Naya mengerjap. Berusaha kuat agar matanya terbuka. Agar rasa kantuk yang masih menguasai hilang, karena ia ingin melihat dengan jelas apa yang kini suaminya lakukan.“Mas,” lirih Naya, suaranya begitu serak dan berat. Diterpa rasa nikmat yang tak mampu tergambar. Karena Rendi kini tengah menjadi bayi besar, yang menyesap ujung dadanya dan meremas sisanya.Membuat Naya panas dingin, meminta lebih dari apa yang Rendi lakukan sekarang.Rendi yang sedang menikmati mainan barunya melirik Naya. Melepaskan sejenak agar bisa berucap, “Maaf, Dek. Mas nggak bisa tidur. Jadinya mencoba ini. Siapa tahu bisa mengantuk,” terangya jujur. Sesuai dengan yang ia rasakan saat ini.Usai permainan pertama mereka tadi Naya langsung tertidur. Berbeda dengan Rendi yang masih terjaga. Ingin rasanya ia menyusul, tapi matanya tidak bisa diajak kompromi. Bukannya tidur ia malah tergoda untuk menyesap bulatan padat Naya yang terbuka. Tapi sayangnya ketika ia mulai mengantuk, Naya justru terbangun dari tidurnya.
“Eh, tumben mampir? Biasanya ngejek …” sindir seorang wanita begitu Kendra menginjakkan kakinya di sebuah warung. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung banyak orang. Tidak terlalu ke sudut desa, tapi tak terlihat jika tak masuk ke jalan setapak yang terhubung dengan ladang karet.Disitulah tempat selama ini Kardi menjalankan bisnis haramnya. Dan disini pula Kendra datang dan duduk untuk menghilangkan rasa sakit dan suntuk yang kini menyelimuti hatinya pasca menemukan sprei di kamar mandi.“Bukan urusanmu dan tolong menyingkir!” bentak Kendra, mendorong lengan wanita berpakaian minim tersebut agar menyingkir dari hadapannya.Wanita itu mencebik. Mendengus, kesal dengan Kendra yang bersikap sok jijik melihatnya.“Jangan begitu. Sikapmu sangat angkuh, seakan kau adalah laki-laki yang suci. Tapi, kau sama saja berengseknya dengan yang lain.” Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada begitu Kendra menoleh. “Oops, salah. Bukan berengsek saja. Tapi bodoh karena membuang sebu
Rendi memaksakan diri untuk membuka mata agar Naya tak terusik dengan suara ponsel yang sedari tadi berdering di nakas. Berat rasanya membuka mata, maka lebih berat melepaskan Naya dari pelukannya. Tidak lama, hanya beberapa detik untuk mengambil ponsel di nakas dan kembali memeluk begitu sudah berada di tangannya."Herni," gumam Rendi. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Sebelum berucap, "ada apa? Tidakkah tahu ini tengah malam? Ini waktunya untuk istirahat bukan untuk mengganggu istirahat orang lain. Tidakkah …""Mas, aku sangat merindukanmu," potong Herni dengan suara yang berat dan lirih. "Aku tidak sanggup tanpamu, Mas. Baru satu hari jauh darimu aku sudah seperti orang gila seperti ini. Aku rindu, Mas. Sepi, nggak ada kamu disini. Aku tidur sendiri dan rasanya tidak enak sama sekali. Bisakah kamu pulang, Mas?" Sedikit menangis agar pintu hati Rendi terketuk dan merasa iba padanya."Nanti kita bicarakan ini. Dan tadi aku sudah katakan padamu, untuk dua ha
"Mas," sapa Naya, begitu ia sudah rapi. Siap turun ke bawah untuk menikmati sarapan bersama Rendi. Tapi, Rendi malah berdiri di balkon dengan menatap taman kota yang ada di hadapannya.Naya melihat tatapan Rendi kosong. Seakan tak ada apapun disana. Seakan hanya raga Rendi yang kini ada di dekatnya, tapi tidak dengan pikirannya."Apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai-sampai tidak mendengar aku menyerukan namamu. Apakah ada yang salah dariku?" tutur Naya pelan, tanpa berani menyentuh Rendi.Padahal selama mereka sudah utuh menjadi pasangan suami istri, Naya takkan mampu menolak pesona lengan Rendi yang keras itu. Pastilah ia akan memeluk dan bersandar disana.Namun, pagi ini justru berbeda. Ia tak tertarik sama sekali, terlebih lagisetelah mendengar Rendi berbicara panjang lebar dengan Herni. Dan memang ketika panggilan berakhir Rendi menutupnya dengan paksa tanpa menunggu Herni berbicara lagi. Tapi, ketegasan yang dilakukan Rendi membuat Naya berpikir kalau sang suami menyesal melaku
"Ken, aku ….""Cukup!! Jangan lagi membuat masalah, Ra! Kenakan pakaianmu dengan baik dan berkemas lah. Aku akan membawamu pulang!" Ayahnya Aira memotong. Tidak lagi menerima segala alasan yang keluar dari mulut Aira.Laki-laki itu malu dengan kelakuan Aira yang tidak bisa menjaga harga dirinya meskipun sudah menikah. Padahal ia berharap dugaannya selama ini salah. Pun benar, ia benar-benar berharap pernikahan Aira dengan Kendra bisa membawa perubahan. Tapi, nyatanya pernikahan Aira justru mengungkap segala kelakuannya."Ta-tapi, Ayah!""Tidak ada tapi-tapian. Anak kurang ajar sepertimu tidak layak untuk dibela sama sekali. Cepat berkemas atau kau pun tidak diterima di rumahku!!" ancamnya. Menatap tajam kepada Aira, yang tergugu atas ucapannya. Tapi, ia tak peduli sama sekali."Oh, ya, Lisa mana. Kami datang kesini untuk menjemput Lisa," susul ibunya Aira. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari keberadaan Lisa.Mendengar pertanyaan wanita paruh baya tersebut, Kendra dan Lisa
Naya mengulas senyum. Berusaha berjalan dengan baik karena ini baru pertama kali baginya mengenakan heels lima sentimeter. Tak nyaman sebenarnya, tapi ia juga tidak ingin membuat Rendi kecewa sehingga tetap berusaha menjaga keseimbangan agar tak terjatuh..Namun, itu semua tak lama karena Rendi sudah menggandeng tangannya. Menuntun berjalan keluar dari salon, sehingga mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.“Mas, kita mau kemana?” tanya Naya, tak sanggup lagi menahan rasa penasarannya karena malam ini ia dibuat tampil sempurna bak seorang ratu dari negeri dongeng. Begitupun dengan Rendi, Naya tak mampu berkedip melihat ketampanan yang suaminya miliki karena Rendi menghilangkan rambut halus yang menghiasi wajahnya.“Kita jalan sekarang agar kamu bisa melihat kemana kita akan pergi.” Rendi meraih tangan Naya dan menggenggamnya. Mencium punggung tangan Naya yang kini terasa dingin. Meskipun sudah menjalani beberapa malam bersama Rendi, tetap saja ia g
Dan sesuai dengan rencana yang telah tersusun, setelah makan siang Rendi memutuskan untuk berbaring sejenak. Melepas penat setelah menyelesaikan banyak kejutan untuk Naya. Kini rasanya ia ingin tidur hingga esok hari, tapi sayangnya jadwal ke kantor polisi pukul delapan pagi. Sekitar pukul sebelas siang ada beberapa barang yang akan masuk ke tokonya.“Kasus itu,” gumam Rendi. Membuka kembali matanya, menatap Naya yang baru saja datang dari parkiran. Mengantarkan beberapa barang yang tak lagi diperlukan.“Mas, nggak jadi tidur?” Naya mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Harus tidur pakai …..”“Tidak, Sayang.” Rendi meneguk ludahnya. Mendorong bongkahan pahit yang kini mengganjal di tenggorokannya. “Aku ….”“Ada apa, Mas? Apakah ada hal buruk yang terjadi?” Naya mengejar. Ia cukup ketakutan saat ini karena melihat air wajah Rendi yang tegang. Sangat jelas ada hal buruk yang ingin dikatakan, tapi rasanya tak bisa.Bimbang antara mengatakan atau tidak. Tapi, tidak ada pilihan lain selain
Herni tertegun. Dengan sikap Rendi yang kian hari kian tak tersentuh. Semakin hari semakin jauh, meskipun Rendi masih ada di dekatnya. Tapi rasanya ia dan Rendi kini telah terhalang dinding yang begitu besar dan tinggi."Ingat? Bagian mana yang harus aku ingat, Mas?" tanya Herni dalam hati. Menatap fotonya bersama Rendi dan kedua anaknya. Sungguh begitu sempurna jika hanya dilihat, tanpa tahu bagaimana awal pernikahan itu terjadi. Tanpa tahu kalau Kendra dan Lily bukan anak kandung sang kepala keluarga.Dan ketika semua kenangan itu berputar di kepalanya, Herni baru ingat. Tepatnya sangat-sangat ingat ada banyak ajakan Rendi yang ia abaikan. Jangankan menerima ajakan Rendi, Herni tak pernah serius mendengar apa yang dikatakan padanya. Padahal semua ajakan itu, telah dirancang dengan sempurna sebuah kejutan yang diyakini Rendi bisa membuat Herni mengenang hingga akhir hayatnya."Awal kami menikah?" Herni terduduk di depan pintu. "Sebulan kami menikah?" Nanar sudah tatapan Herni menatap