"Lu ngaco ya? Otak lu sebenarnya waras nggak sih, Arumi?" seru Boby di dalam mobil, ketika dia sedang mengendarai mobil Arumi menuju ke lokasi untuk live.Arumi yang saat itu sedang mengoleskan lipstik seketika menoleh pada Boby. "Lu pikir, gue gila, Bob?""Ih dasar, otak lu emang kadang rada-rada ya!""Bob, gue nggak ngerti. Sebenarnya lu lagi ngomongin apaan sih?" "Arumi, lu udah lupa sama cerita lu barusan? Dasar amnesia!""Cerita gue tentang apa? Kanaya sama Mas Alan?" sahut Arumi dengan begitu polos, masih tak mengerti dengan perkataan Boby. "Ya iyalah, emang lu lagi ngomongin siapa tadi?" balas Boby ketus, saat Arumi tak juga mengerti maksudnya."Emang mereka kenapa, Bob? Perasaan gue tadi cuma bilang kalo Kanaya gue suruh temenin Mas Alan ke Bandung. Memangnya ada yang salah?""Nah itu maksud gue, Arumi. Lu udah ambil keputusan yang salah."Arumi pun menoleh kesal pada Boby, tak terima jika lelaki gemulai itu menyalahkan dirinya."Salah bagian mananya sih? Bukannya Mas Alan l
"Chyntia, ayo cepat masuk. Kita harus kejar waktu biar nggak kena macet!" perintah Alan, sembari memberi kode agar wanita itu masuk ke dalam mobilnya.Chyntia pun mengangguk, lalu melangkah masuk dalam mobil dengan kesal."Tante Chyntia kenapa mukanya jadi lesu gitu? Bukannya tadi ceria banget ya?" ledek Kanaya disertai tatapan penuh cemooh."Lesu gimana, Non Kanaya? Aku masih ceria, kok."Chyntia menoleh, sambil menyunggingkan senyum. Namun, senyuman tersebut tampak sekali begitu dipaksakan."Bagus deh, itu artinya Tante Chyntia seneng bisa ikut ke Bandung. Tante Chyntia emang loyal sama kerjaan.""Tentu saja. Saya sangat mencintai pekerjaan saya," sahut Chyntia, seolah sedang mencari muka pada Alan. Namun, jawaban tersebut diabaikan oleh Alan, dan juga Kanaya, yang saat ini justru terlihat sedang asyik sendiri.Alan menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Kanaya. Sedangkan Kanaya, tampak mengerucutkan bibir, setelah itu, keduanya tertawa terbahak-bahak.Interaksi mereka terlihat
"Chyntia, ayo cepat masuk. Kita harus kejar waktu biar nggak kena macet!" perintah Alan, sembari memberi kode agar wanita itu masuk ke dalam mobilnya. Chyntia pun mengangguk, lalu melangkah masuk dalam mobil dengan kesal. "Tante Chyntia kenapa mukanya jadi lesu gitu? Bukannya tadi ceria banget ya?" ledek Kanaya disertai tatapan penuh cemooh. "Lesu gimana, Non Kanaya? Aku masih ceria, kok." Chyntia menoleh, sambil menyunggingkan senyum. Namun, senyuman tersebut tampak sekali begitu dipaksakan. "Bagus deh, itu artinya Tante Chyntia seneng bisa ikut ke Bandung. Tante Chyntia emang loyal sama kerjaan." "Tentu saja. Saya sangat mencintai pekerjaan saya," sahut Chyntia, seolah sedang mencari muka pada Alan. Namun, jawaban tersebut diabaikan oleh Alan, dan juga Kanaya, yang saat ini justru terlihat sedang asyik sendiri. Alan menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Kanaya. Sedangkan Kanaya, tampak mengerucutkan bibir, setelah itu, keduanya tertawa terbahak-bahak. Interaksi
"Ih Boby, apaan sih udah dibilangin juga! Nggak mungkin lah, Mas Alan kepincut sama Kanaya!" sahut Arumi kesal, sembari memelototkan mata. Padahal, baru beberapa saat yang lalu, dia memarahi Boby, tapi laki-laki gemulai itu, sudah mengatakan hal itu lagi. "Ya nggak harus Kanaya juga keleus, tapi bisa aja cewek lain. Sekretarisnya mungkin.""Ck, buat apa aku suruh Kanaya ikut coba? Ya buat mata-matain mereka, lah!" Boby tak menyahut, hanya mendengkus lirih. Di saat itulah, ponsel Arumi berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk dari Alan.Mas Alan :[Maaf aku, lagi rapat, Arumi. Jangan telepon dulu.]Membaca pesan tersebut, seutas senyuman pun tersungging di bibir Arumi. Dia kemudian memperlihatkan pesan dari Alan pada Boby."Nih baca sendiri, Mas Alan lagi rapat jadi dia nggak bisa angkat telepon aku."Boby mengangguk, sembari memainkan ekspresi muka, seolah sedang meledek pada Arumi."Iya ... iya, Tuan Putri.""Udah ah, gue mau beresin penampilan dulu. Habis ini, mereka jadi dateng, '
"Apa maksud Anda, Bu Arumi? Anda sudah menandatangani kontrak dengan kami, dan Anda tidak bisa memutuskan kerja sama ini begitu saja. Anda bisa dituntut wan prestasi karena menyalahi kontrak." Arumi menghembuskan napas sepenuh dada. Jika dia dituntut kasus wan prestasi, kemungkinan Alan bisa membayar denda tersebut. Namun, itu sama saja mematikan karirnya, karena setelah itu, Arumi yakin jika suaminya pasti tidak akan mengijinkan dia untuk kembali menjadi seorang influencer. "Bagaimana Bu Arumi? Anda tetap mau membatalkan kontrak kerja sama kita?" "Maafkan atas sikap lancang saya, Pak Leo. Tadi saya sedikit emosional, karena masalah pribadi. Saya akan tetap pada komitmen awal," jawab Arumi pasrah, karena dia sudah tidak punya pilihan. Lebih tepatnya, untuk kali ini, Arumi tidak bisa memilih. "Bagus, saya harap. Kita bisa menjalin kerja sama sebaik mungkin, Bu Arumi." Arumi mengangguk, sembari tersenyum tipis. Meskipun di dalam hatinya, perasaannya begitu campur aduk. Dia ke
