Bab 94Tawaran yang MengejutkanBrian mendekatkan diri pada Kinanti, menariknya ke dalam pelukan hangat yang selalu berhasil menenangkan wanita itu. Dia mengecup lembut keningnya, dan suaranya penuh ketulusan saat berkata, “Sudahlah, sayang. Orang seperti Clara tidak perlu kamu pikirkan lagi. Aku akan selalu melindungimu dari orang-orang seperti dia. Kamu dan bayi kita adalah hal yang terpenting bagiku sekarang.”Kinanti tersenyum kecil, meski masih ada bekas air mata di pipinya. "Terima kasih, Brian. Aku bersyukur sekali punya suami seperti kamu. Kamu selalu ada untukku, melindungiku, bahkan dari keluargaku sendiri."Brian membelai pipi Kinanti lembut, matanya menatap penuh kasih. "Itu tugasku, sayang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Sekarang kita harus fokus pada masa depan kita dan anak kita yang akan lahir."Kinanti mengangguk, lalu menoleh ke arah Sarah yang berdiri di dekat pintu. "Sarah, terima kasih banyak untuk segalanya. Aku tahu ini pasti sulit bagimu, apal
Bab 98Malam itu, suasana di rumah Brian terasa hangat, meski beberapa kejutan besar baru saja diungkapkan. Setelah perbincangan singkat tentang pernikahan antara Marco dan Sarah, Marco menawarkan diri untuk mengantar Sarah pulang. Ia merasa itu kesempatan yang tepat untuk memulai langkah baru dalam hidupnya, meskipun terasa begitu tiba-tiba.Marco menoleh ke arah Brian sebelum mereka bersiap pergi. "Brian, kita belum mau berangkat kerja, kan?"Brian tersenyum tipis, dengan nada yang lebih santai daripada biasanya. "Pergi saja, Marco. Kejar cintamu. Kau pantas mendapatkannya."Kinanti, yang sedari tadi diam memperhatikan, tersenyum kecil. Ini mungkin kali pertama Brian dan Marco berbicara soal cinta dengan cara yang begitu ringan, dan entah bagaimana, senyum itu tumbuh tanpa ia sadari. Brian, yang biasa keras kepala dan penuh strategi, menunjukkan sisi lembutnya, sisi yang Kinanti mulai kenali sebagai alasan ia perlahan membuka hatinya."Kenapa tersenyum begitu, sayang?" Brian bertan
Bab 96Malam itu, Marco dan Sarah tiba di sebuah hotel kecil di pinggir kota. Langit semakin gelap, dan keraguan yang sebelumnya meliputi mereka kini mulai memudar, tergantikan oleh perasaan yang tak terduga. Saat Marco memarkir mobil di depan hotel, ia menoleh ke arah Sarah yang tampak gelisah."Kau ingin kita berhenti di sini dulu? Atau kita lanjut ke rumahmu?" tanya Marco, meski dalam hatinya ada hasrat yang tak bisa dia tahan lagi.Sarah mengangguk pelan. "Mungkin... kita bisa istirahat sebentar di sini. Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya."Marco tersenyum lembut, mencoba menenangkan Sarah. "Tentu, kita tidak perlu terburu-buru."Mereka keluar dari mobil dan masuk ke dalam hotel, suasana sunyi dan dingin menyelimuti sekeliling. Saat tiba di kamar, Marco membuka pintu dan membiarkan Sarah masuk lebih dulu. Kamar hotel itu sederhana, tapi hangat. Cahaya lampu yang redup memberikan kesan nyaman, sementara tirai-tirai yang tertutup rapat menambah privasi yang mereka butuhkan.Set
**Bab 97**Malam telah menyelimuti kota ketika Marco mengantar Sarah ke hotel kecil yang aman. Setelah BabSetelah memastikan Sarah baik-baik saja dan sudah masuk ke dalam kamarnya, Marco merasa lega. Namun, rasa tanggung jawabnya memanggilnya kembali ke rumah Brian. Dia tahu ada hal yang lebih penting yang harus dihadapi—pabrik Brian yang terbakar. Dengan hati yang masih resah, Marco memacu mobilnya menuju rumah besar keluarga Brian.Sesampainya di sana, suasana terlihat tenang, jauh dari apa yang Marco bayangkan setelah mendengar kabar kebakaran pabrik. Biasanya, Brian akan sangat murka jika bisnisnya terganggu. Tapi malam ini, rumah itu dipenuhi kehangatan. Marco segera menuju ruang kerja Brian, merasa tak nyaman dengan situasi yang terkesan aneh.Ketika dia membuka pintu, Brian duduk di kursi besar di belakang meja, tampak tenang dan bahkan tersenyum sedikit. "Brian..." Marco memulai dengan nada hati-hati, "Aku baru dengar soal pabrik... Aku minta maaf, aku baru kembali dan terla
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 101TamatBrian mengemas barang-barang dengan cepat, bersama Kinanti dan Frans yang terus mendesaknya agar segera pergi. Rumah mereka telah berubah dari tempat yang aman menjadi sarang kecemasan, terutama setelah berita tentang Marco dan anak buahnya. Ketenangan hanya tinggal kenangan."Brian, ayo cepat," desak Frans, wajahnya tegang. "Mobil sudah siap di luar. Kita harus pergi sebelum mereka datang."Kinanti menggenggam tangan Brian erat-erat. Ia tahu betapa sulitnya bagi suaminya untuk pergi dalam keadaan seperti ini, tapi keselamatan mereka adalah prioritas. "Brian, tolong dengar Papa. Kita harus pergi sekarang."Brian menoleh pada Frans. “Bagaimana jika mereka sudah mengetahui tempat ini? Bagaimana jika kita tidak sempat keluar?” gumamnya penuh kekhawatiran.Frans mengangguk dengan tegas. “Itu yang kita takuti. Tapi, jangan khawatir. Aku sudah memastikan jalur pelarian ini aman.”Mereka berjalan cepat menuju mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Namun tiba-tiba, suara mes