"Hei, yang benar saja?" Aira tersentak, begitu melihat Kardi datang bersama seorang wanita. Kalau tak salah menerka, wanita itu tampak beberapa tahun lebih tua daripada dirinya."Ayolah, berdua lebih baik karena aku tidak ingin ada yang menganggur." Kardi duduk di tepi ranjang yang ada di gubuk. Menepuk pahanya agar Aira mendekat. "Dan kamu tak perlu khawatir karena hari ini adalah hari terakhir melayani aku, karena setelah ini wanita ini yang akan melayaniku. Dia masih baru dan segelan.""Gayamu, sudah sering kamu mengatakan itu, tapi tetap saja aku yang dicari. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar kamu melepaskan aku, Kardi." Meski malas, Aira tetap saja membuka seluruh pakaiannya dan duduk di pangkuan Kardi. "Cepatlah! Aku sedang tak enak badan, jadi tidak bisa berlama-lama seperti ini.""Tidak enak badan?" Kardi menyentuh dahi Aira dengan punggung tangannya. "Tidak panas. Kamu jangan coba-coba berbohong, atau tugasmu akan aku perpanjang.""Demam tak selalu panas," dengus Air
"Bu, makan dulu, ya!" Kendra duduk di samping Herni. Di tangannya ada sebuah mangkuk yang berisi bubur. Sejak tadi pagi Herni belum makan apapun, sehingga dokter mengharuskannya untuk makan sesuatu. Apa saja, asalkan bertekstur lunak.Dan Kendra memilih bubur ditambah segelas susu, untuk pengganjal perut sang ibu. Sungguh besar harapan Kendra, ibunya mau makan agar kondisinya bisa lebih baik lagi.Namun, semua harapan Kendra tak seperti yang pria itu harapkan. Herni justru mendorong bubur yang ada di tangannya, sehingga bubur berserakan di lantai, dengan mangkuk yang terbelah menjadi dua bagian.Kendra menarik napas. "Kenapa, Bu? Apakah Ibu tak ingin sembuh?""Ya, jangankan sembuh. Untuk hidup pun aku tidak mau," dengus Herni, menatap sinis kepada Kendra. Entah kenapa, ia sangat membenci Kendra yang kini terlihat lebih membela Naya dibandingkan dirinya."Bu,""Aku bukan ibumu. Melihat dari caramu memperlakukan aku, sudah jelas bagiku kamu lebih memihak kepada wanita itu. Jadi kepadany
Hujan yang turun semenjak sore, tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti hingga matahari mengintip dibalik peraduan. Menyisakan udara yang begitu dingin dan menusuk tulang, menuntun banyak orang untuk menarik selimut. Melanjutkan mimpi yang sempat tertunda karena suara ayam yang berkokok.Namun, tidak bagi seorang wanita yang tengah melayani seorang pria. Ia bermandikan peluh, dengan mata yang benar-benar telah mengantuk. Perih ingin menutup dan mengistirahatkan tubuhnya yang telah remuk redam. Melayani tiga orang pria, yang teganya malah meminta para temannya yang lain untuk bergabung.Di tengah hujan deras dan dinginnya malam, hingga pagi menjelang. Mulut Aira dibungkam dengan tangan dan terkadang benda tumpul. Seakan sebagai balasan atas semua yang ia lakukan selama ini. Mencari kenikmatan dengan modus menjual diri.Seakan ingin Aira menerima semua keinginannya, tak berhenti pria-pria kesepian menikmatinya. Saling mengundang teman satu sama lain dengan kata "mumpung gratis", tentu
"Aku berharap hari ini dokter itu mengizinkan kamu untuk pulang," keluh Rendi, duduk di kursi yang ada di samping Naya. Pria itu tampak sudah lelah pulang pergi ke kamar mandi, hanya untuk mengeluarkan isi perutnya.Cukup adil, disaat Naya harus membawa dua bayi sekaligus, Rendi justru harus selalu mengosongkan isi perutnya. Setiap pagi, dan tidak akan berhenti sebelum matahari berdiri di pucuk langit.Ingin rasanya Rendi meminta sesuatu yang ia yakini bisa meredam segala rasa tidak nyaman tersebut, tapi ia cukup tau diri Naya masih dalam keadaan tidak baik. Pasca ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya. Maka dari itu, Rendi memilih untuk menahan dan menuruti saja keinginan perutnya untuk mengeluarkan segala penghuni yang ada disana. Meski harus membuat ia lemas tak bertenaga, itu semua tak masalah sama sekali selagi sang istri tidak terganggu karena keanehan yang ia rasakan.Naya menarik kedua sudut bibirnya. Mengangguk. "Aku juga berharap seperti itu agar bisa mengurusmu dengan bai
Menjalani pemeriksaan seperti biasa, dan mendapatkan penanganan seperti pasien biasa juga. Itulah yang didapat Naya dari Andrean. Sebagai penutup, ada sarapan dan obat yang pria itu tinggalkan.Serta, "kondisi Bu Naya mulai membaik. Tapi, belum bisa pulang. Mari tunggu hingga sore nanti, mudah-mudahan jauh lebih baik lagi," tutur Andrean. Setelah melakukan pemeriksaan secara keseluruhan.Tanpa banyak bertanya, ia keluar dari ruangan tersebut dan melanjutkan tugasnya.Dari gerak gerik pria itu, tidak ada yang aneh dari Andrean. Hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar, apa maksudnya menyatukan Naya dan Herni? Pikir Rendi dalam hati.Mengingat ucapan Andrean tadi malam, Rendi yakin pria itu sudah mengetahui banyak tentang kehidupannya dan Naya. Dan tidak menutup kemungkinan Andrean juga tau kalau Herni adalah istrinya yang pertama."Aku benar-benar terpukul karena kehilangan bayi, tapi sayangnya suamiku tidak pernah peduli itu. Aku malah dicerai dan berakhir menyedihkan seperti s
Hening, karena Herni tak kunjung mendapatkan kata lagi untuk menjatuhkan Naya. Apa yang wanita itu katakan, selalu saja dipatahkan Naya dengan serangan yang begitu tajam. Bukannya takut, Naya justru semakin berselera untuk melayani Herni berdebat."Aku tidak habis pikir dengan dokter itu," keluh Kendra seraya mendudukkan bokongnya di samping Herni. Pria itu tampak kesal, dengan seseorang yang baru saja ia temui."Kenapa lagi kamu?" ujar Herni malas. Dadanya masih panas karena kalah dari Naya, kini Kendra malah datang dan misuh-misuh tidak jelas. Tentu saja Herni semakin tak enak hati. Sedangkan Naya, hanya melihat dengan sudut matanya, tanpa melepaskan tatapan dari ponsel yang ia genggam."Kendra hanya menggeleng. Menghela napas panjang dan menatap sang ibu. "Aku mau buka toko. Apakah Ibu bisa ditinggal? Nanti siang aku datang untuk mengantarkan makan dan kembali pas sore. Tapi aku mohon jangan pernah membuat rusuh." Cecarnya."Eh?" Herni mengerjap. "Kamu mau pergi? Enak saja! Kalau k
"Cukup!" Rendi mengangkat satu tangannya. Dari tadi diperhatikan dan didengar, ia jengah juga karena Herni yang tidak pernah mau mengikuti keinginan Kendra.Padahal semua yang dikatakan Kendra benar adanya. Bukan hanya itu, Rendi tak cuma malas melihat tingkah Herni, ia juga kasihan melihat nasib Kendra yang kian hari kian mengenaskan. Meskipun tak memiliki hubungan darah, tetap saja Rendi pernah membesarkan Kendra, dekat layaknya ayah dan anak. Dan tentu saja seorang ayah tidak rela anaknya disakiti seperti sekarang."Ayah akan urus semua keperluan kamu ke Malaysia, Ken. Untuk ibumu, dia bisa menempati toko seperti yang kamu katakan. Tapi, Ayah tidak bisa mengawasi secara penuh karena kami tidak memiliki hubungan apapun." Menepuk pundak Kendra dan memberikan remasan disana. "Gapai segala mimpi yang kamu punya. Meski terlambat, rasanya itu lebih baik daripada tidak sama sekali."Kendra mengangguk. Matanya berkaca-kaca ketika Rendi menyebut dirinya sebagai 'ayah', hal yang sudah lama t
"Sayang, kamu yakin mau pulang saja?"Entah sudah berapa kali Rendi mengajukan pertanyaan seperti itu kepada Naya. Setelah mereka selesai makan di batas desa. Naya yang kekenyangan langsung meminta pulang, padahal Rendi masih khawatir dengan kondisinya dan calon buah hati mereka.Namun, setelah makan tadi kondisi Naya tampak semakin baik saja. Bahkan, sebelum pulang tadi Naya masih sempat membungkus beberapa gorengan dan peyek udang. Dengan lahap ia terus mengunyah, sedangkan Rendi hanya bisa meneguk ludah. Jika selama ini ia sangat menyukai peyek udang, kini ia tampak bergidik ketika melihat Naya mengigit dan mengunyah peyek tersebut. Entah apa yang salah? Rendi tidak mengerti karena tiba-tiba saja ia patah selera, tak ingin terlalu banyak makan.Naya yang duduk di samping Rendi menoleh.Naya mengangguk. Yakin dengan keinginannya untuk pulang. Namun, "mungkin kita mampir di makam ayah dan ibu dulu, Mas. Mau ngasih tau sebentar lagi mereka akan punya cucu. Kembar pula." Mengusap perut