Bab 88Brian duduk di sisi ranjang tempat Kinanti beristirahat. Cahaya lampu yang redup menerangi kamar, menampilkan sosok Kinanti yang terbaring dengan tenang. Ia telah diberikan obat penenang oleh dokter, membuatnya tertidur pulas setelah kejadian traumatis malam ini. Brian tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah istrinya yang kini terlihat begitu damai meski baru saja melalui sesuatu yang mengerikan.Brian merasa dadanya begitu sesak. Perlahan, ia mengulurkan tangannya, mengusap lembut kepala Kinanti yang tertutup selimut hingga sebatas leher. Tangan itu gemetar sedikit, mencerminkan perasaan bersalah yang kini memenuhi hatinya. “Maafkan aku, Kinanti,” bisik Brian lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, mencium kening Kinanti dengan penuh kasih sayang. “Seharusnya tadi aku pulang untukmu. Jika aku pulang lebih awal, mungkin semua ini tidak akan terjadi.”Brian menarik napas panjang, perasaan bersalah menghantamnya begitu kuat. “Aku terlambat. Hanya sedikit terlambat
Bab 89Penyelidikan yang GagalBrian berdiri di ruang tamu yang terasa dingin, meskipun suhu sebenarnya tidak terlalu rendah. Amarah dan rasa kecewa yang mendidih di dalam dirinya jauh lebih dingin daripada suhu ruangan. Di depannya, para pria yang ditugaskan untuk menjaga rumahnya penjaga-penjaga yang ia percayai sepenuhnya, berdiri dengan kepala tertunduk, takut menatap matanya. Marco, tangan kanannya yang setia, berdiri di sampingnya, memandang mereka semua dengan sorot mata tajam."Ini mereka semua, Brian," ucap Marco dengan nada serius. "Ketika aku tanyakan soal kejadian tadi malam, katanya ada seorang pria bertopeng yang mematikan kontak listrik. Setelah itu, beberapa dari mereka langsung menghidupkan kembali kontaknya, tapi mereka tidak mendengar suara teriakan Bu Kinanti karena semuanya terjadi begitu cepat."Brian mengatupkan rahangnya, matanya tajam menatap para penjaga yang berdiri di hadapannya. Salah satu penjaga, yang tampaknya memiliki keberanian lebih daripada yang lai
Bab 90Ancaman dan KeberanianBrian duduk di meja kerjanya dengan wajah tegang, pikirannya berputar-putar memikirkan kejadian malam sebelumnya. Di dalam ruangannya yang megah, hanya ada Brian dan Marco, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Suasana terasa sangat tegang, dengan Brian yang tampak benar-benar marah. Ia meremas-remas kertas di tangannya, sementara Marco berdiri di sudut ruangan, memantau situasi dengan cermat.“Marco, aku tidak bisa terus-terusan seperti ini,” kata Brian, suaranya menegang. “Aku harus menemukan pelaku. Siapa pun yang melakukan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada mereka, penjaga, pelayan. Tapi lihat apa yang terjadi! Istriku hampir mati!”Marco mengangguk dengan serius. “Aku mengerti, Brian. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kita salah menuduh seseorang. Itu bisa berdampak buruk. Dan bagaimana kalau dia justru jadi kabur diam-diam, Brian."Brian berdiri dan berjalan ke arah Marco, ekspresinya semakin marah. “Hat
Bab 91Penyamaran TerbongkarPagi itu, suasana di rumah Brian masih terasa tegang. Semua orang masih terjaga dari rasa was-was pasca kejadian ancaman terhadap Kinanti. Namun, ada satu orang yang merasa lebih gelisah daripada yang lain, yaitu Bu Yanti, kepala pelayan wanita. Dia tak bisa menghilangkan rasa curiganya terhadap Clara. Sejak Clara diterima bekerja di rumah ini, banyak keanehan mulai terjadi. Kecurigaan itu semakin kuat setelah kejadian semalam, di mana Clara menolak kamarannya diperiksa.Bu Yanti berjalan mondar-mandir di dapur, berpikir keras. Di luar dapur, Clara sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga Brian. Sesekali, Bu Yanti mengintip, memperhatikan Clara dengan seksama. Clara tampak biasa-biasa saja, tapi ada sesuatu yang tidak beres."Kamu kenapa dari tadi mondar-mandir saja, Bu Yanti?" tanya kepala keamanan pria, Pak Joko, yang berdiri di dekat pintu dapur."Saya merasa ada yang aneh dengan Clara. Sejak dia bekerja di sini, banyak hal-hal janggal yang terjad
Bab 92Bab 92Konfrontasi dengan SepupuBrian menatap Clara dengan sorot mata dingin, emosi tak terkontrol tampak di wajahnya. Sementara itu, Clara, yang kini terungkap sebagai sepupu Kinanti, tampak gemetar. Marco berdiri di sampingnya, tidak sabar menunggu jawaban dari Clara.Marco memecah keheningan, menatap Brian. "Ini Clara, Brian. Sepupunya Kinanti. Aku mengenalnya karena pernah melihatnya beberapa kali."Brian menoleh ke arah Marco dengan ekspresi kaget. "Sepupu Kinanti? Kamu serius?"Marco mengangguk tegas. "Ya, aku pernah melihatnya di beberapa acara keluarga besar. Tapi kupikir dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Ternyata dia menyusup ke sini, mungkin dengan niat yang tidak baik."Brian mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Bagaimana bisa dia masuk ke rumahku tanpa ada yang tahu?"Merasa situasi semakin memanas, Brian memerintahkan anak buahnya. "Bawa Kinanti ke sini, sekarang. Aku ingin tahu apakah dia mengenali Clara."Tak butuh waktu lama, seorang pelayan meng
Bab 93Kebenaran yang TerungkapSetelah Kinanti pergi dari ruang kerja Brian, suasana di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Lima bodyguard tetap berjaga di sana, mengamati Clara yang duduk dengan wajah penuh ketakutan. Marco melirik Brian yang masih berdiri tegap, wajahnya penuh ketegangan. "Brian, kita harus segera menyelesaikan ini. Tidak ada waktu lagi untuk bermain-main," kata Marco sambil mendekat. "Clara tidak akan mengaku kecuali kita menekannya lebih keras."Brian mengangguk pelan, lalu menatap Clara dengan mata tajam. "Kau dengar itu, Clara? Aku sudah sangat bersabar. Jangan pikir karena Kinanti membelamu, kau bisa lolos. Ini kesempatan terakhirmu untuk jujur."Clara menggeleng, air matanya masih mengalir. "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan! Aku tidak melakukan apa-apa. Kinanti adalah sepupuku, aku tidak akan pernah melukainya."Brian menyipitkan matanya, jelas tidak mempercayai kata-kata Clara. Dia memberi isyarat kepada Marco. "Marco, buat dia bicara."Marco maj
Bab 94Tawaran yang MengejutkanBrian mendekatkan diri pada Kinanti, menariknya ke dalam pelukan hangat yang selalu berhasil menenangkan wanita itu. Dia mengecup lembut keningnya, dan suaranya penuh ketulusan saat berkata, “Sudahlah, sayang. Orang seperti Clara tidak perlu kamu pikirkan lagi. Aku akan selalu melindungimu dari orang-orang seperti dia. Kamu dan bayi kita adalah hal yang terpenting bagiku sekarang.”Kinanti tersenyum kecil, meski masih ada bekas air mata di pipinya. "Terima kasih, Brian. Aku bersyukur sekali punya suami seperti kamu. Kamu selalu ada untukku, melindungiku, bahkan dari keluargaku sendiri."Brian membelai pipi Kinanti lembut, matanya menatap penuh kasih. "Itu tugasku, sayang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Sekarang kita harus fokus pada masa depan kita dan anak kita yang akan lahir."Kinanti mengangguk, lalu menoleh ke arah Sarah yang berdiri di dekat pintu. "Sarah, terima kasih banyak untuk segalanya. Aku tahu ini pasti sulit bagimu, apal
Bab 98Malam itu, suasana di rumah Brian terasa hangat, meski beberapa kejutan besar baru saja diungkapkan. Setelah perbincangan singkat tentang pernikahan antara Marco dan Sarah, Marco menawarkan diri untuk mengantar Sarah pulang. Ia merasa itu kesempatan yang tepat untuk memulai langkah baru dalam hidupnya, meskipun terasa begitu tiba-tiba.Marco menoleh ke arah Brian sebelum mereka bersiap pergi. "Brian, kita belum mau berangkat kerja, kan?"Brian tersenyum tipis, dengan nada yang lebih santai daripada biasanya. "Pergi saja, Marco. Kejar cintamu. Kau pantas mendapatkannya."Kinanti, yang sedari tadi diam memperhatikan, tersenyum kecil. Ini mungkin kali pertama Brian dan Marco berbicara soal cinta dengan cara yang begitu ringan, dan entah bagaimana, senyum itu tumbuh tanpa ia sadari. Brian, yang biasa keras kepala dan penuh strategi, menunjukkan sisi lembutnya, sisi yang Kinanti mulai kenali sebagai alasan ia perlahan membuka hatinya."Kenapa tersenyum begitu, sayang?" Brian bertan
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d