengerang frustrasi memikirkan kerumitan tanggung jawab itu setelah dirinya menyandang gelar istri. Ia sungguh tak peduli dengan Arjuna, tetapi, bagaimana dengan keyakinan yang ia pegang? Wujud tanggung jawabnya terhadap Tuhan.Selena menjatuhkan keningnya ke atas meja seraya merutuki kecerobohannya dalam membuat keputusan. Bagaimana mungki