Di sisi lain ....Selama meeting, Chyntia kali ini lebih banyak diam, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya, kecuali masalah pekerjaan. Dimas, salah seorang staf cabang perusahaan Alan di Bandung yang beberapa kali meledeknya pun dia acuhkan."Habis ini kamu mau kemana, Dimas?" tanya Alan, ketika mereka sudah selesai meeting."Mau jalan-jalan lagi dong Pak, namanya juga jomblo. Kecuali, Neng Chyntia mau temenin Abang."Dimas terkekeh, sembari melirik ke arah Chyntia yang masih terdiam. Sebenarnya, saat ini Chyntia, sedang bingung, memikirkan rencana untuk mendekati Alan. Karena saat ini, ada Kanaya bersama mereka.Chyntia ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin, tapi dia masih belum menemukan cara."Neng Chyntia, nanti mau kemana? Jalan-jalan yuk, sama Abang, masa anak gadis di kamar terus sih, kaya lagi di pingit aja.""Maaf, saya sedang tidak enak badan," sahut Chyntia datar, tanpa menoleh sama sekali ke arah Dimas."Masa nggak enak badan terus sih? Padahal kan belum Aba
Entah sudah ke berapa kali, wajah Kanaya dibuat merona oleh Alan. Semua sikap yang Alan tunjukkan padanya, benar-benar membuat dia melayang. Meskipun, Kanaya pun tak tahu bagaimana perasaan Alan yang sebenarnya. Karena kata cinta itu belum pernah terucap. Namun, untuk saat ini dia benar-benar bahagia. "Kok nglamun?" tanya Alan, ketika melihat Kanaya yang terdiam. Kanaya tak menjawab, hanya kian merapatkan tubuhnya. Lebih erat, dan dekat dengan Alan."Kamu lihat pasangan yang di sana."Alan menunjuk ke bagian bawah cafe, yang terlihat dari jendela VIP room tempat mereka saat ini berada. Kanaya kemudian memperhatikan sekitar cafe tersebut. "Itu yang di pojok!" tunjuk Alan kembali."Memangnya kenapa, Pa?" tanya Kanaya saat melihat pasangan yang ada di bawah sana."Berani taruhan nggak kalau mereka backstreet?" Kanaya pun menatap Alan dengan tatapan heran."Kok Papa mikirnya gitu?""Kamu lihat aja tuh, muka mereka kaya ketakutan gitu. Mata mereka, memperhatikan setiap wajah orang yang m
BEBERAPA TAHUN SEBELUMNYA .... Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan sekarang Arumi sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah pertengkarannya tadi sore dengan Alan, Arumi merasa penat. Jadi, ketika Kanaya sudah tertidur, Arumi memutuskan untuk keluar dari rumah. Saat ini, Alan memang sedang pergi ke Singapura, untuk urusan bisnis. Karena itulah, Arumi merasa bebas. Sebenarnya, Alan meminta Arumi ikut ke Singapura, untuk melakukan cek kesehatan reproduksi mereka berdua. Memang, sudah beberapa tahun belakangan ini, Alan meminta Arumi untuk melakukan program hamil. Akan tetapi, Arumi tak mau jiwa bebasnya terkekang. Itulah sebabnya, dulu Arumi mengadopsi Kanaya, sebagai anak angkatnya, karena dia tidak suka hamil, dan melahirkan. Sejak menikah dengan Alan, Arumi memang tidak suka dikekang dengan berbagai peraturan, dan untungnya Alan selalu bersedia mengalah untuknya. Namun, tidak dengan keturunan, karena kedua orang tua mereka juga selalu menuntut
Alan sebenarnya curiga jika Kanaya sudah tahu tentang apa yang dilakukan oleh Arumi. Hal tersebut, terbukti dengan foto, dan video yang tersimpan pada email, bukan pada galeri di ponsel Kenan.Rasanya mustahil Kenan yang melakukannya. Anak seusia Kenan, tak mungkin memiliki pemikiran untuk menyembunyikan file tersebut, dan menyimpannya ke tempat aman yang baru bisa dipikirkan oleh orang-orang dewasa."Kanaya, apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan tentang Kenan? Tolong jangan ada yang ditutupi lagi, Naya. Please ...."Alan menatap Kanaya dengan sorot mata penuh pengharapan. "Kanaya ...!"Kanaya menggeleng sembari tersenyum getir. Seketika, dia baru menyadari kesalahannya, yang tak bisa mengontrol emosi, hingga mungkin membuat Alan curiga. Rasanya dia belum mampu, Kanaya belum sanggup membuka rahasia ini. Kanaya terlalu takut jika Alan terluka."Naya, kenapa kamu masih saja merahasiakan sesuatu dariku? Memangnya kamu anggap, aku ini apa?" timpal Alan kembali, seolah sedang mengintimidas
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya