"Mas," sapa Naya, begitu ia sudah rapi. Siap turun ke bawah untuk menikmati sarapan bersama Rendi. Tapi, Rendi malah berdiri di balkon dengan menatap taman kota yang ada di hadapannya.Naya melihat tatapan Rendi kosong. Seakan tak ada apapun disana. Seakan hanya raga Rendi yang kini ada di dekatnya, tapi tidak dengan pikirannya."Apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai-sampai tidak mendengar aku menyerukan namamu. Apakah ada yang salah dariku?" tutur Naya pelan, tanpa berani menyentuh Rendi.Padahal selama mereka sudah utuh menjadi pasangan suami istri, Naya takkan mampu menolak pesona lengan Rendi yang keras itu. Pastilah ia akan memeluk dan bersandar disana.Namun, pagi ini justru berbeda. Ia tak tertarik sama sekali, terlebih lagisetelah mendengar Rendi berbicara panjang lebar dengan Herni. Dan memang ketika panggilan berakhir Rendi menutupnya dengan paksa tanpa menunggu Herni berbicara lagi. Tapi, ketegasan yang dilakukan Rendi membuat Naya berpikir kalau sang suami menyesal melaku
"Ken, aku ….""Cukup!! Jangan lagi membuat masalah, Ra! Kenakan pakaianmu dengan baik dan berkemas lah. Aku akan membawamu pulang!" Ayahnya Aira memotong. Tidak lagi menerima segala alasan yang keluar dari mulut Aira.Laki-laki itu malu dengan kelakuan Aira yang tidak bisa menjaga harga dirinya meskipun sudah menikah. Padahal ia berharap dugaannya selama ini salah. Pun benar, ia benar-benar berharap pernikahan Aira dengan Kendra bisa membawa perubahan. Tapi, nyatanya pernikahan Aira justru mengungkap segala kelakuannya."Ta-tapi, Ayah!""Tidak ada tapi-tapian. Anak kurang ajar sepertimu tidak layak untuk dibela sama sekali. Cepat berkemas atau kau pun tidak diterima di rumahku!!" ancamnya. Menatap tajam kepada Aira, yang tergugu atas ucapannya. Tapi, ia tak peduli sama sekali."Oh, ya, Lisa mana. Kami datang kesini untuk menjemput Lisa," susul ibunya Aira. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari keberadaan Lisa.Mendengar pertanyaan wanita paruh baya tersebut, Kendra dan Lisa
Naya mengulas senyum. Berusaha berjalan dengan baik karena ini baru pertama kali baginya mengenakan heels lima sentimeter. Tak nyaman sebenarnya, tapi ia juga tidak ingin membuat Rendi kecewa sehingga tetap berusaha menjaga keseimbangan agar tak terjatuh..Namun, itu semua tak lama karena Rendi sudah menggandeng tangannya. Menuntun berjalan keluar dari salon, sehingga mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.“Mas, kita mau kemana?” tanya Naya, tak sanggup lagi menahan rasa penasarannya karena malam ini ia dibuat tampil sempurna bak seorang ratu dari negeri dongeng. Begitupun dengan Rendi, Naya tak mampu berkedip melihat ketampanan yang suaminya miliki karena Rendi menghilangkan rambut halus yang menghiasi wajahnya.“Kita jalan sekarang agar kamu bisa melihat kemana kita akan pergi.” Rendi meraih tangan Naya dan menggenggamnya. Mencium punggung tangan Naya yang kini terasa dingin. Meskipun sudah menjalani beberapa malam bersama Rendi, tetap saja ia g
Dan sesuai dengan rencana yang telah tersusun, setelah makan siang Rendi memutuskan untuk berbaring sejenak. Melepas penat setelah menyelesaikan banyak kejutan untuk Naya. Kini rasanya ia ingin tidur hingga esok hari, tapi sayangnya jadwal ke kantor polisi pukul delapan pagi. Sekitar pukul sebelas siang ada beberapa barang yang akan masuk ke tokonya.“Kasus itu,” gumam Rendi. Membuka kembali matanya, menatap Naya yang baru saja datang dari parkiran. Mengantarkan beberapa barang yang tak lagi diperlukan.“Mas, nggak jadi tidur?” Naya mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Harus tidur pakai …..”“Tidak, Sayang.” Rendi meneguk ludahnya. Mendorong bongkahan pahit yang kini mengganjal di tenggorokannya. “Aku ….”“Ada apa, Mas? Apakah ada hal buruk yang terjadi?” Naya mengejar. Ia cukup ketakutan saat ini karena melihat air wajah Rendi yang tegang. Sangat jelas ada hal buruk yang ingin dikatakan, tapi rasanya tak bisa.Bimbang antara mengatakan atau tidak. Tapi, tidak ada pilihan lain selain
Herni tertegun. Dengan sikap Rendi yang kian hari kian tak tersentuh. Semakin hari semakin jauh, meskipun Rendi masih ada di dekatnya. Tapi rasanya ia dan Rendi kini telah terhalang dinding yang begitu besar dan tinggi."Ingat? Bagian mana yang harus aku ingat, Mas?" tanya Herni dalam hati. Menatap fotonya bersama Rendi dan kedua anaknya. Sungguh begitu sempurna jika hanya dilihat, tanpa tahu bagaimana awal pernikahan itu terjadi. Tanpa tahu kalau Kendra dan Lily bukan anak kandung sang kepala keluarga.Dan ketika semua kenangan itu berputar di kepalanya, Herni baru ingat. Tepatnya sangat-sangat ingat ada banyak ajakan Rendi yang ia abaikan. Jangankan menerima ajakan Rendi, Herni tak pernah serius mendengar apa yang dikatakan padanya. Padahal semua ajakan itu, telah dirancang dengan sempurna sebuah kejutan yang diyakini Rendi bisa membuat Herni mengenang hingga akhir hayatnya."Awal kami menikah?" Herni terduduk di depan pintu. "Sebulan kami menikah?" Nanar sudah tatapan Herni menatap
Di malam pulangnya Naya dan Rendi."Mau apalagi? Mau bagaimana lagi?" Kendra bertanya kepada dirinya sendiri. Menatap cermin lemari yang ada di hadapannya.Ingin rasanya ia marah dan mencaci diri sendiri setelah melihat takdir seperti apa yang ia pilih. Takdir yang kini membuatnya hancur menjadi kepingan yang terkecil. Hilang, musnah, melebur menjadi debu yang terbang dibawa angin.Kendra menghela nafas panjang. Ingin ia melupakan dan berdamai dengan keadaan, tapi tak sanggup karena Naya masih berada di dekatnya."Bu, aku ingin bicara." Kendra langsung duduk di samping sang ibu, yang sedang duduk di ruang tamu. Menunggu kepulangan Rendi dan Naya, yang katanya akan pulang.Herni memutar bola matanya. "Apa? Kalau kamu mau membicarakan hal yang akan membuat ibu marah dan sejenisnya, lebih baik jangan! Mengerti?"Malas rasanya kini harus banyak bicara. Entah dengan Kendra ataupun siapa, karena Herni sibuk memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Lily sudah enggan balik dan Kendra sudah mem
"Kamu mau ikut aku ke toko, atau pulang, Nay?" Rendi langsung mengajukan pertanyaan begitu mereka berada di persimpangan antara jalan pulang dan menuju toko.Sebelum membawa Naya ke suatu tempat, Rendi harus memastikan terlebih dahulu kemana arah dan tujuan Naya.Naya menoleh. "Aku ikut ke toko saja, Mas. Buat hilangin suntuk." Menghela nafas panjang. "Tapi, nanti aku baliknya duluan. Mau masak sama mampir dulu di rumah ibu." Tuturnya."Baiklah. Tapi, kalau kamu terlalu lelah jangan paksakan, ya. Kamu cukup istirahat saja nanti di rumah. Pulang nanti aku juga yang akan mengantarkanmu."Naya yang ingin membantah ucapan Rendi, batal melakukannya karena Rendi telah membungkam mulutnya dengan jari telunjuknya."Demi kebaikanmu, maka aku tidak akan merasa repot sama sekali."Naya menarik kedua sudut bibirnya. "Kenapa kamu selalu saja bisa menebak apa yang ingin aku katakan, Mas?""Emm … jawabannya sangat mudah." Rendi menggenggam tangan Naya. "Kamu adalah istriku. Jadi semua yang ada padam
"Aku akan bantu Ibu untuk menyingkirkan Naya dari rumah tangga kalian. Tapi, setelah itu Ibu harus menyatukan kembali aku dan Kendra. Tidak tahu bagaimana caranya, yang penting aku ingin itu."Naya meremas kuat besi yang menjadi pagar pembatas balkon. Ketika kata-kata Aira yang tak sengaja ia dengar menggema. Melengking di indra pendengarannya, mengusik segala saraf yang ia miliki dan mensugesti dirinya agar lebih kuat untuk menjalani hidupnya yang baru."Hanya Aira?" Naya tersenyum tipis. Aira? Harusnya nama itu bukanlah masalah baginya karena sang ayah jauh … lebih kejam daripada Aira. Sang ayah lebih tak punya hati dan hidupnya sudah keras dan menderita sejak ia dilahirkan ke dunia. Jadi, Aira bukanlah masalah yang harus ditakuti apalagi di tangisi."Kita lihat, Ra, Her. Siapa yang akan hilang dari hidupnya mas Rendi." Gumamnya. Semakin erat mencengkram besi yang ada di tangannya."Apa yang kamu lihat? Sampai ini digenggam begitu kuat." Rendi memeluk Naya dari belakang dan menggeng