Menjalani pemeriksaan seperti biasa, dan mendapatkan penanganan seperti pasien biasa juga. Itulah yang didapat Naya dari Andrean. Sebagai penutup, ada sarapan dan obat yang pria itu tinggalkan.Serta, "kondisi Bu Naya mulai membaik. Tapi, belum bisa pulang. Mari tunggu hingga sore nanti, mudah-mudahan jauh lebih baik lagi," tutur Andrean. Setelah melakukan pemeriksaan secara keseluruhan.Tanpa banyak bertanya, ia keluar dari ruangan tersebut dan melanjutkan tugasnya.Dari gerak gerik pria itu, tidak ada yang aneh dari Andrean. Hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar, apa maksudnya menyatukan Naya dan Herni? Pikir Rendi dalam hati.Mengingat ucapan Andrean tadi malam, Rendi yakin pria itu sudah mengetahui banyak tentang kehidupannya dan Naya. Dan tidak menutup kemungkinan Andrean juga tau kalau Herni adalah istrinya yang pertama."Aku benar-benar terpukul karena kehilangan bayi, tapi sayangnya suamiku tidak pernah peduli itu. Aku malah dicerai dan berakhir menyedihkan seperti s
Hening, karena Herni tak kunjung mendapatkan kata lagi untuk menjatuhkan Naya. Apa yang wanita itu katakan, selalu saja dipatahkan Naya dengan serangan yang begitu tajam. Bukannya takut, Naya justru semakin berselera untuk melayani Herni berdebat."Aku tidak habis pikir dengan dokter itu," keluh Kendra seraya mendudukkan bokongnya di samping Herni. Pria itu tampak kesal, dengan seseorang yang baru saja ia temui."Kenapa lagi kamu?" ujar Herni malas. Dadanya masih panas karena kalah dari Naya, kini Kendra malah datang dan misuh-misuh tidak jelas. Tentu saja Herni semakin tak enak hati. Sedangkan Naya, hanya melihat dengan sudut matanya, tanpa melepaskan tatapan dari ponsel yang ia genggam."Kendra hanya menggeleng. Menghela napas panjang dan menatap sang ibu. "Aku mau buka toko. Apakah Ibu bisa ditinggal? Nanti siang aku datang untuk mengantarkan makan dan kembali pas sore. Tapi aku mohon jangan pernah membuat rusuh." Cecarnya."Eh?" Herni mengerjap. "Kamu mau pergi? Enak saja! Kalau k
"Cukup!" Rendi mengangkat satu tangannya. Dari tadi diperhatikan dan didengar, ia jengah juga karena Herni yang tidak pernah mau mengikuti keinginan Kendra.Padahal semua yang dikatakan Kendra benar adanya. Bukan hanya itu, Rendi tak cuma malas melihat tingkah Herni, ia juga kasihan melihat nasib Kendra yang kian hari kian mengenaskan. Meskipun tak memiliki hubungan darah, tetap saja Rendi pernah membesarkan Kendra, dekat layaknya ayah dan anak. Dan tentu saja seorang ayah tidak rela anaknya disakiti seperti sekarang."Ayah akan urus semua keperluan kamu ke Malaysia, Ken. Untuk ibumu, dia bisa menempati toko seperti yang kamu katakan. Tapi, Ayah tidak bisa mengawasi secara penuh karena kami tidak memiliki hubungan apapun." Menepuk pundak Kendra dan memberikan remasan disana. "Gapai segala mimpi yang kamu punya. Meski terlambat, rasanya itu lebih baik daripada tidak sama sekali."Kendra mengangguk. Matanya berkaca-kaca ketika Rendi menyebut dirinya sebagai 'ayah', hal yang sudah lama t
"Sayang, kamu yakin mau pulang saja?"Entah sudah berapa kali Rendi mengajukan pertanyaan seperti itu kepada Naya. Setelah mereka selesai makan di batas desa. Naya yang kekenyangan langsung meminta pulang, padahal Rendi masih khawatir dengan kondisinya dan calon buah hati mereka.Namun, setelah makan tadi kondisi Naya tampak semakin baik saja. Bahkan, sebelum pulang tadi Naya masih sempat membungkus beberapa gorengan dan peyek udang. Dengan lahap ia terus mengunyah, sedangkan Rendi hanya bisa meneguk ludah. Jika selama ini ia sangat menyukai peyek udang, kini ia tampak bergidik ketika melihat Naya mengigit dan mengunyah peyek tersebut. Entah apa yang salah? Rendi tidak mengerti karena tiba-tiba saja ia patah selera, tak ingin terlalu banyak makan.Naya yang duduk di samping Rendi menoleh.Naya mengangguk. Yakin dengan keinginannya untuk pulang. Namun, "mungkin kita mampir di makam ayah dan ibu dulu, Mas. Mau ngasih tau sebentar lagi mereka akan punya cucu. Kembar pula." Mengusap perut
Herni meremas kuat selimut yang ia kenakan. Melampiaskan rasa takut dan sedih yang telah bercampur menjadi satu, karena sejak kepergian Kendra tadi ia tidak bisa bicara dengan baik. Suaranya tidak bisa sekeras biasa, dan bibirnya terasa kaku. Tubuh bagian kanannya pun terasa kebas jika disentuh. Ia tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Hanya saja ia bisa pastikan, kini keadaannya tidak baik-baik saja.Sampai Andrean datang untuk memeriksa keadaan Herni, barulah semua pertanyaan yang sedari tadi bersarang di otaknya terjawab."Stroke ringan. Ibu tidak perlu khawatir. Dengan mengubah pola makan dan mengurangi beban pikiran, serta mengontrol emosi, bisa dipastikan stroke Ibu bisa berkurang secara perlahan. Memang tak bisa seperti sediakala, tapi setidaknya tidak terlalu mengganggu aktivitas." Sedikit penjelasan dari Andrean, setelah dokter lain datang untuk memeriksa.Karena Herni baru saja mengalami keguguran, maka Andrean belum bisa membiarkan Herni tanpa pengawasan darinya."I
Begitu banyak bujuk rayu Naya kepada Rendi, agar ia mau datang ke Puskesmas. Menemui Herni dan mengajak wanita itu berbicara enam mata bersama Kendra.Naya terus membujuk dan memberikan pengertian agar Rendi tidak menuruti amarahnya, karena kondisi Herni yang sangat buruk. Setengah tubuhnya terserang stroke, maka tak mungkin bagi wanita itu menjalani hidup tanpa dampingan dari orang lain.Apalagi Naya mendengar Kendra akan pergi ke luar negeri. Meski memiliki hubungan yang tidak baik, bukan berarti Naya bisa membiarkan Herni hidup sendiri di tengah keterbatasan. Bagaimana pun, ada sisi baik Yasmin yang hidup di dalam hatinya. Dan Naya juga percaya, Rendi tidak akan tergoda apalagi kembali kepada Herni.Bukannya ingin percaya diri atau sejenisnya, tapi Naya tau cinta Rendi kini tertuju hanya untuk dirinya saja.Maka dari itu, Naya berusaha keras agar Rendi mau pergi dan menyelesaikan masalah antara Kendra dan Herni sebelum mereka pergi ke kota untuk baby moon. Sesuai keinginan Rendi te
"Mas, aku gak suka liburan di sini!" protes Naya begitu mereka sudah berada di kamar."Kenapa? Padahal tadi katanya suka.""Gak jadi suka. Di sini banyak cewek yang ganjen. Mereka cari perhatian terus sama, Mas!"Naya duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk, dengan tangan yang sibuk memilin bajunya hingga kusut.Rendi mendekat dan duduk di samping istrinya. "Ngambek?" tanyanya sambil menyenggol tubuh istrinya pelan.Naya diam saja. Sebenarnya dia juga gak tau kenapa dia merasa kesal sekali dengan para wanita itu. Padahal kalau dipikir dengan logika, tidak ada sikap maupun tindakan para wanita itu yang di luar kewajaran. Dia saja yang terlalu baper dan sensitif. Naya sadar, tapi tidak bisa mengendalikan perasaannya dan semakin kesal karena itu."Kalau ngambek, bulan madunya di pending, nggak?" Rendi berbisik mesra di telinga Naya.Naya terkikik pelan. Merasa geli karena deru nafas Rendi di sekitar telinganya."Enggak, lah!" jawab Naya dengan lantang lalu mendadak menutup mulutnya yang
tidak tau sudah berapa lama Rendi duduk memperhatikan Naya yang tengah menekuk wajahnya. Tak suka dengan kejadian tadi, Naya terkesan menjauh dan tak ingin banyak bicara dulu.Ingin Rendi mendekat dan menenangkan, tapi urung dilakukan karena ia tau mood ibu hamil Itu tidak stabil. Tidak bisa dipaksakan sehingga ia membiarkan Naya tenang dengan sendirinya.Dan setelah menunggu cukup lama, akhirnya Naya menoleh kepada Rendi yang pura-pura tidak melihat dirinya. Detik berikutnya, Naya bangkit dan menghampiri Rendi. Duduk di samping pria itu dan memeluk. Menangis, melepaskan sakit hati atas omongan orang lain tentang mereka."Tidak perlu memikirkan omongan orang lain tentang kita. Karena kita tidak bisa memaksa orang untuk menilai seperti yang kita inginkan. Terserah mereka mau bilang apa, yang penting kita bahagia dan tidak mengusik apapun." Rendi mengecup pucuk kepala Naya. "Dan satu hal yang harus kamu ketahui, yang namanya hidup pasti ada saja masalah.Baik dari orang terdekat maupun