“Saya ingin tidur. Tapi, dia tidak."Kembali, Rendi mengecup leher Naya. Tapi, kali ini dengan sedikit menggebu.Hingga Naya terpaksa menarik napas dalam-dalam."Maafkan saya yang telah mengusik dan mengganggu."Rendi menggeram. Ada desakan tak tertahankan yang menyerbu pertahanannya. Dan sekarang Rendi berada di tepi jurang kewarasannya. Lupa Naya belum tentu saja sanggup menerimanya kembali.“Bapak seharusnya membangunkanku.”Mata Rendi mengerjap. Sedikit menarik diri, ia menciptakan sedikit jarak yang iabutuhkan demi bisa menatap Naya. Satu senyuman muncul di wajahnya.“Itu yang sedang saya lakukan,” lirih Rendi dengan suara berat. “Membangunkanmu.”Tangan Rendi bergerak. Memberikan sentuhan sekilas di sepanjang tangan Naya sebelum mendarat di salah satu bola kenyal wanita itu.“Dan sekarang ...”Rendi memberikan satu remasan disana. Sungguh perlakuan yang membuatNaya menggigit bibir bawahnya.Membiarkan Rendi menindih tubuhnya. Ia menahan Naya. Tak membiarkan Naya untuk bergerak
"Setengah empat," gumam Rendi dengan mata yang menyipit. Menatap jam yang ada di ponselnya. Masih sangat dini untuk bangun dari tidur, tapi ia tak mungkin bisa berlama-lama di ranjang. Mendekap dan memeluk Naya yang masih terbenam di dalam pelukannya.Bukan tanpa alasan, Rendi harus segera bangkit dan membersihkan diri. Belum lagi seprei yang masih berada di kamar mandi. Tidak ingin dikira mengumbar malam pertama, tentu saja Rendi terpaksa bangun untuk membersihkannya. Melepaskan pelukannya dari Naya. Dengan sangat perlahan Naya terlepas dan kembali ia selimuti.Rendi tersenyum. Melihat beberapa tanda merah keunguan di sekitar dada dan ceruk leher Naya. Ia tidak tahu darimana datangnya keinginan untuk menyesap hingga berbekas seperti itu. Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada aba-aba sama sekali.Dan hingga detik ini Rendi juga tidak mengerti bisa bertahan nyaris tiga puluh menit. Sampai-sampai lututnya kebas, menahan bobot tubuhnya. Jangan lupakan pinggang yang menegang ketika ia b
Remuk redam rasanya. Setelah menghadapi pertarungan sengit dengan Rendi di kamar mandi, Naya kini tidur. Bergelung dibawah selimut setelah selesai mandi dan sarapan. Dan sepertinya untuk pergi ke kantor polisi hanya Rendi saja. Karena Naya tak sanggup bergerak apalagi berjalan. Pangkal pahanya benar-benar kebas, dibumbui rasa sakit ketika dibawa berjalan."Pas balik nanti kamu mau dibawain apa?" tanya Rendi, seraya merapikan kemeja hitam yang ia kenakan. Ia juga duduk di tepi ranjang dan mengusap pipi Naya.Naya sedikit menggeliat. Memaksakan diri untuk membuka matanya. "Terserah saja, Pak. Aku pemakan segalanya.""Baiklah. Sekarang kamu istirahat." Rendi mengecup sekilas bibir Naya. "Kamu pegang ini. Kalau ada apa-apa cepat hubungi aku." Menyerahkan sebuah ponsel kepada Naya."Apa ini, Pak?"Naya mengerjap. Tidak percaya dengan benda pipih yang diserahkan Rendi kepadanya."Ponsel. Untuk sementara waktu pakai itu dulu, ya. Nanti sepulang dari kantor polisi aku akan mampir dan belikan
Selama perjalanan tidak ada seorangpun yang membuka suara. Sampai Lily, Randi dan istrinya tiba di alamat yang mereka tuju. Sebuah rumah yang cukup mewah yang ada di tengah-tengah desa. Berjarak sekitar sepuluh menit jika berkendara.Setelah berpamitan Rendi dan Naya meneruskan perjalanan mereka. Mencari makan siang seperti yang mereka rencanakan di rumah tadi. Dan karena Naya tidak percaya diri dengan penampilannya, terpaksa makan siang dipesan dan mereka berdua makan di mobil.Maunya sebelum memesan soto daging Rendi ingin mengajak Naya ke toko pakaian yang ada di depan pasar. Tapi, Naya sudah mengeluh lapar dan ingin belanjanya nanti saja. Padahal ia ingin mencari alasan agar Rendi tidak membuang uang untuknya.Alhasil, setelah soto mereka habis dan Rendi sudah mengembalikan mangkok sang pedagang, Naya mengatakan ingin pulang untuk istirahat. Tapi, ketika Rendi melihat dua mobil mewah melewati mobilnya, ada satu pikiran yang terlintas."Kota," gumam Rendi dalam hati. Ketika mobil y
