19.00 WIB~
Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.
Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.
Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih menghentikan taksi yang berlalu dihadapannya, fokus Divia tertuju pada mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan.
“Hei awasssss!” tanpa pikir Panjang Divia berlari menghampiri mereka.
Namun, mobil dengan kecepatan tinggi terus mendekati mereka, tampak tak berniat untuk berhenti. Detik-detik itu terasa seperti berjalan dalam kecepatan kilat. Divia merasa adrenalin memenuhi tubuhnya, dan tekadnya untuk melindungi anak-anak itu semakin kuat.
Tinnnnnnn…
“Beri aku jalan.” Ucap Divia mencoba menghentikan beberapa kendaraan yang menghadangnya.
Tanpa ragu, Divia meraih kedua anak itu dan menarik mereka ke pelukannya. Saat itulah mobil itu pun berhenti, roda-rodanya berderit menyengat aspal, menjadi saksi kepanikan yang mencemaskan.
“Kalian tidak papa?” tanya Divia sambil meraba wajah anak kembar itu secara bergantian.
Anak kembar itu menggelengkan kepala. Tak lama kemudian Divia berdiri dan menatap sopir yang masih berada didalam mobil. Cahaya lampu mobil tak membuat mata Divia redup. “Apa kau tidak punya haluan? Dimana perhatianmu. Ada anak yang ingin menyebrang tapi kau bahkan tidak memberinya kesempatan, bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka!!” omel Divia. Sesekali memukul bagian depan mobil meluapkan kekesalannya.
Sopir mobil itu keluar dari kendaraannya, dan ekspresinya penuh penyesalan. "Saya minta maaf, Bu," ucapnya dengan suara bergetar. "Saya tidak fokus,” sambungnya sembari menyatukan kedua telapak tangannya.
“Lain kali---”
“Nak, sudahlah,” seorang wanita paruh baya memotong pembicaraan.
Saat itu juga Divia baru menyadari orang-orang mengelilinginya.
“Sopir itu tidak sengaja. Tapi tidak dengan kau. Keberanianmu mencerminkan seorang ibu yang tanpa ragu menyelamatkan anak-anak. Aku bisa melihat jiwa keibuanmu begitu besar,” sambung wanita paruh baya itu.
Divia merasa tersentuh. Ia menoleh ke belakang. Dimana anak kembar itu tersenyum. Tanpa ragu Divia membalas senyuman mereka dengan pelukan. Dalam dekapan Divia, anak kembar itu merasakan kehangatan sejati, yang membuat mereka merasa aman dan dilindungi. Hal yang sama juga dirasakan oleh Divia. Namun, di balik kehangatan itu, ada kesadaran bahwa ia tak sempurna seperti yang ia bayangkan. Masalah rahimnya telah menjadi batu sandungan dalam perjalanannya, tapi itu tidak menghentikannya untuk mencurahkan kasih sayangnya pada anak-anak.
Disisi lain, seorang pria berdiri di tengah kerumunan di luar sebuah mal. Pria itu mengenakan kemeja kantor yang terlihat kusut dan berkeringat dingin di dahinya. Wajahnya penuh kepanikan saat menyadari bahwa anak kembarnya telah hilang saat berada di parkiran mal beberapa saat yang lalu.
Dengan nafas terengah-engah, mencoba untuk tetap tenang sambil menghadang orang-orang yang berlalu di depannya. "Permisi, apa Anda melihat anak ini?" tanyanya, sambil menunjukkan foto anak kembarnya yang tercetak di kertas yang ia pegang.
Sebagian orang berhenti sejenak untuk melihat foto tersebut dan menggelengkan kepala dengan simpati, mengatakan bahwa mereka belum melihat anak itu. Namun, beberapa orang lainnya tampak acuh tak acuh atau terburu-buru melanjutkan perjalanan mereka.
"Maaf tidak pak," sahut pria paruh baya setelah melihat foto tersebut selama beberapa detik.
"Coba lihat sekali lagi pak! Siapa tau kau melihatnya tapi kau lupa," bujuk Vivek.
Pria paruh baya itu memperhatikan foto tersebut dengan seksama. Tak lama kemudian dia menggelengkan kepala.
Vivek menatapnya dengan datar. Bola matanya menunjukkan keputusasaan.
Ini sudah ke sekian kalinya Vivek menanyai satu persatu orang-orang yang berlalu di sekitar area mall. "Andai saja tadi aku tidak menerima telfon, mungkin sampai sekarang Ziva Zavi masih bersamaku," keluh Vivek.
Pria yang baru saja memakirkan mobilnya didekat halte bus, tak sengaja melihat foto yang dipegang oleh Vivek dan juga mendengar keluhannya. "Tadi, mobilku hampir menabrak anak-anak, tapi untungnya seorang wanita menyelamatkan nyawa mereka. Aku tidak tau wajah anak itu, tapi aku kemana perginya," ujarnya.
Kedua mata Vivek terbuka lebar. "Dimana mereka sekarang? Dan bagaimana keadaannya," sahut Vivek.
"Wanita itu membawanya ke kliniknya, disebrang jalan raya. Mereka baik---"
Tanpa mendengarkan penjelasan pria itu, Vivek langsung berlari menuju jalan raya hendak menyebrang.
*
"Jadi namamu Zavi?"
"Dan kau Ziva?"
Divia menatap anak kembar itu secara bergantian.
Di kliniknya, ia duduk diantara si kembar. Menenangkan mereka berdua sampai mereka melupakan kejadian tragis tadi. Awalnya mereka tak menjawab saat ditanya Divia. Tapi dengan sentuhan kasih sayang Divia, mereka mulai berani bicara.
