"Sah."Satu kata yang menggema di ruangan yang telah disulap sedemikian rupa tersebut. Satu kata yang juga diiringi dengan untaian doa untuk sepasang anak manusia yang kini telah resmi menjadi sepasang suami istri.Sah di mata agama, begitupun di mata negara. Naya dan Rendi, kini diminta untuk menandatangani buku nikah mereka yang telah dipersiapkan. Dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibir mereka berdua.Begitupun dengan Tio, yang sumringah. Mendapatkan tambang emas baru yang siap menanggung hidupnya. Kalau sudah begini, Tio tak lagi perlu memohon dan meminta kepada Herni. Ia cukup menagih janji Rendi seperti janji yang ditinggalkan pria itu di tempat judi.Lima juta perminggu. Dan uang tunai sepuluh juta setelah resepsi pernikahan dilangsungkan. Sudut bibir Tio terangkat, tak sabar menunggu hari esok usai demi uang sepuluh juta yang telah dijanjikan.Sehingga hidangan sederhana yang kini tersaji, tak membuatnya tergoda sama sekali. Meskipun ada sup daging kesukaannya, yan
"Kamu tidak akan mengerti," balas Rendi. Terpaksa menjepit jagoannya diantara kedua pahanya agar tak lagi menyembul keluar. "Lihat, dia hanya menggertak saja." Sedikit terkekeh agar Naya tak lagi banyak bicara.Naya mengangguk. Paham nggak paham tetap memasang wajah serius, seakan mengerti apa yang dikatakan Rendi. Padahal ia tidak tahu Rendi tengah terasa ngilu karena terjepit di kedua pahanya."Pak …." Seru Naya seraya menusuk lengan padat Rendi dengan jari telunjuknya.Rendi yang telah aman bersembunyi dibalik selimut tebal, terpaksa menoleh. Mati-matian menahan diri agar tak memakan Naya yang kini menatap padanya. Tali spaghetti gadis itu juga sudah jatuh ke lengannya. Semakin membebaskan Rendi menikmati bagian atas tubuh Naya.Namun, Naya memasang wajah polos agar Rendi tak tahu ia sengaja melakukan hal gila tersebut."I-iya, kenapa?"Rahang Rendi mengeras. Seiring dengan geliat tak terbendung pada jagoannya."Aku dingin. Boleh peluk?""Kan ada selimut, Nay."Naya menggeleng. "Ka
Cantik layaknya seorang bidadari yang turun dari langit. Kalimat yang sering digunakan oleh banyak orang untuk memuji kecantikan seorang gadis. Namun, kata itu tidak sanggup untuk menggambarkan bagaimana kecantikan Naya.Sangat-sangat cantik. Dengan gaun pengantin seputih susu, sesuai dengan kecantikan yang ia miliki. Dan untuk gaun pengantin, Rendi tidak memilih yang terbuka. Semuanya tertutup dengan sempurna, agar dirinya saja yang bisa menikmati Naya. Eh?Rendi yang lebih dahulu duduk di pelaminan menyambut para tamu undangan, terpukau. Terpaku menatap Naya yang dituntun naik dan bersanding dengannya.Sumpah demi apapun, Rendi tidak pernah menyangka bisa menikah untuk yang kedua kalinya. Dengan seorang gadis yang begitu cantik dan baik. Sehingga ia tak mampu berkedip apalagi mengalihkan perhatian ke tempat lain.Baginya, seluruh dunia yang ia miliki hanya tertuju kepada Naya. Bukan Herni yang tengah menggerutu, marah karena Rendi mulai berpaling kepada gadis bernama Naya.Herni yan
"Mbak Naya, benar," sahut Safira Indah. "Keras lo, Pak tadi bu Herni narik Naya.. Sampai jatuh gitu. Nanti kalau Naya encok, batal deh, malam pengantin kalian.""Aku juga lihat, Pak!" Mbak Ica menambahkan.Semakin memanaskan suasana di pelaminan."Kalian!!" bentak Herni dengan mata yang membesar. Rahangnya mengeras karena ucapan beberapa tamu yang malah membela Naya. Padahal ia belum sempat meraih Naya, tapi gadis itu sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai.Rendi menghela nafas panjang. "Sudah! Jangan mengelak lagi kamu, Her. Lebih baik kamu bawa Lily turun dari sini dan katakan semuanya agar dia tahu diri dan bisa menghargai Naya. Istriku!" tegasnya."Ayah jahat!" pekik Lily. Pergi begitu saja karena kecewa atas kelakuan Rendi yang malah marah kepada sang ibu. Padahal sudah jelas Naya yang menantangnya dan berdrama seakan disakiti. Dan ini kali pertama bagi Lily dimarahi sekeras ini.Hatinya benar-benar sakit dan kecewa. Ia pergi tanpa bicara. Tanpa mendengar Herni yang k
"Sakit, Pak," Isak Naya. Tidak sanggup bernafas ketika Rendi mulai menekan. Membuka paksa jalan yang belum tersentuh sama sekali.Rendi berhenti. Tidak sanggup melihat Naya menangis kesakitan seperti sekarang."Ta-tapi … nggak apa-apa." Naya menelan ludah. Menahan tangis karena rasa sakit dibagian bawah."Kamu yakin?" Rendi memastikan. Kepala atas bawahnya sudah tak karuan karena beberapa kali gagal menusuk. Dan ketika kepalanya sudah masuk, Rendi merasakan ada yang robek. Langsung membuat Naya menangis kesakitan. Sehingga ia terpaksa berhenti, meski hanya seperempat bagian.Rendi merasakan kenikmatan yang tak sanggup terucap. Tapi air mata Naya telah menahannya agar tak menekan lebih dalam lagi.Naya mengangguk. Meski tak yakin, ia harus sanggup. Demi menyempurnakan dirinya sebagai seorang istri."Pak!!" pekik Naya. Langsung dibungkam Rendi dengan sebuah pagutan yang lembut, ketika dorongan terakhir ia berikan. Menembus Naya secara utuh dan menghabiskan segala penghalang yang ada.Li
“Saya ingin tidur. Tapi, dia tidak."Kembali, Rendi mengecup leher Naya. Tapi, kali ini dengan sedikit menggebu.Hingga Naya terpaksa menarik napas dalam-dalam."Maafkan saya yang telah mengusik dan mengganggu."Rendi menggeram. Ada desakan tak tertahankan yang menyerbu pertahanannya. Dan sekarang Rendi berada di tepi jurang kewarasannya. Lupa Naya belum tentu saja sanggup menerimanya kembali.“Bapak seharusnya membangunkanku.”Mata Rendi mengerjap. Sedikit menarik diri, ia menciptakan sedikit jarak yang iabutuhkan demi bisa menatap Naya. Satu senyuman muncul di wajahnya.“Itu yang sedang saya lakukan,” lirih Rendi dengan suara berat. “Membangunkanmu.”Tangan Rendi bergerak. Memberikan sentuhan sekilas di sepanjang tangan Naya sebelum mendarat di salah satu bola kenyal wanita itu.“Dan sekarang ...”Rendi memberikan satu remasan disana. Sungguh perlakuan yang membuatNaya menggigit bibir bawahnya.Membiarkan Rendi menindih tubuhnya. Ia menahan Naya. Tak membiarkan Naya untuk bergerak
"Setengah empat," gumam Rendi dengan mata yang menyipit. Menatap jam yang ada di ponselnya. Masih sangat dini untuk bangun dari tidur, tapi ia tak mungkin bisa berlama-lama di ranjang. Mendekap dan memeluk Naya yang masih terbenam di dalam pelukannya.Bukan tanpa alasan, Rendi harus segera bangkit dan membersihkan diri. Belum lagi seprei yang masih berada di kamar mandi. Tidak ingin dikira mengumbar malam pertama, tentu saja Rendi terpaksa bangun untuk membersihkannya. Melepaskan pelukannya dari Naya. Dengan sangat perlahan Naya terlepas dan kembali ia selimuti.Rendi tersenyum. Melihat beberapa tanda merah keunguan di sekitar dada dan ceruk leher Naya. Ia tidak tahu darimana datangnya keinginan untuk menyesap hingga berbekas seperti itu. Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada aba-aba sama sekali.Dan hingga detik ini Rendi juga tidak mengerti bisa bertahan nyaris tiga puluh menit. Sampai-sampai lututnya kebas, menahan bobot tubuhnya. Jangan lupakan pinggang yang menegang ketika ia b
Remuk redam rasanya. Setelah menghadapi pertarungan sengit dengan Rendi di kamar mandi, Naya kini tidur. Bergelung dibawah selimut setelah selesai mandi dan sarapan. Dan sepertinya untuk pergi ke kantor polisi hanya Rendi saja. Karena Naya tak sanggup bergerak apalagi berjalan. Pangkal pahanya benar-benar kebas, dibumbui rasa sakit ketika dibawa berjalan."Pas balik nanti kamu mau dibawain apa?" tanya Rendi, seraya merapikan kemeja hitam yang ia kenakan. Ia juga duduk di tepi ranjang dan mengusap pipi Naya.Naya sedikit menggeliat. Memaksakan diri untuk membuka matanya. "Terserah saja, Pak. Aku pemakan segalanya.""Baiklah. Sekarang kamu istirahat." Rendi mengecup sekilas bibir Naya. "Kamu pegang ini. Kalau ada apa-apa cepat hubungi aku." Menyerahkan sebuah ponsel kepada Naya."Apa ini, Pak?"Naya mengerjap. Tidak percaya dengan benda pipih yang diserahkan Rendi kepadanya."Ponsel. Untuk sementara waktu pakai itu dulu, ya. Nanti sepulang dari kantor polisi aku akan mampir dan belikan