Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.
Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya.
"Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.
Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang tamu.
"Apa kau mau mempermalukan ibu dan ayah lagi? Jawab!!"
"Ibu aku tidak bisa menikah dengan Vivek bu. Aku tidak bisa," sahut Divia dengan amarah.
"Kenapa? Apa yang membuatku tidak suka pada pria itu? Dengar Divia! Baik Vivek maupun keluarganya sudah menerimamu apa adanya. Ibu sendiri mendengar jawaban mereka bahwa mereka tidak butuh kesempurnaanmu. Ibunya Vivek memilihmu secara langsung untuk dijadikan menantunya. Jangan pandang dari kekayaan dan gelar yang akan kau miliki setelah menjadi bagian dari keluarga konglomerat itu. Tapi coba lihatlah ketulusan mereka yang mau menerimamu apa adanya,"
"Ibu tidak akan mengerti. Bagaimana bisa aku menikahi pria yang tidak ku cintai. Bahkan aku tidak tau---"
"Butuh waktu berapa lama untuk memahami dan menumbuhkan cinta pada dirimu nak? Sedangkan masa lalumu sendiri telah menjawab setelah kau tau kepribadian dan mencintai mantan kekasihmu, apa dia tetap menerima kekuranganmu. Tidak kan?"
Untuk pertama kalinya, Devina berada dipihak orang tuanya. Jika biasanya dia selalu mendukung kakaknya kali ini tidak.
"Kakak, dengarkan aku. Apa yang dikatakan ibu benar kak. Satu hal yang harus kakak pertahankan. Jika kakak telah menganggap Ziva dan Zavi sebagai anakmu, maka mengapa kau ragu menikah dengan tuan Vivek? Kak, mungkin kau tidak akan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi Ziva dan Zavi akan bahagia karena mendapat sosok figur ibu yang mereka inginkan. Cobalah untuk melihat sesuatu dari beberapa sisi kak," ucap Devina sambil menggenggam tangan kakaknya.
"Kami semua mendukung hubungan ini Divia. Kami berharap kau menikah dan kami telah menemukan pasangan yang tepat untukmu. Sampai seperti halnya kau menyayangi anak dari suamimu. Maka kami pun akan menyayanginya juga dengan sepenuh hati," tambah Shireen.
"CUKUP ibu cukup. Aku mohon tinggalkan aku sendiri. Aku mohon," Divia menyatukan kedua telapak tangannya. Ia memohon agar semua orang yang ada di kamarnya meninggalkannya.
"Tidak bisa begitu Divia. Kau harus---" Shireen berusaha meyakinkan anaknya tapi sepertinya usahanya kali ini akan gagal.
Hingga akhirnya seorang anak kecil masuk ke kamar Divia. Dialah Zavi, putra Vivek yang dengan polosnya berdiri di tengah pintu. Perdebatan antara Divia dan ibunya berhenti seketika setelah mereka menyadari kehadiran anak itu.
Divia menatapnya dengan berkaca-kaca. Begitu juga dengan Zavi. Mereka berdua tanpa bicara pun seolah sama-sama merasakan perasaan yang sama. Divia mendekati Zavi lalu menyamakan tingginya dengan anak itu.
"Bibi Divia, kenapa bibi menolak menikah dengan ayahku?" tanya anak itu dengan polosnya.
Divia menyeka air matanya yang hendak keluar.
"Apa bibi tidak senang menjadi ibu kami? Kesalahan apa yang telah aku dan Ziva lakukan sehingga bibi menolak menjadi ibu kami?" Sambung Zavi.
"Tahukah, bibi semenjak menyelamatkan kami dari mobil itu kami merasa mendapat pelukan yang hangat dari seorang ibu. Kami rindu pelukan ibu. Kami lelah harus pergi kesana kemari. Kadang ikut ayah kadang ikut ibu. Semua orang bertengkar hanya karena hak asuh kami, yang kami butuhkan bukan pengakuan tapi kasih sayang. Jika bibi tidak mau menikah dengan ayah maka ayah akan mencari wanita lain untuk dijadikan ibu pengganti. Kami tidak mau bi, kami hanya mau bibi yang menjadi ibu kami,"
"Jika bibi tidak jadi menikah dengan ayah siapa yang akan kami ucapkan selamat hari ibu. Kepada siapa kami memberikan hadiah. Lalu siapa yang akan membantuku merawat gigiku. Dan siapa yang akan mengajari Ziva cara menggosok gigi dengan benar. Siapa yang akan kami mintai tolong ketika kami dalam masalah. Ayo bi jawab bi. Jangan diam saja,"
Divia memeluk anak itu disertai tangisan histeris. Semua orang termasuk nyonya Shireen dan Devina ikut menangis. Merasakan duka anak itu yang selama ini merindukan kasih sayang seorang ibu.
Zavi yang selama ini jarang menangis di depan Divia, kini tak dapat menahan air matanya. Dia hanya anak kecil yang masih lugu. Tapi perkataannya tidak pernah bohong, dari hatinya yang paling dalam. "Kenapa aku tidak lahir dari rahimmu bi. Kenapa sulit sekali mendapatkan ibu sepertimu. Andai semua anak bisa memilih ibu, aku pasti akan memilihmu," ujar Zavi.
Nyonya Shireen mendekati mereka. Wanita paruh baya itu mengelus rambut Zavi dengan sepenuh hati.
Perlahan Divia melepaskan tubuh Zavi dari pelukannya. Dia menatap Zavi dengan lekat. Ia juga menghapus air mata Zavi menggunakan telapak tangannya yang halus. "Bibi tau apa yang kau rasakan. Bibi paham, apa yang kau alami ini tidak sepatutnya terjadi pada anak seusiamu," ujar Divia sembari mengelus rambut Zavi dengan penuh kasih sayang.
"Aku janji tidak akan nakal lagi. Aku janji tidak akan menyusahkanmu bi," sahut Zavi sembari memegang kedua telinganya.
Divia menggelengkan kepala.
"Ayo kita ke ruang tamu," ujar Divia sembari menuntun Zavi.
Shireen panik seketika. Ia tidak tau apa yang akan dilakukan putrinya kali ini. "Dia tidak mengatakan sepatah katapun. Dia juga belum memutuskan apa-apa. Devina bagaimana ini," ujar Shireen sembari mengguncang bahu anak bungsunya.
"Ibu, aku mohon tenanglah. Kali ini aku yakin kakak tidak akan melakukan hal nekat lagi. Aku yakin kali ini dia pasti luluh," sahut Devina dengan yakin.
"Tapi bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya. Kau tau kan kakakmu itu bagaimana. Aku tidak ingin dia--"
"Percayalah bu, semua akan baik-baik saja," potong Devina.
Keputusan apa yang akan diambil Divia? Setelah ditolak pria, kini dia justru menolak pria. Apakah setelah mendengarkan anak kecil tadi, ia berubah pikiran? Atau dia justru semakin membenci Vivek karena dianggap sebagai satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan bagi si kembar. Temukan jawabannya setelah ini. Jadilah saksi kebimbangan Divia dalam memutuskan sesuatu dalam hidupnya.
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng