Raka memasuki rumah dengan langkah hati-hati, mencium aroma masakan yang menggugah selera dari dapur. Tetapi atmosfer yang terasa dingin segera membuatnya gelisah. Ketika mereka duduk untuk makan malam, Lana hanya sibuk dengan makanannya tanpa sepatah kata pun.Raka mencoba untuk tidak memperhatikan ketegangan yang terasa semakin nyata di ruangan itu, tetapi akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi. "Ada apa, Lana?" tanyanya dengan suara lembut.Lana mengangkat kepalanya, matanya terlihat gelisah. "Apa yang membuatku kesal? Oh, mungkin kau tahu," jawabnya dengan nada sinis.Raka memandang Lana dengan bingung. "Aku tidak mengerti, apa yang telah aku lakukan?"Lana menatap Raka tanpa sepatah kata pun, bibirnya terkatup rapat dengan ekspresi wajah yang kesal. Hatinya masih panas saat dia memikirkan percakapannya dengan Gabriella di rumah mereka, tetapi dia masih memilih untuk diam.Lana menoleh ke arah Raka, matanya terlihat penuh dengan ketegangan. "Kamu tahu persis apa yang membuat a
Lana masih merasakan kekesalan yang mendalam dalam hatinya selama beberapa hari setelah pertengkaran itu. Di tengah kekacauan perasaannya, kebetulan dia bertemu dengan Rudi setelah meninjau proyek bersama mitra bisnisnya.Bertemu dengan Rudi secara tak terduga memberinya kesempatan untuk mengalihkan fokusnya.Rudi memberinya es krim dengan senyum ramah. "Ini untukmu, Lana. Semoga bisa sedikit mendinginkan hari yang panas ini," ujarnya dengan nada lembut.Lana ragu sejenak, tetapi akhirnya menerimanya dengan senyum kecil. “Terima kasih, Rud.” Mereka duduk di bangku taman yang teduh, sementara aroma bunga-bunga di sekitar menemani percakapan ringan mereka.Setelah beberapa saat menikmati es krim mereka, Lana menoleh ke arah Rudi dengan rasa ingin tahu. "Jadi, apa yang kamu lakukan di sekitar sini?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.Rudi menoleh ke arah taman dengan senyum simpul di wajahnya. "Ah, aku baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu klienkku di kafe dekat sini. T
Lana duduk di tepi tempat tidurnya dengan ponsel di tangan, menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi Raka atau tidak. Namun, sebelum dia bisa menekan nomor panggilan, ponselnya berdering, menandakan panggilan masuk dari Raka."Hey, sayang. Maaf, tadi aku nggak jawab telepon kamu karena lagi rapat.” “Iya, Raka. Kamu pulang jam berapa nanti?” tanya Lana dengan sedikit kesal karena kembali mengingat pembicaraannya dengan Gabriella tadi. “Aku akan pulang agak terlambat malam ini. Ada proyek baru yang harus dibahas sama Max," ujar Raka dengan nada yang ceria, tidak menyadari kekesalan yang sudah ada di hati Lana.Sebelum Lana bisa melanjutkan pembicaraan, suara dari ujung telepon terdengar lagi. "Pak, sudah saatnya kita berangkat. Semuanya sudah menunggu," kata suara yang sudah begitu familiar baginya: Gabriella.“Aku pergi dulu ya, Sayang. Sampai ketemu nanti. Love you,” kata Raka dengan lembut. “Maaf, Pak. Ada panggilan dari Pak Arya.” Suara Gabriella kembali terdengar. Wanita i
“Kenapa harus seperti ini?” gumam Lana pada dirinya sendiri.Dia kembali ke rumah dalam keadaan yang terguncang dan penuh penyesalan. Langkahnya terasa berat saat dia menapaki setiap ruangan, seperti beban besar melayang di atas pundaknya. Begitu masuk ke kamar mandi, dia langsung menuju wastafel dan menyalakan keran air.Dengan gemetar, Lana membasuh wajahnya berulang kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Air dingin menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan dari kepanikan yang melanda. Namun, dalam kegelapan pikirannya, bayangan ciuman dengan Rudi masih menghantuinya, memenuhi dirinya dengan rasa bersalah yang tak terbendung.Dengan gemetar, dia mengambil handuk dan membasuh wajahnya berkali-kali, mencoba menghilangkan ingatan akan ciuman yang mengganggunya. Dia menggosok bibirnya dengan keras, seolah berharap dengan begitu dia bisa menghapus semua kenangan itu dari pikirannya.Namun, semakin dia mencoba menghilangkan ingatan tersebut, semakin kuat kenangan itu menyeruak k
Keesokan harinya, Lana terbangun di sofa ruang tamu dengan perasaan penuh kebingungan. Saat matanya terbuka, dia merasakan kepalanya pening dan matanya terasa lelah karena menangis semalaman.Segera setelah itu, kesadaran penuh kembali padanya. Dia teringat bahwa dia telah tertidur di sofa setelah Raka mengunci pintu kamar mereka semalam. Dengan gerakan cepat, Lana bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar dengan langkah terburu-buru.Namun, ketika dia sampai di kamar, ruangan itu terasa sunyi dan kosong. Tempat tidur mereka sudah rapi, tanpa tanda-tanda keberadaan suaminya. Sebuah kekosongan mendalam menyergap hati Lana, dan tubuhnya terasa lemas seketika.“Raka…!” teriak Lana berkali-kali. Dia menatap sekeliling kamar dengan perasaan campur aduk di dadanya. Kegelisahan dan kekhawatiran mulai menyusup ke dalam pikirannya.Dengan langkah gemetar, Lana membiarkan dirinya jatuh di atas tempat tidur yang kosong, membiarkan rasa sedih dan penyesalan memenuhi hatinya. Setelah beberapa
“Semua hanya salah paham, Raka,” gumam Lana sambil menatap mata Raka sebelum pria itu mengalihkan pandangannya dan tidak pernah menoleh lagi.Lana merasa pukulan emosional yang begitu dalam, seperti ditelan oleh jurang kesedihan yang tak berujung. Matanya terasa pedih, hatinya remuk oleh kekecewaan dan ketidakpercayaan. Dia berdiri di tempat, terdiam, merasa kehilangan dan terluka.Tatapan dingin Raka dan senyuman puas Gabriella masih menghantuinya. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang emosi yang begitu kuat sehingga hampir tak bisa bernafas. Perasaannya bercampur-baur, dari kebingungan hingga kemarahan, dari kesedihan hingga keputusasaan.Dalam keheningan yang menyakitkan, Lana merasa sendirian. Dia berdiri di depan pintu kantor Raka, tetapi tidak ada tempat bagi dirinya di dalamnya. Hati dan pikirannya berantakan, mencari pemahaman atas apa yang baru saja terjadi.Dalam kebingungannya, dia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan dirinya sendiri dalam pusaran emosi yang me
Ketika mobilnya memasuki halaman rumah, Lana merasakan hembusan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Dia menatap ke depan, mencari kehadiran mobil Raka di garasi. Namun, dia hanya menemukan kekosongan yang menyedihkan.Dengan hati yang berat, Lana menghela nafas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya untuk kesendirian yang menanti di dalam rumah yang sunyi. Langkahnya berat saat dia memasuki pintu depan, membiarkan gelapnya ruangan menyerap kekosongan yang terasa di hatinya.Tanpa menyalakan lampu, Lana berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. Ruangan itu terasa sepi dan dingin. Dalam kegelapan, dia melemparkan dirinya ke ranjang dengan perasaan lelah yang menyelimuti setiap serat tubuhnya.Dalam kegelapan, Lana merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, membuat hati Lana berdegup lebih cepat. Ketika dia merasakan aroma tubuh yang dikenalinya begitu baik, rasa kebingungannya semakin meningkat.Dengan ragu, Lana memaling
Lana merasa getaran kecemasan merayap di dalam dirinya saat melihat sorot kesedihan dan kepahitan dalam tatapan mata Raka. Perasaan itu membuatnya merasa tegang dan gelisah. “Terima kasih untuk semuanya, Lana,”Kata-kata itu terdengar begitu berat, penuh dengan makna yang lebih dalam dari yang bisa dia pahami. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang tegang, di mana rasa takut dan kebingungan saling berbenturan. Lana, dengan hati yang berdebar kencang, merasa seperti dia harus mengucapkan sesuatu, harus mengekspresikan semua yang dia rasakan, tetapi sebelum dia bisa membuka mulutnya, Raka sudah lebih dulu mengungkapkan keinginannya."Kita harus mengakhiri ini, Lana," kata Raka, suaranya rendah dan penuh dengan kepahitan.Kata-kata itu seperti sebuah pukulan langsung ke dalam hati Lana. Dia merasa dunianya runtuh di hadapannya. Tidak peduli seberapa banyak pertengkaran yang mereka alami, tidak pernah terbersit di benaknya bahwa Raka akan sampai pada titik ini. Hati Lana berdebar
Saat salah satu perawat membuka bagian depan pakaian rumah sakit Lana, Lana merasakan udara ruangan menyapu lembut di sekeliling tubuhnya. Dia menatap Sera, bayi mungilnya, yang sekarang berada di dadanya. Detik itu, dunia di sekitarnya seakan melambat. Kulit Sera yang halus menyentuh kulitnya, menghadirkan kehangatan yang begitu mengalirkan kebahagiaan ke dalam hati Lana.Raka, yang sejak awal berdiri di sampingnya, menyaksikan momen ini dengan mata yang dipenuhi dengan kekaguman. Dia bisa melihat pancaran kebahagiaan dan cinta yang begitu kuat dari istrinya ketika Lana memeluk Sera dengan lembut. Napas lega keluar dari dadanya, seolah melepaskan semua kekhawatiran dan kecemasan yang telah membebani bahunya selama proses persalinan.Dengan perlahan, Raka meraih tangan Lana yang bebas dan menggenggamnya erat. Dia bisa merasakan getaran kebahagiaan dan kelegaan dari tubuh istrinya."Dia cantik, ya?" tanya Lana dengan suara yang penuh kebanggaan.Raka tersenyum, matanya masih tertuju pa