"Sayang, ini sangat menggoda,” ucap Rendi. Matanya melirik sekilas. Melihat Naya yang merebahkan kepalanya di kasur. “Tetap begitu. Aku ingin mencicipinya."Entah darimana datangnya kata-kata dan keinginan itu, tiba-tiba saja Rendi ingin menyapa Naya di bawah sana. Sehingga kini rok panjang yang dikenakan Naya telah terangkat, berkumpul di perutnya yang rata.Rendi beringsut, turun, melepaskan benda berbentuk segitiga yang masih menjadi penghalang bagi Rendi untuk berkenalan langsung dengan Naya di bawah sana.Naya yang tidak pernah menyangka Rendi kini berada diantara kedua pahanya, tentu saja langsung menutup. Matanya membesar, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.Rendi menahan. Agar Naya tak menutup. Agar ia bisa melihat Naya yang telah basah, sama-sama mendamba seperti dirinya.Masih menyangga kedua lutut Naya Rendi mendekat. Menenggelamkan wajahnya di sana, mencicipi benda yang telah memanjakan jagoannya.Membuat Naya merinding. Ingin rasanya ia lari sejauh mungkin agar bisa m
Naya mengerjap. Berusaha kuat agar matanya terbuka. Agar rasa kantuk yang masih menguasai hilang, karena ia ingin melihat dengan jelas apa yang kini suaminya lakukan.“Mas,” lirih Naya, suaranya begitu serak dan berat. Diterpa rasa nikmat yang tak mampu tergambar. Karena Rendi kini tengah menjadi bayi besar, yang menyesap ujung dadanya dan meremas sisanya.Membuat Naya panas dingin, meminta lebih dari apa yang Rendi lakukan sekarang.Rendi yang sedang menikmati mainan barunya melirik Naya. Melepaskan sejenak agar bisa berucap, “Maaf, Dek. Mas nggak bisa tidur. Jadinya mencoba ini. Siapa tahu bisa mengantuk,” terangya jujur. Sesuai dengan yang ia rasakan saat ini.Usai permainan pertama mereka tadi Naya langsung tertidur. Berbeda dengan Rendi yang masih terjaga. Ingin rasanya ia menyusul, tapi matanya tidak bisa diajak kompromi. Bukannya tidur ia malah tergoda untuk menyesap bulatan padat Naya yang terbuka. Tapi sayangnya ketika ia mulai mengantuk, Naya justru terbangun dari tidurnya.
“Eh, tumben mampir? Biasanya ngejek …” sindir seorang wanita begitu Kendra menginjakkan kakinya di sebuah warung. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung banyak orang. Tidak terlalu ke sudut desa, tapi tak terlihat jika tak masuk ke jalan setapak yang terhubung dengan ladang karet.Disitulah tempat selama ini Kardi menjalankan bisnis haramnya. Dan disini pula Kendra datang dan duduk untuk menghilangkan rasa sakit dan suntuk yang kini menyelimuti hatinya pasca menemukan sprei di kamar mandi.“Bukan urusanmu dan tolong menyingkir!” bentak Kendra, mendorong lengan wanita berpakaian minim tersebut agar menyingkir dari hadapannya.Wanita itu mencebik. Mendengus, kesal dengan Kendra yang bersikap sok jijik melihatnya.“Jangan begitu. Sikapmu sangat angkuh, seakan kau adalah laki-laki yang suci. Tapi, kau sama saja berengseknya dengan yang lain.” Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada begitu Kendra menoleh. “Oops, salah. Bukan berengsek saja. Tapi bodoh karena membuang sebu
Rendi memaksakan diri untuk membuka mata agar Naya tak terusik dengan suara ponsel yang sedari tadi berdering di nakas. Berat rasanya membuka mata, maka lebih berat melepaskan Naya dari pelukannya. Tidak lama, hanya beberapa detik untuk mengambil ponsel di nakas dan kembali memeluk begitu sudah berada di tangannya."Herni," gumam Rendi. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Sebelum berucap, "ada apa? Tidakkah tahu ini tengah malam? Ini waktunya untuk istirahat bukan untuk mengganggu istirahat orang lain. Tidakkah …""Mas, aku sangat merindukanmu," potong Herni dengan suara yang berat dan lirih. "Aku tidak sanggup tanpamu, Mas. Baru satu hari jauh darimu aku sudah seperti orang gila seperti ini. Aku rindu, Mas. Sepi, nggak ada kamu disini. Aku tidur sendiri dan rasanya tidak enak sama sekali. Bisakah kamu pulang, Mas?" Sedikit menangis agar pintu hati Rendi terketuk dan merasa iba padanya."Nanti kita bicarakan ini. Dan tadi aku sudah katakan padamu, untuk dua ha