Bab 89Penyelidikan yang GagalBrian berdiri di ruang tamu yang terasa dingin, meskipun suhu sebenarnya tidak terlalu rendah. Amarah dan rasa kecewa yang mendidih di dalam dirinya jauh lebih dingin daripada suhu ruangan. Di depannya, para pria yang ditugaskan untuk menjaga rumahnya penjaga-penjaga yang ia percayai sepenuhnya, berdiri dengan kepala tertunduk, takut menatap matanya. Marco, tangan kanannya yang setia, berdiri di sampingnya, memandang mereka semua dengan sorot mata tajam."Ini mereka semua, Brian," ucap Marco dengan nada serius. "Ketika aku tanyakan soal kejadian tadi malam, katanya ada seorang pria bertopeng yang mematikan kontak listrik. Setelah itu, beberapa dari mereka langsung menghidupkan kembali kontaknya, tapi mereka tidak mendengar suara teriakan Bu Kinanti karena semuanya terjadi begitu cepat."Brian mengatupkan rahangnya, matanya tajam menatap para penjaga yang berdiri di hadapannya. Salah satu penjaga, yang tampaknya memiliki keberanian lebih daripada yang lai
Bab 90Ancaman dan KeberanianBrian duduk di meja kerjanya dengan wajah tegang, pikirannya berputar-putar memikirkan kejadian malam sebelumnya. Di dalam ruangannya yang megah, hanya ada Brian dan Marco, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Suasana terasa sangat tegang, dengan Brian yang tampak benar-benar marah. Ia meremas-remas kertas di tangannya, sementara Marco berdiri di sudut ruangan, memantau situasi dengan cermat.“Marco, aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” kata Brian, suaranya menegang. “Aku harus menemukan pelaku. Siapa pun yang melakukan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada mereka, penjaga, pelayan. Tapi lihat apa yang terjadi! Istriku hampir mati!”Marco mengangguk dengan serius. “Aku mengerti, Brian. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kita salah menuduh seseorang. Itu bisa berdampak buruk. Dan bagaimana kalau dia justru jadi kabur diam-diam, Brian."Brian berdiri dan berjalan ke arah Marco, ekspresinya semakin marah. “Hat
Bab 91Penyamaran TerbongkarPagi itu, suasana di rumah Brian masih terasa tegang. Semua orang masih terjaga dari rasa was-was pasca kejadian ancaman terhadap Kinanti. Namun, ada satu orang yang merasa lebih gelisah daripada yang lain, yaitu Bu Yanti, kepala pelayan wanita. Dia tak bisa menghilangkan rasa curiganya terhadap Clara. Sejak Clara diterima bekerja di rumah ini, banyak keanehan mulai terjadi. Kecurigaan itu semakin kuat setelah kejadian semalam, di mana Clara menolak kamarannya diperiksa.Bu Yanti berjalan mondar-mandir di dapur, berpikir keras. Di luar dapur, Clara sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga Brian. Sesekali, Bu Yanti mengintip, memperhatikan Clara dengan seksama. Clara tampak biasa-biasa saja, tapi ada sesuatu yang tidak beres."Kamu kenapa dari tadi mondar-mandir saja, Bu Yanti?" tanya kepala keamanan pria, Pak Joko, yang berdiri di dekat pintu dapur."Saya merasa ada yang aneh dengan Clara. Sejak dia bekerja di sini, banyak hal-hal janggal yang terjad
Bab 92Bab 92Konfrontasi dengan SepupuBrian menatap Clara dengan sorot mata dingin, emosi tak terkontrol tampak di wajahnya. Sementara itu, Clara, yang kini terungkap sebagai sepupu Kinanti, tampak gemetar. Marco berdiri di sampingnya, tidak sabar menunggu jawaban dari Clara.Marco memecah keheningan, menatap Brian. "Ini Clara, Brian. Sepupunya Kinanti. Aku mengenalnya karena pernah melihatnya beberapa kali."Brian menoleh ke arah Marco dengan ekspresi kaget. "Sepupu Kinanti? Kamu serius?"Marco mengangguk tegas. "Ya, aku pernah melihatnya di beberapa acara keluarga besar. Tapi kupikir dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Ternyata dia menyusup ke sini, mungkin dengan niat yang tidak baik."Brian mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Bagaimana bisa dia masuk ke rumahku tanpa ada yang tahu?"Merasa situasi semakin memanas, Brian memerintahkan anak buahnya. "Bawa Kinanti ke sini, sekarang. Aku ingin tahu apakah dia mengenali Clara."Tak butuh waktu lama, seorang pelayan meng
