**Bab 97**Malam telah menyelimuti kota ketika Marco mengantar Sarah ke hotel kecil yang aman. Setelah BabSetelah memastikan Sarah baik-baik saja dan sudah masuk ke dalam kamarnya, Marco merasa lega. Namun, rasa tanggung jawabnya memanggilnya kembali ke rumah Brian. Dia tahu ada hal yang lebih penting yang harus dihadapi—pabrik Brian yang terbakar. Dengan hati yang masih resah, Marco memacu mobilnya menuju rumah besar keluarga Brian.Sesampainya di sana, suasana terlihat tenang, jauh dari apa yang Marco bayangkan setelah mendengar kabar kebakaran pabrik. Biasanya, Brian akan sangat murka jika bisnisnya terganggu. Tapi malam ini, rumah itu dipenuhi kehangatan. Marco segera menuju ruang kerja Brian, merasa tak nyaman dengan situasi yang terkesan aneh.Ketika dia membuka pintu, Brian duduk di kursi besar di belakang meja, tampak tenang dan bahkan tersenyum sedikit. "Brian..." Marco memulai dengan nada hati-hati, "Aku baru dengar soal pabrik... Aku minta maaf, aku baru kembali dan terla
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 101TamatBrian mengemas barang-barang dengan cepat, bersama Kinanti dan Frans yang terus mendesaknya agar segera pergi. Rumah mereka telah berubah dari tempat yang aman menjadi sarang kecemasan, terutama setelah berita tentang Marco dan anak buahnya. Ketenangan hanya tinggal kenangan."Brian, ayo cepat," desak Frans, wajahnya tegang. "Mobil sudah siap di luar. Kita harus pergi sebelum mereka datang."Kinanti menggenggam tangan Brian erat-erat. Ia tahu betapa sulitnya bagi suaminya untuk pergi dalam keadaan seperti ini, tapi keselamatan mereka adalah prioritas. "Brian, tolong dengar Papa. Kita harus pergi sekarang."Brian menoleh pada Frans. “Bagaimana jika mereka sudah mengetahui tempat ini? Bagaimana jika kita tidak sempat keluar?” gumamnya penuh kekhawatiran.Frans mengangguk dengan tegas. “Itu yang kita takuti. Tapi, jangan khawatir. Aku sudah memastikan jalur pelarian ini aman.”Mereka berjalan cepat menuju mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Namun tiba-tiba, suara mes
Bab 101Malam semakin larut, namun keheningan tidak benar-benar terasa di tempat persembunyian Brian dan keluarganya. Di dalam ruangan yang temaram, Kinanti duduk di sebelah Sarah, sahabatnya yang baru saja selamat dari ancaman besar. Mereka berdua duduk di sofa dengan perasaan lega yang masih bercampur dengan kegelisahan. Sementara itu, Marco berdiri di sudut ruangan, memperhatikan sekeliling dengan tatapan waspada. Brian, yang berada tak jauh dari mereka, terus berbicara di telepon dengan Frans, memastikan bahwa segala sesuatu sudah disiapkan untuk menghadapi ancaman berikutnya.Setelah menutup telepon, Brian menghampiri Kinanti dan Sarah. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya sambil tersenyum tipis, meski matanya tetap memperlihatkan ketegangan.Kinanti tersenyum tipis, meski jelas terlihat kelelahan di wajahnya. "Kami sedang membicarakan tentang bagaimana aku bisa bertemu denganmu, Brian," ucapnya pelan sambil menggenggam tangan Sarah. “Sarah selalu penasaran bagaimana kita akhirn
Bab 101**Bab 101**Malam semakin larut, namun keheningan tidak benar-benar terasa di tempat persembunyian Brian dan keluarganya. Di dalam ruangan yang temaram, Kinanti duduk di sebelah Sarah, sahabatnya yang baru saja selamat dari ancaman besar. Mereka berdua duduk di sofa dengan perasaan lega yang masih bercampur dengan kegelisahan. Sementara itu, Marco berdiri di sudut ruangan, memperhatikan sekeliling dengan tatapan waspada. Brian, yang berada tak jauh dari mereka, terus berbicara di telepon dengan Frans, memastikan bahwa segala sesuatu sudah disiapkan untuk menghadapi ancaman berikutnya.Setelah menutup telepon, Brian menghampiri Kinanti dan Sarah. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya sambil tersenyum tipis, meski matanya tetap memperlihatkan ketegangan.Kinanti tersenyum tipis, meski jelas terlihat kelelahan di wajahnya. "Kami sedang membicarakan tentang bagaimana aku bisa bertemu denganmu, Brian," ucapnya pelan sambil menggenggam tangan Sarah. “Sarah selalu penasaran bagaimana
Bab 1Seorang gadis bernama Kinanti sedang berlari meninggalkan kampus setelah menerima telepon dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dia berlari tergesa-gesa, hingga tanpa sengaja menabrak seorang pria yang tengah berbicara di telepon. "Iya, aku akan …"BedebugSuara ponsel yang terjatuh di lantai terdengar cukup keras. Pria itu tampak kesal dan menatap Kinanti dengan tajam. "Hey apa kamu tidak bisa melihat apa-apa? Kamu ….?" Dia terkejut setelah melihat siapa yang menabrak dan menjatuhkan ponselnya dia tampaknya mengenal Kinanti dan seketika itu juga, kemarahannya mereda.Namun, Kinanti tidak memberi kesempatan untuk berbicara dengannya dan terus berlari. "Hey, tunggu! Kamu tidak bisa pergi begitu saja!" teriak pria itu.Namun, Kinanti yang sedang berkabut tidak menghiraukan teriakan pria itu. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara dia bisa segera sampai di rumah. Meski begitu, dia sempat menoleh dan menatap pria itu dengan mata berk