Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.
Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring.
"Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring.
"Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.
Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya lebih menyakitkan lagi. Ia berhenti sejenak dan menatap ke arah tetangga-tetangganya dengan tatapan tajam.
"Tidakkah kalian punya urusan lain selain mengomentari hidupku?" ucap Divia dengan suara lantang.
Tetangga-tetangga itu terdiam sejenak. Kemudian, salah satu dari mereka mencoba meredakan suasana.
"Maaf ya Dokter, kami tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Kami hanya sedang ngobrol saja," ucap tetangga itu dengan nada memelas.
Divia menggelengkan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Ia memasuki mobil dan meletakkan tas di kursi sebelah.
Sembari memakai sabuk pengaman, Divia tak habis pikir mendengar gosip tentang dirinya. Namun, ia tidak membiarkan hal itu merusak harinya. Ia sudah terbiasa dengan gosip-gosip seperti itu dan ia tahu bahwa ia tidak bisa memuaskan semua orang. Divia memilih untuk fokus pada karirnya dan menikmati hidupnya seperti yang ia inginkan.
Di dalam mobil, Divia mengambil napas dalam-dalam dan memandang ke arah jendela. Begitu hendak menyalakan mesin, kedua melirik melihat ke spion sambil mendesus kesal lantaran mobil yang terpakir dibelakangnya tak kunjung keluar. Padahal saat ini Divia sedang buru-buru. Dan parahnya pemilik mobil masih santai di luar sambil berbicara di telepon. Divia merasa kesal, ia sudah terburu-buru dan sekarang ia terhambat oleh mobil itu.
"Ya Tuhan ada saja yang membuatku telat," ujar Divia sembari melepaskan sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.
Usai turun dari mobil Divia tak ragu menghampiri pria itu.
"Permisi! Bisa bicara sebentar," ucap Divia tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Begitu pria itu berbalik badan, disitulah kedua pasang mata saling bertemu. Menatap dengan datar. Tatapan sinis antara CEO dan Dokter gigi.
“Kau,” ucap Divia. Perdebatan di kliniknya beberapa minggu yang lalu masih tersimpan dalam benak Divia.
Vivek pun sempat terkejut mengetahui wanita itu ada disini. Wanita yang pernah menceramahinya tentang mengurus anak.
Awalnya Divia sempat terpana dengan ketampanan pria itu yang sangat paripurna. Penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki begitu sempurna. Semakin menambah kegagahannya.
"Kita bahas ini lagi nanti," ujar Vivek sembari mengedarkan pandangannya ke samping. Begitu telpon pintarnya masuk ke dalam saku, ia kembali menatap wanita yang sekarang ini berdiri dihadapannya.
"Kau mau apa?” tanya Vivek.
"Mobilmu menghalangi jalan keluar. Cepat singkirkan," sahut Divia judes.
Vivek memutar bola matanya ke samping. Yang benar saja, wanita itu berani memberikan perintah padanya. "Apa tidak ada jalan lain? Sehingga kau harus menunggu mobilku sampai keluar," sahut Vivek.
"Hei, kau yang salah tapi kau tidak mau disalahkan," maki Divia.
"Ini bukan perkara sulit. Kau wanita berpendidikan, tapi kau tidak bisa menghadapi situasi sepele ini. kenyataanya, kau saja yang tidak cukup jenius untuk memikirkan solusinya,"
"Dengar! Aku tidak mau berdebat. Sekarang singkirkan mobilmu atau aku sendiri yang akan menyingkirkannya," ancam Divia.
"Lakukan saja kalau kau bisa," sahut Vivek.
Divia yang cerdik langsung mendekati pintu mobil Vivek. Kebetulan kunci mobilnya sudah menancap di pintu, sehingga tak butuh waktu lama bagi Divia untuk masuk ke dalam mobil. Vivek pun memundurkan langkahnya begitu mobilnya telah dikemudikan oleh wanita itu menuju luar.
Beberapa menit kemudian~
Vivek menggelengkan kepala begitu wanita itu kembali dan mengembalikan kunci mobilnya tanpa meninggalkan sepatah katapun. Baru kali ini ia menghadapi wanita angkuh.
Klinik~
"Dokter! Dokter," teriak Rossi, suster sekaligus teman curhat Divia.
Ceklek~
Usai membuka pintu Rossi segera menutupnya lagi. Langkahnya kali ini dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Pandangannya juga tak lekat menatap atasannya yang duduk dibalik meja besar.
"Ada apa?" tanya Divia dengan heran. Kedua bola matanya teralihkan melihat keringat di dahi Rossi yang bercucuran sudah seperti atlet marathon saja.
"Dokter, apa aku tidak boleh duduk?" tanya Rossi sambil mengatur nafasnya.
Divia berdiri dan berjalan mengambil kursi lain lalu mengangkatnya.
"Tentu saja, ayo duduk!" pinta Divia setelah meletakkan kursi tersebut di dekat Rossi.
Rossi pun duduk. Gurat senyuman lebar ditujukan kepada Divia, sebagai tanda terimakasih atas kepekaan atasannya.
"Terimakasih Tuhan, hari ini sepertinya para wanita sangat beruntung sekali," ujar Rossi sambil mengambil tisu diatas meja dokter.
Divia yang baru saja menggeser kursi putarnya merasa heran dengan apa yang dikatakan susternya barusan. "Kenapa begitu?" tanya Divia sembari duduk. Kini posisi duduk dua wanita itu berhadapan.
Cuaca siang ini begitu panas. Rasanya AC saja tak cukup meredakan keringat Rossi. Sampai-sampai Rossi menggunakan map untuk mengipasi dirinya. "Loh dokter tidak tau ya, hari ini hari apa?" sahut Rossi.
Divia mengerutkan dahi, "Mana mungkin aku lupa, hari ini kan hari kamis. Tepatnya tanggal 22 Desember. Memangnya kenapa dengan hari ini? Apa kau akan membicarakan ramalan sagitarius lagi?"
Rossi menggelengkan kepala. "Dokter, hari ini adalah hari ibu," jelas Rossi.
Senyuman tipis di bibir Divia berangsur kian sirna.
"Hampir seorang anak pasti sedang mempersiapkan kejutan untuk ibunya. Suatu hari nanti percayalah anak-anak kita akan mengucapkan hal yang sama di hari ibu yang spesial ini," ujar Rossi sembari memegang kedua tangan Divia.
Divia menganggukkan kepala disertai senyuman getir.
"Aku bahkan sampai lupa kalau hari ini, hari ibu. Bahkan aku belum bicara dengan ibuku sejak pagi," keluh Divia. Mengingat hampir setiap hari ia merasa lingkungan keluarganya sangat toxic karena terus menuntutnya untuk segera menikah. Hal itulah yang membuat Divia enggan bicara dengan siapapun di apartemen.
"Tidak masalah dokter, bicaralah sekarang. Aku yakin ibumu pasti menunggu telfon dari putrinya," ujar Rossi turut terbawa suasana.
Ada hal lain yang membuat Divia sedih. Bahkan jika dibayangkan lebih sedih daripada berpisah dengan orang tuanya. "Jika setiap tanggal 22 Desember semua ibu mendapat kejutan dari anaknya, lalu siapa yang akan memberikan kejutan padaku kelak," ujar Divia sembari melepaskan tangannya dari genggaman Rossi.
Air mata tak bisa dibendung saat itu. Mengingat akan vonis dokter yang terus menghantui pikirannya. Bak hati diiris berulang kali akan kenyataan yang membuatnya patah semangat. Disatu sisi Rossi merasa bersalah karena secara tidak sengaja ia menabur garam diatas luka. Niatnya hanya ingin menghibur namun ternyata usahanya justru membuat Divia terpuruk.
"D--dokter jangan putus asa. Aku yakin pasti ada jalan lain. Percayalah Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hamba-Nya," ujar Rossi sembari memegang pundak Divia.
Isakan tangis Divia kian mereda setelah ia sadar, untuk apa air mata ini keluar? Untuk apa juga ia menangisi takdirnya yang malang ini? Segera mungkin ia menghapus air matanya. Dengan menangis ia akan terlihat lemah.
"Ee Rossi, aku baik-baik saja. Aku hanya--"
"Aku mengerti Dokter," sahut Rossi.
Wanita itu segera berdiri dan mengambil gelas berisi air putih. Wanita itu kembali dan memberikan gelas tersebut pada Divia.
"Terimakasih," ujar Divia sembari memegang gelas dari Rossi.
"Dokter, sebenarnya ada yang ingin menemuimu. Tapi---"
Tuk~
Divia meletakkan gelas diatas meja. "Kenapa tidak disuruh masuk," potong Divia.
"Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk---"
"Dimana dia sekarang?" lagi-lagi Divia memotong kata-kata Rossi.
"D--di luar," sahut Rossi terbatas.
Divia langsung berdiri seketika. Langkahnya sudah pasti menuju pintu. Bagi Divia tamu maupun pasien di kliniknya bagikan raja. Susternya pun berjalan dibelakangnya sebagai mana mestinya.
Ceklek~
"Selamat Hari Ibu," ucap dua anak kecil kembar dengan antusias.
Kedua mata Divia terbuka lebar serta berkaca-kaca setelah dihadapannya terdapat kue bertuliskan "selamat hari ibu," yang dipegang oleh dua anak kembar.
Divia membungkukkan badannya menyamakan tingginya dengan si kembar. Rasanya tak percaya, ada yang memberikan kejutan di hari spesial ini. Bagaikan Tuhan telah memberikan jawaban atas semua keluhannya barusan.
"Dokter Divia, maafkan aku. Mereka berdua lah yang merencanakan semua ini. Aku hanya membantu mereka," ujar Rossi.
Kedua mata Divia tambah berkaca-kaca lagi setelah mendengar pengakuan dari Rossi.
"Terimakasih Ziva, terimakasih Zavi. K--kalian baik sekali," ujar Divia sembari mengusap rambut si kembar secara bergantian.
Klinik yang awalnya sepi kini berubah menjadi ramai. Suasananya pun berubah menjadi ceria dan penuh kebahagiaan. Siapa sangka si kembar tetangga apartemennya datang ke klinik. Mereka merupakan korban perceraian orang tua dan menunggu jawaban dari hakim akankah mereka tinggal bersama ayah atau ibunya. Terkadang curhatan mereka mengingatkan Divia akan Pertemuan pertamanya dengan si kembar.
Divia, yang rasa sakit hatinya memuncak, Ketika vonis dokter menyatakan rahimnya bermasalah, Kini telah sembuh berkat kehadiran si kembar. Yang membawa cinta dan kehangatan keluarga yang kian dalam.
Tak ada ikatan darah yang mengikat, namun kasih sayang di antara mereka tak terhingga. Mereka, tiga jiwa yang menyatu, menyirami kehidupan dengan cinta yang tulus dan suci. Bersama mereka, sunyi tak lagi terdengar, kehangatan keluarga yang tercipta sungguh luar biasa. Dan saat waktu berlalu, cinta yang terjalin semakin dalam. Membawa kebahagiaan dan keindahan yang tiada tara.
*
Alia Residence~
"Bibi Divi apa Mutu sudah besar?" tanya Zavi.
Usai memakirkan mobilnya, Divia hendak menggantarkan si kembar pulang ke apartemennya. Kebetulan apartemen mereka berdekatan. Namun ada saja pembicaraan yang berhasil menghentikan langkahnya.
"Zavi sayang... Mutu masih kecil. Tapi tenang saja, aku akan memberinya banyak makanan agar Mutu cepat besar," sahut Divia dengan antusias.
"Waaah ide yang bagus bi," sahut Zavi tak kalah antusiasnya.
Mutu, anak kucing yang sempat hilang beberapa bulan yang lalu. Namun pada akhirnya Divia yang menemukan kucing tersebut lalu merawatnya.
"Aku tidak sabar membawa Mutu pulang," ujar Ziva.
"Iya-iya Mutu kalian pasti akan berkumpul kembali dengan kalian. Jika Mutu sudah besar nenek kalian pasti akan mengizinkan Mutu tinggal bersama kalian lagi," sahut Divia.
"Terimakasih banyak bibi Divi," secara serentak si kembar memeluk Divia dengan erat. Divia pun tersenyum sembari merasakan hangatnya pelukan dua bocah tengil itu.
Usai dirasa cukup, Divia kembali menggandeng tangan si kembar. Langkahnya kali ini sudah pasti menuju apartemen.
Beberapa menit kemudian...
Divia melepaskan tangan si kembar itu, dan akhirnya mereka berpisah lagi. Si kembar dibawa masuk oleh pengasuhnya. Karena sudah sampai di depan apartemen keluarga Sanjaya. Jarak apartemen mereka tak terlalu jauh. Bahkan berhadapan. Divia tinggal membalikkan badan saja, dia sudah tiba di apartemennya.
Ceklek~
Setelah membuka pintu, Divia tercengang dengan beberapa kotak kue diatas meja tamu. Begitu juga dengan ruangan yang dihias layaknya akan ada acara. Tak lama kemudian kedua orang tuanya muncul di ruang tamu. Mereka berdua tampak sibuk melihat kesana kemari.
"Ayah ibu, apa ini?" tanya Divia heran.
Kedua orang tuanya saling menatap. Hingga akhirnya Shireen mendekatinya. "Ee besok ada acara," sahut Shireen.
"Acara apa? Kenapa mendadak seperti ini?" tanya Divia lagi.
"Begini nak," Shireen menuntun putrinya duduk.
Setelah dua wanita itu duduk dengan nyaman diatas sofa, mereka kemudian bicara. Jauh dari sikapnya kemarin pagi, kali ini nada bicara Shireen lembut sekali.
"Besok, ada pria yang ingin melamarmu nak. Ibu harap---"
"Tidak bu!" Potong Divia sambil berdiri.
Baik Shireen maupun suaminya terkejut dengan reaksi putrinya. Mereka berdua ikut berdiri.
"Lamaran? Bahkan aku tidak mengenal pria itu, aku juga belum bertemu pria itu. Bagaimana bisa kalian setuju begitu saja. Dan yang paling penting apakah aku akan mengalami penolakan lagi setelah pria itu tau kekuranganku,"
Shireen menggelengkan kepala.
"Nak, barangkali ibu tanpa sengaja ibu telah melukai hatimu. Tapi asal kau tau kami tidak sembarang menerima lamaran pria untukmu, kami telah mengatakan keadaanmu yang sebenarnya dan dia beserta keluarganya mau menerimamu apa adanya," jelas Shireen.
Pria manakah yang kali ini beruntung mendapatkan hati Divia? Apakah kali ini Divia akan ditolak atau justru menolah lantaran masih ragu dan takut menjalani hubungan asmara yang lebih serius.
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng