Herni meremas kuat selimut yang ia kenakan. Melampiaskan rasa takut dan sedih yang telah bercampur menjadi satu, karena sejak kepergian Kendra tadi ia tidak bisa bicara dengan baik. Suaranya tidak bisa sekeras biasa, dan bibirnya terasa kaku. Tubuh bagian kanannya pun terasa kebas jika disentuh. Ia tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Hanya saja ia bisa pastikan, kini keadaannya tidak baik-baik saja.Sampai Andrean datang untuk memeriksa keadaan Herni, barulah semua pertanyaan yang sedari tadi bersarang di otaknya terjawab."Stroke ringan. Ibu tidak perlu khawatir. Dengan mengubah pola makan dan mengurangi beban pikiran, serta mengontrol emosi, bisa dipastikan stroke Ibu bisa berkurang secara perlahan. Memang tak bisa seperti sediakala, tapi setidaknya tidak terlalu mengganggu aktivitas." Sedikit penjelasan dari Andrean, setelah dokter lain datang untuk memeriksa.Karena Herni baru saja mengalami keguguran, maka Andrean belum bisa membiarkan Herni tanpa pengawasan darinya."I
Begitu banyak bujuk rayu Naya kepada Rendi, agar ia mau datang ke Puskesmas. Menemui Herni dan mengajak wanita itu berbicara enam mata bersama Kendra.Naya terus membujuk dan memberikan pengertian agar Rendi tidak menuruti amarahnya, karena kondisi Herni yang sangat buruk. Setengah tubuhnya terserang stroke, maka tak mungkin bagi wanita itu menjalani hidup tanpa dampingan dari orang lain.Apalagi Naya mendengar Kendra akan pergi ke luar negeri. Meski memiliki hubungan yang tidak baik, bukan berarti Naya bisa membiarkan Herni hidup sendiri di tengah keterbatasan. Bagaimana pun, ada sisi baik Yasmin yang hidup di dalam hatinya. Dan Naya juga percaya, Rendi tidak akan tergoda apalagi kembali kepada Herni.Bukannya ingin percaya diri atau sejenisnya, tapi Naya tau cinta Rendi kini tertuju hanya untuk dirinya saja.Maka dari itu, Naya berusaha keras agar Rendi mau pergi dan menyelesaikan masalah antara Kendra dan Herni sebelum mereka pergi ke kota untuk baby moon. Sesuai keinginan Rendi te
"Mas, aku gak suka liburan di sini!" protes Naya begitu mereka sudah berada di kamar."Kenapa? Padahal tadi katanya suka.""Gak jadi suka. Di sini banyak cewek yang ganjen. Mereka cari perhatian terus sama, Mas!"Naya duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk, dengan tangan yang sibuk memilin bajunya hingga kusut.Rendi mendekat dan duduk di samping istrinya. "Ngambek?" tanyanya sambil menyenggol tubuh istrinya pelan.Naya diam saja. Sebenarnya dia juga gak tau kenapa dia merasa kesal sekali dengan para wanita itu. Padahal kalau dipikir dengan logika, tidak ada sikap maupun tindakan para wanita itu yang di luar kewajaran. Dia saja yang terlalu baper dan sensitif. Naya sadar, tapi tidak bisa mengendalikan perasaannya dan semakin kesal karena itu."Kalau ngambek, bulan madunya di pending, nggak?" Rendi berbisik mesra di telinga Naya.Naya terkikik pelan. Merasa geli karena deru nafas Rendi di sekitar telinganya."Enggak, lah!" jawab Naya dengan lantang lalu mendadak menutup mulutnya yang
tidak tau sudah berapa lama Rendi duduk memperhatikan Naya yang tengah menekuk wajahnya. Tak suka dengan kejadian tadi, Naya terkesan menjauh dan tak ingin banyak bicara dulu.Ingin Rendi mendekat dan menenangkan, tapi urung dilakukan karena ia tau mood ibu hamil Itu tidak stabil. Tidak bisa dipaksakan sehingga ia membiarkan Naya tenang dengan sendirinya.Dan setelah menunggu cukup lama, akhirnya Naya menoleh kepada Rendi yang pura-pura tidak melihat dirinya. Detik berikutnya, Naya bangkit dan menghampiri Rendi. Duduk di samping pria itu dan memeluk. Menangis, melepaskan sakit hati atas omongan orang lain tentang mereka."Tidak perlu memikirkan omongan orang lain tentang kita. Karena kita tidak bisa memaksa orang untuk menilai seperti yang kita inginkan. Terserah mereka mau bilang apa, yang penting kita bahagia dan tidak mengusik apapun." Rendi mengecup pucuk kepala Naya. "Dan satu hal yang harus kamu ketahui, yang namanya hidup pasti ada saja masalah.Baik dari orang terdekat maupun