Bab 93Kebenaran yang TerungkapSetelah Kinanti pergi dari ruang kerja Brian, suasana di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Lima bodyguard tetap berjaga di sana, mengamati Clara yang duduk dengan wajah penuh ketakutan. Marco melirik Brian yang masih berdiri tegap, wajahnya penuh ketegangan. "Brian, kita harus segera menyelesaikan ini. Tidak ada waktu lagi untuk bermain-main," kata Marco sambil mendekat. "Clara tidak akan mengaku kecuali kita menekannya lebih keras."Brian mengangguk pelan, lalu menatap Clara dengan mata tajam. "Kau dengar itu, Clara? Aku sudah sangat bersabar. Jangan pikir karena Kinanti membelamu, kau bisa lolos. Ini kesempatan terakhirmu untuk jujur."Clara menggeleng, air matanya masih mengalir. "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan! Aku tidak melakukan apa-apa. Kinanti adalah sepupuku, aku tidak akan pernah melukainya."Brian menyipitkan matanya, jelas tidak mempercayai kata-kata Clara. Dia memberi isyarat kepada Marco. "Marco, buat dia bicara."Marco maj
Bab 94Tawaran yang MengejutkanBrian mendekatkan diri pada Kinanti, menariknya ke dalam pelukan hangat yang selalu berhasil menenangkan wanita itu. Dia mengecup lembut keningnya, dan suaranya penuh ketulusan saat berkata, “Sudahlah, sayang. Orang seperti Clara tidak perlu kamu pikirkan lagi. Aku akan selalu melindungimu dari orang-orang seperti dia. Kamu dan bayi kita adalah hal yang terpenting bagiku sekarang.”Kinanti tersenyum kecil, meski masih ada bekas air mata di pipinya. "Terima kasih, Brian. Aku bersyukur sekali punya suami seperti kamu. Kamu selalu ada untukku, melindungiku, bahkan dari keluargaku sendiri."Brian membelai pipi Kinanti lembut, matanya menatap penuh kasih. "Itu tugasku, sayang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Sekarang kita harus fokus pada masa depan kita dan anak kita yang akan lahir."Kinanti mengangguk, lalu menoleh ke arah Sarah yang berdiri di dekat pintu. "Sarah, terima kasih banyak untuk segalanya. Aku tahu ini pasti sulit bagimu, apal
Bab 98Malam itu, suasana di rumah Brian terasa hangat, meski beberapa kejutan besar baru saja diungkapkan. Setelah perbincangan singkat tentang pernikahan antara Marco dan Sarah, Marco menawarkan diri untuk mengantar Sarah pulang. Ia merasa itu kesempatan yang tepat untuk memulai langkah baru dalam hidupnya, meskipun terasa begitu tiba-tiba.Marco menoleh ke arah Brian sebelum mereka bersiap pergi. "Brian, kita belum mau berangkat kerja, kan?"Brian tersenyum tipis, dengan nada yang lebih santai daripada biasanya. "Pergi saja, Marco. Kejar cintamu. Kau pantas mendapatkannya."Kinanti, yang sedari tadi diam memperhatikan, tersenyum kecil. Ini mungkin kali pertama Brian dan Marco berbicara soal cinta dengan cara yang begitu ringan, dan entah bagaimana, senyum itu tumbuh tanpa ia sadari. Brian, yang biasa keras kepala dan penuh strategi, menunjukkan sisi lembutnya, sisi yang Kinanti mulai kenali sebagai alasan ia perlahan membuka hatinya."Kenapa tersenyum begitu, sayang?" Brian bertan
Bab 96Malam itu, Marco dan Sarah tiba di sebuah hotel kecil di pinggir kota. Langit semakin gelap, dan keraguan yang sebelumnya meliputi mereka kini mulai memudar, tergantikan oleh perasaan yang tak terduga. Saat Marco memarkir mobil di depan hotel, ia menoleh ke arah Sarah yang tampak gelisah."Kau ingin kita berhenti di sini dulu? Atau kita lanjut ke rumahmu?" tanya Marco, meski dalam hatinya ada hasrat yang tak bisa dia tahan lagi.Sarah mengangguk pelan. "Mungkin... kita bisa istirahat sebentar di sini. Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya."Marco tersenyum lembut, mencoba menenangkan Sarah. "Tentu, kita tidak perlu terburu-buru."Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam hotel, suasana sunyi dan dingin menyelimuti sekeliling. Saat tiba di kamar, Marco membuka pintu dan membiarkan Sarah masuk lebih dulu. Kamar hotel itu sederhana, tapi hangat. Cahaya lampu yang redup memberikan kesan nyaman, sementara tirai-tirai yang tertutup rapat menambah privasi yang mereka butuhkan.Set