Raka merasakan tekanan yang begitu besar menindih dadanya saat dia melihat Lana sedang berjuang dengan rasa sakit yang begitu hebat. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkram tangannya erat-erat ketika melihat keringat membasahi wajah cantik istrinya. Setiap desahan dan setiap rintihan dari Lana menusuk hatinya dengan tajam, membuatnya merasa tak berdaya.Proses persalinan telah berlangsung hampir dua puluh empat jam, dan rasa sakit yang Lana rasakan semakin terasa intens. Raka merasa hampir tidak tahan melihat istrinya dalam keadaan seperti itu. Rasa khawatir Raka semakin bertambah karena usia Lana yang sudah mencapai lebih dari empat puluh tahun. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan itu membuat Raka merasa takut kehilangan Lana. Namun, dia mencoba menepis semua pikiran negatif itu, berusaha untuk tetap kuat demi Lana dan bayi mereka.Ketika dokter kandungan, Dr. Hernandez, yang menangani Lana kembali memeriksa kondisi istrinya, Raka menghampiri dengan langkah
Malam itu, suasana Miami begitu hangat dengan angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut. Raka memutuskan untuk mengajak Lana makan malam romantis di sebuah restoran yang menyajikan pemandangan pantai yang menakjubkan. Saat mereka tiba di restoran, cahaya lampu gemerlap yang memantul di atas ombak memberikan nuansa yang begitu magis.Raka menggandeng tangan Lana sambil tersenyum lebar, matanya penuh dengan kelembutan saat menatap istrinya. "Ini malam yang sempurna, Sayang," ucapnya dengan suara lembut.Lana tersenyum sambil mengangguk setuju, matanya bersinar cerah. "Iya, ini begitu indah," sahutnya, memandang sekeliling dengan penuh kekaguman.Selama makan malam, Raka dan Lana terlihat begitu mesra. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bercanda seperti dulu kala. Sudah lama mereka tidak menikmati momen seperti ini bersama-sama.Tiba-tiba, Raka menyelinapkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru terpampang di hadapan Lana. Mata Lana membulat kaget saat meliha
Raka merasa sangat menyukai perut Lana yang semakin membesar, karena menandakan bahwa sebentar lagi wanita itu akan melahirkan putri mereka. Terlepas dari semua masalah yang terjadi, Raka berjanji pada dirinya sendiri bahwa Lana akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya dan ibu dari anak-anaknya."Merasakan tubuhmu adalah pengingat sempurna bagiku, Lana," ucap Raka dengan suara penuh kehangatan. "Kamu begitu luar biasa, dan aku sangat beruntung memilikimu sebagai istriku."Sambil berhati-hati supaya tidak menekan perut Lana, Raka menumpukan berat tubuhnya ke siku dan lutut, kemudian memosisikan Lana dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan penuh perhatian.Lana tersenyum lembut, merasakan kehangatan dari dekapan Raka. "Aku baik-baik saja, Raka," jawabnya sambil mengangguk. "Aku bahagia bisa bersamamu."Raka tersenyum puas mendengarnya, lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dalam pikirannya. "Nama apa yang akan kita berikan untuk putri kita, Lana?" tanyanya
Setelah bermain dan menemani Aiden tidur, Raka melangkah dengan langkah-hati menemui Lana di kamarnya. Saat itu Lana sedang duduk di ranjang, membaca bukunya dengan ekspresi campuran antara konsentrasi dan kekosongan. Jejak-jejak air mata di sudut matanya masih terlihat meskipun dia berusaha menyembunyikannya.Saat Raka masuk, Lana meletakkan bukunya dengan lembut dan memandang ke arah Raka. Untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Sorot mata mereka menampilkan rasa penyesalan dan kerinduan yang tak terucapkan.Raka mendekati Lana dengan langkah perlahan, lalu memeluknya dengan penuh kerinduan. Lana membalas pelukan itu dengan erat, membenamkan wajahnya di dada Raka sambil menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Raka... aku begitu bodoh dan egois," bisiknya dengan suara tercekat oleh tangis.Raka melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mata Lana dengan lembut menggunakan jemarinya yang hangat. "Tidak, Lana... aku yang seharusnya minta maaf. Aku harusnya lebih sabar dan lebih memahami,"
Sudah hampir enam bulan sejak Lana dan Aiden pergi meninggalkannya. Setiap hari, Raka merasa kehidupannya terasa hampa dan menyakitkan. Awalnya, dia merasa marah atas kepergian mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan itu berubah menjadi rindu yang mendalam. Raka menyadari bahwa dia sangat merindukan kehadiran Lana dan Aiden di dalam hidupnya.Mencari cara untuk menemukan mereka, Raka akhirnya memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Setiap hari, dia menantikan kabar dari detektifnya, berharap bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Lana dan Aiden.Setelah berbulan-bulan menunggu dengan sabar, akhirnya detektif memberikan kabar bahwa mereka telah menemukan keberadaan Lana dan Aiden."Apakah kamu sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan?" tanya Raka tanpa bisa menyembunyikan kegelisahannya.Detektif itu mengangguk. "Ya, Pak. Saya telah berhasil menemukan alamat anak dan istri Anda."Raka merasakan lega yang begitu besar. "Bagus. Di mana mereka berada?"Detektif itu memberika
Setelah percakapan yang menyakitkan di dalam mobil, Lana merasa semakin yakin bahwa keputusannya untuk meninggalkan Raka adalah yang terbaik bagi dirinya dan Aiden. Meskipun hatinya hancur, dia merasa bahwa dia harus melindungi dirinya sendiri dan anaknya.Ketika mereka tiba di kantor Raka, Lana berusaha menahan tangisnya saat berpisah dengan pria yang pernah dia cintai. Dia memberikan senyuman tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketegasan.Setelah berpisah dengan Raka, Lana segera kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan semuanya untuk pergi. Dia mengemasi beberapa barangnya dan Aiden, bersiap-siap untuk meninggalkan semua kenangan yang ada di rumah itu.Saat siang menjelang, Lana menjemput Aiden dari sekolah. Anak itu senang melihat ibunya datang menjemputnya. Namun, kegembiraannya segera reda saat Aiden menyadari bahwa papanya tidak ikut."Mama!" serunya gembira sambil berlari mendekati Lana.“Hai, Sayang,” sapa Lana sambil menggendong Aiden dan membawanya m
Lana merasakan beban yang tak terlukiskan di dadanya semakin berat ketika melihat Raka dan Aiden berdua. Meskipun berusaha menunjukkan wajah tenang, dalam hati, dia merasa hancur. Momen-momen seperti ini membuatnya semakin yakin bahwa keputusan yang akan dia ambil tidak akan mudah.Saat Raka mencium Aiden sebelum berangkat, Lana merasa seperti hatinya hancur berkeping-keping. Dia ingin menangis, ingin berteriak, tapi dia harus bertahan. Dia tidak bisa menunjukkan kerapuhannya di depan Raka, terutama di depan Aiden.Ketika Raka mendekatinya dan mencium pipinya, Lana hampir tak kuasa menahan air matanya yang ingin tumpah. Dia merasakan getaran perasaan campur aduk di dalam dirinya. Cinta, penyesalan, ketakutan, dan keputusasaan bersatu dalam satu rasa."Selamat pagi," kata Raka dengan senyum tipis yang mencoba menutupi ketegangan di antara mereka."Selamat pagi," jawab Lana dengan suara yang hampir bergetar.Aiden, yang tak menyadari keadaan tegang di antara kedua orang tuanya, tersenyu
Raka menatap tajam Lana, tatapannya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang sulit disembunyikan. "Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku dan Aiden, Lana?" desisnya dengan suara penuh amarah, matanya menyala dengan api kemarahan. "Apakah belum cukup bagimu untuk mengkhianatiku dan pernikahan kita dengan menjalin hubungan kembali bersamanya?"Lana merasa dadanya terasa sesak mendengar kata-kata suaminya itu. Dia menatap Raka dengan tatapan penuh penyesalan. "Raka, aku tidak pernah bermaksud menyakitimu atau Aiden," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kehancuran.Raka menatap Lana dengan penuh kekecewaan. "Kamu pikir aku bodoh, Lana?" bentaknya dengan suara gemetar. "Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Jangan mencoba membodohiku dengan alasan-alasan yang malah membuatku semakin...."Lana menyela, "Aku tidak berbohong, Raka," ujarnya dengan suara yang rapuh. "Apa yang kamu lihat di restoran itu, itu tidak seperti yang kamu kira. Semuanya hanya kesalahpahaman."Raka