"Apa yang telah kamu lakukan kepada putriku Lisa?" sergah seorang wanita paruh baya, tepat di depan wajah Kendra. Wanita itu tampak tak sanggup lagi menahan amarah, sampai-sampai tak sadar suaranya bisa mengusik ketenangan pasien lain."Lisa?" tanya Kendra, sembari menyimpan ponselnya ke kantong celana. Sekilas ia melirik sang ibu yang masih terlelap akibat obat penenang."Iya, apa yang telah kau lakukan padanya? Sampai-sampai pihak kampus memulangkannya ke sini? Apa? Tak cukupkah kau membuang Aira yang tengah hamil?" cecarnya, sebelum Kendra sempat menyahuti apa yang wanita itu katakan."Kita bisa bicara di luar saja, Bu. Kalau disini, aku takut bisa mengganggu pasien lain." Mempersilahkan ibu dari Aira dan Lisa itu untuk keluar dari ruangan. Agar mereka bisa bicara empat mata tanpa mengganggu ketenangan orang lain.Wanita itu menggeleng. "Tidak. Kita bicara disini saja agar ibumu itu bangun dan dia bisa mendengar betapa bejatnya anak yang selama ini dia banggakan.""Bu, saya mohon,
Naya bergegas membalikkan badan begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan Rendi yang tertegun menatap padanya. Bagaimana tidak, Naya yang tadinya mengenakan dress lengan pendek selutut, kini mengenakan gaun tidur yang sangat tipis. Saking tipisnya dari tempatnya berdiri Rendi bisa melihat ada yang menonjol. Mengintip. Di balik gaun merah menyala tersebut.Rambut panjangnya yang tadinya dikuncir kuda, kini dibiarkan tergerai. Bibirnya yang pun kini diolesi lipstik merah menyala. Mata yang dihiasi bulu-bulu lentik itupun mengerjap. Seakan menyeru Rendi untuk bergegas mendekat."Aku lihat di balkon ada banyak makanan. Aku yakin itu semua kamu persiapkan untukku, Mas," tutur Naya seraya mendekat. Melangkah dengan anggun mendekati sang suami yang masih saja betah tertegun disana. Seakan tubuh Rendi terpaku. Sehingga tak sanggup bergerak apalagi lari dari jangkauan Naya."Mas," panggil Naya. Sembari melingkarkan tangannya di tengkuk Rendi. Ia memiringkan kepalanya. Tersenyum,
Kendra tersenyum masam. Mengingat panggilannya kepada Rendi, yang diabaikan begitu saja. Padahal ia benar-benar butuh sosok Rendi tadi malam. Menikah secara mendadak tentu saja tidak ada di dalam pikiran Kendra. Mau meminta pendapat kepada ayah kandung pun tiada guna karena mereka tidak pernah dekat.Hanya sekedar sapa saja. Tidak pernah lebih dari itu karena Kendra dari dulu memang tidak terlalu peduli dengan sosok Randi, yang selama ini diketahui sebagai paman. Sehingga ia melabuhkan pilihan pada Rendi, tapi bukannya pendapat yang didapat tapi suara ….Kendra menggeleng. Ia paham betul itu apa dan mengerti apa yang tengah terjadi. Lagipula Rendi pun sudah memberi tau tujuannya ke kota untuk baby moon. Tidak pun, Rendi dan Naya adalah pasangan suami-istri, dan tentu saja kesana lah mereka akan bermuara.Helaan napas panjang pun keluar dari hidung Kendra. Semalam baru selesai menikah dan pagi ini adalah pagi pertamanya sebagai suami Lisa. Sebagai suami dengan istri yang hamil muda dan
Sedikit mundur ke belakang tubuh Rendi, ketika suaminya itu menggenggam tangannya dan bergerak seakan meminta Naya agar bergeser. Bersembunyi di belakang punggungnya agar Herni tidak bisa menjangkau apalagi menyakitinya. Ketika Kendra membawa Herni turun dari lantai dua toko.Wajah wanita itu tampak kusut. Matanya cekung dan rambut yang acak-acakan. Persis seperti orang yang tidak lagi memiliki akal sehat, meski Kendra mengatakan ibunya hanya stress biasa."Masyy!" pekik Herni, meski suaranya tidak terlalu terdengar, ia menghentak tangan Kendra dan melepaskan diri. Mengejar dan mendekati Rendi yang tidak tidak jauh darinya. Kondisi kaki kanannya yang tak bisa lagi menjalankan tugas seperti biasa, tentu saja membuat Herni berlari tertatih. Bertumpu pada kaki kirinya dan berusaha menjangkau menggunakan tangan kirinya.Namun, sebelum tangan Herni berhasil menjangkaunya, Rendi sudah menghindar. Menggeser posisinya dan Naya secara bersamaan."Masyy, au indu," lirihnya Bersimpuh di depan Re