Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi.
Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan.Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya.Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh."Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya.Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan menerima lamaran pria itu.Tirta pun menatap calon besannya. "Ee, sebelumnya maafkan aku tuan. Sepertinya putriku---""Aku menerima lamaran tuan Vivek. Dan aku bersedia menikah dengannya dan menjadi ibu bagi Ziva dan Zavi," ungkap Divia membuat semua orang di ruang tamu mengangkat dagu.Semua orang menunjukkan ekspresi tak terduga. Kedua orang tua Divia sempat tak dengan apa yang mereka dengar barusan. Bahkan keluarga Sanjaya ikut senang sekaligus terkejut. Tak kalah senangnya, si kembar pun tak hentinya menunjukkan senyuman manis mereka.Tak hanya itu, bahkan Vivek pun tak menyangka. Wanita yang sempat menolak lamarannya kini secara langsung mengatakan pada semua orang bahwa dua bersedia menikah dengannya."Divia, ayah tidak salah dengar?" Selidik Tirta memastikan putrinya mengambil keputusan ini tanpa tekanan dari siapapun."Iya ayah, aku sudah yakin dengan keputusanku," sahut Divia dengan yakin."Syukurlah," sahut Tirta sambil mengangkat kepalanya. Ia tak bisa menggambarkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Hal yang sama juga dirasakan istrinya yaitu Shireen. Terharu campur bahagia begitulah yang dirasakan seorang ibu ketika melihat anaknya akan segera menikah. Sebuah penantian yang telah lama ia nantikan. Seakan beban yang mengganjal di hatinya sirna seketika.Anjali Sanjaya yang merupakan ibu kandung Vivek berdiri sambil membawa kotak perhiasan. Anjali kemudian duduk disamping calon menantunya. Begitu kagumnya wanita paruh baya itu sampai akhirnya ia memegang dagu Divia lalu mengangkatnya perlahan. "Aku tidak salah memilih menantu. Kalung berlian ini akan kalah dengan kecantikanmu. Tapi jika kau memakainya, maka berlian ini akan menambah kilau keanggunanmu. Terimalah hadiah dariku, semoga kau menyukainya," ucapnya lalu membuka kotak perhiasan yang ia bawa tadi lalu memberikannya pada Divia.Sebuah kalung liontin berlian yang harganya berkali-kali lipat dari penghasilan Divia selama setahun.Divia enggan sekali menerima hadiah tersebut. Tapi jika ia menolak maka situasinya akan berbeda lagi. Ia akhirnya menerima hadiah dari Anjali. "Terimakasih," sahut Divia lirih.Anjali menganggukkan kepalanya.Acara dilanjutkan dengan penyematan cincin. Bak masih dalam mimpi, Vivek dan Divia tak menyangka mereka akan hidup bersama tanpa cinta. Satu hal yang masih terngiang di kepala mereka. Bagaimana dua manusia keras kepala dan saling menunjukkan egonya, bisa bertahan hidup diatap yang sama?Divia dan Vivek berdiri saling berhadapan satu sama lain. Anjali memberikan kotak cincin pada putranya. Dan memberikan isyarat agar putranya tersenyum. Daritadi ia muak melihat ekspresi putranya yang datar.Vivek pun menunjukkan senyum tipisnya. Setidaknya hal itu dapat mencairkan suasana yang tegang. Duda itu segera membuka kotak kecil berisi cincin. Lalu mengambil salah satu cincin berlian itu yang kemudian disematkan di jari manis Divia.Sampai kemudian, hal yang sama juga dilakukan oleh Divia. Setelah mereka memakai cincin berlian itu, riuh tepuk tangan memecah suasana. Ada kalanya semua orang turut merasakan kebahagiaan. Namun tidak dengan Divia dan Vivek.Tuan Tirta dan Tuan Albert saling merangkul. Senyum mereka berdua menjadi saksi dan dalang perjodohan ini. Dimana sebelumDisisi lain, Divia tersentak begitu merasakan sentuhan ditangannya. Saat ia menengok ke bawah, ia baru sadar kalau Ziva menyentuh telapak tangannya."Ziva, ada apa?" tanya Divia sambil menyamakan tingginya dengan anak itu.Bibir mungil Ziva mulai terbuka. "Ibu Divi," ucapnya dengan sepenuh hati. Sampai kedua matanya berkaca-kaca.Semua orang diam seketika. Menyaksikan Ziva memanggil Divia dengan sebutan 'ibu'."Katakan sekali lagi nak, kau panggil aku tadi?" pinta Divia sambil mengusap air matanya."Ibu Divi,"Divia yang tidak bisa menahan dirinya langsung memeluk anak itu dengan erat. Memberikan dekapan hangat seperti halnya saat ia menyelamatkan Ziva dari kejadian naas itu."Terimakasih Ziva, terimakasih," ucap Divia sambil melepaskan badan anak itu. Berulang kali Divia mencium telapak tangan Ziva.Kedua matanya masih sembab karena terharu campur bahagia. Ia sangat merindukan dan mendambakan seorang anak memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Tuhan pun mengabulkan keinginannya. Begitu dahsyatnya pengaruh vonis itu hingga membuat Divia down dan putus asa. Tapi pada akhirnya rencana Tuhah selalu menciptakan plot twist.Vivek sendiri merasa terharu namun tak begitu menunjukkan reaksinya. Mengingat anak kembarnya tak pernah dekat dengan ibu kandungnya. Namun justru dekat dengan wanita itu. Hati Vivek pun seakan tertampar melihat bagaimana putrinya sangat menyayangi Divia.Zavi memegang tangannya hingga membuat seluruh angan-angannya sirna begitu saja. Vivek pun mendekap putranya menyadari bahwa putranya juga merasakan apa yang dia rasakan.*Setelah acara selesai, keluarga Sanjaya akhirnya pulang ke apartemen.Malam ini Vivek menyempatkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah si kembar. Di kamar anak-anak yang telah didesain sedemikian rupa dan dipenuhi mainan, Vivek membaur bersama kedua anaknya. Tak ada keluhan yang dilontarkan oleh si kembar. Justru sebaliknya mereka tak segan mengungkapkan betapa bahagianya hati mereka. Bukan dari lisan tapi ekspresi mereka sangat meyakinkan. Jauh dari perkiraan Vivek bahwasannya anak-anaknya akan melarangnya menikah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.Usai menidurkan si kembar, Vivek kembali ke kamarnya. Sejak sore ia tak membuka ponselnya karena sibuk mempersiapkan acara lamaran. Kini waktunya duda itu kembali ke dalam gemerlap komunikasi bisnis. Namun bukannya pesta dari kliennya yang menarik simpatinya, melainkan pesan dari nomer yang tidak dikenal. Vivek pun membacanya.[Sidang akan segera dimulai. Aku ingin Ziva dan Zavi tinggal bersamaku. Kalau kau tidak menyerahkan mereka, maka aku sendiri yang akan mengambil mereka]Vivek nyaris membanting ponselnya usai membaca pesan tersebut. Bagaimana tidak tiba-tiba saja istrinya mengirim pesan tersebut."Dia pikir dia siapa bisa seenaknya mengambil Ziva dan Zavi," ucap Vivek sambil melempar ponselnya diatas ranjang.Pria itu murka seketika membaca pesan dari mantan istrinya, Lovlee. Mengingat kenangan pahit yang ia rasakan di masa lalu."Tidak akan ku biarkan kau merebut anak-anakku," ucap Vivek penuh hasrat.19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
Semua perhatian tertuju pada Divia yang kembali ke ruang tamu sambil menggandeng tangan Zavi. Tak peduli bagaimana reaksi semua orang, Divia memantapkan langkahnya sembari menatap genggaman Zavi. Ia merasakan ada harapan yang menggebu-gebu dari sentuhan anak kecil itu. Setiap langkah yang diambil Divia akan mendekatkannya dengan jalan hidupnya yang telah ditetapkan. Sementara Zavi kembali duduk bersama neneknya dan juga saudari kembarnya. Vivek melirik wanita itu dengan sinis. Setelah menolak lamaranya, entah apalagi yang akan dia lakukan. Niat baiknya nyaris dibalas dengan penghinaan. "Masih banyak wanita diluar sana. Aku tidak perlu berharap lebih pada wanita itu, dan aku tidak akan memaksanya menikah denganku. Apalagi menjadi ibu pengganti untuk anak-anakku," ucap Vivek dalam hati mulai acuh. "Divia," ujar sang ayah sambil berdiri menyambut putrinya. Tirta meminta putrinya untuk duduk disampingnya. Begitu memperhatikan ekspresi putrinya Ia sendiri tak yakin, putrinya akan mene
Atas apa yang telah dilakukan Divia, orang tuanya merasa malu seketika. Baik tuan Tirta maupun istrinya mencoba meyakinkan para tamu dan juga keluarga Sanjaya bahwa putrinya masih trauma dengan masa lalunya. Hingga akhirnya mereka minta waktu untuk bicara dan meyakinkan Divia.Vivek tak menyangka ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Bahkan setelah menunjukkan keseriusannya. Yang membuat Vivek menyesal lagi, begitu menatap si kembar. Raut wajah mereka menunjukkan kekecewaan. Gejolak amarah Vivek mulai memuncak, ingin rasanya ia menyeret wanita itu ke KUA sekarang juga untuk menikah. Setelah itu ia ingin balas dendam atas penolakan yang telah ia lakukan. Sama saja wanita itu telah menginjak-injak harga dirinya."Apa yang kau lakukan!!!" Shireen memegang kedua pundak putrinya dengan cengkraman yang luar biasa. Sebagai bentuk perwujudan amarahnya.Di kamar Divia yang awalnya tenang kini berubah menjadi tegang. Namun suara bentakan dan amarah seorang ibu tak sampai terdengar ke ruang
"Vivek,""Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---""Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya."Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"Vivek terdiam beberapa saat."Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga."Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita."Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi menda
Suasana pagi di apartemen Divia begitu tenang dan damai. Cahaya matahari yang lembut menyinari koridor apartemen, membuat udara terasa segar dan harum. Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika Divia keluar dari pintu apartemennya dengan terburu-buru. Ia memegang tas dokter dan kunci mobil di tangan kanannya, serta ponsel di tangan kirinya.Namun, ketika Divia melangkah menuju parkiran, ia mendengar suara gaduh dari tetangga-tetangganya yang sedang berbicara. Divia mencoba untuk mengabaikan suara itu dan terus berjalan, namun suara itu semakin keras dan nyaring."Heh kalian tahu tidak, Dokter gigi Divia sudah berusia 30 tahun tapi masih belum menikah!" ucap salah satu tetangga dengan nada nyaring."Iya, aku juga dengar kabarnya dia masih single karena terlalu sibuk dengan karirnya," sahut tetangga lainnya dengan nada sinis.Divia merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Memang, sudah tidak asing lagi baginya mendengar gosip tentang status lajangnya. Namun, kali ini rasanya le
19.00 WIB~Ruang tunggu yang biasanya riuh dengan suara pasien dan keluarganya kini hening. Divia merasa lelah setelah seharian melayani pasien, hingga membuatnya menutup klinik lebih awal dari biasanya.Setelah mengunci kliniknya, Divia berjalan menuju pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan. Cahaya lampu kendaraan menyinari jalanan, dan suara klakson berdengung di telinganya. Meskipun malam masih ramai, suasana hati Divia tetap berada dalam keheningan yang mendalam.Seekor kucing berlalu di dekatnya, usai melintas di tengah keramaian jalanan yang mulai sepi. Kucing itu seolah menjadi pengingat akan ketenangan dalam hiruk-pikuk kehidupan malam ini. Divia memutuskan untuk berpindah tempat menunggu di halte. Namun belum sempat melangkah, kedua matanya terbuka lebar begitu melihat dua anak kecil sedang menyebrang jalan yang mulai ramai. Wajah mereka mencerminkan ketakutan, tapi mereka tetap berdiri di tengah jalan, seperti tak menyadari bahaya yang mengintai. Alih-alih meng