"Kalian tidak perlu takut. Kalian akan aman bersamaku. Sampai orang tua kalian kesini, aku tidak akan membiarkan kalian pergi sendirian. Apalagi menyebrang jalan seperti tadi," jelas Divia.
"Tapi sepertinya gigi kami tidak akan aman," sahut Zavi. Anak laki-laki itu rupanya mulai akrab dengan Divia.
"Oh ya, kenapa begitu?" sahut Divia.
Zavi menunjuk ke arah Dental Chair serta meja disampingnya yang terdapat alat-alat untuk mencabut gigi. Hal itu membuat Divia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kau tertawa, kau dokter yang biasa mencabut gigi bukan?"
"Iya benar. Tapi aku tidak sembarangan mencabut gigi. Kita lihat gigi siapa diantara kalian yang bermasalah, pasti akan ku cabut," ujar Divia sambil menggelitik badan mereka secara bergantian.
Mereka bertiga kalut dalam tawa bahagia dalam sesaat. Zavi yang mulai menunjukkan keberaniannya dalam bicara tak hentinya meledek Divia tentang klinik giginya yang seperti taman kanak-kanak. Sementara Ziva yang terkesan dingin dan diam saja, sesekali tertawa lepas. Semua ketegangan sebelumnya berubah menjadi tawa lepas. Mereka saling menggelitik dan menciptakan momen keceriaan di klinik gigi tersebut.
"Ziva, Zavi!!"
Begitu seorang pria memasuki klinik, suasana menjadi hening seketika.
"Ayah," sahut si kembar serentak.
Tak butuh waktu lama, mereka segera turun dari kursi lalu berlari menghampiri Vivek.
Divia ikut berdiri. Ia mengamati bagaimana pria yang mereka panggil "Ayah" itu memeluk kedua anak kembar tersebut. Sorotan cahaya lampu klinik menyoroti momen haru tersebut.
"Kalian darimana saja, kenapa kalian meninggalkan ayah tadi. Sudah berapa kali ayah mengatakan pada kalian, tetap di mobil. Ayah masih bicara dengan klien tadi, tapi kalian pergi begitu saja!!!" Ucap Vivek mengatakan hal itu dengan nada naik turun.
Suasana menjadi tegang usai pria itu melepaskan pelukannya lalu mengatakan hal itu. Divia terkejut melihat hal itu, tak seharusnya pria itu menaikkan nada bicaranya saat bicara dengan anak-anak.
"Maaf ayah, tadi kami mengejar kucing. Kami tidak tahu kalau kucing itu larinya sampai ke jalan raya," sahut Zavi sambil menundukkan kepalanya.
'Jadi kucing itu, milik mereka,' batin Divia mengingat sebelum kejadian tadi ada seekor kucing yang berlalu dihadapannya.
"Lain kali, kalian bisa izin dulu pada ayah," sahut Vivek.
"Baik ayah,"
Mendengar suara klakson dari luar, Vivek menengok ke arah halaman klinik. Dimana sopirnya telah memakirkan mobilnya disana. "Kalian masuk mobil dulu," ucap Vivek sambil berdiri.
"Baik ayah," sahut si kembar serentak berbalik badan. Langkah mereka sudah pasti menuju halaman klinik.
Tatapan sepasang mata pun bertemu antara duda dan dokter gigi itu.
"Apa anda yang telah menyelamatkan anak-anakku tadi?" tanya Vivek.
Divia menganggukkan kepala. "Ya," sahut Divia tanpa basa-basi.
"Aku ucapkan terimakasih atas jasamu. Aku tidak bisa bayangkan apa yang terjadi jika anda tidak ada disana. Sekarang, aku berhutang budi pada anda, Dokter--"
"Divia,"
Vivek pun mengganggukkan kepala. "Dokter Divia, aku berhutang budi padamu. Terimalah ini, anda bisa tulis nominalnya sesuai yang anda inginkan," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah cek kosong dari dalam sakunya. Lalu ia menyodorkan kertas tersebut bersamaan dengan pulpen yang ia ambil dari saku kemejanya.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menerimanya," sahut Divia.
"Tapi aku tidak suka berhutang budi. Ambillah, dan anggap saja ini hadiah atas kebaikanmu," bujuk Vivek.
"Aku tidak butuh hadiah itu. Yang ku butuhkan adalah jaminan bahwa anak-anakmu aman selama bersamamu. Itu saja," sahut Divia.
Vivek tersinggung mendengar ucapan wanita itu. Ia sampai meremas kertas tersebut.
"Apa maksudmu?" tanya Vivek.
"Jangan salah paham dulu. Anak seusia Ziva dan Zavi membutuhkan kasih sayang dan juga pengawasan orang tuanya. Kasih sayang itu tidak dapat dibeli dengan uang. Dan iya, penting sekali bagi orang tua dalam menjaga nada bicaranya ketika berhadapan dengan anak-anak. Karena hal itu dapat---"
"Cukup," bentak Vivek.
Divia diam seketika.
"Jangan melewati batasanmu! Kau hanya penyelamat dalam sesaat saja. Jika kau tidak mau menerima balas budiku, ya sudah! Setelah menyelamatkan anak-anakku, kau pikir kau bisa mengatur hidupku," tegas Vivek.
"Kau salah paham, aku tidak bermaksud--"
"Lebih baik urus dirimu sendiri. Permisi!" pungkas Vivek.
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng